Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.
Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.
Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.
Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang selama ini terbiasa mengendalikan segala sesuatunya, merasa tersentuh oleh kemampuan Tamara untuk mengimbanginya. Setiap gerakan, setiap sentuhan, setiap bisikan—semuanya membuatnya semakin tertantang dan semakin tenggelam dalam hasrat yang menggebu-gebu.
Tamara adalah sosok yang mampu mengerti dan merespon dengan cara yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia tahu, dalam hatinya, bahwa keputusannya untuk memilih Tamara bukanlah keputusan yang keliru.
Saat Davis masih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba ia melihat Tamara bergerak perlahan. Wanita itu mulai membuka matanya dengan ragu, lalu mengerjap beberapa kali seolah mencoba membiasakan diri dengan cahaya pagi yang masuk ke dalam kamar. Tamara meringis kecil saat ia merasakan tubuhnya yang masih terasa lelah dan sedikit nyeri akibat aktivitas semalam.
Dengan susah payah, Tamara beranjak duduk. Ia bersandar pada kepala ranjang, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih belum terkumpul sepenuhnya. "Selamat pagi, bagaimana kondisimu?" sapa Davis, mengusik keheningan pagi itu.
Tamara yang masih belum sepenuhnya sadar, tiba-tiba tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh ke arah Davis dengan mata yang sedikit melebar. "Kenapa kau ada di sini?!"
Davis tertawa kecil melihat reaksi dari Tamara barusan. "Kita sudah menikah, ingat?" ucapnya, mencoba mengingatkan wanita itu akan kenyataan.
Tamara terdiam sejenak, pikirannya berusaha mengejar kenyataan yang baru saja disampaikan oleh Davis. Memori-memori dari pernikahan mereka yang baru kemarin terjadi, seketika mulai kembali satu per satu. Wajahnya perlahan berubah merah ketika Tamara ingat apa yang baru saja mereka lakukan semalam.
“Pergilah mandi dan bersiap-siap. Aku akan menunggumu di ruang makan.” Davis beranjak keluar kamar, memberikan waktu dan ruang bagi Tamara untuk menenangkan diri sambil bersiap.
*
Pria itu terlihat nyaman dengan setelan kasualnya, meski masih memancarkan aura dominan yang tak bisa disembunyikan. Hidangan sarapan telah tersaji dengan indah di atas meja, lengkap dengan detail-detail kecil yang jelas menunjukkan bahwa semuanya dipersiapkan dengan begitu sempurna.
Davis yang sejak tadi terlihat sibuk dengan ponselnya, mendongak saat mendengar langkah Tamara. Matanya yang tajam segera beralih padanya, memberikan tatapan intens yang selalu membuat Tamara merasa sedikit canggung. “Duduklah,” ujarnya singkat, suaranya rendah tapi tegas.
Tamara berjalan mendekat, lalu menarik kursi di seberang Davis sebelum duduk dengan hati-hati. Meskipun mereka telah menikah sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati, hubungan mereka masih terasa aneh dan asing bagi Tamara.
“Makanlah,” ucap Davis sambil mulai mengambil roti panggangnya.
Tamara mengangguk pelan, mengambil potongan pancake dan mulai memakannya dalam diam. Setelah beberapa menit yang hening, Davis meneguk kopi hitamnya sebelum akhirnya memulai pembicaraan. “Kita sudah menikah, dan aku ingin mengingatkanmu tentang kontrak kita. Sesuai dengan kontrak, aku akan memberikan apapun yang kau mau. Tapi dengan catatan, kau juga harus memenuhi kewajibanmu sebagai seorang istri, seperti yang sudah tertulis di dalamnya.”
Tamara merespons dengan anggukan kecil. Dia tahu aturan itu dengan baik. Bagaimanapun juga, pernikahan mereka bukanlah pernikahan biasa—itu lebih seperti transaksi bisnis yang disamarkan di balik janji suci.
Davis lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam yang mengkilap dan menyerahkannya kepada Tamara. “Karena sekarang kau sudah menjadi istriku, maka gunakanlah kartu ini sebaik mungkin.”
Tamara terdiam sejenak, memandang kartu itu dengan ragu. Kartu yang terkesan sederhana tapi memiliki arti besar. Dia tahu bahwa dengan menerima kartu itu, dia sepenuhnya akan masuk lebih dalam ke dalam kehidupan Davis. Namun, apa yang dikatakan oleh Davis ada benarnya. Seperti yang tertulis di kontrak, Davis memang memiliki kewajiban untuk memenuhi semua keinginannya. Jadi tidak ada salahnya Tamara menerima kartu itu dan menggunakannya untuk memenuhi semua yang diperlukannya.
“Baiklah, aku akan menerimanya,” jawab Tamara akhirnya.
“Aku juga ingin memberitahumu satu hal lagi,” katanya, matanya berkilat penuh maksud tertentu. “Aku sudah mempersiapkan jet pribadiku untuk rencana perjalanan kita. Besok pagi, kita akan berangkat ke Aqualuna Isles untuk bulan madu di sana. Tidak akan lama, hanya sekitar dua minggu, dan setelah itu, kau bisa mulai bekerja di kantor.”
Tamara terperanjat mendengarnya. Dia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu terlontar dari mulutnya. “Bulan madu?”
***
“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Davis membaca pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Ketika dia mengecek jam di ponselnya, dia baru menyadari betapa terlambatnya dia bangun. Sudah lewat tengah hari, dan itu berarti dia telah melewatkan sarapan, dan bahkan makan siang.Sial, pikirnya. Akibat dia baru bisa tidur jam tiga pagi, Davis jadi tertidur terlalu lama.Dengan cepat, Davis menuju kamar mandi, mencuci wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia kemudian segera bersiap untuk menyusul Tamara. Namun sebelum berangkat, Davis memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dia tidak ingin pergi dengan perut kosong.Di ruang makan, beberapa pelayan sudah mempersiapkan segalanya. Seorang pelayan dengan sigap menghampirinya, menawarkan berbagai pilihan menu yang telah disiapkan. Sambil menunggu makanannya disajikan, Davis sempat bertanya kepada salah satu pelayan tentang keberadaan Tamara."Apakah kau tahu ke mana Tamara pergi?" tanya Davis dengan nada yang tenang."Beberapa saat yang lalu, nona Ta
"Tolong! Tolong!" Tamara berteriak sekuat tenaga, berusaha agar suaranya terdengar di atas deru ombak. Dia mengayunkan tangan dan kakinya, mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkannya, tapi ombak yang semakin besar terus menariknya ke tengah.Dengan setiap detik yang berlalu, Tamara semakin merasa putus asa. Tenaganya mulai habis, dan kesadarannya mulai menipis. Dia hanya bisa berharap, di tengah kepanikannya, ada seseorang yang mendengar teriakannya dan datang menolongnya sebelum semuanya terlambat.*Pria itu beranjak bangkit dari kursinya dengan mantap, lalu menjabat tangan kliennya yang tersenyum puas. "Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Carson dengan nada tenang namun tegas.Rapat penting itu telah berakhir dengan sukses, dan setelah ini, Carson berencana untuk kembali ke penginapan dan memeriksa ulang semua data yang telah disusunnya.Sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja, Carson memasukkan dokumen-dokumen ke dalam tas kulitnya. Namun, di tengah