Share

8. Keputusan Terbaik

Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.

Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung.

"Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.

“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."

Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."

*

Tamara tampak merasa bersalah karena harus berbohong pada kedua orang tuanya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Dia benar-benar tidak memiliki pilihan. Jika orang tuanya tahu mengenai masalah yang dialaminya, maka mereka akan merasa sangat cemas, dan Tamara tidak ingin membebani mereka dengan semua masalahnya.

Meski merasa canggung dan bingung, tapi Davis dan Tamara berhasil terlihat begitu natural hingga tidak mengundang kecurigaan Dalena dan Bennet.

"Maaf, aku harus menerima telepon," ujar Davis sambil bangkit dari kursinya saat ponselnya mendadak bergetar.

Tamara dan orang tuanya mengangguk, memberikan Davis ruang untuk menjawab telepon. Setelah berbicara di telepon selama beberapa menit, Davis lantas kembali menghampiri mereka.

“Ada apa?” tanya Tamara sambil menatapnya.

“Aku harus segera pergi ke kantor. Ada urusan mendesak yang perlu diselesaikan.”

“Begitu rupanya… Kalau begitu, pergilah,” ujar Tamara.

Davis tersenyum kecil dan menatap Tamara sebelum berpamitan. "Begitu urusanku selesai, aku akan kembali untuk menjemputmu," katanya lembut. Ia mendekat, lalu mengecup kening Tamara dengan singkat, tindakan yang membuat Dalena tersenyum senang melihat kedekatan mereka.

Bennet dan Dalena tampak puas melihat interaksi antara Tamara dan menantunya. Mereka jelas tidak tahu betapa rumitnya hubungan ini di balik senyum dan sikap manis yang ditunjukkan Davis.

"Kau benar-benar beruntung mendapatkan suami seperti Davis. Dia tampak begitu perhatian padamu," ujar Dalena sambil tersenyum, menatap kepergian menantunya. Tamara yang mendengar ucapan ibunya hanya bisa terdiam tanpa membalas kalimatnya.

*

Tamara berdiri di depan pintu ruang rawat inap dengan pandangan kosong. Di dalam ruangan itu, adik laki-lakinya—Cale, terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Alat infus dan oksigen masih terpasang, memberikan dukungan pada tubuh. Di setiap tarikan napasnya yang lemah, ada beban yang terpatri di hati Tamara. Dia tidak bisa memalingkan pandangan dari wajah pucat adiknya yang tampak begitu tenang meskipun dalam kondisi koma.

"Kondisinya masih sangat lemah. Dokter bilang, jika dia tidak segera dioperasi... kita bisa saja kehilangan dia." Wajah Dalena dipenuhi guratan kesedihan. Air mata jatuh dari mata Dalena, isak tangisnya pelan tapi menyakitkan.

Tamara menoleh dan menatap ibunya dengan perasaan iba yang mendalam. Rasa takut akan kehilangan Cale juga menghantui pikirannya. Cale bukan hanya sekedar adik, dia adalah satu-satunya saudara yang Tamara miliki.

"Bu Dalena. Saya ingin bicara dengan Anda mengenai hasil pemeriksaan terbaru Cale. Bisakah anda ikut saya ke ruangan saya sebentar?” Perhatian Tamara dan ibunya seketika beralih saat suara dokter menyita perhatian mereka. Dokter itu mendekati mereka dengan membawa sebuah map berisi catatan medis Cale.

"Ibu, pergilah. Aku akan tetap di sini menemani Cale,” ucap Tamara sambil mengelus tangan ibunya dengan lembut.

Dalena mengangguk, menghapus sisa air mata dari wajahnya, lalu beranjak mengikutinya. Tamara menghela napas panjang. Begitu Dalena pergi, dia segera beranjak dari tempatnya untuk pergi menuju bagian administrasi. Dia berniat untuk segera mengurus semua biaya pengobatan Cale, termasuk biaya operasinya.

Sesampainya di sana, Tamara langsung mengeluarkan kartu kredit yang diberikan Davis pagi tadi. Tamara berhenti sejenak, menatap kartu di tangannya dengan tatapan bimbang. Semoga keputusan yang aku ambil ini adalah yang terbaik untuk semua orang

*

"Apakah tidak apa-apa Anda bekerja hari ini, Tuan? Anda baru saja melangsungkan pernikahan kemarin. Seharusnya Anda sekarang beristirahat di rumah dan menikmati waktu bersama istri anda." Fabio bertanya tanpa melepaskan pandangan dari tabletnya.

Davis melangkah perlahan menyusuri lorong, ia baru saja melakukan pertemuan singkat dengan kliennya dengan ditemani oleh Fabio.

“Aku hanya datang untuk menyelesaikan beberapa urusan. Besok, aku akan berangkat ke Aqualuna Isles."

"Ah, jadi itu alasan mengapa Anda memintaku mempersiapkan jet pribadi anda?" Fabio menghentikan langkahnya sejenak. Dia baru sadar bahwa ternyata Davis memintanya mempersiapkan jet pribadinya adalah karena besok Davis akan berangkat ke  Aqualuna Isles.

"Benar. Aku akan berada di sana selama dua minggu untuk bulan madu. Selama aku pergi, pastikan semua urusan tetap berjalan lancar. Aku percayakan semuanya padamu."

Mereka berdua melanjutkan langkah menuju lift. Saat tombol lift ditekan dan pintu mulai terbuka, Davis kembali berbicara. Dia menanyakan tentang tugas yang diberikannya kemarin. Kemarin, setelah pernikahannya selesai, Davis sempat meminta Fabio untuk membantu membereskan acara pernikahannya, dan Fabio membalas dengan penuh percaya diri bahwa dia sudah melakukan tugasnya dengan begitu baik. Davis yang mendengarnya hanya bisa menghela napas lega sambil berterima kasih atas kerja kerasnya.

Ketika lift mulai bergerak naik, suasana hening sesaat. Hanya ada suara lembut dari mekanisme lift yang bergerak yang dapat mereka dengar, sebelum tiba-tiba Fabio melontarkan pertanyaan.

"Hm…, kalau boleh bertanya, Tuan... sekarang kan Anda sudah menikah dengan Nyonya Tamara, apakah itu berarti aku harus menghentikan pencarian Nona An?"

Pertanyaan itu menghantam Davis seperti angin dingin yang menerpa dadanya. Wajahnya yang sebelumnya tenang mendadak berubah muram. Mata birunya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Keheningan di dalam lift terasa semakin berat, seakan udara di sekitarnya mengental.

Fabio menunduk sedikit, melihat reaksi dari bosnya, membuat Fabio menyesali pertanyaannya. "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud..."

"Tidak apa-apa, Fabio." Davis memotongnya dengan suara rendah, hampir berbisik.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status