Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.
Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.
Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.
Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima.
"Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya."
"Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataan itu. "Bagaimana bisa mereka membuat keputusan tanpa melibatkan kami? Ini bukan hanya tentang kalian berdua, Tamara. Pernikahan adalah sebuah komitmen besar, dan kami ingin memastikan bahwa kamu siap untuk itu."
Bennet menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang tampak semakin lelah. "Kami ingin yang terbaik untukmu, Tamara. Tapi kami butuh penjelasan. Mengapa harus secepat ini? Apakah ini keputusan dari kalian berdua ataukah karena tekanan dari keluarganya?"
"Ini keputusan bersama," Tamara menjelaskan. "Kami sudah mendiskusikan ini sejak lama. Keluarga Davis memang menginginkan pernikahan ini terjadi segera, tapi aku juga setuju. Kami merasa inilah saat yang tepat."
“Tapi adikmu ada di rumah sakit. Bagaimana mungkin kita mengadakan acara pernikahan sementara adikmu terbaring di rumah sakit?”
“Davis memiliki kenalan dokter hebat yang bisa membantu operasi Cale. Dia akan sembuh, ma…”
Dalena menatap Tamara dengan campuran perasaan yang sulit diungkapkan. "Tamara, kami hanya ingin memastikan bahwa kau tahu apa yang kau lakukan. Kami tidak ingin kau menyesal di kemudian hari."
Tamara melangkah mendekat, meraih tangan ibunya dengan lembut, dan berusaha untuk tetap meyakinkan mereka. Bagaimanapun juga, apa yang dia lakukan ini adalah demi keluarganya. Demi adiknya agar dia bisa mendapatkan uang dan membantu operasinya.
Setelah perdebatan yang cukup panjang, Dalena dan Bennet akhirnya mengangguk perlahan, menyadari bahwa keputusan ini sudah bulat di hati putrinya.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Kami akan bertemu dengan Davis dan orang tuanya. Tapi, Tamara, kami akan tetap mengawasi ini dengan hati-hati. Kami ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik."
*
Waktu berlalu, dan hari yang dia takutkan akhirnya tiba juga. Seminggu sejak kontraknya dengan Davis dibuat, Tamara akhirnya mulai fokus mengikuti segala bentuk persiapan pernikahan yang sebelumnya sudah dipersiapkan Davis.
Tamara menatap dirinya di cermin, mengenakan gaun putih yang anggun dengan detail renda halus. Gaun itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan yang selama ini tersembunyi di balik kesederhanaannya. Rambut cokelatnya yang panjang ditata rapi dalam tatanan sederhana namun elegan, dihiasi dengan tiara kecil yang berkilauan di bawah sinar lampu kristal.
Hatinya berdebar, perasaan gugup berbaur menjadi satu saat bayangan pernikahannya yang sebentar lagi akan berlangsung terlintas di benaknya.
Langkah Tamara terasa ringan namun pasti ketika dia berjalan menuju altar. Setiap langkahnya disertai harapan dan doa, berharap bahwa keputusan yang diambilnya ini adalah keputusan yang tepat.
Saat tiba di pintu kapel, dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian pintu itu terbuka. Di hadapannya, dekorasi bunga-bunga putih dan lilin-lilin yang berkelip-kelip di sepanjang lorong membuat suasana semakin syahdu.
Di ujung lorong, di depan altar, berdirilah Davis. Pria itu tampak gagah dalam balutan setelan hitam yang elegan, lengkap dengan dasi perak yang melengkapi penampilannya. Pandangan mereka bertemu. Tamara tertegun. Mata Davis yang tajam dan senyumnya yang menenangkan membuat Tamara terpesona untuk sesaat.
Langkah Tamara terasa semakin berat ketika dia mendekati altar, bukan karena ragu, tetapi karena gugup yang begitu kuat. Akhirnya, dia tiba di depan Davis. Pendeta mulai membacakan kata-kata sakral, namun pikiran Tamara dan Davis seolah memikirkan hal lain.
"Tamara, apakah kamu bersedia menerima Davis sebagai suamimu, dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?" suara pendeta terdengar lembut namun penuh wibawa.
Tamara menjawabnya sambil beradu tatap dengan Davis. Dalam hatinya, Tamara meminta maaf di hadapan tuhan karena telah berbohong. Pernikahan mereka hanyalah sebatas kontrak saja.
Setelah itu, pendeta lalu menoleh ke Davis dan menanyakan pertanyaan serupa. Dengan itu, pendeta mengucapkan berkat pernikahan, dan akhirnya mereka dinyatakan sebagai suami istri.
Tanpa menunggu lebih lama, Davis menarik Tamara mendekat. Tamara tidak sempat berpikir apa-apa ketika bibir Davis menyentuh bibirnya dalam sebuah ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ruangan itu dipenuhi dengan suara sorakan dan tepuk tangan dari keluarga mereka yang menjadi saksi momen indah tersebut.
Tamara merasa pipinya memerah, terkejut atas sikap Davis. Dia tidak menyangka Davis akan melakukan itu di depan semua orang, terlebih tanpa kompromi terhadapnya lebih dulu.
Sial… bisa-bisanya dia melakukan ini tanpa bicara lebih dulu denganku! Tamara membatin.
*
Setelah acara pernikahan berakhir, suasana pesta pun perlahan mereda. Malam tiba, dan akhirnya momen yang dinanti-nantikan pun tiba.
Davis menggendong Tamara menuju kamar pengantin mereka. Tamara menahan napas ketika Davis membaringkannya di atas ranjang yang dihiasi kelopak mawar merah. Davis menatapnya dengan tatapan intens.
"Mulai malam ini kita akan selalu bersama. Maka dari itu, bersiaplah, untuk menjalankan tugasmu sebagai istriku…” Davis lalu mendekat, mencium Tamara dengan penuh gairah.
Meski mereka sudah pernah melakukannya sebelumnya, tapi Tamara tetap saja merasa gugup. Terlebih kali ini dirinya sadar dan tidak mabuk berat seperti waktu itu. Tamara mencoba menahan Davis dan mendorong dada pria itu. Namun, Davis malah semakin tidak memberi Tamara kesempatan.
Sentuhan lembut Davis membuat Tamara akhirnya terlena, dan ikut dalam permainan pria itu. Malam itu, mereka berdua akhirnya kembali menyatu.
***
Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang sel
“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya
Tamara mengerjapkan mata, begitu dia bangun, ruangan di sekitarnya terasa begitu asing. Ketika dia sepenuhnya membuka mata, pandangannya disambut oleh dinding-dinding berwarna krem yang dihiasi ornamen kayu berukir. Di atasnya, lampu kristal menggantung elegan, memancarkan cahaya hangat yang menerangi seisi kamar. Sprei satin yang halus dan dingin di bawah tubuhnya menambah kesan mewah tempat tidur di mana dia berbaring.Dia beringsut, duduk dengan punggung bersandar pada kepala tempat tidur yang empuk. "Di mana aku?" gumamnya lirih. Pandangannya tertuju pada jendela besar di sisi kiri kamar. Tirainya setengah terbuka, memperlihatkan pemandangan laut yang luas dan biru, dengan ombak yang berkejaran menuju pantai berpasir putih. Dia bisa merasakan angin laut yang sepoi-sepoi masuk melalui celah jendela, membawa aroma asin yang menenangkan.Tamara tertegun. "Aqualuna Isles," bisiknya pelan, baru menyadari di mana dia berada. Dia ingat mereka telah merencanakan untuk menginap di sebuah re
Tamara melangkah keluar dengan wajah yang sudah lebih tenang meski masih ada sedikit rona merah di pipinya. Sementara itu, Davis sudah berpakaian lengkap. Cukup lama Tamara berada di kamar mandi karena dia masih harus mencoba untuk melupakan insiden sebelumnya."Kau sudah selesai? Bagaimana kalau kita makan siang?" ujarnya sambil menghampiri Tamara yang baru keluar.Tamara mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Davis kemudian melangkah, memimpin mereka menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.Mereka berjalan menyusuri koridor yang berlapis karpet tebal dengan ornamen klasik di sepanjang dinding. Setiap langkah terasa ringan, seolah dunia di luar tak ada artinya dibandingkan dengan suasana tenang di dalam penginapan mewah ini.Begitu tiba di ruang makan, mata Tamara melebar saat melihat meja panjang yang sudah dipenuhi hidangan lezat. Berbagai macam makanan tersaji rapi di atas piring-piring besar. Aroma harum dari makanan yang baru saja disiapkan memenuhi ruangan, membuat
Aku lega karena ternyata mereka langsung menjalankan operasi untuk Cale. Tapi aku benar-benar tidak menyangka kalau prosesnya akan secepat ini… Tamara membatin. Wanita itu diam sambil memperhatikan pesan yang baru saja dikirimkan oleh ibunya.“Apakah ada sesuatu?” tanya Davis yang melihat wajah Tamara tampak begitu serius memperhatikan ponselnya. Suara Davis seketika menyita perhatian Tamara.“Tidak ada.” Tamara mematikan ponselnya lantas beralih meneguk tehnya untuk yang terakhir. Tak lama, wanita itu lantas beranjak dari tempat duduknya. “Aku mulai mengantuk. Aku tidur duluan, ya.”“Baiklah, aku akan menyusul begitu tehku habis.”Tamara beranjak meninggalkan Davis seorang diri di sana. Membiarkan pria itu menikmati tehnya serta pemandangan laut malam.*Davis spontan membuka kedua matanya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari jauh. Dengan wajah resah, dia terduduk di ranjang, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Tangannya mera
Davis membaca pesan itu dengan perasaan bercampur aduk. Ketika dia mengecek jam di ponselnya, dia baru menyadari betapa terlambatnya dia bangun. Sudah lewat tengah hari, dan itu berarti dia telah melewatkan sarapan, dan bahkan makan siang.Sial, pikirnya. Akibat dia baru bisa tidur jam tiga pagi, Davis jadi tertidur terlalu lama.Dengan cepat, Davis menuju kamar mandi, mencuci wajahnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa. Dia kemudian segera bersiap untuk menyusul Tamara. Namun sebelum berangkat, Davis memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Dia tidak ingin pergi dengan perut kosong.Di ruang makan, beberapa pelayan sudah mempersiapkan segalanya. Seorang pelayan dengan sigap menghampirinya, menawarkan berbagai pilihan menu yang telah disiapkan. Sambil menunggu makanannya disajikan, Davis sempat bertanya kepada salah satu pelayan tentang keberadaan Tamara."Apakah kau tahu ke mana Tamara pergi?" tanya Davis dengan nada yang tenang."Beberapa saat yang lalu, nona Ta