Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."
Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak.
"Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu."
"Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.
“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.
Tidak biasanya dia melamun seperti itu. Kira-kira apa yang sedang dia pikirkan? Tamara membatin. Dia merasa penasaran kenapa Davis bersikap aneh malam ini. Tapi dia segera mengusir pikiran itu. Dia tidak ingin terlalu memusingkannya, setidaknya tidak untuk sekarang. Fokusnya saat ini adalah memastikan semuanya siap untuk perjalanan mereka ke Aqualuna Isles.
*
Begitu kakinya menapaki karpet tebal yang membentang di sepanjang kabin, matanya langsung terpaku pada interior mewah di sekelilingnya.
“Wow…” desahnya pelan, masih terperangah. Matanya mengelilingi setiap sudut kabin. Tidak pernah dalam hidupnya dia membayangkan akan berada di tempat seperti ini, apalagi di dalam jet pribadi milik suaminya.
“Duduklah di sini,” ujar Davis yang kini mengambil duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Tamara menurut dan duduk di kursi yang ditunjukkan oleh Davis.
“Seberapa kaya sebenarnya dirimu sampai bisa memiliki jet pribadi seperti ini?” tanya Tamara sambil menatap lelaki yang menjadi suaminya itu dengan wajah penasaran.
Davis terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. “Kau tidak akan bisa membayangkan seberapa kaya keluargaku, dan sebaiknya kau tidak tahu. Karena aku tidak ingin terdengar sombong atau pamer.”
Tak lama setelah pembicaraan singkat itu, suara mesin jet mulai mengaum pelan, menandakan bahwa mereka akan segera lepas landas. Tamara merasakan sedikit getaran ketika jet mulai bergerak, meninggalkan landasan pacu dan melesat ke langit biru. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dari rasa gugup yang menyelinap saat jet mulai menanjak.
Dalam beberapa menit, jet sudah berada di ketinggian jelajah, dan Davis kemudian menoleh ke arah Tamara yang masih duduk diam di kursinya. “Apakah kau sudah pernah ke Aqualuna Isles sebelumnya?” tanya Tamara, mencoba memulai percakapan agar kebersamaan mereka tidak terlalu sepi.
“Aku sudah sering ke sana.”
“Begitu rupanya…, aku sendiri belum pernah ke sana. Ini pertama kalinya, dan sebetulnya aku sudah ingin sekali ke sana sejak lama. Tapi, aku tidak pernah memiliki kesempatan. Orang-orang bilang Aqualuna Isles adalah tempat yang sangat indah, dan itu selalu membuatku penasaran.” Tamara tersenyum.
“Kau akan menyukai tempat itu. Karena tempatnya sangat nyaman dan indah,” kata Davis.
Tamara tersenyum, membayangkan keindahan yang akan dia saksikan di sana. “Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya.”
Perjalanan mereka di dalam jet itu diwarnai dengan obrolan ringan. Hidangan lezat yang disajikan selama penerbangan juga menambah kenyamanan mereka, membuat suasana semakin hangat dan intim.
Namun, seiring waktu berlalu, rasa lelah mulai merayap di tubuh Tamara. Matanya mulai terasa berat, meskipun dia berusaha keras untuk tetap terjaga. Tapi akhirnya, tanpa sadar, kepala Tamara mulai terkulai ke samping, dan dia tertidur di kursinya.
Davis yang melihat Tamara tertidur lantas menarik selimut tipis yang terlipat di kursi sebelahnya dan dengan hati-hati menyelimuti Tamara agar dia tetap hangat selama tidur.
*
Jet pribadi yang membawa Davis dan Tamara akhirnya mendarat mulus di landasan Aqualuna Isles. Sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi dari laut tropis menyambut kedatangan mereka. Namun, di dalam jet, Tamara masih tertidur lelap.
Davis menoleh ke arah Tamara yang terbaring di kursinya. Melihat Tamara yang begitu tenang membuat Davis tak ingin membangunkannya dari tidur yang tampak begitu nyaman. Perlahan, Davis melepaskan sabuk pengaman Tamara, kemudian dengan hati-hati mengangkat tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya.
Begitu keluar dari jet, Davis disambut oleh sekelompok staf yang sudah ditugaskan untuk melayani mereka selama di Aqualuna Isles. Mereka berdiri dengan sikap hormat, siap melayani setiap kebutuhan pasangan itu. Salah satu dari mereka segera membuka pintu mobil yang telah disiapkan, memberi jalan bagi Davis yang masih menggendong Tamara.
Mereka mengantar Davis dan Tamara menuju penginapan mewah yang telah dipersiapkan khusus untuk mereka. Setibanya di penginapan, Davis segera dibantu masuk, dan staf membuka pintu kamar yang megah dengan pemandangan laut langsung.
Tanpa banyak bicara, Davis melangkah masuk ke kamar yang luas itu, masih menggendong Tamara yang tertidur pulas. Ranjang besar dengan sprei putih bersih menanti mereka di tengah ruangan. Dengan hati-hati, Davis membaringkan tubuh Tamara di atas ranjang, memastikan bahwa kepalanya bersandar nyaman pada bantal empuk.
Dia berdiri disana sejenak, menatap wajah istrinya yang masih terlelap. Tamara terlihat begitu damai, seolah-olah dunia di sekelilingnya tidak ada. Mata Davis mengikuti garis wajahnya, dari dahi, alis, hingga hidung mancung yang membelah wajahnya dengan sempurna. Baru kali ini Davis benar-benar memperhatikan betapa cantiknya Tamara. Rambutnya yang sedikit berantakan justru menambah pesona alami wanita itu.
Saat pandangan Davis turun ke arah bibir Tamara, dia tanpa sadar tertarik oleh keindahan bibir mungil itu. Bibir yang tampak begitu lembut dan menggoda, seolah memanggilnya untuk mendekat. Tanpa disadari, Davis perlahan menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Tamara yang masih tertidur.
Bibir mereka bersentuhan lembut, dan seketika ada perasaan hangat yang menjalar di dada Davis. Dia merasakan sentuhan lembut itu hanya sesaat, sebelum tiba-tiba kesadarannya kembali. Davis tersentak mundur, menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Matanya membelalak, dan dengan cepat dia melepaskan diri dari Tamara, melangkah mundur dengan wajah penuh kebingungan.
“Apa yang aku lakukan? Kenapa aku melakukan itu?”
***
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Davis membaca pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Ketika dia mengecek jam di ponselnya, dia baru menyadari betapa terlambatnya dia bangun. Sudah lewat tengah hari, dan itu berarti dia telah melewatkan sarapan, dan bahkan makan siang.Sial, pikirnya. Akibat dia baru bisa tidur jam tiga pagi, Davis jadi tertidur terlalu lama.Dengan cepat, Davis menuju kamar mandi, mencuci wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia kemudian segera bersiap untuk menyusul Tamara. Namun sebelum berangkat, Davis memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dia tidak ingin pergi dengan perut kosong.Di ruang makan, beberapa pelayan sudah mempersiapkan segalanya. Seorang pelayan dengan sigap menghampirinya, menawarkan berbagai pilihan menu yang telah disiapkan. Sambil menunggu makanannya disajikan, Davis sempat bertanya kepada salah satu pelayan tentang keberadaan Tamara."Apakah kau tahu ke mana Tamara pergi?" tanya Davis dengan nada yang tenang."Beberapa saat yang lalu, nona Ta
"Tolong! Tolong!" Tamara berteriak sekuat tenaga, berusaha agar suaranya terdengar di atas deru ombak. Dia mengayunkan tangan dan kakinya, mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkannya, tapi ombak yang semakin besar terus menariknya ke tengah.Dengan setiap detik yang berlalu, Tamara semakin merasa putus asa. Tenaganya mulai habis, dan kesadarannya mulai menipis. Dia hanya bisa berharap, di tengah kepanikannya, ada seseorang yang mendengar teriakannya dan datang menolongnya sebelum semuanya terlambat.*Pria itu beranjak bangkit dari kursinya dengan mantap, lalu menjabat tangan kliennya yang tersenyum puas. "Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Carson dengan nada tenang namun tegas.Rapat penting itu telah berakhir dengan sukses, dan setelah ini, Carson berencana untuk kembali ke penginapan dan memeriksa ulang semua data yang telah disusunnya.Sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja, Carson memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tas kulitnya. Namun, di tengah
Namun, sebelum Tamara bisa lebih jauh menyalahkan dirinya sendiri, suara Carson kembali menyadarkannya. "Kau yakin kau baik-baik saja? Mungkin sebaiknya aku membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat pucat," ujar Carson, masih dengan nada khawatir.Tamara terdiam lagi, pikirannya langsung tertuju pada Davis. Jika dia sampai dibawa ke rumah sakit, Davis pasti akan cemas luar biasa. Dia juga mungkin akan marah karena Tamara pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Tamara menimbang-nimbang sejenak, lalu memutuskan untuk menolak tawaran Carson."Tidak perlu, aku baik-baik saja," jawab Tamara dengan suara yang masih agak serak. "Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu."Carson menggelengkan kepala, "Tidak perlu memikirkannya. Yang terpenting kau selamat sekarang. Aku senang bisa membantumu."Mata Tamara kembali menatap Carson dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dia tahu bahwa tanpa kehadiran Carson, kemungkinan besar dia tidak akan berada di sini
“Kau tenggelam? Bagaimana bisa?” Davis menatap Tamara dengan wajah cemas.“Akan aku ceritakan semuanya nanti. Sekarang lebih baik kita masuk dulu…” Tamara mencoba untuk membawa Davis masuk agar dia bisa menjelaskan semuanya.“Terima kasih karena kau sudah menolong bahkan sampai mengantarkanku pulang. Aku sungguh berhutang budi padamu. Lain kali, jika kita bertemu lagi, aku akan membalas kebaikanmu, dan karena aku sudah sampai dengan selamat, maka kau boleh kembali,” ujar Tamara pada Carson.“Baiklah, kalau begitu sampai jumpa!” Carson tersenyum.Tamara kemudian beranjak masuk ke penginapan bersama Davis yang masih tampak sedikit kesal. Carson terdiam sesaat sambil menatap Tamara yang terus berjalan hingga akhirnya menghilang dari pandangannya.Tak lama setelahnya, Carson lantas pergi dari sana. Dia harus segera kembali ke cafe untuk mengambil berkas-berkasnya yang tertinggal di sana, lalu kembali ke penginapannya sendiri.*Davis menutup pintu kamar dengan rapat. Sekarang, hanya ada m
Lilya menggandeng tangan Tamara, membimbingnya dengan langkah-langkah tenang menyusuri jalan setapak yang mengarah ke pantai. Sinar matahari yang mulai meredup memberi kilauan lembut pada ombak yang perlahan-lahan menyapu pasir.Tamara tidak tahu ke mana Lilya akan membawanya, namun hatinya dipenuhi rasa penasaran. Mereka berjalan tak jauh dari penginapan, dan suara deburan ombak semakin terdengar jelas di telinga.Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah tempat yang tak disangka-sangka oleh Tamara. Di hadapannya terbentang pemandangan yang menakjubkan.Di bibir pantai, tepat di bawah naungan pohon kelapa yang rindang, berdiri sebuah meja yang telah dihiasi dengan sangat indah. Meja itu ditata rapi dengan taplak putih yang anggun, lilin-lilin kecil yang disusun dengan begitu rapi, serta rangkaian bunga mawar merah yang segar. Kursi-kursi di sekelilingnya dilapisi kain sutra, memberikan sentuhan romantis yang sempurna.Tamara terdiam, matanya terpaku pada pemandangan itu. Ia tidak