“Sekarang hanya ada kita berdua di sini,” Tamara bisa merasakan nafas hangat pria itu di lehernya. Ia mengalungkan kedua tangannya, menariknya lebih dekat.
Ciuman pertama terjadi begitu cepat, bibir mereka bertemu dengan penuh nafsu. Langkah mereka bergeser tanpa henti, bergerak menuju ranjang di sudut kamar. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh punggung Tamara, mendekapnya erat dalam pelukan.
Tamara merasa tubuhnya bergetar oleh hasrat yang tidak tertahankan.
“Apa kau yakin tidak akan menyesalinya?” suara berat itu terdengar begitu seksi bagi Tamara. Terlebih wajahnya yang tampan membuat Tamara seolah tidak bisa berhenti menatapnya. Wanita itu lantas menariknya lebih dekat, dan mencium bibirnya lagi dengan penuh gairah.
Malam itu untuk pertama kalinya, Tamara menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya untuk seorang pria yang bahkan baru saja ditemuinya. Dia terlena, dan tidak menyadari bahwa perbuatannya akan mendatangkan penyesalan dalam dirinya.
*
“Argh…” Wanita itu bergumam pelan. Tamara membuka kedua matanya, dan hal pertama yang dirasakannya adalah tubuh yang terasa remuk. Dia terdiam sambil mencoba mengumpulkan kesadarannya. Detik berikutnya, Tamara dibuat kaget ketika menyadari tubuhnya polos tanpa busana. Dia menarik selimut dengan panik, tapi perhatiannya teralihkan ketika Tamara menangkap sosok pria yang terbaring di sampingnya.
Tamara mengacak-acak rambutnya frustasi ketika momen semalam berhasil dia ingat. Semalam, dia mengunjungi J-Club, dan mabuk-mabukan di sana, berharap bisa melupakan setiap masalah yang menghampirinya. Seharian kemarin ada begitu banyak masalah yang dia alami hingga membuatnya merasa tertekan dan akhirnya mencari pelarian dengan mabuk-mabukan. Namun tampaknya apa yang dia perbuat, justru malah mendatangkan masalah baru.
Jika diingat-ingat, Tamara merasa dunia seolah begitu kejam padanya. Bisa-bisanya masalah datang secara bersamaan seperti ini? Belum sempat dia menemukan solusi untuk masalah yang satu, masalah lain sudah berdatangan menghampirinya. Sekarang dia bahkan harus menghadapi masalah yang jauh lebih besar dan rumit.
Tamara termangu merenungi nasibnya. Setiap kali memikirkan semua itu, dia benar-benar merasa sedih dan tersiksa. Bahkan semalam, sosok Tamara di klub tampak seperti sosok yang hilang ditengah keramaian. Dia hanya satu-satunya orang yang tampak tidak menikmati keramaian dan keceriaan di klub itu.
Dia baru saja tahu bahwa Hendrick—kekasihnya telah menggunakan namanya untuk melakukan pinjaman uang yang cukup besar di bank. Selain itu, dia dipecat dari perusahaan karena dituduh telah melakukan kecurangan dan menggelapkan uang.
Semuanya terjadi secara bersamaan, membuat Tamara merasa frustasi. Terlebih Tamara sama sekali tidak bisa menghubungi Hendrick untuk meminta pertanggungjawaban atas kekacauan yang diperbuatnya. Selain itu, dewi Fortuna tampaknya sejak awal memang tidak berpihak padanya. Di hari yang sama, Tamara mendapatkan kabar bahwa adiknya mengalami kecelakaan dan membutuhkan uang untuk melakukan operasi.
Tamara menggigit bibirnya. Kedua mata wanita itu tampak mulai berkaca-kaca. Sekarang, dia menghadapi masalah baru atas kebodohan yang diperbuatnya dengan meniduri pria asing yang dia temui di klub semalam.
Karena tidak ingin membuat masalah ini semakin rumit, Tamara memutuskan untuk segera beranjak memunguti pakaiannya. Dengan penuh hati-hati Tamara berpakaian, dan berusaha untuk tidak membuat suara yang dapat membangunkan pria itu dari tidurnya. Dia berencana melarikan diri sebelum lelaki itu sadar akan kehadirannya.
*
Davis terbangun, ketika dia menyadari wanita yang tertidur dengannya semalam telah menghilang dari sampingnya. Matanya lantas beralih pada hal lain. Ada beberapa lembar uang kertas yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sana. Sudut bibir Davis terangkat perlahan. “Berani sekali wanita itu menganggapku pria bayaran.”
Drrtt…
Dengan segera Davis mengangkat panggilan masuk dari Fabio - asistennya.
“Bagaimana? Apakah kau sudah menemukan petunjuk?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Maafkan aku, Tuan. Tapi, aku tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun mengenai keberadaan Nona.” Suara Fabio membuat Davis menghela napas panjang.
Minggu depan, Davis seharusnya akan melangsungkan pernikahan. Namun, calon istrinya mendadak menghilang. Hal ini membuat Davis kesal, karena memikirkan jika pernikahan batal, maka itu akan merusak nama baik serta citra keluarganya di depan semua orang. Selain itu, orang tuanya akan kembali mendesaknya untuk memberikan keturunan.
Otaknya berputar keras. Apa pun yang terjadi, pernikahannya harus tetap berlangsung.
Davis terdiam sejenak ketika sebuah ide terlintas di benaknya. Ada satu cara yang dia rasa bisa menyelesaikan masalahnya saat ini, dan itu berkaitan dengan wanita yang pagi ini didapatinya menghilang dari sisi ranjangnya.
“Fabio, aku punya tugas lain untukmu…”
***
Tamara duduk di salah satu sudut kafe dengan wajah lesu. Cangkir kopi di depannya masih penuh, uap panasnya tak lagi naik ke udara, menandakan sudah lama kopi itu tak tersentuh. Ia menatap kosong keluar jendela, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang dengan langkah pasti, seakan mereka tahu ke mana harus pergi.Hari ini, dia baru saja mengunjungi beberapa perusahaan, mengirimkan lamaran pekerjaan yang telah ia persiapkan. Namun, semuanya berakhir dengan jawaban yang sama: penolakan.Tamara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Kepalaku rasanya mau meledak. Masalah ini benar-benar membuatku bingung harus bagaimana."Ia mengaduk kopi yang sudah dingin dengan sendok perak, tetapi tidak berniat meminumnya. Segala upayanya terasa sia-sia. Pikirannya kacau, terjebak antara kenyataan yang terasa begitu pahit.Langit di luar kafe mulai berubah warna menjadi jingga, tanda bahwa hari sudah beranjak sore. Tamara merasa tidak ada gunanya lagi untuk berlama-lama di kafe itu. De
Davis menghela napas panjang. Sudah berjam-jam dia duduk di sini, tapi tidak ada solusi yang muncul di pikirannya. Instingnya mengatakan bahwa Tamara adalah orang yang paling tepat untuk membantunya. Selain itu, bagi Davis, Tamara cukup menarik dan telah mengambil perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka. Namun, kenyataan bahwa wanita itu melarikan diri lagi dan menolak membantunya membuat Davis merasa gusar.Suara dering ponsel di meja kerja Davis membuyarkan lamunannya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat nama Fabio tertera di layar. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu."Tuan, aku punya kabar menarik. Wanita bernama Tamara yang anda temui, ternyata mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke perusahaan kita." Suara Fabio terdengar antusias di seberang sana.Davis terdiam sesaat, mencerna informasi yang baru saja ia terima.Lamaran pekerjaan? Senyum kecil seketika mengembang di sudut bibirnya."Kerja bagus, Fabio. Panggil dia untuk interview hari ini," kata Davis dengan nada penuh
Matanya melebar, tatapannya tidak bisa lepas dari wajah pria di hadapannya. Dia mencoba mencari tanda bahwa Davis hanya bercanda, namun ekspresi Davis tetap datar, tidak ada sedikitpun senyum di sana. Wajahnya benar-benar serius.“Kenapa... kenapa kau begitu ingin aku menikah denganmu?”“Ini bukan tanpa alasan, bagiku kau adalah wanita yang paling cocok untuk membantuku dalam situasi ini. Selain itu, kita sudah pernah tidur bersama sebelumnya. Bukankah ini masuk akal?”Tamara menelan ludahnya dengan susah payah. “Apa maksudmu dengan 'membantumu'?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Wajahnya mulai memerah, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena marah. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Davis merapatkan tubuhnya pada Tamara, pandangannya masih terfokus pada wanita itu. Davis menghela napas panjang, terlihat sedikit enggan untuk menjawab pertanyaan itu.“Dengar, seharusnya seminggu lagi aku melangsungkan pernikahan. Tapi
Setelah mendapatkan restu dari orang tua Davis, dan menghabiskan makan siang bersama. Kini Tamara memberitahukan perihal rencana pernikahannya kepada kedua orang tuanya.Dalena dan Bennet saling berpandangan, seolah mencari penjelasan dalam tatapan masing-masing. Mereka berdua tampak sama-sama terkejut dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh putrinya itu.Bennet akhirnya berdiri, berjalan mendekati putrinya dengan langkah hati-hati. "Tamara, ini terlalu mendadak. Kami bahkan belum pernah bertemu keluarga Davis. Bagaimana bisa kau membuat keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi dengan kami?" tanyanya dengan nada lembut namun tegas.Tamara menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa penjelasan ini tidak akan mudah diterima."Pa, ma, aku tahu ini tampak terburu-buru. Tapi Davis sudah berbicara dengan orang tuanya, dan mereka sangat menginginkan pernikahan ini. Mereka bahkan sudah merencanakan pertemuan keluarga kita untuk membahasnya.""Apa?" Dalena nyaris tersedak mendengar pernyataa
Davis berdiri di hadapan jendela besar, menatap langit yang masih berwarna kelabu. Di tangannya, cangkir kopi yang masih menguap perlahan-lahan memancarkan aroma yang menggoda. Pria itu baru saja selesai mandi, tubuhnya masih terasa segar dengan kulit yang sedikit mengkilap akibat kelembaban. Jubah mandi putih yang dikenakannya melambai ringan mengikuti setiap gerakannya.Tatapannya beralih dari jendela ke arah ranjang di belakangnya. Tamara, wanita yang telah mengisi malamnya dengan gairah dan intensitas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, terbaring di sana.Wajahnya yang damai, dengan helaian rambut yang tersebar acak di atas bantal, memancarkan kelelahan yang tak terbantahkan. Davis terdiam, mengamati setiap detail dari sosok yang terlelap itu. Hati kecilnya berbisik bahwa Tamara benar-benar berbeda dari wanita lain yang pernah singgah di hidupnya.Ia mengingat kembali kejadian semalam, bagaimana mereka berdua terlibat dalam permainan yang liar dan penuh gairah. Davis, yang sel
“Bulan madu?” gumamnya tak percaya. “Kau tidak pernah memberitahuku tentang ini.”“Kita sudah menikah. Meskipun pernikahan ini hanya sebatas kontrak, tapi untuk meyakinkan semua orang, maka kita harus melakukannya.”“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” tanya Tamara, meskipun dia tahu pertanyaannya mungkin sia-sia.Davis mengeluarkan smirk-nya, matanya memperhatikan reaksi Tamara dengan cermat. “Berlebihan? Bukankah setiap pasangan yang baru menikah memang seharusnya berbulan madu? Lagipula apa yang kau takutkan? Bukankah kau sudah pernah tidur denganku? Bahkan dua kali.”Tamara terdiam dengan wajah merona. Sesuatu tentang cara Davis mengatakan hal itu membuatnya sungguh tidak bisa berkata-kata. Bersamaan dengan itu, hatinya bergejolak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Antara kesal dengan sikapnya yang semena-mena, dan malu karena dia terus mengungkitnya, Tamara tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. “Aku rasa kau tidak memiliki alasan lagi untuk menolak rencana ini,” ujarnya
Wanita itu menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak percakapan terakhir mereka, dia tersenyum tipis. "Terima kasih," katanya sebelum membuka pintu mobil dan keluar.Tepat ketika Tamara sudah berada di luar, Davis membuka pintu dan ikut melangkah keluar dari dalam mobilnya. Wanita itu mendadak diam dan menatap lelaki yang kini menjadi suaminya itu dengan wajah bingung."Jika kau masuk sendirian, orang tuamu mungkin akan curiga. Mereka akan bertanya-tanya mengapa aku tidak menemanimu. Itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu,” ujarnya. Lelaki itu bicara seolah bisa membaca isi pikiran Tamara saat ini. Selain ingin menghindari kecurigaan, Davis juga ingin memastikan image-nya sebagai menantu tetap terlihat baik di mata mertuanya.“Tapi, bukankah kau harus pergi ke kantor? Dan lagi, seperti yang aku bilang, ini urusan pribadiku. Tidak ada hubungannya denganmu."Davis melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menemanimu sebentar, lalu pergi ke kantor."*
Tamara sibuk mengemasi barang-barangnya untuk keberangkatan besok hari. Setiap kali ia menoleh ke arah Davis, dia melihat suaminya itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Davis pakaian apa yang harus aku siapkan untukmu? Aku ingin memastikan semuanya siap sebelum kita pergi."Ucapan Tamara barusan seketika membuat Davis tersadar dari lamunannya. Dengan wajah bingung, dia menatap Tamara. "Kau bilang apa?" tanyanya, suaranya sedikit serak."Pakaian," ulang Tamara dengan sabar. "Apa saja yang harus aku persiapkan untukmu? Aku bisa membantu mengemasi barang-barangmu.""Persiapkan saja pakaian yang nyaman dan pas untuk bersantai," jawabnya akhirnya, meski pikirannya masih belum sepenuhnya kembali.“Okay…” Tamara mengangguk pelan sambil terus memperhatikan wajah Davis. Dia benar-benar bingung kenapa malam ini Davis bersikap tidak seperti biasanya. "Aku akan siapkan semuanya," katanya sambil kembali ke ruang pakaian untuk membantu mempersiapkan pakaian Davis.Tidak biasanya