Share

9. Ciuman

Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."

Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak.

"Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu."

"Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.

“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.

Tidak biasanya dia melamun seperti itu. Kira-kira apa yang sedang dia pikirkan? Tamara membatin. Dia merasa penasaran kenapa Davis bersikap aneh malam ini. Tapi dia segera mengusir pikiran itu. Dia tidak ingin terlalu memusingkannya, setidaknya tidak untuk sekarang. Fokusnya saat ini adalah memastikan semuanya siap untuk perjalanan mereka ke Aqualuna Isles.

*

Begitu kakinya menapaki karpet tebal yang membentang di sepanjang kabin, matanya langsung terpaku pada interior mewah di sekelilingnya.

“Wow…” desahnya pelan, masih terperangah. Matanya mengelilingi setiap sudut kabin. Tidak pernah dalam hidupnya dia membayangkan akan berada di tempat seperti ini, apalagi di dalam jet pribadi milik suaminya.

 “Duduklah di sini,” ujar Davis yang kini mengambil duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Tamara menurut dan duduk di kursi yang ditunjukkan oleh Davis.

“Seberapa kaya sebenarnya dirimu sampai bisa memiliki jet pribadi seperti ini?” tanya Tamara sambil menatap lelaki yang menjadi suaminya itu dengan wajah penasaran.

Davis terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. “Kau tidak akan bisa membayangkan seberapa kaya keluargaku, dan sebaiknya kau tidak tahu. Karena aku tidak ingin terdengar sombong atau pamer.”

Tak lama setelah pembicaraan singkat itu, suara mesin jet mulai mengaum pelan, menandakan bahwa mereka akan segera lepas landas. Tamara merasakan sedikit getaran ketika jet mulai bergerak, meninggalkan landasan pacu dan melesat ke langit biru. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dari rasa gugup yang menyelinap saat jet mulai menanjak.

Dalam beberapa menit, jet sudah berada di ketinggian jelajah, dan Davis kemudian menoleh ke arah Tamara yang masih duduk diam di kursinya. “Apakah kau sudah pernah ke Aqualuna Isles sebelumnya?” tanya Tamara, mencoba memulai percakapan agar kebersamaan mereka tidak terlalu sepi.

“Aku sudah sering ke sana.”

“Begitu rupanya…, aku sendiri belum pernah ke sana. Ini pertama kalinya, dan sebetulnya aku sudah ingin sekali ke sana sejak lama. Tapi, aku tidak pernah memiliki kesempatan. Orang-orang bilang Aqualuna Isles adalah tempat yang sangat indah, dan itu selalu membuatku penasaran.” Tamara tersenyum.

“Kau akan menyukai tempat itu. Karena tempatnya sangat nyaman dan indah,” kata Davis.

Tamara tersenyum, membayangkan keindahan yang akan dia saksikan di sana. “Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya.”

Perjalanan mereka di dalam jet itu diwarnai dengan obrolan ringan. Hidangan lezat yang disajikan selama penerbangan juga menambah kenyamanan mereka, membuat suasana semakin hangat dan intim.

Namun, seiring waktu berlalu, rasa lelah mulai merayap di tubuh Tamara. Matanya mulai terasa berat, meskipun dia berusaha keras untuk tetap terjaga. Tapi akhirnya, tanpa sadar, kepala Tamara mulai terkulai ke samping, dan dia tertidur di kursinya.

Davis yang melihat Tamara tertidur lantas menarik selimut tipis yang terlipat di kursi sebelahnya dan dengan hati-hati menyelimuti Tamara agar dia tetap hangat selama tidur.

*

Jet pribadi yang membawa Davis dan Tamara akhirnya mendarat mulus di landasan Aqualuna Isles. Sinar matahari yang hangat dan angin sepoi-sepoi dari laut tropis menyambut kedatangan mereka. Namun, di dalam jet, Tamara masih tertidur lelap.

Davis menoleh ke arah Tamara yang terbaring di kursinya. Melihat Tamara yang begitu tenang membuat Davis tak ingin membangunkannya dari tidur yang tampak begitu nyaman. Perlahan, Davis melepaskan sabuk pengaman Tamara, kemudian dengan hati-hati mengangkat tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya.

Begitu keluar dari jet, Davis disambut oleh sekelompok staf yang sudah ditugaskan untuk melayani mereka selama di Aqualuna Isles. Mereka berdiri dengan sikap hormat, siap melayani setiap kebutuhan pasangan itu. Salah satu dari mereka segera membuka pintu mobil yang telah disiapkan, memberi jalan bagi Davis yang masih menggendong Tamara.

Mereka mengantar Davis dan Tamara menuju penginapan mewah yang telah dipersiapkan khusus untuk mereka. Setibanya di penginapan, Davis segera dibantu masuk, dan staf membuka pintu kamar yang megah dengan pemandangan laut langsung.

Tanpa banyak bicara, Davis melangkah masuk ke kamar yang luas itu, masih menggendong Tamara yang tertidur pulas. Ranjang besar dengan sprei putih bersih menanti mereka di tengah ruangan. Dengan hati-hati, Davis membaringkan tubuh Tamara di atas ranjang, memastikan bahwa kepalanya bersandar nyaman pada bantal empuk.

Dia berdiri disana sejenak, menatap wajah istrinya yang masih terlelap. Tamara terlihat begitu damai, seolah-olah dunia di sekelilingnya tidak ada. Mata Davis mengikuti garis wajahnya, dari dahi, alis, hingga hidung mancung yang membelah wajahnya dengan sempurna. Baru kali ini Davis benar-benar memperhatikan betapa cantiknya Tamara. Rambutnya yang sedikit berantakan justru menambah pesona alami wanita itu.

Saat pandangan Davis turun ke arah bibir Tamara, dia tanpa sadar tertarik oleh keindahan bibir mungil itu. Bibir yang tampak begitu lembut dan menggoda, seolah memanggilnya untuk mendekat. Tanpa disadari, Davis perlahan menundukkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Tamara yang masih tertidur.

Bibir mereka bersentuhan lembut, dan seketika ada perasaan hangat yang menjalar di dada Davis. Dia merasakan sentuhan lembut itu hanya sesaat, sebelum tiba-tiba kesadarannya kembali. Davis tersentak mundur, menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Matanya membelalak, dan dengan cepat dia melepaskan diri dari Tamara, melangkah mundur dengan wajah penuh kebingungan.

“Apa yang aku lakukan? Kenapa aku melakukan itu?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status