“Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus? Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo sering membicarakan topik ini ketika mereka berpacaran. “Saat itu aku sadar aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.”
Di luar pintu utama apartemen, Rhea mendenguskan tawa. “Keparat itu bicara omong kosong.”
Dia menatap langit malam yang cerah. Bulan terlihat jelas dan bersinar terang. Bintang-bintang bertabur menghiasi langit. Tidak ada awan. Tidak ada tanda-tanda akan hujan.
Dia tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Bahkan langit tidak ingin menangis untukku.”
“Kenapa harus?” suara seorang pria bertanya padanya di sampingnya.
Tanpa menoleh, dia menanggapi, “Aku baru saja ditipu keka— tidak, mantanku. Dia berselingkuh dan mencampakkanku. Dia berkata aku gila, bukankah dia yang lebih gila? Dan sekarang aku menyesal karena tidak bisa menendang bolanya tadi.”
Pria itu menatapnya. “Apa kamu tidak sakit hati?”
“Yah, jujur saja iya. Aku sakit hati. Tapi, jika dibandingkan dengan kemarahanku yang sangat besar, sakit hati ini menjadi tidak berarti apa-apa.”
“Setelah dikhianati, kamu masih bisa mengendalikan dirimu. Itu bagus untukmu.”
“Benarkah?” Benarkah dia cukup baik mengendalikan dirinya? Yah, bagaimanapun dia harus menahan amarahnya jika tidak ingin menjadi badut di depan mereka.”
"Kau bisa melihat tanganmu sendiri."
Ah benar. Tangannya mengepal lagi. Pasti banyak bekas luka berbentuk bulan sabit di telapaknya setelah ini. "Itu satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan kendali."
“Kamu akan membiarkan mereka begitu saja?”
Rhea menghirup napas dalam-dalam. “Mereka yang melakukan balas dendam itu sebenarnya orang yang lemah karena kalah di pertandingan awal. Dan hidup dengan bayangan di belakangnya hingga dendam teratasi. Bukankah itu menyedihkan? Seharusnya mereka merelakan saja apa yang sudah terjadi dan menatap ke depan. Tapi setelah aku merasakannya sendiri, aku tidak ingin melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Dikhianati itu rasanya menyakitkan. Apa aku harus tidur dengan temannya seperti yang dia lakukan? Tapi itu sepertinya mustahil karena aku tidak akan mau melakukan hal keji seperti itu ....”
Pria itu menatap Rhea yang menunduk sedih. Wanita ini sangat baik dalam pengendalian tangisannya. “Apa kamu menangisi mereka?”
Rhea menggigit bibirnya seraya mengusap pipinya yang basah. “Untuk apa menangisi dua kotoran itu? Lihatlah, langit bahkan memberiku dukungan. Dia tahu bahwa akan menghabiskan waktunya jika menurunkan hujan pada kondisi seperti ini.”
Pria itu mengalihkan wajahnya dari Rhea dan ikut menatap langit malam. “Kamu benar. Langit sedang berada di sisimu. Dan untung saja kamu mengetahui sifat asli mereka sejak awal.”
Rhea tersenyum miris. "Ini tetap terlambat pikirku, tetapi masih lebih baik. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan berakhir menyesal menikahinya." Mengerjapkan mata, Rhea kembali sadar jika dia baru saja membicarakan hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. “Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?”
Begitu pria itu membalas tatapannya, Rhea seketika tertegun. Tatapan dalam pria itu tampak tajam seolah menusuk ke dalam pikirannya. Kenapa dia tidak pernah melihat pria tampan dan panas seperti ini di negaranya?
“Tidak juga.”
Tatapan itu bertahan lama seperti ada magnet di antara mereka. Tidak ada antara Rhea dan pria asing itu yang ingin berpaling karena masing-masing dari mereka sedang mempelajari wajah di depannya.
Namun, sangat disayangkan. Sebelum ia menyelesaikannya, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Melihat nama ibunya di sana, dia yang seketika mengingat maksud kedatangannya kemari segera mengangkat panggilan dengan khawatir. “Halo, Ma. Apa Papa sudah siuman?”
Keheningan merajalela membuat Rhea menjadi waspada.
“M-Ma?” Bahkan suaranya terdengar gemetar. Ketenangan yang ia kumpulkan sedari tadi mulai goyah. Rhea mengeratkan pegangannya pada ponsel. “Papa baik-baik saja, kan, Ma?”
“Rhe, papamu ….” Terdengar isakan tangis di seberang telepon. “Dia sudah pergi.”
Tepat saat itu hujan pun mulai turun membuat pria itu memandangi langit cepat lalu kembali pada Rhea.
“Tidak, tidak mungkin.” Mata Rhea bergerak tidak fokus. Bohong. Tidak mungkin ayahnya telah tiada. Dia menjauhkan ponsel dan bergerak ke jalan raya. Tidak peduli jika rambut dan bahunya mulai basah.
“T-taksi.” Dia harus mendapatkan taksi sekarang untuk melihat ayahnya langsung.
Sebelum dia bisa melangkah lebih dekat ke taksi, seseorang tiba-tiba memegang tangannya, menghentikan langkahnya.
Pria itu menatap wajah Rhea. Padahal sebelumnya wanita ini masih mencoba untuk tegar. Sekarang, ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Rhea menggeleng. “Ru-Rumah sakit. Aku harus ke rumah sakit.”
Tanpa bicara lagi, ia membawa Rhea menuju mobilnya. Sambil mengendarai mobil, dia sesekali akan menoleh ke samping di mana Rhea tampak lemah dan tidak fokus. Dia pun melirik kedua tangan ringkih dan pucat yang terjalin cemas. Namun dia tidak mengatakan apa pun selain melajukan mobil agar cepat sampai.
Setibanya di ruang tempat ayahnya dirawat, Rhea segera masuk ke dalam. Dia melihat perawat sedang sibuk ke sana kemari kemudian menatap Ivanka yang menangis histeris yang ditenangkan dokter.
Rhea bergerak mendekati Ivanka sambil menatap wajah pucat ayahnya. “Ma ....”
Ivanka mendongak lalu memeluk anaknya. Tangisannya semakin menjadi. “Papamu …, Rhe, papamu …. Ya Tuhan, kenapa ini menimpa kita?!”
Ini pertama kalinya Rhea merasakan tempatnya berpijak menjadi hancur. Dan dia bersama Ivanka yang memeluknya jatuh terduduk lemas di lantai.
***
“Ini.”
Masih di ruangan itu sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain dia. Ayahnya sudah dibawa dengan ditemani Ivanka. Rhea yang masih duduk di lantai tidak melakukan apa pun selain menatap tempat tidur pasien dengan tatapan kosong, mulai melirik handuk putih yang diulurkan pria itu.
“Aku membelinya di bawah. Keringkan rambut dan pakaianmu dengan ini.”Rhea tidak sadar jika tubuhnya basah dan kedinginan. Dia mengerjapkan mata cepat berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi.
Dia menurunkan kepala sedikit dengan lemah. “Terima kasih dan maaf sebelumnya sudah merepotkan Anda. Saya baik-baik saja sekarang. Mohon untuk meninggalkan nomor Anda agar saya bisa menghubungi dan membalas kebaikan Anda malam ini.”
“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk membalas kebaikanku?”
“Saya dan ibu saya akan mentraktir—”
“Aku bisa membayar makananku sendiri.”
“… Lalu apa yang Anda inginkan sebagai balasannya?”
“Anak.”
Rhea berpikir jika dia salah dengar.
Lalu detik selanjutnya pria itu mengulangi ucapannya dengan sangat jelas, “Beri aku anak.”
Dia seketika mendongak untuk melihat apakah pria ini sedang bergurau atau apa. “… Maaf, tapi candaan seperti itu tidak cocok di situasi seperti ini.”
“Aku tidak bercanda."
Kali ini Rhea terdiam. Pria ini … serius? Mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu kurang dari 2 jam. Mereka tidak mengenal satu sama lain. Dia bahkan tidak tahu namanya. Dan di hari dukanya, pria ini meminta anak?!
“Bukankah sebelumnya kamu bilang ingin balas dendam kepada mereka?”
Rhea mengalihkan wajah. “Saya hanya bicara asal karena marah.”
“Tidak. Kamu tidak emosi saat di sana.”
“Maaf. Tapi bagi saya topik anak benar-benar terdengar seperti lelucon. Apa Anda bisa meninggalkan saya sendiri? Dan tolong, anggap kita tidak bertemu dan tidak ada yang terjadi malam ini. Saya tidak bisa berpikir dengan baik sekarang karena pikiran saya kosong ….” Begitu juga hatinya
Dalam satu malam yang singkat, hatinya yang selalu penuh dengan kehangatan tiba-tiba kosong. Dan tempat yang kosong itu kini diisi dengan kegelapan. Rhea tidak tahu apakah besok dia bisa menjalani kehidupan seperti biasanya atau tidak.
Pria itu tidak pergi. Tidak marah. Tidak juga menunjukkan ketidaksabaran. Dia masih berdiri di depan Rhea dengan tenang. “Kekasih dan sahabatmu mengkhianatimu. Ayahmu telah tiada. Kamu tidak punya apa pun sekarang selain ibumu. Semuanya terlihat jelas di matamu bahwa kamu putus asa. Kamu berada di titik terburukmu.”
Rhea tidak mengelak karena itu benar adanya.
“Bagaimana jika aku memberi sebuah tawaran yang saling menguntungkan?”
Penawaran … menguntungkan? batin Rhea.
“Aku akan mengakuisisi perusahaan ayahmu. Aku akan meminjamkan kekuasaanku kepadamu untuk membalas mantan kekasih dan sahabatmu. Aku akan memberikan uang sebanyak yang kamu mau dan perlindungan selama kamu menyetujui tawaran ini. Dan balasan yang harus kamu berikan hanya satu itu.”
Rhea menatap pria yang berdiri di depannya. Sinar rembulan masuk dari jendela kamar rawat VIP tersebut. Dan pria itu berdiri di belakang bulan membuatnya tampak mengeluarkan aura gelap yang mengelilingi dirinya sendiri. Di saat dia mengatakan tawarannya, entah kenapa Rhea tergelitik menginginkannya.
“Tapi aku tidak mengenalmu.”
“Percayalah, aku orang yang bisa menjatuhkan orang yang mengkhianatimu.” Pria itu berbicara dengan penuh percaya diri dan dominan.
“… Apa kau seorang iblis?”
Pria itu tidak tersenyum atau apa pun. Menyebabkan wajahnya tampak misterius. “Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa pun, you poor thing.”
“Apa kau bisa berjanji untuk keuntungan egoisku?” Rhea bertanya sekali lagi agar segalanya lebih jelas. Agar dia tidak akan menyesal dengan pilihannya ke depannya.
Tatapan pria asing itu semakin dalam dan lebih samar, sulit untuk mengetahui apa yang dipikirkannya. “Ya. Kau bisa menggunakanku dengan syarat, beri aku anak.”
Pria itu mengulurkan tangannya dan Rhea menatap tangan besar itu untuk waktu yang cukup lama. Bukankah tangannya seperti sebuah ajakan yang tidak bisa ditolak? Seperti ada bisikan iblis di telinga membuat dia akhirnya menerima uluran tangan itu dan berdiri.
Dan pria itu pun berkata dengan suara dalam, “I guess we have a deal. Namaku Maven, omong-omong. Maven Williams.”
Rhea mengerjap menatap mata gelap Maven. Dia merasa tidak asing dengan nama itu. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.
Karena Rhea tidak mengambil handuknya, Maven sendiri yang mengeringkan rambut Rhea. “Sebagai awal kesepakatan kita, aku ingin kamu mengobati tanganmu.”
Ah tangan ….
Rhea melihat kedua telapak tangannya yang terluka. Baru sekarang dia menyadari kedua telapak tangannya terasa perih.
Prosesi pemakaman pagi itu berjalan khidmat dan lancar dengan diiringi rintik-rintik hujan. Kolega ayahnya, teman-teman ibunya, bahkan beberapa rekan kerja dan teman kuliah Rhea menghadiri pemakaman tersebut. Semua orang yang menghadiri pemakaman mulai pergi secara bertahap menyisakan Ivanka, Rhea, dan satu tamu mereka. Bahkan pamannya, adik kandung ayahnya sudah pergi bersama istri dan anak-anaknya.Ivanka menoleh ke belakang di mana seorang pria asing sedang sibuk berbicara dengan sopirnya di samping sebuah mobil. Tadi malam dia dibuat kaget dengan Rhea karena bukannya membawa Enzo, anaknya malah membawa pria yang tidak dia kenal ke rumah sakit. Dan sekarang pria itu juga datang ke pemakaman hari ini. Dia kemudian menatap anaknya yang duduk di depan makam ayahnya.“Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi Mama ingin kamu menjawab dua pertanyaan Mama. Di mana Enzo? Andini juga tidak—”“Ma,” potong Rhea pelan membuat Ivanka berhenti bicara. “siapa itu Enzo dan Andini?”“… Rhe.”“Apa mer
“Jadi, kau punya pacar dan dia hamil? Kenapa aku tidak tahu? Segeralah menikah.” “Aku bilang anak, bukan pacar.” Tony menatapnya dalam diam dan seperti biasa Maven tidak terusik sama sekali. Dia dengan santai mengelap mulut lalu berdiri. “Hati-hati di jalan nanti, Kek. Kabari aku jika sudah pulang.” Maven berbalik dan mendekati pintu ruang privasi tersebut. Ketika dia memegang gagang pintu, suara kakeknya terdengar. “Jauhi skandal jika ingin mempertahankan posisimu di perusahaan.” Maven melirik ke samping. “Hanya itu yang bisa aku sampaikan sebagai kakekmu, bukan sebagai Komisaris.” Dan Maven pun keluar. Berjalan keluar dari restoran, Albar sudah berada di belakangnya dalam diam. Dia kemudian memberi perintah, “Cari beberapa wanita yang unggul yang belum menikah. Mau itu yang masih lajang atau bertunangan.” “Baik,” Albar menjawab tanpa menyela. Lalu tepatnya di malam itu, 5 hari kemudian Maven pergi ke unit Albar untuk melihat para kandidat. Dan begitu selesai, dia melihat sos
“Jadi, bagaimana kita akan membuat skenario hubungan ini?” tanya Rhea ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Rhea.“Ada ide?”Rhea mengedikkan bahu. “Uh … mantan yang kembali?”Maven menatapnya tertarik membuat Rhea gugup.“Tidak ada yang akan percaya jika dua orang asing bertemu untuk kali pertama tiba-tiba ingin menikah. Aku dan dia sudah bersama selama enam tahun. Jika ada yang bertanya, jangan menyebutkan enam tahun terakhir ini.”“Itu bagus. Kita bisa katakan berpacaran saat masih sekolah,” respons Maven tersenyum samar.“Jadi, seperti itu yang akan kita katakan, oke?”Maven mengangguk ringan. “Setuju.”Seharusnya seperti itu.Tetapi, begitu mereka tiba di kediaman Rhea, Maven langsung menyatakan masuk kedatangannya, “Bu Ivanka, kami akan menikah.”Syok, bingung, dan terkejut, Ivanka benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun.Maven mendeklarasikan sebuah pernikahan dengan santai dan tenang di hadapannya. Apa perlu Ivanka ingatkan dia baru saja bertemu dengannya? Belum lagi En
“Aku akan menikah.”Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan maksud tujuannya membuat Tony menatapnya dingin. Dan hujan lebat seketika mengguyur sore ini. Pria tua itu bahkan mengorek kupingnya khawatir dia salah dengar sebelum kembali melihat ketenangan sikap cucunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja.Maven menghela napas sebelum menambahkan, “Jadi, aku mohon untuk menemaniku mengunjungi keluarga calon istriku.”Langkah kaki Tony berhenti tepat di depan pintu. Dia yang hendak memegang gagang pintu menoleh. “Memangnya kapan kalian akan menikah?”“Tiga hari lagi.”Tony memejamkan mata, membuang napas, lalu berbalik. Kesal, langkahnya yang mendekati Maven cukup cepat. Sebelum cucunya sempat bereaksi, dia sudah memukul bahunya dengan tongkat hingga Maven terkejut. “Dasar keparat, kau tidak bisa menikah cepat hanya karena aku menyuruhmu. Perempuan mana yang kau bayar, hah?”Maven mengusap bahunya. “Kami pernah berpacaran ketika masih muda
Apa yang diharapkan Rhea sepertinya sedikit tidak sesuai dengan keinginannya. Ketika dia ingin pernikahan sederhana saja, Tony menolak dengan halus.“Ya, itu bagus. Tetapi pihak kami perlu mengundang beberapa orang penting. Kurang lebih begitu yang kakekku katakan.”Artinya, sesederhana apa pun perlu diadakan pesta. Rhea mengerang pelan dengan katalog di pangkuannya di ruangan yang memajang beberapa gaun pengantin.Maven yang duduk di sebelahnya berbicara lagi, “Kemungkinan hanya sekitar 50 orang penting saja. Direksi juga perlu diundang mau bagaimana pun.”“Jujur saja, kakekmu sepertinya tidak ingin membiarkanku hidup tenang.”Maven tersenyum tipis. “Bagaimana dengan pihakmu? Ibumu pasti ingin hal yang sama untuk pernikahan putri satu-satunya.”Bicara tentang ibunya, Rhea membisu. Dia masih ingat wajah kaget Ivanka tadi malam setelah dia mengatakan ingin menggelar acara itu secara sederhana, sebelum berubah sedih. Dan dia pura-pura tidak memperhatikan.Selang beberapa menit diam, dia
Merasa terlalu lama membuatnya menunggu, Rhea hendak membalas jabatan itu tepat ketika Maven menariknya mendekat dengannya. Jadi, dia hanya sedikit menurunkan tubuhnya dengan sikap sopan. “Rhea.”Henry terkekeh dalam hati melihat tangannya yang kosong. Dia kemudian mengambil kembali tangannya. “Selamat telah menjadi bagian dari keluarga Williams. Panggil aku jika kamu memerlukan bantuan, Rhea.”Rhea memperhatikan Henry lagi, namun pria ini tak tampak berbahaya sebelum mengangguk. “Terima kasih.”“Kalian berkumpul akhirnya.” Tony datang membuat mereka berempat menatap kehadirannya. Dia membawa tiga orang bersamanya, dua orang lebih tua dan satu yang lebih muda.Ketika Rhea melihat wajah yang tidak asing pada salah satunya, dia sontak saja terkejut. Naomi …? Dia adalah salah satu rekan kerjanya di Art Centre, tetapi tidak terlalu dekat. Dan tunggu, sejak kapan dia mengundang Naomi?“Rhea, perkenalkan ini Elisa, Vino, dan Naomi. Mereka juga bagian dari keluarga Williams,” ucap Tony.Dan R
Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.“Itu mengganggu,” Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.“Oh ….”Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mende
Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.“Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi.”Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.“Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih.”Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Ketika melihat bebera
“… Ini sudah larut dan aku tidak punya energi untuk bergagumen hal kecil seperti ini.”Ucapan Enzo pada malam itu membuat Andini mendiamkannya. Tentu dia lebih marah karena tidak menyangka suaminya menganggap kecemasannya sebagai ‘hal kecil’. Suaminya itu bahkan tidak tahu betapa terluka perasaannya.Di saat bersiap ke kantor, Enzo berkata, “Aku sepertinya akan pulang malam lagi hari i—”“Lakukan saja apa yang kamu mau,” potong Andini yang segera mengambil tasnya. Dia selalu pulang sangat malam, jadi untuk apa mengatakan ‘hal kecil’ itu?Gerakannya yang memasang dasi terhenti seketika. Enzo kemudian melihat kepergian Andini. Tepat hari itu suaminya menyadari perang dingin yang dibuatnya. Terima kasih untuk kesibukan Enzo beberapa minggu berikutnya, perang dingin itu semakin menyesakkan dada.Suasana hatinya menjadi buruk dari hari ke hari. Bahkan di tempat kerjanya. Andini beberapa kali nyaris kehilangan kendali dirinya. Dia akui, hal kekanakkan yang ia lakukan ini pun menyakiti dirin
Di salah satu restoran jepang, Maven dan Zayden saling pandang dengan ekspresi datar.Lalu, Cade tertawa memecahkan suasana aneh di sekeliling mereka. “Demi Tuhan, kali ini sungguh kebetulan! Jadi berhentilah memasang ekspresi saling membunuh. Kalian menakutiku, tahu?”Melirik Alex yang juga terkejut membuat Maven percaya, Dan jika pertemuan kebetulan seperti ini terjadi, ini bukan hal yang menyenangkan untuk mereka berempat.Alex mengembuskan napas dengan mata terpejam. “Sial, keberuntunganku tahun ini hilang gara-gara kalian. Karena urusanku di sini telah selesai, aku akan pergi lebih dulu. Dan jangan temui aku beberapa hari ke depan.”“Aku juga berharap tidak bertemu denganmu untuk sementara waktu.” Cade masih tertawa lalu pergi juga bersama asistennya.“Aku hanya pergi buang air. Sebentar lagi urusanku di sini berakhir,” kata Zade setelah mendapatkan ekspresi menuntut Maven.Mendesah, Maven mengusap wajahnya. Mereka pun berjalan beriringan di lorong menuju ruang pribadi masing-mas
Menggigit rotinya, Rhea sesekali menatap pria di seberang yang meminum kopi dengan tenang sambil membaca laporan di iPad. Ini sangat tenang seolah tidak ada masalah yang berarti malam sebelumnya, hingga rasanya canggung.“Anda ingin tambah lagi, Bu?” Yana sudah berada di sampingnya mengisi cangkir Rhea yang kosong, membuatnya tersadar dari lamunannya.“Tidak perlu, terima kasih, Yana.”Yana hanya tersenyum sebelum pergi. Dan Rhea menghabiskan minumannya sebelum mengelap sudut bibir.“Sudah selesai?” tanya Maven dan Rhea mengangguk. “Ayo pergi.”Sambil berjalan di belakangnya, Rhea memandang punggung lebar suaminya. Maven tampak biasa saja, tidak marah atau kesal. Ketika makan juga tidak ada keanehan. Apa hanya dia saja yang berlebihan?Di perjalanan pun Rhea masih mencuri pandang diam-diam hingga Maven menoleh mantap ke arahnya tepat ketika ia sedang menatapnya.“Kamu ingin mengatakan sesuatu?”Lihat, cara bicaranya juga tidak ada yang berbeda.Rhea membersihkan tenggorokannya sebelum
Keluarga besar Tony Williams berkumpul di rumahnya, termasuk orang tua Naomi dan Rhea. Mereka mengobrol dan makan malam bersama dengan perasaan hangat dan kebersamaan. Rhea dan Maven membagikan oleh-oleh dari Swiss untuk mereka, tanpa terkecuali. Ya, Gemma dan keluarga kecil Henry pun ikut mendapatkannya. Tentu saja awalnya Maven mengatakan tidak perlu, namun dia tidak ingin membuat situasi menjadi canggung.Rhea tahu, Gemma tidak akan peduli dengan pemberian mereka dan dia pun tidak mempermasalahkan itu. Sementara untuk keluarga Henry, dia menyerahkannya lewat Vexia.“Ow, how cute! Lihatlah baju ini, ini terlalu cantik untuk anak kami! Terima kasih banyak, Rhea,” Vexia, istri Henry berseru gembira. “Henry pun pasti merasa senang dengan pemberian kalian.”Bicara tentang Henry, pria itu sedang berkumpul bersama Tony, Maven, Gemma, Ivanka, dan orang tua Naomi di meja tamu. Sedangkan mereka bertiga berbincang ringan di meja lain yang tidak jauh.Rhea membalas senyuman Vexia tak kalah tul
Kembali dari liburan, seperti biasa Maven mengantarnya ke galeri dan membukakan pintu untuknya. “Setelah selesai aku akan menjemputmu. Kita perlu mengunjungi Kakek dan Mama.”Rhea bergumam ketika menyampirkan tali tas di bahu setelah melepas seat belt. Dia keluar bersamaan dengan kedatangan Naomi.“Hei, di sana,” sapa Naomi.Rhea tersenyum. “Hai, Naomi.”“Hai,” balas Maven pendek. “Naomi, pulang nanti ikutlah dengan kami ke rumah kakek.”Naomi mengangkat alisnya tinggi. “Apa ini tentang oleh-oleh yang kalian bawa?”Dia kemudian menjerit senang setelah Maven mengangguk singkat dan Rhea yang tertawa kecil.Tidak ingin membuat Maven terlambat sampai di kantornya, Rhea mengecup cepat bibir suaminya. “Aku akan menghubungimu nanti. Sampai jumpa.”“Hm, sampai jumpa nanti,” Maven bergumam. “Sampai jumpa, Naomi.”“Ya, sampai jumpa!” Naomi melambaikan tangannya pada Maven begitu pria itu mengendarai mobilnya, di bawah tatapan penuh pengertian dari Rhea. “What?”Tertawa pelan, Rhea mengajaknya m
Mendongak kuat, menatap langit-langit hotel dengan lampu gantung indah, Rhea mendesah panjang. Tangannya yang mencengkeram erat sprei tiba-tiba tenggelam di dalam genggaman besar Maven. Suaminya bergerak kasar, tajam, dan kuat. Dan tatapannya yang membara terus tertuju padanya. Sensasi penuh dan sesak di bawah sana semakin meningkatkan kenikmatannya.“Sangat baik. Rasamu sangat luar biasa, Baby. Astaga ….”Geraman rendah di telinganya membuatnya bergidik dan kenikmatan yang luar biasa melandanya. Ia mengeluarkan erangan putus asa dan secara naluriah melilitkan kedua kaki jenjangnya di pinggang suaminya.Dikala dia mengatur napasnya, dia mendengar umpatan pelan Maven. Ketika suaminya mengusap titik sensitifnya, dia gemetar hebat. “Wait, Maven—”Dia menjadi lebih sensitif setelah klimaks dan pria ini kembali mengisinya dengan perlahan membuat mereka sama-sama mengerang. Maven kemudian menarik tubuhnya.“Bagaimana ini, Rhe? Aku tidak bisa berhenti menikmati tempatmu. Kamu sangat lembut.”
Swiss, negara yang kaya sejarah dan dipenuhi dengan bangunan abad pertengahan yang indah. Salah satunya Bern, pusat kota mereka. Arsitekturnya terawat dengan baik, jalan-jalannya menawan, serta kota ini sebagian besar tidak berubah sejak abad ke-12, hingga memberikan suasana bersejarah yang unik.Rhea dan Maven mengunjungi landmark paling terkenal di Bern, yaitu menara jam abad pertengahan. Kemudian ke museum seni yang menyimpan koleksi karya menakjubkan dari abad pertengahan hingga seni kontemporer. Karena sangat banyak intitusi budaya yang luar biasa, Rhea sampai bingung ingin memilih salah satu di antara tempat-tempat itu. Tak lupa mereka pun pergi ke Einsteinhaus, sebuah museum yang dulunya pernah menjadi tempat tinggal Albert Einstein. Hanya sebuah apartemen sederhana, namun saat mereka berkeliling Rhea bisa merasakan bagaimana fisikawan terkenal itu hidup jika dilihat furnitur dan barang pribadi yang masih di sana. Banyak foto-foto hingga dokumen yang berkaitan dengan kehidupann
Memasuki ruang kerja Maven, dia membantu Rhea melepaskan coat panjangnya dan menggantungnya bersama jasnya. Kemudian mata indah Rhea mengitari segala penjuru ruangan luas tersebut.“Kamu tampak bahagia,” ujar Maven setelah sejak dari aula memperhatikan istrinya. Wanitanya tidak berhenti tersenyum dan sekarang senyuman itu semakin lebar.“Benarkah?”Maven bersandar di pinggiran meja kerjanya dan tersenyum samar. “Sudah kubilang untuk menggunakanku lebih sering.”Rhea tertawa kecil. “Aku sedikit menyesal tentang itu. Namun, melihat dari ekspresinya tadi sepertinya dia tidak akan betah terlalu lama di sini ….”Enzo akan mengundurkan diri dari Celadon dan kesenangannya akan berhenti saat itu juga.“Tidak akan. Tetapi aku yang akan memecatnya.”Rhea melirik Maven yang berjalan mendekat dan duduk di sofa. Suara pria ini cukup lembut dan santai, tetapi entah kenapa terdengar tegas dan yakin.“Maaf kita harus makan siang di sini.”Perubahan topik itu membuat Rhea menghela napas diam-diam. Lag
“Nah sekarang mari makan, Semua.”Panggilan Alex membuatnya tersadar dan segera memandang hidangan di atas meja.“Jadi, apa yang terjadi pada kalian?” tanya Maven. “Aku mengenal kalian. Kalian tidak pernah datang ke tempat seperti ini.”Alex tersenyum polos. “Apa maksudmu? Hei, jangan mencurigai kami. Kami memang ingin makan di sini.”“Ucapanmu terdengar mencurigakan. Sejauh yang kukenal, kalian akan memesan ruang pribadi alih-alih salah satu meja di tempat terbuka seperti ini.”Mereka terdiam sejenak menyatakan bahwa itu benar membuat Maven mengumpati mereka pelan.Lalu Cade tertawa. “Suasana baru lebih segar, kau tidak tahu? Toh kami sudah merencanakan ini sejak lama.”“Kapan tepatnya?”“Minggu.”“Jumat?”“Tanggal 26.”Ketiganya menjawab serempak membuat Rhea dan Maven tidak dapat berkata-kata. Rhea yang mencoba menahan tawa berbanding terbalik dengan Maven yang ingin menenggelamkan mereka jika dilihat dari wajah dinginnya. Dia mengecek tanggal dari ponselnya yang ternyata hari Rabu