Share

3. Syarat

Davis menghela napas panjang. Sudah berjam-jam dia duduk di sini, tapi tidak ada solusi yang muncul di pikirannya. Instingnya mengatakan bahwa Tamara adalah orang yang paling tepat untuk membantunya. Selain itu, bagi Davis, Tamara cukup menarik dan telah mengambil perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Namun, kenyataan bahwa wanita itu melarikan diri lagi dan menolak membantunya membuat Davis merasa gusar.

Suara dering ponsel di meja kerja Davis membuyarkan lamunannya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat nama Fabio tertera di layar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu.

"Tuan, aku punya kabar menarik. Wanita bernama Tamara yang anda temui, ternyata mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan kita." Suara Fabio terdengar antusias di seberang sana.

Davis terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia terima.

Lamaran pekerjaan? Senyum kecil seketika mengembang di sudut bibirnya.

"Kerja bagus, Fabio. Panggil dia untuk interview hari ini," kata Davis dengan nada penuh rencana.

*

Ponsel yang tergeletak di samping cangkir kopinya tiba-tiba bergetar, menunjukkan panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tamara mengerutkan kening, agak ragu untuk mengangkatnya. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk menekan tombol hijau.

 “Selamat pagi, apakah saya sedang berbicara dengan Ibu Tamara?” suara wanita di seberang terdengar formal dan sopan.

“Iya, saya sendiri. Dengan siapa saya berbicara?” Tamara merespons dengan nada yang sama.

“Perkenalkan, saya Rina dari departemen HRD Dwayne Corp. Saya menghubungi Anda untuk memberi kabar baik. Kami dengan senang hati menginformasikan bahwa Anda diterima untuk bekerja di perusahaan kami. Kami harap Anda bisa datang ke kantor untuk wawancara final hari ini. Kami juga sudah mengirimkan email kepada Anda dengan informasi lebih lanjut, termasuk waktu dan persyaratan yang perlu dibawa. Mohon segera di cek, ya.”

Tamara terdiam sesaat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jantungnya berdegup kencang, antara terkejut dan gembira.

“Baik, saya akan segera mengeceknya. Terima kasih,” ucap Tamara dengan penuh syukur sebelum menutup telepon.

Tangannya gemetar saat membuka laptop yang ada di meja. Ia segera membuka email dan menemukan pesan yang dimaksud. Ternyata, ia diminta untuk hadir di kantor Dwayne Corp pagi itu juga, tepat pukul sembilan tiga puluh, untuk wawancara lanjutan.

Dengan cepat, dia bergegas ke kamar mandi untuk bersiap, dan tidak lupa mengenakan setelan terbaik yang dimilikinya. Tamara memilih blazer abu-abu yang rapi dengan celana panjang hitam, dan memadukannya dengan sepatu hak tinggi berwarna nude yang nyaman.

*

Gedung itu menjulang tinggi, dengan kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari pagi, memberikan kesan megah dan modern. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Tamara melangkah masuk ke dalam lobi yang luas dan elegan.

Di meja resepsionis, seorang pegawai wanita menyapanya dengan ramah. Begitu tahu dia datang untuk wawancara, Tamara segera diminta pergi ke salah satu ruangan yang terletak di lantai lima belas.  Tamara lantas berjalan menuju lift yang ditunjukkan.

Begitu lift berhenti di lantai lima belas, pintu terbuka dengan suara lembut. Tamara melangkah keluar, mendapati dirinya berada di koridor yang dikelilingi dinding kaca, memberikan pemandangan kota yang luar biasa. Namun begitu dia tiba di sana, Tamara menyadari sesuatu yang terasa ganjil.

Di ujung lorong, ada sebuah pintu yang dimana di bagian depan ruangan itu terdapat meja resepsionis dengan sepasang orang dewasa yang sedang duduk di mejanya masing-masing. Begitu mendekat, pegawai pria itu langsung berdiri dan memintanya untuk masuk.

Tamara melangkah masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di sana. Namun begitu tiba di dalam ruangan itu, ekspresi wajahnya mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Ruangan yang dimasukinya sama sekali tidak seperti ruang interview. Ruangannya lebih terlihat seperti kantor pribadi untuk seseorang dengan jabatan tinggi di perusahaan.

“Aku rasa kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi.” Suara itu membuat Tamara seketika membeku di tempatnya. Matanya langsung membelalak sempurna, terlebih setelah dia melihat siapa yang duduk di kursi kebesarannya di ruangan itu.

“Kau!” pekik Tamara dengan nada kaget. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Davis lagi.

“Kau terkejut? Bukankah ini takdir bahwa kau secara kebetulan malah melamar pekerjaan diperusahaan ku?” Ada nada puas yang Tamara rasakan dari ucapannya.

Davis beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Tamara yang berdiri di sana. Tamara masih mematung di tempatnya dengan wajah bingung.

“Bagaimana kau bisa ada di sini?”

“Bagaimana aku bisa ada di sini? Sepertinya kau tidak menyimak apa yang aku katakan sebelumnya.” Davis menunjuk ke arah papan namanya di atas meja. Di sana tertulis dengan jelas nama dan jabatan Davis di kantornya.

Hal ini sungguh membuat Tamara merasa seakan disambar petir di tengah siang bolong.

“Aku bisa langsung menerimamu tanpa perlu wawancara atau semacamnya. Tapi dengan satu syarat.” Davis bergerak semakin dekat hingga membuat Tamara terpojok, dan berakhir di dinding.

Ketika berusaha menjauh, Davis sudah lebih dulu mencengkram tangannya, dan menahannya hingga membuat Tamara berakhir terjebak dalam dekapannya.

Tamara dan Davis terdiam untuk sesaat. Keduanya saling pandang dalam jarak yang begitu dekat. Dari posisinya saat ini, Tamara bisa mencium aroma khas yang menempel di tubuh Davis.

“Apa syaratnya?”

“Menikahlah denganku.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status