Share

4. Kesepakatan

Matanya melebar, tatapannya tidak bisa lepas dari wajah pria di hadapannya. Dia mencoba mencari tanda bahwa Davis hanya bercanda, namun ekspresi Davis tetap datar, tidak ada sedikitpun senyum di sana. Wajahnya benar-benar serius.

“Kenapa... kenapa kau begitu ingin aku menikah denganmu?”

“Ini bukan tanpa alasan, bagiku kau adalah wanita yang paling cocok untuk membantuku dalam situasi ini. Selain itu, kita sudah pernah tidur bersama sebelumnya. Bukankah ini masuk akal?”

Tamara menelan ludahnya dengan susah payah. “Apa maksudmu dengan 'membantumu'?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Wajahnya mulai memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena marah. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Davis merapatkan tubuhnya pada Tamara, pandangannya masih terfokus pada wanita itu. Davis menghela napas panjang, terlihat sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan itu.

“Dengar, seharusnya seminggu lagi aku melangsungkan pernikahan. Tapi calon istriku tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku tidak ingin nama baik keluargaku tercoreng hanya karena pernikahanku batal, dan aku juga membutuhkan seorang pewaris. Maka dari itu, kau harus membantuku.”

Tamara terdiam, pikirannya berputar dengan cepat. Tawaran ini terdengar sangat tidak masuk akal, namun Davis mengatakannya dengan begitu serius, seolah ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki.

“Aku tidak bisa. Ini... ini gila. Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Tamara, meskipun ada keraguan di surabaya.

Melihat wajah Tamara yang terlihat sedang berpikir, Davis bergerak menjauh. Melepaskan Tamara dari dekapannya.

“Jika kau menolak, maka aku akan pastikan tidak ada perusahaan lain yang mau menerimamu sebagai pegawai mereka. Aku punya pengaruh yang cukup besar untuk melakukan itu, Tamara.”

Tamara merasa darahnya berhenti mengalir sejenak. Ancaman itu terasa nyata, dan dia tahu Davis tidak main-main. Dia membutuhkan pekerjaan ini, lebih dari yang bisa diungkapkan. Masalah keuangan yang terus menghimpitnya membuatnya berada di ambang keputusasaan. Dia tidak bisa kehilangan kesempatan ini, tapi disisi lain, syarat yang diajukan Davis benar-benar tidak masuk akal.

Setelah beberapa saat terdiam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau, Tamara akhirnya mengangkat wajahnya.

“Kalau aku setuju... apa yang akan aku dapatkan? Aku tidak ingin ini hanya menguntungkanmu saja,” kata Tamara, suaranya terdengar lebih tegas daripada sebelumnya. Dia tahu dia tidak punya banyak pilihan, tapi jika dia harus masuk ke dalam situasi yang gila ini, dia ingin memastikan bahwa dia bisa membuat kesepakatan ini sedikit lebih menguntungkan untuknya.

Davis tersenyum tipis, seolah menghargai keberanian Tamara.

“Jangan khawatir. Aku bisa memberikan apapun yang kau mau. Dengan begitu, pernikahan kita akan saling menguntungkan satu sama lain.” Tamara menatap Davis, mencoba mencari kebohongan di balik tawarannya. Davis kemudian menyerahkan selembar surat kontrak untuk Tamara.

“Proyek membuat bayi pewaris untuk CEO?” seru Tamara. Matanya membuat begitu melihat tulisan itu. Sedangkan Davis hanya menaikkan salah satu alisnya merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.

“Setelah kau melahirkan, pernikahan ini bisa berakhir kapan pun.”

Wanita itu menelan ludahnya susah payah. Dia butuh mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi semua ini. Meskipun apa yang Davis tawarkan masih terasa seperti mimpi buruk, Tamara merasa posisinya saat ini seperti sedang menjual dirinya pada Davis. Dirinya seakan benar-benar terperangkap oleh situasi.

“Baik, aku setuju” ujarnya lemah.

“Kalau begitu, selamat! Kau diterima bekerja di perusahaan ini,” Davis meminta Tamara menandatangani surat kontrak dan mengulurkan tangannya. Tamara lantas menjabat tangan Davis dengan perasaan sedikit ragu akan keputusannya ini.

*

Tamara menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia merapikan rok birunya, memperbaiki lipatan yang sedikit kusut akibat perjalanan. Pintu mobil di sampingnya terbuka perlahan, dan wajah Davis yang tenang muncul di hadapannya.

Ketika ia melangkah keluar dari mobil, tumit sepatunya terdengar jelas saat menyentuh jalan setapak yang membawanya ke depan rumah keluarga Dwayne. Tamara merasakan pandangan Davis yang menyelidik ke arahnya, membuatnya semakin gugup.

Tamara mencoba tersenyum, meskipun canggung. "Aku hanya... sedikit takut. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana kalau mereka tidak suka padaku?"

Davis tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Tenang saja. Orang tuaku bukan orang yang menakutkan. Mereka tidak akan menggigitmu, jika mereka tidak menyukaimu," candanya sambil menyentuh tangan Tamara, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan.

Tamara tersenyum sedikit lebih lega mendengar lelucon Davis, meskipun perasaan cemas masih tersisa di hatinya.

Davis menggandeng tangan Tamara dengan penuh keyakinan, membimbingnya masuk ke dalam rumah keluarga yang megah itu. Begitu mereka melangkah ke ruang tamu yang luas, kedua orang tua Davis sudah berdiri di sana, menanti.

Matilda—ibunya Davis, seorang wanita berpenampilan anggun dengan rambut yang tertata rapi, tersenyum tipis saat melihat mereka. Di sampingnya, Dominic—ayah Davis, pria berkacamata dengan wajah tegas, mengamati mereka dengan pandangan yang sulit ditebak.

"Dia Tamara, wanita yang ingin aku perkenalkan kepada kalian." Ibu dan ayah Davis saling bertukar pandang sejenak, lalu ekspresi mereka berubah. Mereka tampak kaget, seolah-olah sesuatu yang tidak terduga baru saja terjadi. Keduanya menatap Tamara, lalu Davis, dengan wajah yang menyiratkan kebingungan.

Davis mencoba menghilangkan kecanggungan dengan memperkenalkan orang tuanya pada Tamara. Begitu mereka berkenalan, Tamara diminta untuk duduk sebentar, sementara Davis langsung ditarik untuk bicara oleh kedua orang tuanya.

Setelah memastikan Tamara tidak bisa mendengar, Matilda langsung bertanya dengan nada yang tegas, “Apa yang sebenarnya terjadi, Dav? Siapa Tamara, dan kenapa kau tiba-tiba membawanya ke rumah?” ketegangan langsung memenuhi ruangan itu.

“Tamara adalah wanita yang akan menjadi istriku nanti.”

“Apa yang kau bicarakan. Jangan bicara omong kosong. Ini sama sekali tidak lucu. Bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba menjadi calon istrimu? Ingat, Dav, pernikahanmu tinggal satu minggu lagi.” Dominic tampak tidak percaya.

Davis menghela napas lantas menjelaskan situasinya. Davis menatap kedua orang tuanya dengan mata penuh keteguhan. “Aku dan An sudah mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa orang yang aku cintai bukanlah dia, melainkan Tamara. Selain itu pernikahan akan tetap berlangsung seperti yang sudah direncanakan hanya mempelai wanitanya saja yang berbeda.”

Dominic terlihat begitu kaget dan kecewa dengannya. Sementara Matilda tampak resah karena semua ini terjadi begitu mendadak. Tapi beruntung, Davis sudah mempersiapkan diri untuk segala situasi yang akan dihadapinya.

Kedua orang tua Davis saling memandang, mencoba mencerna penjelasan anak mereka. Meskipun awalnya mereka tampak terkejut, mereka bisa melihat keseriusan di mata Davis. “Aku harap kalian bisa memberi Tamara kesempatan.”

“Jika kau sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang, maka kami tidak bisa menentangmu. Asalkan kau bahagia dengan pilihanmu, itu sudah cukup untuk kami.” Matilda tersenyum sambil mengusap lembut tangannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status