“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”
“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”
“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.
Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”
Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.
“Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya sambil menatap Tamara dengan pandangan tajam.
“Kenapa kau tidak pernah memberitahuku tentang rencana bulan madu ini sebelum kita menikah? Kau membuat keputusan sepihak, Davis. Itu jelas melanggar kontrak yang sudah kita sepakati sejak awal.”
Davis menaikkan sebelah alisnya, lalu dengan tenang, dia bersandar ke kursinya dan menatap Tamara dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Melanggar kontrak?” ulang Davis, nada suaranya penuh skeptisisme. “Apa kau lupa, Tamara? Dalam kontrak itu juga tertulis bahwa aku berhak membuat keputusan apapun selama itu mendukung rencana kita. Termasuk keputusan sepihak, jika aku anggap perlu.”
Tamara terdiam, kata-kata Davis menghantamnya seperti pukulan telak. Dia tahu Davis benar. Kalimat itu ada di dalam kontrak, sebuah klausul yang saat itu terasa seperti formalitas, namun kini terbukti menjadi senjata ampuh Davis.
“Sekarang kau tidak bisa berargumen lagi, kan? Pokoknya persiapkan semuanya nanti malam. Kita akan berangkat besok pagi.”
*
Tamara duduk di tepi ranjang, tangannya memegang kartu kredit hitam yang diberikan oleh Davis beberapa saat yang lalu. Kartu itu adalah simbol yang mengingatkannya bahwa ia terikat oleh sebuah kontrak yang dijalaninya dengan mempertaruhkan harga dirinya.
Tamara menghela napas dan memasukkan kartu tersebut ke dalam tasnya. Ia berdiri perlahan, matanya melirik cermin besar yang bersandar di dinding kamar pengantinnya. Penampilannya sudah rapi, gaun sederhana berwarna biru pastel yang dia pilih, memeluk tubuhnya dengan anggun. Selain itu, wajahnya tampak cantik dengan sedikit polesan make up yang tampak natural.
Tepat ketika dia hendak melangkah keluar dari kamar, pintu ruang ganti terbuka, dan Davis keluar dengan langkah mantap.
Mata Tamara langsung tertuju pada sosok Davis yang kini sudah mengenakan setelan jas rapi.
Jas hitam yang dijahit khusus itu menonjolkan posturnya yang gagah, sementara dasi perak yang melengkapi penampilannya menambah kesan formal yang tak bisa diabaikan. Kemunculannya benar-benar menyita atensi Tamara hingga wanita itu tanpa sadar terdiam sambil menatapnya dengan begitu intens.
"Kau terlihat rapi. Kau akan pergi ke mana?" Tamara tersentak dari lamunannya ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Davis.
"A-aku memiliki urusan penting di luar, " jawabnya singkat.
Davis kemudian melirik jam tangannya sejenak sebelum menatap Tamara lagi. "Tunggu aku di luar sebentar.”
“Untuk apa?” Tamara terdiam, bingung mengapa Davis memintanya menunggu.
“Ikuti saja perintahku!”
Melihat keseriusan di wajahnya, Tamara lantas memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak ingin berdebat dengan Davis hanya untuk hal sepele. Dia mengangguk pelan dan melangkah keluar dari kamar, menuju ruang tengah.
*
"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya Davis tanpa menoleh, pria itu langsung berjalan dengan Tamara yang mencoba mengimbangi langkahnya. Mereka berjalan bersama keluar rumah, dan melangkah menuju mobil hitam mengkilap yang diparkir di luar rumah.
“Kau mau mengantarkanku?” Tamara baru mengerti kenapa Davis memintanya menunggu sebentar. Ternyata karena lelaki itu berniat untuk mengantarkannya.
Davis terdiam tanpa menjawab. Bukankah sudah cukup jelas bahwa dia berniat mengantarkannya?
"Ah… aku ingin ke rumah orang tuaku,” ujar Tamara kemudian.
Davis meliriknya sekilas, dia tampak sedikit terkejut. "Rumah orang tuamu? Kau sama sekali tidak memberitahuku sebelumnya."
"Aku punya urusan pribadi yang harus diselesaikan di sana. Jadi aku rasa kau tidak perlu tahu karena seperti yang tertulis di kontrak, kita tidak perlu terlibat dengan urusan masing-masing, kan?" jawabnya datar.
Davis terdiam sejenak, mencerna kalimat itu. Tanpa berkata apa-apa, Davis membuka pintu depan untuk Tamara, dan wanita itu masuk tanpa menunggu lama. Deru halus mesin terdengar saat mereka mulai melaju keluar dari halaman rumah.
Perjalanan dilanjutkan dalam keheningan yang canggung. Tamara sesekali melirik ke arah Davis, tetapi wajah pria itu tidak memberikan petunjuk apapun tentang apa yang dia pikirkan. Tamara sendiri merasa aneh, seperti ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Dia tahu bahwa hubungan mereka bukanlah hubungan pernikahan yang normal, tetapi tetap saja, dia tidak bisa mengabaikan perasaan ini.
Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa dia mau mengantarkanku untuk ke rumah orang tuaku?
***
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Davis membaca pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Ketika dia mengecek jam di ponselnya, dia baru menyadari betapa terlambatnya dia bangun. Sudah lewat tengah hari, dan itu berarti dia telah melewatkan sarapan, dan bahkan makan siang.Sial, pikirnya. Akibat dia baru bisa tidur jam tiga pagi, Davis jadi tertidur terlalu lama.Dengan cepat, Davis menuju kamar mandi, mencuci wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia kemudian segera bersiap untuk menyusul Tamara. Namun sebelum berangkat, Davis memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dia tidak ingin pergi dengan perut kosong.Di ruang makan, beberapa pelayan sudah mempersiapkan segalanya. Seorang pelayan dengan sigap menghampirinya, menawarkan berbagai pilihan menu yang telah disiapkan. Sambil menunggu makanannya disajikan, Davis sempat bertanya kepada salah satu pelayan tentang keberadaan Tamara."Apakah kau tahu ke mana Tamara pergi?" tanya Davis dengan nada yang tenang."Beberapa saat yang lalu, nona Ta
"Tolong! Tolong!" Tamara berteriak sekuat tenaga, berusaha agar suaranya terdengar di atas deru ombak. Dia mengayunkan tangan dan kakinya, mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkannya, tapi ombak yang semakin besar terus menariknya ke tengah.Dengan setiap detik yang berlalu, Tamara semakin merasa putus asa. Tenaganya mulai habis, dan kesadarannya mulai menipis. Dia hanya bisa berharap, di tengah kepanikannya, ada seseorang yang mendengar teriakannya dan datang menolongnya sebelum semuanya terlambat.*Pria itu beranjak bangkit dari kursinya dengan mantap, lalu menjabat tangan kliennya yang tersenyum puas. "Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Carson dengan nada tenang namun tegas.Rapat penting itu telah berakhir dengan sukses, dan setelah ini, Carson berencana untuk kembali ke penginapan dan memeriksa ulang semua data yang telah disusunnya.Sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja, Carson memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tas kulitnya. Namun, di tengah
Namun, sebelum Tamara bisa lebih jauh menyalahkan dirinya sendiri, suara Carson kembali menyadarkannya. "Kau yakin kau baik-baik saja? Mungkin sebaiknya aku membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat pucat," ujar Carson, masih dengan nada khawatir.Tamara terdiam lagi, pikirannya langsung tertuju pada Davis. Jika dia sampai dibawa ke rumah sakit, Davis pasti akan cemas luar biasa. Dia juga mungkin akan marah karena Tamara pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Tamara menimbang-nimbang sejenak, lalu memutuskan untuk menolak tawaran Carson."Tidak perlu, aku baik-baik saja," jawab Tamara dengan suara yang masih agak serak. "Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan nyawaku. Aku berhutang nyawa padamu."Carson menggelengkan kepala, "Tidak perlu memikirkannya. Yang terpenting kau selamat sekarang. Aku senang bisa membantumu."Mata Tamara kembali menatap Carson dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dia tahu bahwa tanpa kehadiran Carson, kemungkinan besar dia tidak akan berada di sini