Prosesi pemakaman pagi itu berjalan khidmat dan lancar dengan diiringi rintik-rintik hujan. Kolega ayahnya, teman-teman ibunya, bahkan beberapa rekan kerja dan teman kuliah Rhea menghadiri pemakaman tersebut. Semua orang yang menghadiri pemakaman mulai pergi secara bertahap menyisakan Ivanka, Rhea, dan satu tamu mereka. Bahkan pamannya, adik kandung ayahnya sudah pergi bersama istri dan anak-anaknya.
Ivanka menoleh ke belakang di mana seorang pria asing sedang sibuk berbicara dengan sopirnya di samping sebuah mobil. Tadi malam dia dibuat kaget dengan Rhea karena bukannya membawa Enzo, anaknya malah membawa pria yang tidak dia kenal ke rumah sakit. Dan sekarang pria itu juga datang ke pemakaman hari ini. Dia kemudian menatap anaknya yang duduk di depan makam ayahnya.
“Mungkin ini bukan waktu yang tepat tapi Mama ingin kamu menjawab dua pertanyaan Mama. Di mana Enzo? Andini juga tidak—”
“Ma,” potong Rhea pelan membuat Ivanka berhenti bicara. “siapa itu Enzo dan Andini?”
“… Rhe.”
“Apa mereka kerabat kita?”
Ivanka membuka mulut setelah menyadari bahwa sesuatu telah terjadi dengan hubungan anaknya dengan pacar dan sahabatnya. Dia segera duduk di sebelah anaknya. “Nak, apa yang terjadi? Apa kalian bertiga bertengkar?”
“Kenapa aku bertengkar dengan orang yang tidak aku kenal?”
Ivanka terdiam.
“Mulai sekarang Mama tidak perlu menyebut nama-nama asing itu lagi.”
Dan Ivanka hanya bisa menatap anaknya dengan prihatin. Pandangannya beralih pada pria itu yang berjalan mendekati mereka. "Lalu siapa pria itu?"
Rhea melirik Maven. "Calon suami."
"Apa?" Ivanka berseru kaget dengan lelucon anaknya.
“Permisi.”
Ivanka mendongak untuk melihat pria yang sedang berbicara tadi sudah berdiri di belakang mereka.
“Saya turut berduka cita atas kepergian suami Anda.”
Ivanka berdiri dan mencoba tersenyum yang akhirnya terlihat menyedihkan. “Terima kasih telah datang uhm ….”
“Saya Maven Williams, Bu Ivanka.” Maven mengulurkan tangan dan Ivanka menjabatnya dengan sopan. Dia melirik Rhea yang mulai berdiri.
“Ah Maven, ya ….” Ivanka mencoba mencari nama itu di dalam kepalanya namun tak kunjung mendapatkan hasil.
“Maaf, Bu Ivanka. Sebenarnya banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Tapi saya dan Rhea punya banyak urusan. Apa saya boleh membawa Rhea sebentar? Hanya dua jam.”
Ivanka menoleh ke anaknya. Dan Rhea tersenyum tipis kemudian memeluk ibunya.
“Mama pulang saja dulu. Pak Danu sudah menunggu. Rhea akan pulang secepatnya jika urusan Rhea selesai.”
Danu adalah sopir keluarga dan orang yang setia pada keluarganya.
Ivanka menatap Rhea dan Maven bergiliran. Walaupun dia masih tidak mempercayai orang asing, dia tetap saja mengizinkan anaknya. “Mama akan mengirim pesan jika sudah sampai rumah.”
“Hmm.” Rhea mengangguk mengerti sambil tersenyum. “Hati-hati, Ma.”
Setelah melihat mobil yang membawa Ivanka pergi, Maven segera bertanya, “Haruskah kita pergi sekarang?”
***
Dalam mobil, Rhea bertanya, “Kita akan ke mana?”
“Ke tempat tinggalku.”
Rhea melirik pria di sebelahnya. Seseorang mengendarai mobil Maven. Sedangkan Maven duduk di sebelahnya di kursi belakang. Pria itu sibuk melihat email pekerjaan di ponsel.
“Banyak hal yang harus kita bicarakan. Aku sudah menyiapkan kontraknya di sana. Kamu bisa membacanya lebih dulu.” Maven melirik pandangan gugup Rhea ke depan, dia menambahkan, “Dia Albar. Tenang saja, dia satu-satunya orang kepercayaanku.”
Albar dengan sigap memiringkan kepala sedikit tanpa harus menoleh ke belakang lalu menunduk tanda memberi salam pada Rhea.
Berarti orang itu juga tahu tentang kesepakatan antara Rhea dan Maven tentang bayi. Mengetahui itu menyebabkannya sedikit malu.
Perjalanan yang panjang itu akhirnya berakhir. Albar membukakan pintu untuknya. Dia harus mendongak untuk melihat sebuah bangunan perkantoran. Kemudian dia mengerutkan dahi. Jika tidak salah ingat, bangunan ini untuk bisnis. Ada restoran, kantor, dan hotel di lantai-lantai atas. Jangan bilang jika pria ini tinggal di hotel?
Seolah bisa memahami pikirannya, Maven yang mengancingi jas berkata, “Aku memang tinggal di salah satu kamar hotel karena jarak dari sini paling dekat dengan tempat kerjaku.”
Sesuai dugaannya. Dan Rhea tidak mengatakan apa pun setelahnya.
***
“Ini. Kami membuat kontrak agar kamu tidak berpikir jika aku menipumu. Jika ada yang tidak kamu sukai, katakan. Albar akan mengubahnya hari ini juga.” Maven meletakkan beberapa lembar kertas di depan Rhea setelah mereka tiba di kamar hotel dan duduk bersama.
Setelah itu Maven berjalan menuju lemari es.
“Kenapa aku?” tanya Rhea membuat tangan Maven yang ingin mengambil air mineral dingin berhenti.
Seminggu sebelumnya, Maven makan malam berdua dengan kakeknya yang bernama Tony. Tony Williams adalah pendiri TW Group dan sampai sekarang masih menjabat sebagai Komisaris. Dan melihat situasi mereka yang harus makan bersama di luar, Maven tahu ada sesuatu yang ingin pria tua ini bicarakan tanpa sepengetahuan ibu tirinya.
“Sudah berapa lama kamu menjadi CEO?” Tony mulai bertanya.
“13 bulan.”
“Lalu umurmu sekarang?”
“36.”
Tony mengangguk mengerti. “Beberapa direksi mengunjungiku tadi siang.”
Maven makan dalam diam namun mendengarkan.
“Mereka merekomendasikan Henry untuk menggantikan posisimu.”
Dan gerakan sumpit Maven terhenti sejenak ketika mengambil tumis daging.
Ayah Maven menjabat sebagai CEO di TW Group selama 20 tahun sebelum sakit-sakitan dan meninggal setahun yang lalu. Dia meninggalkan 2 anak kandung, 1 anak tiri, dan istri terakhirnya bernama Gemma. Sedangkan Ibu kandungnya sudah meninggal ketika dia masih kecil.
Lalu Henry adalah adik tiri Maven, anak dari pernikahan Gemma dengan pasangan sebelumnya. Pria itu hanya beda empat tahun darinya, dia salah satu direktur TW Group dan sudah berkeluarga.
Mengambil daging, Maven menanggapi, “Aku dengar istrinya baru saja melahirkan.”
“Ya. Kau harus mengunjunginya dan memberinya selamat. Biar bagaimanapun dia dengan cepat membuat posisinya di TW Group lebih absolut dibandingkan dirimu,” Tony berkata sambil melirik Maven namun cucunya tetap menampilkan wajah tidak peduli.
“Apa aku juga perlu mengunjungi para selingkuhannya? Aku dengar salah satunya sedang mengandung.” Ini satu hal yang tidak banyak orang lain ketahui bahkan istri Henry sekalipun. Hanya Gemma, Maven, dan Tony yang tahu. Karena kakeknya menutupi mata akan hal ini, Dia pun tidak mengurusi masalah tersebut. Dia juga berpikir hanya akan membuang waktunya dengan percuma untuk mengurusi pria itu.
Tony menatapnya tanpa tersenyum membuat Maven menghela napas singkat. “Aku akan melakukannya.”
“Kau harus mencari istri secepatnya jika ingin memenangkan hati para direksi.”
“Keuntungan yang kita dapatkan meningkat 68,9% tahun ini berkatku, lebih besar dari tahun-tahun emas pria itu.”
“Ayahmu mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kerja sama dengan pihak Korea dan kau menuai hasilnya.”
“Aku mengemban tugasnya karena dia tidak bisa menyelesaikannya,” Maven mengoreksi ucapan Tony.
Tony mendesah kuat sambil meletakkan sendok. Dia kehilangan nafsu makan. “Serius? Kita harus membicarakan ayahmu yang sudah meninggal?”
“… Maaf,” Maven berujar lalu ikut meletakkan sumpitnya dan menegak air putih. “Beri aku setahun. Aku akan membawa anakku untuk membuat mereka tutup mulut.”
Ucapan itu membuat Tony terkejut.
“Jadi, kau punya pacar dan dia hamil? Kenapa aku tidak tahu? Segeralah menikah.” “Aku bilang anak, bukan pacar.” Tony menatapnya dalam diam dan seperti biasa Maven tidak terusik sama sekali. Dia dengan santai mengelap mulut lalu berdiri. “Hati-hati di jalan nanti, Kek. Kabari aku jika sudah pulang.” Maven berbalik dan mendekati pintu ruang privasi tersebut. Ketika dia memegang gagang pintu, suara kakeknya terdengar. “Jauhi skandal jika ingin mempertahankan posisimu di perusahaan.” Maven melirik ke samping. “Hanya itu yang bisa aku sampaikan sebagai kakekmu, bukan sebagai Komisaris.” Dan Maven pun keluar. Berjalan keluar dari restoran, Albar sudah berada di belakangnya dalam diam. Dia kemudian memberi perintah, “Cari beberapa wanita yang unggul yang belum menikah. Mau itu yang masih lajang atau bertunangan.” “Baik,” Albar menjawab tanpa menyela. Lalu tepatnya di malam itu, 5 hari kemudian Maven pergi ke unit Albar untuk melihat para kandidat. Dan begitu selesai, dia melihat sos
“Jadi, bagaimana kita akan membuat skenario hubungan ini?” tanya Rhea ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Rhea.“Ada ide?”Rhea mengedikkan bahu. “Uh … mantan yang kembali?”Maven menatapnya tertarik membuat Rhea gugup.“Tidak ada yang akan percaya jika dua orang asing bertemu untuk kali pertama tiba-tiba ingin menikah. Aku dan dia sudah bersama selama enam tahun. Jika ada yang bertanya, jangan menyebutkan enam tahun terakhir ini.”“Itu bagus. Kita bisa katakan berpacaran saat masih sekolah,” respons Maven tersenyum samar.“Jadi, seperti itu yang akan kita katakan, oke?”Maven mengangguk ringan. “Setuju.”Seharusnya seperti itu.Tetapi, begitu mereka tiba di kediaman Rhea, Maven langsung menyatakan masuk kedatangannya, “Bu Ivanka, kami akan menikah.”Syok, bingung, dan terkejut, Ivanka benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun.Maven mendeklarasikan sebuah pernikahan dengan santai dan tenang di hadapannya. Apa perlu Ivanka ingatkan dia baru saja bertemu dengannya? Belum lagi En
“Aku akan menikah.”Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan maksud tujuannya membuat Tony menatapnya dingin. Dan hujan lebat seketika mengguyur sore ini. Pria tua itu bahkan mengorek kupingnya khawatir dia salah dengar sebelum kembali melihat ketenangan sikap cucunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja.Maven menghela napas sebelum menambahkan, “Jadi, aku mohon untuk menemaniku mengunjungi keluarga calon istriku.”Langkah kaki Tony berhenti tepat di depan pintu. Dia yang hendak memegang gagang pintu menoleh. “Memangnya kapan kalian akan menikah?”“Tiga hari lagi.”Tony memejamkan mata, membuang napas, lalu berbalik. Kesal, langkahnya yang mendekati Maven cukup cepat. Sebelum cucunya sempat bereaksi, dia sudah memukul bahunya dengan tongkat hingga Maven terkejut. “Dasar keparat, kau tidak bisa menikah cepat hanya karena aku menyuruhmu. Perempuan mana yang kau bayar, hah?”Maven mengusap bahunya. “Kami pernah berpacaran ketika masih muda
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan akan menikah membuat Tony menatapnya dingin.Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan Rhea tahu Tony tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Pria tua ini memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena dia sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jan
“Anda sekarang dapat mencium pengantin wanita.” Rhea melirik ke atas tanpa mendongakkan kepalanya. Tanpa orang lain tahu, dia menggenggam tangannya dengan kuat. Ya, dia gugup. Rhea lupa tentang sesi ini. Dan mereka belum berlatih sebelumnya agar terlihat natural. Dia takut seseorang akan melihat kebohongan mereka. Di balik wajah tenang Rhea, Maven bisa melihat kegugupan yang terbaca di manik mata wanita itu. Dia menangkup wajah Rhea dan bertanya sangat pelan yang hanya bisa didengar mereka berdua saja, “Kamu juga belum pernah berciuman?” Dengan kerutan tidak senang di antara alisnya yang rapi, Rhea menjawab, “Tentu saja sudah.” Maven tersenyum tipis lalu berkata, “Kalau begitu izinkan aku.” Maven menundukkan kepalanya dan mendekati bibir Rhea. Dia mencoba yang terbaik yang dia bisa untuk tetap bergerak lembut agar Rhea bisa menikmati ciuman mereka. Dan nyatanya selang beberapa saat, dia bisa merasakan Rhea kembali santai. Itu ciuman yang menyenangkan. Lembut, tidak terburu-buru
Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.“Itu mengganggu,” Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.“Oh ….”Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mende
Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.“Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi.”Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.“Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih.”Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Ketika melihat bebera
“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.”“Bukankah dia tidak tahu malu?”“Tidak bisa dipercaya.”“Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya, Rhe.”Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea.Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menarik tangannya kasar hingga mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, dia pun pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh.Dan Rhea hanya mengawasi kepergiannya. Apakah dia puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya.Setelah itu, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kamu baik-baik saja, Rhea?”“Kamu pasti patah hati dan kecewa.”“Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang,” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan