Matanya melebar, tatapannya tidak bisa lepas dari wajah pria di hadapannya. Dia mencoba mencari tanda bahwa Davis hanya bercanda, namun ekspresi Davis tetap datar, tidak ada sedikitpun senyum di sana. Wajahnya benar-benar serius.
“Kenapa... kenapa kau begitu ingin aku menikah denganmu?”
“Ini bukan tanpa alasan, bagiku kau adalah wanita yang paling cocok untuk membantuku dalam situasi ini. Selain itu, kita sudah pernah tidur bersama sebelumnya. Bukankah ini masuk akal?”
Tamara menelan ludahnya dengan susah payah. “Apa maksudmu dengan 'membantumu'?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Wajahnya mulai memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena marah. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Davis merapatkan tubuhnya pada Tamara, pandangannya masih terfokus pada wanita itu. Davis menghela napas panjang, terlihat sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan itu.
“Dengar, seharusnya seminggu lagi aku melangsungkan pernikahan. Tapi calon istriku tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku tidak ingin nama baik keluargaku tercoreng hanya karena pernikahanku batal, dan aku juga membutuhkan seorang pewaris. Maka dari itu, kau harus membantuku.”
Tamara terdiam, pikirannya berputar dengan cepat. Tawaran ini terdengar sangat tidak masuk akal, namun Davis mengatakannya dengan begitu serius, seolah ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki.
“Aku tidak bisa. Ini... ini gila. Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Tamara, meskipun ada keraguan di surabaya.
Melihat wajah Tamara yang terlihat sedang berpikir, Davis bergerak menjauh. Melepaskan Tamara dari dekapannya.
“Jika kau menolak, maka aku akan pastikan tidak ada perusahaan lain yang mau menerimamu sebagai pegawai mereka. Aku punya pengaruh yang cukup besar untuk melakukan itu, Tamara.”
Tamara merasa darahnya berhenti mengalir sejenak. Ancaman itu terasa nyata, dan dia tahu Davis tidak main-main. Dia membutuhkan pekerjaan ini, lebih dari yang bisa diungkapkan. Masalah keuangan yang terus menghimpitnya membuatnya berada di ambang keputusasaan. Dia tidak bisa kehilangan kesempatan ini, tapi disisi lain, syarat yang diajukan Davis benar-benar tidak masuk akal.
Setelah beberapa saat terdiam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau, Tamara akhirnya mengangkat wajahnya.
“Kalau aku setuju... apa yang akan aku dapatkan? Aku tidak ingin ini hanya menguntungkanmu saja,” kata Tamara, suaranya terdengar lebih tegas daripada sebelumnya. Dia tahu dia tidak punya banyak pilihan, tapi jika dia harus masuk ke dalam situasi yang gila ini, dia ingin memastikan bahwa dia bisa membuat kesepakatan ini sedikit lebih menguntungkan untuknya.
Davis tersenyum tipis, seolah menghargai keberanian Tamara.
“Jangan khawatir. Aku bisa memberikan apapun yang kau mau. Dengan begitu, pernikahan kita akan saling menguntungkan satu sama lain.” Tamara menatap Davis, mencoba mencari kebohongan di balik tawarannya. Davis kemudian menyerahkan selembar surat kontrak untuk Tamara.
“Proyek membuat bayi pewaris untuk CEO?” seru Tamara. Matanya membuat begitu melihat tulisan itu. Sedangkan Davis hanya menaikkan salah satu alisnya merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.
“Setelah kau melahirkan, pernikahan ini bisa berakhir kapan pun.”
Wanita itu menelan ludahnya susah payah. Dia butuh mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi semua ini. Meskipun apa yang Davis tawarkan masih terasa seperti mimpi buruk, Tamara merasa posisinya saat ini seperti sedang menjual dirinya pada Davis. Dirinya seakan benar-benar terperangkap oleh situasi.
“Baik, aku setuju” ujarnya lemah.
“Kalau begitu, selamat! Kau diterima bekerja di perusahaan ini,” Davis meminta Tamara menandatangani surat kontrak dan mengulurkan tangannya. Tamara lantas menjabat tangan Davis dengan perasaan sedikit ragu akan keputusannya ini.
*
Tamara menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia merapikan rok birunya, memperbaiki lipatan yang sedikit kusut akibat perjalanan. Pintu mobil di sampingnya terbuka perlahan, dan wajah Davis yang tenang muncul di hadapannya.
Ketika ia melangkah keluar dari mobil, tumit sepatunya terdengar jelas saat menyentuh jalan setapak yang membawanya ke depan rumah keluarga Dwayne. Tamara merasakan pandangan Davis yang menyelidik ke arahnya, membuatnya semakin gugup.
Tamara mencoba tersenyum, meskipun canggung. "Aku hanya... sedikit takut. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana kalau mereka tidak suka padaku?"
Davis tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Tenang saja. Orang tuaku bukan orang yang menakutkan. Mereka tidak akan menggigitmu, jika mereka tidak menyukaimu," candanya sambil menyentuh tangan Tamara, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan.
Tamara tersenyum sedikit lebih lega mendengar lelucon Davis, meskipun perasaan cemas masih tersisa di hatinya.
Davis menggandeng tangan Tamara dengan penuh keyakinan, membimbingnya masuk ke dalam rumah keluarga yang megah itu. Begitu mereka melangkah ke ruang tamu yang luas, kedua orang tua Davis sudah berdiri di sana, menanti.
Matilda—ibunya Davis, seorang wanita berpenampilan anggun dengan rambut yang tertata rapi, tersenyum tipis saat melihat mereka. Di sampingnya, Dominic—ayah Davis, pria berkacamata dengan wajah tegas, mengamati mereka dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Dia Tamara, wanita yang ingin aku perkenalkan kepada kalian." Ibu dan ayah Davis saling bertukar pandang sejenak, lalu ekspresi mereka berubah. Mereka tampak kaget, seolah-olah sesuatu yang tidak terduga baru saja terjadi. Keduanya menatap Tamara, lalu Davis, dengan wajah yang menyiratkan kebingungan.
Davis mencoba menghilangkan kecanggungan dengan memperkenalkan orang tuanya pada Tamara. Begitu mereka berkenalan, Tamara diminta untuk duduk sebentar, sementara Davis langsung ditarik untuk bicara oleh kedua orang tuanya.
Setelah memastikan Tamara tidak bisa mendengar, Matilda langsung bertanya dengan nada yang tegas, “Apa yang sebenarnya terjadi, Dav? Siapa Tamara, dan kenapa kau tiba-tiba membawanya ke rumah?” ketegangan langsung memenuhi ruangan itu.
“Tamara adalah wanita yang akan menjadi istriku nanti.”
“Apa yang kau bicarakan. Jangan bicara omong kosong. Ini sama sekali tidak lucu. Bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba menjadi calon istrimu? Ingat, Dav, pernikahanmu tinggal satu minggu lagi.” Dominic tampak tidak percaya.
Davis menghela napas lantas menjelaskan situasinya. Davis menatap kedua orang tuanya dengan mata penuh keteguhan. “Aku dan An sudah mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa orang yang aku cintai bukanlah dia, melainkan Tamara. Selain itu pernikahan akan tetap berlangsung seperti yang sudah direncanakan hanya mempelai wanitanya saja yang berbeda.”
Dominic terlihat begitu kaget dan kecewa dengannya. Sementara Matilda tampak resah karena semua ini terjadi begitu mendadak. Tapi beruntung, Davis sudah mempersiapkan diri untuk segala situasi yang akan dihadapinya.
Kedua orang tua Davis saling memandang, mencoba mencerna penjelasan anak mereka. Meskipun awalnya mereka tampak terkejut, mereka bisa melihat keseriusan di mata Davis. “Aku harap kalian bisa memberi Tamara kesempatan.”
“Jika kau sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang, maka kami tidak bisa menentangmu. Asalkan kau bahagia dengan pilihanmu, itu sudah cukup untuk kami.” Matilda tersenyum sambil mengusap lembut tangannya.
***
Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima."Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya.""Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataa
Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang sel
“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Bellatrix menghela napas dalam-dalam. Udara malam yang begitu dingin terasa begitu menusuk hingga membuatnya tidak tahan berlama-lama di luar. Wanita paruh baya itu langsung melangkah masuk ke dalam gedung tempat dimana biasa anak-anak buahnya berkumpul. Tiba di sana, kedatangannya langsung disambut oleh Ollie yang sudah menunggunya sejak tadi.“Selamat malam, nyonya.”“Tidak perlu basa-basi. Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Langsung antarkan saja aku pada mereka!” ucap Bellatrix tanpa menoleh sama sekali. Wanita berpakaian serba hitam itu kini berjalan dengan tergesa-gesa dengan Ollie yang mencoba mengimbangi langkahnya.“Mereka sudah menunggu di ruang biasa, nyonya. Begitu tiba, aku langsung meminta mereka berkumpul di sana sesuai dengan permintaan anda.”“Bagus! Lalu bagaimana dengan tugas lain yang aku berikan padamu?”“Saya sudah berhasil mendapatkan informasi yang anda minta. Hanya saja…, ada beberapa hal, nyonya,” gumam Ollie dengan kepala tertunduk. Bellatrix yang mendeng
“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku, sayang?” Bellatrix menatap wanita di hadapannya dengan raut wajah bingung. Tidak biasanya wanita di hadapannya ini memasang ekspresi serius seperti ini.“Kau sudah tahu kalau dia kembali, kan?” Hailey melontarkan pertanyaan retoris. Bellatrix sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Akan tetapi, walau terlihat begitu jelas, dia masih tetap berusaha untuk tenang seolah tidak mengerti dengan maksud dari perkataannya.“Apa maksudmu?”“Kau tahu apa maksudku. Orang yang selama ini menjadi penghalang! Kau sudah tahu dia kembali, kan? Maka dari itu, kau meneleponku kemarin, ya kan?” Hailey menatap wajah Bellatrix intens. Dugaannya tidak akan mungkin salah. Bellatrix pasti sudah bertemu dengan Serena. Itulah kenapa dia meneleponnya kemarin.“I-Itu…, darimana kau tahu? Apakah jangan-jangan kau…”“Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Sekarang aku mengerti alasan kenapa kau menghubungiku kemarin. Itu pasti karena kau suda
Hugh terdiam memandang Serena yang kini duduk di hadapannya sambil melahap makanan yang baru saja di sajikan di hadapan mereka. “Bagaimana? Kau menyukainya?” tanya Hugh, sambil menunggu respon darinya.Serena mengunyah makanan di mulutnya sebelum mengutarakan pendapatnya. “Ini enak. Aku menyukainya.” Serena tersenyum simpul.“Sudah aku duga kau pasti akan menyukainya!”“Darimana kau tahu ada restoran seenak ini?”“Aku tidak sengaja menemukannya ketika aku dan Shawn pergi ke taman hiburan beberapa waktu lalu. Tempat ini sangat ramai, jadi aku pikir tidak ada salahnya untuk berkunjung ke sini. Selain itu, aku juga sempat melihat review di internet tentang restoran ini, dan ternyata memang bagus.”“Oh, begitu… tapi ini sungguh enak!” Serena kembali melahap makanannya. Sekarang ini, Serena dan Hugh sedang berada di restoran. Mereka sedang menikmati waktu makan siang bersama. Saat di rumah, Hugh melihat Serena sangat kelelahan dengan pekerjaannya, dan karena sudah saatnya jam makan siang,
“Kalau begitu, saya permisi.” Aiden tersenyum lantas berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Dia berniat untuk menemui putrinya sebelum meninggalkannya, dan membiarkan dia belajar bersama teman-teman barunya.Langkah Aiden mendadak terhenti saat dia melihat Rhys yang berdiri di koridor dengan wajah panik. Pria itu tampak kebingungan mencari sesuatu. Karena tidak melihat Loui bersamanya, Aiden bergegas menghampiri pria itu. “Rhys!”“Aiden, gawat!” Rhys mendekat dengan wajah cemas. “Loui hilang.”“Apa?” Aiden membelalakan mata begitu mendengar penuturannya barusan. “Tadi aku meninggalkan barangku di mobil, dan aku berniat untuk mengambilnya. Tapi Loui tidak mau dan bersikeras ingin menunggu di sini, jadi aku memintanya untuk duduk di sini sebentar sementara aku pergi. Begitu aku kembali, dia sudah tidak ada.”“Astaga, kau seharusnya tidak boleh lengah. Loui itu anak yang tidak bisa diam. Sekarang ayo cari dia sebelum dia melakukan sesuatu yang bisa membahayakannya!” Aiden dan Rhys lantas
“Jadi maksudmu adalah wanita jalang itu tidak sendirian?” Bellatrix mengalihkan perhatiannya pada Ollie. Lelaki itu sudah menjelaskan semuanya, dan begitu Bellatrix mengetahui cerita lengkap dari Ollie, dia segera meminta Ollie pulang.“Betul, nyonya. Dan sepertinya dia yang melindunginya selama ini.”Bellatrix termangu sambil mencerna ucapan Ollie barusan. Dia sungguh tidak menyangka kalau Serena akan memiliki seorang pelindung seperti yang diceritakan Ollie. Siapa pria yang dia maksud sebenarnya? Tidak mungkin itu Rhys, kan?“Aku ingin kau terus memantau Serena! Ikuti dia secara diam-diam dan terus pantau dia. Selain itu, coba juga untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai lelaki yang kau maksud. Cari tahu siapa namanya, bagaimana latar belakangnya, dan berikan aku seluruh detail informasi tentangnya. Pokoknya aku harus tahu semua yang tentang lelaki itu, agar aku bisa menilai apakah pria ini bisa menjadi ancaman atau tidak. Jika dia tidak menjadi ancaman, maka kita aka
Ollie melirik jam di ponselnya. Sudah hampir lewat dari jam pulang kantor, dan wanita yang menjadi targetnya sama sekali belum juga terlihat. Matanya yang terus mengawasi semakin sadar bahwa pegawai kantor yang ada semakin berkurang.Ada yang aneh, sepertinya aku harus memastikannya. Ollie melangkah turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam. Begitu tiba di dalam, dia dapat melihat beberapa pegawai yang baru tiba di lobi dan sedang berjalan mengarah ke pintu dimana dia datang.Tepat saat matanya mengedar ke sekeliling, Ollie menangkap pemandangan tidak biasa. Matanya melihat seorang pegawai wanita yang berjalan menuju arah yang berbeda dari pegawai yang lain. Begitu diamati lebih seksama, Ollie baru sadar bahwa wanita yang dilihatnya adalah Serena. Orang yang ditunggunya sejak tadi. Sial! Sepertinya dia sudah sadar bahwa aku mengikutinya sejak tadi. Kalau sampai nyonya Bellatrix tahu, maka ini akan menjadi masalah besar. Aku harus segera mengikutinya!Ollie mempercepat langkah kakin
“Aku senang kau datang dengan cepat.” Bellatrix tersenyum sambil menatap Ollie yang kini berdiri di hadapannya. “Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, nyonya?”Bellatrix mengeluarkan ponselnya. Wanita itu lantas menunjukkan foto Serena. “Kau perhatikan wajah wanita ini, dan ingat-ingat wajahnya.”“Bukankah ini adalah—““Ya, ini adalah wanita yang selama ini aku incar!” Bellatrix memotong kalimat Ollie. Membuatnya seketika diam sambil menatap Bellatrix yang tampak kesal. Dari ekspresinya, Ollie bisa melihat bahwa wanita itu benar-benar resah dengan kehadiran Serena. “Wanita itu saat ini ada di dalam, dan tugasmu adalah mengawasinya. Ikuti dia, dan jangan sampai lepas! Begitu kau berhasil menemukan dimana dia tinggal, kau harus segera melaporkannya padaku. Mengerti?”“Baik, nyonya. Saya mengerti.”“Bagus! Aku harus membereskan wanita itu secepatnya agar aku bisa hidup dengan tenang!” Bellatrix beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Ollie seorang diri. Wanita itu berniat untuk pergi bela
Bellatrix melangkah keluar dari dalam toilet dengan perasaan campur aduk. Dia kesal dan marah di saat yang bersamaan saat dugaannya ternyata benar. Wanita yang dia lihat ternyata memang Serena. Orang yang paling dia benci.Sebelum mencapai meja tempatnya dan Shopia menikmati makan siang, dia sempat berhenti sejenak untuk menghubungi seseorang. Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan langsung melakukan panggilan telepon. “Ollie, aku memiliki tugas untukmu. Datanglah ke restoran tempatku berada saat ini. Akan langsung aku kirimkan lokasinya!” ujar Bellatrix yang segera memutus sambungan teleponnya begitu selesai bicara dengan anak buahnya. Lalu dengan segera, wanita itu mengirimkan lokasi restorannya berada saat ini.Bellatrix kembali ke mejanya dan melihat Shopia yang baru saja selesai melakukan panggilan telepon dengan seseorang. “Oh, astaga. Maaf karena aku membuatmu menunggu.” Bellatrix duduk di kursinya.“Tidak masalah. Omong-omong apakah setelah ini kau masih memiliki waktu?”“Aku t
“Bibi Hailey!” Loui tersenyum sambil berlari menghampirinya dengan kedua tangan yang terentang. Wanita yang sejak tadi berdiri sambil menunggunya itu lantas berjongkok sambil tersenyum. “Hai, sayang.”Loui memeluk Hailey erat. Dia sungguh senang akhirnya bisa bertemu lagi dengan bibinya setelah sangat lama mereka tidak bertemu. “Aku sungguh merindukan, bibi.”“Benarkah? Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu selama tinggal di Cybertrone? Kenapa kau tidak pernah mengabariku?”“Dia sibuk sekolah!” Aiden menjawab. Pria yang menjadi kakaknya itu sibuk dengan tablet dan koper besar di tangannya.“Hai, kak! Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Tapi aku sungguh sangat sibuk. Sejak sehari sebelum keberangkatanku kemari, papa terus menghubungiku dan mengatakan banyak hal tentang pemilihan pemimpin baru. Aku sampai merasa muak mendengarnya. Bisakah kau membantuku agar papa berhenti menggangguku? Untuk sekarang aku ingin fokus pada Loui du