Share

6. Bulan Madu?

Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.

Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.

Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.

Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang selama ini terbiasa mengendalikan segala sesuatunya, merasa tersentuh oleh kemampuan Tamara untuk mengimbanginya. Setiap gerakan, setiap sentuhan, setiap bisikan—semuanya membuatnya semakin tertantang dan semakin tenggelam dalam hasrat yang menggebu-gebu.

Tamara adalah sosok yang mampu mengerti dan merespon dengan cara yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa keputusannya untuk memilih Tamara bukanlah keputusan yang keliru.

Saat Davis masih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba ia melihat Tamara bergerak perlahan. Wanita itu mulai membuka matanya dengan ragu, lalu mengerjap beberapa kali seolah mencoba membiasakan diri dengan cahaya pagi yang masuk ke dalam kamar. Tamara meringis kecil saat ia merasakan tubuhnya yang masih terasa lelah dan sedikit nyeri akibat aktivitas semalam.

Dengan susah payah, Tamara beranjak duduk. Ia bersandar pada kepala ranjang, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih belum terkumpul sepenuhnya. "Selamat pagi, bagaimana kondisimu?" sapa Davis, mengusik keheningan pagi itu.

Tamara yang masih belum sepenuhnya sadar, tiba-tiba tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh ke arah Davis dengan mata yang sedikit melebar. "Kenapa kau ada di sini?!"

Davis tertawa kecil melihat reaksi dari Tamara barusan. "Kita sudah menikah, ingat?" ucapnya, mencoba mengingatkan wanita itu akan kenyataan.

Tamara terdiam sejenak, pikirannya berusaha mengejar kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Davis. Memori-memori dari pernikahan mereka yang baru kemarin terjadi, seketika mulai kembali satu per satu. Wajahnya perlahan berubah merah ketika Tamara ingat apa yang baru saja mereka lakukan semalam.

“Pergilah mandi dan bersiap-siap. Aku akan menunggumu di ruang makan.” Davis beranjak keluar kamar, memberikan waktu dan ruang bagi Tamara untuk menenangkan diri sambil bersiap.

*

Pria itu terlihat nyaman dengan setelan kasualnya, meski masih memancarkan aura dominan yang tak bisa disembunyikan. Hidangan sarapan telah tersaji dengan indah di atas meja, lengkap dengan detail-detail kecil yang jelas menunjukkan bahwa semuanya dipersiapkan dengan begitu sempurna.

Davis yang sejak tadi terlihat sibuk dengan ponselnya, mendongak saat mendengar langkah Tamara. Matanya yang tajam segera beralih padanya, memberikan tatapan intens yang selalu membuat Tamara merasa sedikit canggung. “Duduklah,” ujarnya singkat, suaranya rendah tapi tegas.

Tamara berjalan mendekat, lalu menarik kursi di seberang Davis sebelum duduk dengan hati-hati. Meskipun mereka telah menikah sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati, hubungan mereka masih terasa aneh dan asing bagi Tamara.

“Makanlah,” ucap Davis sambil mulai mengambil roti panggangnya.

Tamara mengangguk pelan, mengambil potongan pancake dan mulai memakannya dalam diam. Setelah beberapa menit yang hening, Davis meneguk kopi hitamnya sebelum akhirnya memulai pembicaraan. “Kita sudah menikah, dan aku ingin mengingatkanmu tentang kontrak kita. Sesuai dengan kontrak, aku akan memberikan apapun yang kau mau. Tapi dengan catatan, kau juga harus memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri, seperti yang sudah tertulis di dalamnya.”

Tamara merespons dengan anggukan kecil. Dia tahu aturan itu dengan baik. Bagaimanapun juga, pernikahan mereka bukanlah pernikahan biasa—itu lebih seperti transaksi bisnis yang disamarkan di balik janji suci.

Davis lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam yang mengkilap dan menyerahkannya kepada Tamara. “Karena sekarang kau sudah menjadi istriku, maka gunakanlah kartu ini sebaik mungkin.”

Tamara terdiam sejenak, memandang kartu itu dengan ragu. Kartu yang terkesan sederhana tapi memiliki arti besar. Dia tahu bahwa dengan menerima kartu itu, dia sepenuhnya akan masuk lebih dalam ke dalam kehidupan Davis. Namun, apa yang dikatakan oleh Davis ada benarnya. Seperti yang tertulis di kontrak, Davis memang memiliki kewajiban untuk memenuhi semua keinginannya. Jadi tidak ada salahnya Tamara menerima kartu itu dan menggunakannya untuk memenuhi semua yang diperlukannya.

“Baiklah, aku akan menerimanya,” jawab Tamara akhirnya.

“Aku juga ingin memberitahumu satu hal lagi,” katanya, matanya berkilat penuh maksud tertentu. “Aku sudah mempersiapkan jet pribadiku untuk rencana perjalanan kita. Besok pagi, kita akan berangkat ke Aqualuna Isles untuk bulan madu di sana. Tidak akan lama, hanya sekitar dua minggu, dan setelah itu, kau bisa mulai bekerja di kantor.”

Tamara terperanjat mendengarnya. Dia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu terlontar dari mulutnya. “Bulan madu?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status