Share

2. Masalah Lain

Tamara duduk di salah satu sudut kafe dengan wajah lesu. Cangkir kopi di depannya masih penuh, uap panasnya tak lagi naik ke udara, menandakan sudah lama kopi itu tak tersentuh. Ia menatap kosong keluar jendela, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan langkah pasti, seakan mereka tahu ke mana harus pergi.

Hari ini, dia baru saja mengunjungi beberapa perusahaan, mengirimkan lamaran pekerjaan yang telah ia persiapkan. Namun, semuanya berakhir dengan jawaban yang sama: penolakan.

Tamara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kepalaku rasanya mau meledak. Masalah ini benar-benar membuatku bingung harus bagaimana."

Ia mengaduk kopi yang sudah dingin dengan sendok perak, tetapi tidak berniat meminumnya. Segala upayanya terasa sia-sia. Pikirannya kacau, terjebak antara kenyataan yang terasa begitu pahit.

Langit di luar kafe mulai berubah warna menjadi jingga, tanda bahwa hari sudah beranjak sore. Tamara merasa tidak ada gunanya lagi untuk berlama-lama di kafe itu. Dengan enggan, ia meraih tasnya, memasukkan dokumen-dokumen yang berserakan di meja ke dalam tas, lalu bangkit dari tempat duduknya.

Ketika Tamara melangkah keluar dari kafe, angin sore yang sejuk sedikit mengusap wajahnya yang lelah. Namun, sebelum ia sempat menikmati sejuknya angin, seorang pria tiba-tiba muncul di depannya. Pria itu tinggi, dengan jas hitam yang tampak begitu rapi.

"Apakah kau adalah Tamara?"

"Bagaimana kau bisa tahu namaku?" jawab Tamara dengan nada waspada. Ia tidak mengenal pria ini, dan hatinya mulai diliputi perasaan tidak nyaman. Namun alih-alih menjawab pertanyaannya, pria itu malah meminta Tamara untuk ikut dengannya.

Tamara melangkah mundur. Tapi belum sempat dia bereaksi, pria itu sudah lebih dulu meraih lengannya dengan kuat. Tamara tersentak, dan mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat.

Pria itu menarik Tamara dengan paksa menuju sebuah mobil hitam yang diparkir tak jauh dari kafe. Semua perlawanan Tamara sia-sia. Ia dilemparkan ke dalam mobil, yang kemudian mobil itu segera melaju meninggalkan tempat itu.

*

"Siapa kalian, dan apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Tamara dengan napas tersengal saat mereka akhirnya berhenti. Pria itu tidak menjawab, hanya menariknya keluar dari mobil dan memeganginya dengan tujuan agar Tamara tidak melarikan diri.

Begitu diluar, Tamara baru sadar bahwa mereka saat ini berada di sebuah gedung perhotelan yang tampak familiar. Tamara merasa jantungnya berdetak kencang. Ia tahu tempat ini. Kemarin malam, dia menghabiskan malam panasnya dengan pria asing di hotel ini.

Tanpa menunggu lama, mereka membawanya masuk ke dalam hotel. Berjalan cepat melalui koridor hotel, hingga akhirnya tiba di depan sebuah kamar. Tanpa berkata apa-apa, pria itu membuka pintu dan mendorong Tamara masuk.

Tamara berdiri di ambang pintu ketika dirinya menyadari ada orang lain selain dirinya di kamar itu. Wajahnya langsung berubah terkejut saat melihat seorang pria lain yang berdiri membelakanginya, menghadap jendela. Tubuhnya tegap, dan meski hanya melihat punggungnya, Tamara bisa langsung mengenalinya.

"K-KAU?!" Tamara bersuara, setengah tidak percaya.

Davis berbalik perlahan, menatap Tamara dengan sorot mata yang intens. "Aku minta maaf kalau caraku sedikit kasar untuk membawamu kemari. Tapi, kita perlu bicara.”

Tamara menatapnya dengan wajah bingung. Di saat yang sama, dia merasa panik karena instingnya mengatakan bahwa akibat dari kesalahannya kemarin malam baru saja timbul. Davis mendekat perlahan, wajahnya tampak serius. "Menikahlah denganku."

"Apa? Ini gila! Kita bahkan tidak saling kenal. Dengar, aku tahu bahwa kemarin malam aku membuat kesalahan dengan menggodamu ketika aku sedang mabuk, tapi… menikah denganmu…” Tamara kehabisan kata-kata. Dia tidak menyangka bahwa akibat perbuatannya kemarin, pria itu sekarang datang mencarinya meminta pertanggung jawaban atas apa yang diperbuatnya.

Awalnya Tamara sempat mengira bahwa pria yang tidur dengannya adalah seorang pria bayaran, sehingga dia meninggalkan beberapa lembar uang sisa yang ada di dompetnya. Namun, melihat dari perawakan pria itu saat ini, jelas sepertinya Tamara sudah salah sangka.

Belum lagi beberapa pria yang telah membawanya kemari. Tamara mulai dihampiri ketakutan, dia takut bahwa pria di hadapannya ini adalah ketua geng mafia atau bandar narkoba.

“Tidak… Aku tidak mau!” Tamara syok hingga terasa sulit baginya untuk berkata-kata. Melihat ada kesempatan, Tamara segera berlari dengan kencang dan melarikan diri dari sana.

Begitu melihat kebelakang dan menyadari tidak ada yang mengejarnya. Tamara baru bisa bernapas dengan lega. Semoga aku dan dia tidak akan pernah bertemu lagi…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status