Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.
Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung.
"Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.
“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."
Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."
*
Tamara tampak merasa bersalah karena harus berbohong pada kedua orang tuanya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Dia benar-benar tidak memiliki pilihan. Jika orang tuanya tahu mengenai masalah yang dialaminya, maka mereka akan merasa sangat cemas, dan Tamara tidak ingin membebani mereka dengan semua masalahnya.
Meski merasa canggung dan bingung, tapi Davis dan Tamara berhasil terlihat begitu natural hingga tidak mengundang kecurigaan Dalena dan Bennet.
"Maaf, aku harus menerima telepon," ujar Davis sambil bangkit dari kursinya saat ponselnya mendadak bergetar.
Tamara dan orang tuanya mengangguk, memberikan Davis ruang untuk menjawab telepon. Setelah berbicara di telepon selama beberapa menit, Davis lantas kembali menghampiri mereka.
“Ada apa?” tanya Tamara sambil menatapnya.
“Aku harus segera pergi ke kantor. Ada urusan mendesak yang perlu diselesaikan.”
“Begitu rupanya… Kalau begitu, pergilah,” ujar Tamara.
Davis tersenyum kecil dan menatap Tamara sebelum berpamitan. "Begitu urusanku selesai, aku akan kembali untuk menjemputmu," katanya lembut. Ia mendekat, lalu mengecup kening Tamara dengan singkat, tindakan yang membuat Dalena tersenyum senang melihat kedekatan mereka.
Bennet dan Dalena tampak puas melihat interaksi antara Tamara dan menantunya. Mereka jelas tidak tahu betapa rumitnya hubungan ini di balik senyum dan sikap manis yang ditunjukkan Davis.
"Kau benar-benar beruntung mendapatkan suami seperti Davis. Dia tampak begitu perhatian padamu," ujar Dalena sambil tersenyum, menatap kepergian menantunya. Tamara yang mendengar ucapan ibunya hanya bisa terdiam tanpa membalas kalimatnya.
*
Tamara berdiri di depan pintu ruang rawat inap dengan pandangan kosong. Di dalam ruangan itu, adik laki-lakinya—Cale, terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Alat infus dan oksigen masih terpasang, memberikan dukungan pada tubuh. Di setiap tarikan napasnya yang lemah, ada beban yang terpatri di hati Tamara. Dia tidak bisa memalingkan pandangan dari wajah pucat adiknya yang tampak begitu tenang meskipun dalam kondisi koma.
"Kondisinya masih sangat lemah. Dokter bilang, jika dia tidak segera dioperasi... kita bisa saja kehilangan dia." Wajah Dalena dipenuhi guratan kesedihan. Air mata jatuh dari mata Dalena, isak tangisnya pelan tapi menyakitkan.
Tamara menoleh dan menatap ibunya dengan perasaan iba yang mendalam. Rasa takut akan kehilangan Cale juga menghantui pikirannya. Cale bukan hanya sekedar adik, dia adalah satu-satunya saudara yang Tamara miliki.
"Bu Dalena. Saya ingin bicara dengan Anda mengenai hasil pemeriksaan terbaru Cale. Bisakah anda ikut saya ke ruangan saya sebentar?” Perhatian Tamara dan ibunya seketika beralih saat suara dokter menyita perhatian mereka. Dokter itu mendekati mereka dengan membawa sebuah map berisi catatan medis Cale.
"Ibu, pergilah. Aku akan tetap di sini menemani Cale,” ucap Tamara sambil mengelus tangan ibunya dengan lembut.
Dalena mengangguk, menghapus sisa air mata dari wajahnya, lalu beranjak mengikutinya. Tamara menghela napas panjang. Begitu Dalena pergi, dia segera beranjak dari tempatnya untuk pergi menuju bagian administrasi. Dia berniat untuk segera mengurus semua biaya pengobatan Cale, termasuk biaya operasinya.
Sesampainya di sana, Tamara langsung mengeluarkan kartu kredit yang diberikan Davis pagi tadi. Tamara berhenti sejenak, menatap kartu di tangannya dengan tatapan bimbang. Semoga keputusan yang aku ambil ini adalah yang terbaik untuk semua orang…
*
"Apakah tidak apa-apa Anda bekerja hari ini, Tuan? Anda baru saja melangsungkan pernikahan kemarin. Seharusnya Anda sekarang beristirahat di rumah dan menikmati waktu bersama istri anda." Fabio bertanya tanpa melepaskan pandangan dari tabletnya.
Davis melangkah perlahan menyusuri lorong, ia baru saja melakukan pertemuan singkat dengan kliennya dengan ditemani oleh Fabio.
“Aku hanya datang untuk menyelesaikan beberapa urusan. Besok, aku akan berangkat ke Aqualuna Isles."
"Ah, jadi itu alasan mengapa Anda memintaku mempersiapkan jet pribadi anda?" Fabio menghentikan langkahnya sejenak. Dia baru sadar bahwa ternyata Davis memintanya mempersiapkan jet pribadinya adalah karena besok Davis akan berangkat ke Aqualuna Isles.
"Benar. Aku akan berada di sana selama dua minggu untuk bulan madu. Selama aku pergi, pastikan semua urusan tetap berjalan lancar. Aku percayakan semuanya padamu."
Mereka berdua melanjutkan langkah menuju lift. Saat tombol lift ditekan dan pintu mulai terbuka, Davis kembali berbicara. Dia menanyakan tentang tugas yang diberikannya kemarin. Kemarin, setelah pernikahannya selesai, Davis sempat meminta Fabio untuk membantu membereskan acara pernikahannya, dan Fabio membalas dengan penuh percaya diri bahwa dia sudah melakukan tugasnya dengan begitu baik. Davis yang mendengarnya hanya bisa menghela napas lega sambil berterima kasih atas kerja kerasnya.
Ketika lift mulai bergerak naik, suasana hening sesaat. Hanya ada suara lembut dari mekanisme lift yang bergerak yang dapat mereka dengar, sebelum tiba-tiba Fabio melontarkan pertanyaan.
"Hm…, kalau boleh bertanya, Tuan... sekarang kan Anda sudah menikah dengan Nyonya Tamara, apakah itu berarti aku harus menghentikan pencarian Nona An?"
Pertanyaan itu menghantam Davis seperti angin dingin yang menerpa dadanya. Wajahnya yang sebelumnya tenang mendadak berubah muram. Mata birunya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Keheningan di dalam lift terasa semakin berat, seakan udara di sekitarnya mengental.
Fabio menunduk sedikit, melihat reaksi dari bosnya, membuat Fabio menyesali pertanyaannya. "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa-apa, Fabio." Davis memotongnya dengan suara rendah, hampir berbisik.
***
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Davis membaca pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Ketika dia mengecek jam di ponselnya, dia baru menyadari betapa terlambatnya dia bangun. Sudah lewat tengah hari, dan itu berarti dia telah melewatkan sarapan, dan bahkan makan siang.Sial, pikirnya. Akibat dia baru bisa tidur jam tiga pagi, Davis jadi tertidur terlalu lama.Dengan cepat, Davis menuju kamar mandi, mencuci wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia kemudian segera bersiap untuk menyusul Tamara. Namun sebelum berangkat, Davis memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dia tidak ingin pergi dengan perut kosong.Di ruang makan, beberapa pelayan sudah mempersiapkan segalanya. Seorang pelayan dengan sigap menghampirinya, menawarkan berbagai pilihan menu yang telah disiapkan. Sambil menunggu makanannya disajikan, Davis sempat bertanya kepada salah satu pelayan tentang keberadaan Tamara."Apakah kau tahu ke mana Tamara pergi?" tanya Davis dengan nada yang tenang."Beberapa saat yang lalu, nona Ta
"Tolong! Tolong!" Tamara berteriak sekuat tenaga, berusaha agar suaranya terdengar di atas deru ombak. Dia mengayunkan tangan dan kakinya, mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkannya, tapi ombak yang semakin besar terus menariknya ke tengah.Dengan setiap detik yang berlalu, Tamara semakin merasa putus asa. Tenaganya mulai habis, dan kesadarannya mulai menipis. Dia hanya bisa berharap, di tengah kepanikannya, ada seseorang yang mendengar teriakannya dan datang menolongnya sebelum semuanya terlambat.*Pria itu beranjak bangkit dari kursinya dengan mantap, lalu menjabat tangan kliennya yang tersenyum puas. "Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Carson dengan nada tenang namun tegas.Rapat penting itu telah berakhir dengan sukses, dan setelah ini, Carson berencana untuk kembali ke penginapan dan memeriksa ulang semua data yang telah disusunnya.Sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja, Carson memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tas kulitnya. Namun, di tengah
Namun, sebelum Tamara bisa lebih jauh menyalahkan dirinya sendiri, suara Carson kembali menyadarkannya. "Kau yakin kau baik-baik saja? Mungkin sebaiknya aku membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat pucat," ujar Carson, masih dengan nada khawatir.Tamara terdiam lagi, pikirannya langsung tertuju pada Davis. Jika dia sampai dibawa ke rumah sakit, Davis pasti akan cemas luar biasa. Dia juga mungkin akan marah karena Tamara pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Tamara menimbang-nimbang sejenak, lalu memutuskan untuk menolak tawaran Carson."Tidak perlu, aku baik-baik saja," jawab Tamara dengan suara yang masih agak serak. "Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu."Carson menggelengkan kepala, "Tidak perlu memikirkannya. Yang terpenting kau selamat sekarang. Aku senang bisa membantumu."Mata Tamara kembali menatap Carson dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dia tahu bahwa tanpa kehadiran Carson, kemungkinan besar dia tidak akan berada di sini
“Kau tenggelam? Bagaimana bisa?” Davis menatap Tamara dengan wajah cemas.“Akan aku ceritakan semuanya nanti. Sekarang lebih baik kita masuk dulu…” Tamara mencoba untuk membawa Davis masuk agar dia bisa menjelaskan semuanya.“Terima kasih karena kau sudah menolong bahkan sampai mengantarkanku pulang. Aku sungguh berhutang budi padamu. Lain kali, jika kita bertemu lagi, aku akan membalas kebaikanmu, dan karena aku sudah sampai dengan selamat, maka kau boleh kembali,” ujar Tamara pada Carson.“Baiklah, kalau begitu sampai jumpa!” Carson tersenyum.Tamara kemudian beranjak masuk ke penginapan bersama Davis yang masih tampak sedikit kesal. Carson terdiam sesaat sambil menatap Tamara yang terus berjalan hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.Tak lama setelahnya, Carson lantas pergi dari sana. Dia harus segera kembali ke cafe untuk mengambil berkas-berkasnya yang tertinggal di sana, lalu kembali ke penginapannya sendiri.*Davis menutup pintu kamar dengan rapat. Sekarang, hanya ada m