Share

A Deal

Kamu ingat hari itu? Hari pertama kita bertemu di kampus? Kamu tersenyum lebar dan banyak wanita yang mengelilingimu.” Enzo sering membicarakan topik ini ketika mereka berpacaran. “Saat itu aku sadar aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama ketika melihat senyuman indahmu.

Di luar pintu utama apartemen, Rhea mendenguskan tawa. “Keparat itu bicara omong kosong.”

Dia menatap langit malam yang cerah. Bulan terlihat jelas dan bersinar terang. Bintang-bintang bertabur menghiasi langit. Tidak ada awan. Tidak ada tanda-tanda akan hujan.

Dia tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Bahkan langit tidak ingin menangis untukku.”

“Kenapa harus?” suara seorang pria bertanya padanya di sampingnya.

Tanpa menoleh, dia menanggapi, “Aku baru saja ditipu keka— tidak, mantanku. Dia berselingkuh dan mencampakkanku. Dia berkata aku gila, bukankah dia yang lebih gila? Dan sekarang aku menyesal karena tidak bisa menendang bolanya tadi.”

Pria itu menatapnya. “Apa kamu tidak sakit hati?”

“Yah, jujur saja iya. Aku sakit hati. Tapi, jika dibandingkan dengan kemarahanku yang sangat besar, sakit hati ini menjadi tidak berarti apa-apa.”

“Setelah dikhianati, kamu masih bisa mengendalikan dirimu. Itu bagus untukmu.”

“Benarkah?” Benarkah dia cukup baik mengendalikan dirinya? Yah, bagaimanapun dia harus menahan amarahnya jika tidak ingin menjadi badut di depan mereka.”

"Kau bisa melihat tanganmu sendiri."

Ah benar. Tangannya mengepal lagi. Pasti banyak bekas luka berbentuk bulan sabit di telapaknya setelah ini. "Itu satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan kendali."

“Kamu akan membiarkan mereka begitu saja?”

Rhea menghirup napas dalam-dalam. “Mereka yang melakukan balas dendam itu sebenarnya orang yang lemah karena kalah di pertandingan awal. Dan hidup dengan bayangan di belakangnya hingga dendam teratasi. Bukankah itu menyedihkan? Seharusnya mereka merelakan saja apa yang sudah terjadi dan menatap ke depan. Tapi setelah aku merasakannya sendiri, aku tidak ingin melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Dikhianati itu rasanya menyakitkan. Apa aku harus tidur dengan temannya seperti yang dia lakukan? Tapi itu sepertinya mustahil karena aku tidak akan mau melakukan hal keji seperti itu ....”

Pria itu menatap Rhea yang menunduk sedih. Wanita ini sangat baik dalam pengendalian tangisannya. “Apa kamu menangisi mereka?”

Rhea menggigit bibirnya seraya mengusap pipinya yang basah. “Untuk apa menangisi dua kotoran itu? Lihatlah, langit bahkan memberiku dukungan. Dia tahu bahwa akan menghabiskan waktunya jika menurunkan hujan pada kondisi seperti ini.”

Pria itu mengalihkan wajahnya dari Rhea dan ikut menatap langit malam. “Kamu benar. Langit sedang berada di sisimu. Dan untung saja kamu mengetahui sifat asli mereka sejak awal.”

Rhea tersenyum miris. "Ini tetap terlambat pikirku, tetapi masih lebih baik. Jika kami sampai menikah, mungkin aku akan bunuh diri karena malu dan berakhir menyesal menikahinya." Mengerjapkan mata, Rhea kembali sadar jika dia baru saja membicarakan hal yang tidak perlu dengan orang asing. Dia terkekeh pelan sebelum mendongak untuk menatap pria di sebelahnya. “Drama ibu kota yang mengenaskan, bukan?”

Begitu pria itu membalas tatapannya, Rhea seketika tertegun. Tatapan dalam pria itu tampak tajam seolah menusuk ke dalam pikirannya. Kenapa dia tidak pernah melihat pria tampan dan panas seperti ini di negaranya?

“Tidak juga.”

Tatapan itu bertahan lama seperti ada magnet di antara mereka. Tidak ada antara Rhea dan pria asing itu yang ingin berpaling karena masing-masing dari mereka sedang mempelajari wajah di depannya.

Namun, sangat disayangkan. Sebelum ia menyelesaikannya, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Melihat nama ibunya di sana, dia yang seketika mengingat maksud kedatangannya kemari segera mengangkat panggilan dengan khawatir. “Halo, Ma. Apa Papa sudah siuman?”

Keheningan merajalela membuat Rhea menjadi waspada.

“M-Ma?” Bahkan suaranya terdengar gemetar. Ketenangan yang ia kumpulkan sedari tadi mulai goyah. Rhea mengeratkan pegangannya pada ponsel. “Papa baik-baik saja, kan, Ma?”

“Rhe, papamu ….” Terdengar isakan tangis di seberang telepon. “Dia sudah pergi.”

Tepat saat itu hujan pun mulai turun membuat pria itu memandangi langit cepat lalu kembali pada Rhea.

“Tidak, tidak mungkin.” Mata Rhea bergerak tidak fokus. Bohong. Tidak mungkin ayahnya telah tiada. Dia menjauhkan ponsel dan bergerak ke jalan raya. Tidak peduli jika rambut dan bahunya mulai basah.

“T-taksi.” Dia harus mendapatkan taksi sekarang untuk melihat ayahnya langsung.

Sebelum dia bisa melangkah lebih dekat ke taksi, seseorang tiba-tiba memegang tangannya, menghentikan langkahnya.

Pria itu menatap wajah Rhea. Padahal sebelumnya wanita ini masih mencoba untuk tegar. Sekarang, ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Rhea menggeleng. “Ru-Rumah sakit. Aku harus ke rumah sakit.”

Tanpa bicara lagi, ia membawa Rhea menuju mobilnya. Sambil mengendarai mobil, dia sesekali akan menoleh ke samping di mana Rhea tampak lemah dan tidak fokus. Dia pun melirik kedua tangan ringkih dan pucat yang terjalin cemas. Namun dia tidak mengatakan apa pun selain melajukan mobil agar cepat sampai.

Setibanya di ruang tempat ayahnya dirawat, Rhea segera masuk ke dalam. Dia melihat perawat sedang sibuk ke sana kemari kemudian menatap Ivanka yang menangis histeris yang ditenangkan dokter.

Rhea bergerak mendekati Ivanka sambil menatap wajah pucat ayahnya. “Ma ....”

Ivanka mendongak lalu memeluk anaknya. Tangisannya semakin menjadi. “Papamu …, Rhe, papamu …. Ya Tuhan, kenapa ini menimpa kita?!”

Ini pertama kalinya Rhea merasakan tempatnya berpijak menjadi hancur. Dan dia bersama Ivanka yang memeluknya jatuh terduduk lemas di lantai.

***

“Ini.”

Masih di ruangan itu sudah tidak ada siapa-siapa lagi selain dia. Ayahnya sudah dibawa dengan ditemani Ivanka. Rhea yang masih duduk di lantai tidak melakukan apa pun selain menatap tempat tidur pasien dengan tatapan kosong, mulai melirik handuk putih yang diulurkan pria itu.

“Aku membelinya di bawah. Keringkan rambut dan pakaianmu dengan ini.”

Rhea tidak sadar jika tubuhnya basah dan kedinginan. Dia mengerjapkan mata cepat berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi.

Dia menurunkan kepala sedikit dengan lemah. “Terima kasih dan maaf sebelumnya sudah merepotkan Anda. Saya baik-baik saja sekarang. Mohon untuk meninggalkan nomor Anda agar saya bisa menghubungi dan membalas kebaikan Anda malam ini.”

“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk membalas kebaikanku?”

“Saya dan ibu saya akan mentraktir—”

“Aku bisa membayar makananku sendiri.”

“… Lalu apa yang Anda inginkan sebagai balasannya?”

“Anak.”

Rhea berpikir jika dia salah dengar.

Lalu detik selanjutnya pria itu mengulangi ucapannya dengan sangat jelas, “Beri aku anak.”

Dia seketika mendongak untuk melihat apakah pria ini sedang bergurau atau apa. “… Maaf, tapi candaan seperti itu tidak cocok di situasi seperti ini.”

“Aku tidak bercanda."

Kali ini Rhea terdiam. Pria ini … serius? Mereka adalah dua orang yang baru saja bertemu kurang dari 2 jam. Mereka tidak mengenal satu sama lain. Dia bahkan tidak tahu namanya. Dan di hari dukanya, pria ini meminta anak?!

“Bukankah sebelumnya kamu bilang ingin balas dendam kepada mereka?”

Rhea mengalihkan wajah. “Saya hanya bicara asal karena marah.”

“Tidak. Kamu tidak emosi saat di sana.”

“Maaf. Tapi bagi saya topik anak benar-benar terdengar seperti lelucon. Apa Anda bisa meninggalkan saya sendiri? Dan tolong, anggap kita tidak bertemu dan tidak ada yang terjadi malam ini. Saya tidak bisa berpikir dengan baik sekarang karena pikiran saya kosong ….” Begitu juga hatinya

Dalam satu malam yang singkat, hatinya yang selalu penuh dengan kehangatan tiba-tiba kosong. Dan tempat yang kosong itu kini diisi dengan kegelapan. Rhea tidak tahu apakah besok dia bisa menjalani kehidupan seperti biasanya atau tidak.

Pria itu tidak pergi. Tidak marah. Tidak juga menunjukkan ketidaksabaran. Dia masih berdiri di depan Rhea dengan tenang. “Kekasih dan sahabatmu mengkhianatimu. Ayahmu telah tiada. Kamu tidak punya apa pun sekarang selain ibumu. Semuanya terlihat jelas di matamu bahwa kamu putus asa. Kamu berada di titik terburukmu.”

Rhea tidak mengelak karena itu benar adanya.

“Bagaimana jika aku memberi sebuah tawaran yang saling menguntungkan?”

Penawaran … menguntungkan? batin Rhea.

“Aku akan mengakuisisi perusahaan ayahmu. Aku akan meminjamkan kekuasaanku kepadamu untuk membalas mantan kekasih dan sahabatmu. Aku akan memberikan uang sebanyak yang kamu mau dan perlindungan selama kamu menyetujui tawaran ini. Dan balasan yang harus kamu berikan hanya satu itu.”

Rhea menatap pria yang berdiri di depannya. Sinar rembulan masuk dari jendela kamar rawat VIP tersebut. Dan pria itu berdiri di belakang bulan membuatnya tampak mengeluarkan aura gelap yang mengelilingi dirinya sendiri. Di saat dia mengatakan tawarannya, entah kenapa Rhea tergelitik menginginkannya.

“Tapi aku tidak mengenalmu.”

“Percayalah, aku orang yang bisa menjatuhkan orang yang mengkhianatimu.” Pria itu berbicara dengan penuh percaya diri dan dominan.

“… Apa kau seorang iblis?”

Pria itu tidak tersenyum atau apa pun. Menyebabkan wajahnya tampak misterius. “Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa pun, you poor thing.”

“Apa kau bisa berjanji untuk keuntungan egoisku?” Rhea bertanya sekali lagi agar segalanya lebih jelas. Agar dia tidak akan menyesal dengan pilihannya ke depannya.

Tatapan pria asing itu semakin dalam dan lebih samar, sulit untuk mengetahui apa yang dipikirkannya. “Ya. Kau bisa menggunakanku dengan syarat, beri aku anak.”

Pria itu mengulurkan tangannya dan Rhea menatap tangan besar itu untuk waktu yang cukup lama. Bukankah tangannya seperti sebuah ajakan yang tidak bisa ditolak? Seperti ada bisikan iblis di telinga membuat dia akhirnya menerima uluran tangan itu dan berdiri.

Dan pria itu pun berkata dengan suara dalam, “I guess we have a deal. Namaku Maven, omong-omong. Maven Williams.”

Rhea mengerjap menatap mata gelap Maven. Dia merasa tidak asing dengan nama itu. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.

Karena Rhea tidak mengambil handuknya, Maven sendiri yang mengeringkan rambut Rhea. “Sebagai awal kesepakatan kita, aku ingin kamu mengobati tanganmu.”

Ah tangan ….

Rhea melihat kedua telapak tangannya yang terluka. Baru sekarang dia menyadari kedua telapak tangannya terasa perih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status