Share

5. Sebuah Awal Baru

Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.

Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.

Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.

Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima.

"Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya."

"Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataan itu. "Bagaimana bisa mereka membuat keputusan tanpa melibatkan kami? Ini bukan hanya tentang kalian berdua, Tamara. Pernikahan adalah sebuah komitmen besar, dan kami ingin memastikan bahwa kamu siap untuk itu."

Bennet menghela napas panjang, mengusap wajahnya yang tampak semakin lelah. "Kami ingin yang terbaik untukmu, Tamara. Tapi kami butuh penjelasan. Mengapa harus secepat ini? Apakah ini keputusan dari kalian berdua ataukah karena tekanan dari keluarganya?"

"Ini keputusan bersama," Tamara menjelaskan. "Kami sudah mendiskusikan ini sejak lama. Keluarga Davis memang menginginkan pernikahan ini terjadi segera, tapi aku juga setuju. Kami merasa inilah saat yang tepat."

“Tapi adikmu ada di rumah sakit. Bagaimana mungkin kita mengadakan acara pernikahan sementara adikmu terbaring di rumah sakit?”

“Davis memiliki kenalan dokter hebat yang bisa membantu operasi Cale. Dia akan sembuh, ma…”

Dalena menatap Tamara dengan campuran perasaan yang sulit diungkapkan. "Tamara, kami hanya ingin memastikan bahwa kau tahu apa yang kau lakukan. Kami tidak ingin kau menyesal di kemudian hari."

Tamara melangkah mendekat, meraih tangan ibunya dengan lembut, dan berusaha untuk tetap meyakinkan mereka. Bagaimanapun juga, apa yang dia lakukan ini adalah demi keluarganya. Demi adiknya agar dia bisa mendapatkan uang dan membantu operasinya.

Setelah perdebatan yang cukup panjang, Dalena dan Bennet akhirnya mengangguk perlahan, menyadari bahwa keputusan ini sudah bulat di hati putrinya.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Kami akan bertemu dengan Davis dan orang tuanya. Tapi, Tamara, kami akan tetap mengawasi ini dengan hati-hati. Kami ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik."

*

Waktu berlalu, dan hari yang dia takutkan akhirnya tiba juga. Seminggu sejak kontraknya dengan Davis dibuat, Tamara akhirnya mulai fokus mengikuti segala bentuk persiapan pernikahan yang sebelumnya sudah dipersiapkan Davis.

Tamara menatap dirinya di cermin, mengenakan gaun putih yang anggun dengan detail renda halus. Gaun itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan kecantikan yang selama ini tersembunyi di balik kesederhanaannya. Rambut cokelatnya yang panjang ditata rapi dalam tatanan sederhana namun elegan, dihiasi dengan tiara kecil yang berkilauan di bawah sinar lampu kristal.

Hatinya berdebar, perasaan gugup berbaur menjadi satu saat bayangan pernikahannya yang sebentar lagi akan berlangsung terlintas di benaknya.

Langkah Tamara terasa ringan namun pasti ketika dia berjalan menuju altar. Setiap langkahnya disertai harapan dan doa, berharap bahwa keputusan yang diambilnya ini adalah keputusan yang tepat.

Saat tiba di pintu kapel, dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian pintu itu terbuka. Di hadapannya, dekorasi bunga-bunga putih dan lilin-lilin yang berkelip-kelip di sepanjang lorong membuat suasana semakin syahdu.

Di ujung lorong, di depan altar, berdirilah Davis. Pria itu tampak gagah dalam balutan setelan hitam yang elegan, lengkap dengan dasi perak yang melengkapi penampilannya. Pandangan mereka bertemu. Tamara tertegun. Mata Davis yang tajam dan senyumnya yang menenangkan membuat Tamara terpesona untuk sesaat.

Langkah Tamara terasa semakin berat ketika dia mendekati altar, bukan karena ragu, tetapi karena gugup yang begitu kuat. Akhirnya, dia tiba di depan Davis. Pendeta mulai membacakan kata-kata sakral, namun pikiran Tamara dan Davis seolah memikirkan hal lain.

"Tamara, apakah kamu bersedia menerima Davis sebagai suamimu, dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?" suara pendeta terdengar lembut namun penuh wibawa.

Tamara menjawabnya sambil beradu tatap dengan Davis. Dalam hatinya, Tamara meminta maaf di hadapan tuhan karena telah berbohong. Pernikahan mereka hanyalah sebatas kontrak saja.

Setelah itu, pendeta lalu menoleh ke Davis dan menanyakan pertanyaan serupa. Dengan itu, pendeta mengucapkan berkat pernikahan, dan akhirnya mereka dinyatakan sebagai suami istri.

Tanpa menunggu lebih lama, Davis menarik Tamara mendekat. Tamara tidak sempat berpikir apa-apa ketika bibir Davis menyentuh bibirnya dalam sebuah ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ruangan itu dipenuhi dengan suara sorakan dan tepuk tangan dari keluarga mereka yang menjadi saksi momen indah tersebut.

Tamara merasa pipinya memerah, terkejut atas sikap Davis. Dia tidak menyangka Davis akan melakukan itu di depan semua orang, terlebih tanpa kompromi terhadapnya lebih dulu.

Sial… bisa-bisanya dia melakukan ini tanpa bicara lebih dulu denganku! Tamara membatin.

*

Setelah acara pernikahan berakhir, suasana pesta pun perlahan mereda. Malam tiba, dan akhirnya momen yang dinanti-nantikan pun tiba.

Davis menggendong Tamara menuju kamar pengantin mereka. Tamara menahan napas ketika Davis membaringkannya di atas ranjang yang dihiasi kelopak mawar merah. Davis menatapnya dengan tatapan intens.

"Mulai malam ini kita akan selalu bersama. Maka dari itu, bersiaplah, untuk menjalankan tugasmu sebagai istriku…” Davis lalu mendekat, mencium Tamara dengan penuh gairah.

Meski mereka sudah pernah melakukannya sebelumnya, tapi Tamara tetap saja merasa gugup. Terlebih kali ini dirinya sadar dan tidak mabuk berat seperti waktu itu. Tamara mencoba menahan Davis dan mendorong dada pria itu. Namun, Davis malah semakin tidak memberi Tamara kesempatan.

Sentuhan lembut Davis membuat Tamara akhirnya terlena, dan ikut dalam permainan pria itu. Malam itu, mereka berdua akhirnya kembali menyatu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status