Share

7. Melanggar Kontrak?

“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”

“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”

“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.

Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”

Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.

 “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya sambil menatap Tamara dengan pandangan tajam.

 “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku tentang rencana bulan madu ini sebelum kita menikah? Kau membuat keputusan sepihak, Davis. Itu jelas melanggar kontrak yang sudah kita sepakati sejak awal.”

Davis menaikkan sebelah alisnya, lalu dengan tenang, dia bersandar ke kursinya dan menatap Tamara dengan tatapan yang sulit ditebak.

“Melanggar kontrak?” ulang Davis, nada suaranya penuh skeptisisme. “Apa kau lupa, Tamara? Dalam kontrak itu juga tertulis bahwa aku berhak membuat keputusan apapun selama itu mendukung rencana kita. Termasuk keputusan sepihak, jika aku anggap perlu.”

Tamara terdiam, kata-kata Davis menghantamnya seperti pukulan telak. Dia tahu Davis benar. Kalimat itu ada di dalam kontrak, sebuah klausul yang saat itu terasa seperti formalitas, namun kini terbukti menjadi senjata ampuh Davis.

“Sekarang kau tidak bisa berargumen lagi, kan? Pokoknya persiapkan semuanya nanti malam. Kita akan berangkat besok pagi.”

*

Tamara duduk di tepi ranjang, tangannya memegang kartu kredit hitam yang diberikan oleh Davis beberapa saat yang lalu. Kartu itu adalah simbol yang mengingatkannya bahwa ia terikat oleh sebuah kontrak yang dijalaninya dengan mempertaruhkan harga dirinya.

Tamara menghela napas dan memasukkan kartu tersebut ke dalam tasnya. Ia berdiri perlahan, matanya melirik cermin besar yang bersandar di dinding kamar pengantinnya. Penampilannya sudah rapi, gaun sederhana berwarna biru pastel yang dia pilih, memeluk tubuhnya dengan anggun. Selain itu, wajahnya tampak cantik dengan sedikit polesan make up yang tampak natural.

Tepat ketika dia hendak melangkah keluar dari kamar, pintu ruang ganti terbuka, dan Davis keluar dengan langkah mantap.

Mata Tamara langsung tertuju pada sosok Davis yang kini sudah mengenakan setelan jas rapi.

Jas hitam yang dijahit khusus itu menonjolkan posturnya yang gagah, sementara dasi perak yang melengkapi penampilannya menambah kesan formal yang tak bisa diabaikan. Kemunculannya benar-benar menyita atensi Tamara hingga wanita itu tanpa sadar terdiam sambil menatapnya dengan begitu intens.

"Kau terlihat rapi. Kau akan pergi ke mana?" Tamara tersentak dari lamunannya ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut Davis.

"A-aku memiliki urusan penting di luar, " jawabnya singkat.

Davis kemudian melirik jam tangannya sejenak sebelum menatap Tamara lagi. "Tunggu aku di luar sebentar.”

“Untuk apa?” Tamara terdiam, bingung mengapa Davis memintanya menunggu.

“Ikuti saja perintahku!”

Melihat keseriusan di wajahnya, Tamara lantas memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dia tidak ingin berdebat dengan Davis hanya untuk hal sepele. Dia mengangguk pelan dan melangkah keluar dari kamar, menuju ruang tengah.

*

"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya Davis tanpa menoleh, pria itu langsung berjalan dengan Tamara yang mencoba mengimbangi langkahnya. Mereka berjalan bersama keluar rumah, dan melangkah menuju mobil hitam mengkilap yang diparkir di luar rumah.

“Kau mau mengantarkanku?” Tamara baru mengerti kenapa Davis memintanya menunggu sebentar. Ternyata karena lelaki itu berniat untuk mengantarkannya.

Davis terdiam tanpa menjawab. Bukankah sudah cukup jelas bahwa dia berniat mengantarkannya?

"Ah… aku ingin ke rumah orang tuaku,” ujar Tamara kemudian.

Davis meliriknya sekilas, dia tampak sedikit terkejut. "Rumah orang tuamu? Kau sama sekali tidak memberitahuku sebelumnya."

"Aku punya urusan pribadi yang harus diselesaikan di sana. Jadi aku rasa kau tidak perlu tahu karena seperti yang tertulis di kontrak, kita tidak perlu terlibat dengan urusan masing-masing, kan?" jawabnya datar.

Davis terdiam sejenak, mencerna kalimat itu. Tanpa berkata apa-apa, Davis membuka pintu depan untuk Tamara, dan wanita itu masuk tanpa menunggu lama. Deru halus mesin terdengar saat mereka mulai melaju keluar dari halaman rumah.

Perjalanan dilanjutkan dalam keheningan yang canggung. Tamara sesekali melirik ke arah Davis, tetapi wajah pria itu tidak memberikan petunjuk apapun tentang apa yang dia pikirkan. Tamara sendiri merasa aneh, seperti ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Dia tahu bahwa hubungan mereka bukanlah hubungan pernikahan yang normal, tetapi tetap saja, dia tidak bisa mengabaikan perasaan ini.

Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa dia mau mengantarkanku untuk ke rumah orang tuaku?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status