Matanya melebar, tatapannya tidak bisa lepas dari wajah pria di hadapannya. Dia mencoba mencari tanda bahwa Davis hanya bercanda, namun ekspresi Davis tetap datar, tidak ada sedikitpun senyum di sana. Wajahnya benar-benar serius.
“Kenapa... kenapa kau begitu ingin aku menikah denganmu?”
“Ini bukan tanpa alasan, bagiku kau adalah wanita yang paling cocok untuk membantuku dalam situasi ini. Selain itu, kita sudah pernah tidur bersama sebelumnya. Bukankah ini masuk akal?”
Tamara menelan ludahnya dengan susah payah. “Apa maksudmu dengan 'membantumu'?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Wajahnya mulai memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena marah. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Davis merapatkan tubuhnya pada Tamara, pandangannya masih terfokus pada wanita itu. Davis menghela napas panjang, terlihat sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan itu.
“Dengar, seharusnya seminggu lagi aku melangsungkan pernikahan. Tapi calon istriku tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku tidak ingin nama baik keluargaku tercoreng hanya karena pernikahanku batal, dan aku juga membutuhkan seorang pewaris. Maka dari itu, kau harus membantuku.”
Tamara terdiam, pikirannya berputar dengan cepat. Tawaran ini terdengar sangat tidak masuk akal, namun Davis mengatakannya dengan begitu serius, seolah ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki.
“Aku tidak bisa. Ini... ini gila. Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Tamara, meskipun ada keraguan di surabaya.
Melihat wajah Tamara yang terlihat sedang berpikir, Davis bergerak menjauh. Melepaskan Tamara dari dekapannya.
“Jika kau menolak, maka aku akan pastikan tidak ada perusahaan lain yang mau menerimamu sebagai pegawai mereka. Aku punya pengaruh yang cukup besar untuk melakukan itu, Tamara.”
Tamara merasa darahnya berhenti mengalir sejenak. Ancaman itu terasa nyata, dan dia tahu Davis tidak main-main. Dia membutuhkan pekerjaan ini, lebih dari yang bisa diungkapkan. Masalah keuangan yang terus menghimpitnya membuatnya berada di ambang keputusasaan. Dia tidak bisa kehilangan kesempatan ini, tapi disisi lain, syarat yang diajukan Davis benar-benar tidak masuk akal.
Setelah beberapa saat terdiam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau, Tamara akhirnya mengangkat wajahnya.
“Kalau aku setuju... apa yang akan aku dapatkan? Aku tidak ingin ini hanya menguntungkanmu saja,” kata Tamara, suaranya terdengar lebih tegas daripada sebelumnya. Dia tahu dia tidak punya banyak pilihan, tapi jika dia harus masuk ke dalam situasi yang gila ini, dia ingin memastikan bahwa dia bisa membuat kesepakatan ini sedikit lebih menguntungkan untuknya.
Davis tersenyum tipis, seolah menghargai keberanian Tamara.
“Jangan khawatir. Aku bisa memberikan apapun yang kau mau. Dengan begitu, pernikahan kita akan saling menguntungkan satu sama lain.” Tamara menatap Davis, mencoba mencari kebohongan di balik tawarannya. Davis kemudian menyerahkan selembar surat kontrak untuk Tamara.
“Proyek membuat bayi pewaris untuk CEO?” seru Tamara. Matanya membuat begitu melihat tulisan itu. Sedangkan Davis hanya menaikkan salah satu alisnya merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.
“Setelah kau melahirkan, pernikahan ini bisa berakhir kapan pun.”
Wanita itu menelan ludahnya susah payah. Dia butuh mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi semua ini. Meskipun apa yang Davis tawarkan masih terasa seperti mimpi buruk, Tamara merasa posisinya saat ini seperti sedang menjual dirinya pada Davis. Dirinya seakan benar-benar terperangkap oleh situasi.
“Baik, aku setuju” ujarnya lemah.
“Kalau begitu, selamat! Kau diterima bekerja di perusahaan ini,” Davis meminta Tamara menandatangani surat kontrak dan mengulurkan tangannya. Tamara lantas menjabat tangan Davis dengan perasaan sedikit ragu akan keputusannya ini.
*
Tamara menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia merapikan rok birunya, memperbaiki lipatan yang sedikit kusut akibat perjalanan. Pintu mobil di sampingnya terbuka perlahan, dan wajah Davis yang tenang muncul di hadapannya.
Ketika ia melangkah keluar dari mobil, tumit sepatunya terdengar jelas saat menyentuh jalan setapak yang membawanya ke depan rumah keluarga Dwayne. Tamara merasakan pandangan Davis yang menyelidik ke arahnya, membuatnya semakin gugup.
Tamara mencoba tersenyum, meskipun canggung. "Aku hanya... sedikit takut. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang tuamu. Bagaimana kalau mereka tidak suka padaku?"
Davis tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana yang tegang. "Tenang saja. Orang tuaku bukan orang yang menakutkan. Mereka tidak akan menggigitmu, jika mereka tidak menyukaimu," candanya sambil menyentuh tangan Tamara, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan.
Tamara tersenyum sedikit lebih lega mendengar lelucon Davis, meskipun perasaan cemas masih tersisa di hatinya.
Davis menggandeng tangan Tamara dengan penuh keyakinan, membimbingnya masuk ke dalam rumah keluarga yang megah itu. Begitu mereka melangkah ke ruang tamu yang luas, kedua orang tua Davis sudah berdiri di sana, menanti.
Matilda—ibunya Davis, seorang wanita berpenampilan anggun dengan rambut yang tertata rapi, tersenyum tipis saat melihat mereka. Di sampingnya, Dominic—ayah Davis, pria berkacamata dengan wajah tegas, mengamati mereka dengan pandangan yang sulit ditebak.
"Dia Tamara, wanita yang ingin aku perkenalkan kepada kalian." Ibu dan ayah Davis saling bertukar pandang sejenak, lalu ekspresi mereka berubah. Mereka tampak kaget, seolah-olah sesuatu yang tidak terduga baru saja terjadi. Keduanya menatap Tamara, lalu Davis, dengan wajah yang menyiratkan kebingungan.
Davis mencoba menghilangkan kecanggungan dengan memperkenalkan orang tuanya pada Tamara. Begitu mereka berkenalan, Tamara diminta untuk duduk sebentar, sementara Davis langsung ditarik untuk bicara oleh kedua orang tuanya.
Setelah memastikan Tamara tidak bisa mendengar, Matilda langsung bertanya dengan nada yang tegas, “Apa yang sebenarnya terjadi, Dav? Siapa Tamara, dan kenapa kau tiba-tiba membawanya ke rumah?” ketegangan langsung memenuhi ruangan itu.
“Tamara adalah wanita yang akan menjadi istriku nanti.”
“Apa yang kau bicarakan. Jangan bicara omong kosong. Ini sama sekali tidak lucu. Bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba menjadi calon istrimu? Ingat, Dav, pernikahanmu tinggal satu minggu lagi.” Dominic tampak tidak percaya.
Davis menghela napas lantas menjelaskan situasinya. Davis menatap kedua orang tuanya dengan mata penuh keteguhan. “Aku dan An sudah mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa orang yang aku cintai bukanlah dia, melainkan Tamara. Selain itu pernikahan akan tetap berlangsung seperti yang sudah direncanakan hanya mempelai wanitanya saja yang berbeda.”
Dominic terlihat begitu kaget dan kecewa dengannya. Sementara Matilda tampak resah karena semua ini terjadi begitu mendadak. Tapi beruntung, Davis sudah mempersiapkan diri untuk segala situasi yang akan dihadapinya.
Kedua orang tua Davis saling memandang, mencoba mencerna penjelasan anak mereka. Meskipun awalnya mereka tampak terkejut, mereka bisa melihat keseriusan di mata Davis. “Aku harap kalian bisa memberi Tamara kesempatan.”
“Jika kau sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang, maka kami tidak bisa menentangmu. Asalkan kau bahagia dengan pilihanmu, itu sudah cukup untuk kami.” Matilda tersenyum sambil mengusap lembut tangannya.
***
Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima."Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya.""Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataa
Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang sel
“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera