“Jadi, bagaimana kita akan membuat skenario hubungan ini?” tanya Rhea ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Rhea.
“Ada ide?”
Rhea mengedikkan bahu. “Uh … mantan yang kembali?”
Maven menatapnya tertarik membuat Rhea gugup.
“Tidak ada yang akan percaya jika dua orang asing bertemu untuk kali pertama tiba-tiba ingin menikah. Aku dan dia sudah bersama selama enam tahun. Jika ada yang bertanya, jangan menyebutkan enam tahun terakhir ini.”
“Itu bagus. Kita bisa katakan berpacaran saat masih sekolah,” respons Maven tersenyum samar.
“Jadi, seperti itu yang akan kita katakan, oke?”
Maven mengangguk ringan. “Setuju.”
Seharusnya seperti itu.
Tetapi, begitu mereka tiba di kediaman Rhea, Maven langsung menyatakan masuk kedatangannya, “Bu Ivanka, kami akan menikah.”
Syok, bingung, dan terkejut, Ivanka benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun.
Maven mendeklarasikan sebuah pernikahan dengan santai dan tenang di hadapannya. Apa perlu Ivanka ingatkan dia baru saja bertemu dengannya? Belum lagi Enzo masihlah pacar Rhea. Bicara tentang Enzo, semenjak tadi malam dia menghubunginya namun pria itu tidak mengangkat satu pun panggilannya.
Ivanka ingin tertawa. Yah, mungkin saja Maven sedang bergurau, tapi kedua orang di depannya sama sekali tidak tertawa. Dia bingung, masih kaget, dan kepalanya mulai terasa sakit. Alhasil, dia menatap anak perempuannya menuntut penjelasan.
Ketika Maven berujar tadi, Rhea memejamkan mata dan mengerang dalam hati. Padahal di mobil sebelumnya dia sudah berkata untuk biarkan dia berbicara dari hati ke hati dulu dengan ibunya tentang berakhirnya hubungan dia dan Enzo. Tapi, sebelum dia bisa mulai, Maven lebih dulu berbicara setelah ibunya basa-basi singkat tentang urusan mereka yang sudah selesai atau belum.
Menyadari tatapan Ivanka, Rhea mendongak dengan wajah serius. “Ma, Maven adalah mantan Rhea sebelumnya. Dan sampai sekarang, dia masih mencintai Rhea. Begitu juga Rhea. Jadi, Ma, tolong restui kami.”
***
Pintu kamar terbuka dan Ivanka masuk tergesa-gesa sambil berbicara pelan, “Mama sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini. Menikah? Dengan pria asing itu? Lalu bagaimana dengan Enzo?” Ivanka berbalik menatap Rhea yang menyusulnya masuk. “Kamu tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini, Rhe?”
“Enzo, dia ….” Rhea menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Enzo dan Andini, mereka menjalin hubungan di belakang Rhea.”
Ivanka menutup mulutnya terkejut ke sekian kalinya lagi. “Ya Tuhan. Mereka berdua?!”
Walaupun raut wajah Rhea sangat tenang dan damai, tapi nada suaranya tidak bisa membohongi Ivanka. Suara anaknya terdengar gemetar. Bagaimana tidak? Kekasih dan sahabatnya menjalin hubungan di belakangnya bukanlah hal yang menyenangkan. Membuat dia ikut merasakan kepedihan yang dialami anaknya.
“Oh Tuhan,” ulang Ivanka mendekat, memeluk anaknya. “Kamu tidak apa-apa, Nak? Kapan kamu menyadarinya? Kamu menangkap basah mereka atau mereka yang mengatakannya?”
“Rhea melihat mereka, Ma. Dan Enzo tidak menampiknya.”
“Dasar pria yang tidak bermoral. Pantas saja dari tadi malam dia tidak mengangkat telepon Mama—” Ivanka menatapnya lambat setelah menyadari sesuatu. “Nak, kalian berpisah tadi malam?”
Rhea mengangguk pelan.
Ivanka menggeleng lambat. “Jangan katakan kamu menikah dengan pria acak hanya karena diselingkuhi pria menyedihkan seperti itu. Sambil menunggu kamu pulang, Mama mulai ingat nama Maven Williams. Dia adalah cucu Tony, pendiri TW Group, tempat Enzo bekerja. Rhe, kamu harus tahu satu hal …. Kamu lebih berharga dari pada mereka berdua, jangan menyia-nyiakan waktumu hanya karena mereka yang sudah membuatmu patah hari dan terpuruk. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dianggap main-main, Nak.”
Apa Rhea akan membiarkan mereka berdua hidup bahagia setelah membuatnya menjadi badut selama ini? Dan perlukah dia membicarakan tentang perusahaan ayahnya yang akan berakhir pada ibunya yang tidak tahu apa pun tentang urusan itu?
Rhea tersenyum menenangkan dan memegang kedua bahu ibunya. “Ma, Rhea sudah mantap ingin menikahi Maven. Tadi malam dia menemani dan memberi dukungan untuk Rhea.”
“Kamu sedang patah hati, seseorang bisa dengan mudah memainkan perasaanmu yang melemah.”
“Karena dia masih mencintai Rhea. Itu sebabnya Rhea membiarkan dia masuk ke hati Rhea sekali lagi. Juga, bukankah lebih bagus jika seseorang datang langsung menikahi anak perempuan Mama daripada hanya pacaran sangat lama tanpa kejelasan?”
“Lalu, bagaimana dengan kamu? Apa kamu masih menyukainya? Apa kamu tertarik dengannya?”
“Rhea ….” Membuka mulutnya, dia tidak tahu apakah perlu berbohong tentang perasaannya atau jangan.
“Rhea, jangan berbohong.”
Suara dehaman yang berat mengganggu mereka berdua. Baik Rhea dan Ivanka menatap pintu yang terbuka. Di sana berdiri Maven.
“Maaf jika saya bersikap kurang ajar karena mengganggu privasi Anda, Bu Ivanka. Saya pun tahu ucapan saya sebelumnya pasti membuat Anda kaget dan bingung. Sekali lagi maaf, karena saya tidak pandai basa-basi.” Maven melangkah masuk dan berhenti di sebelah Rhea. Dia dengan berani menggenggam tangan Rhea yang tersentak kaget lalu menatap serius Ivanka. “Tapi saya bersungguh-sungguh ketika mengatakan ingin menikah. Seperti yang Rhea katakan, kami pernah saling mencintai sebelumnya. Sekarang pun, saya masih mencintai Rhea. Karena sebelumnya dia punya pacar, saya mundur perlahan. Tapi setelah apa yang terjadi padanya, mana mungkin saya tetap diam saja.”
Maven tiba-tiba membungkukkan badannya membuat Ivanka mundur karena terkejut. “Astaga.”
“Mohon untuk restui kami. Saya berjanji, selama kami menikah, saya akan memanjakannya dan membuatnya bahagia setiap hari.”
Meninggalkan Ivanka yang tidak bisa berkata-kata, Rhea menatap Maven dengan tatapan rumit. Dia kembali mengingat ucapan Enzo.
“Aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di dunia, Rhe.”
Kenapa para pria selalu dengan mudahnya membuat janji yang sangat sulit?
***
“Apa kamu tidak bisa basa-basi dulu sebelum mengeluarkan ultimatum? Mamaku kaget karena kamu datang-datang bilang ingin menikah,” bisik Rhea seraya menoleh ke pintu ketika mereka berjalan menuju mobil Maven.
“Aku sudah melakukannya. Dan akhirnya mamamu setuju juga.”
“Aku tidak yakin dengan itu,” gumamnya cemas.
Ivanka terlihat jelas tertekan ketika berkata, “Saya hanya bisa menyerahkannya pada Rhea. Kalau dia yakin dengan pilihannya, saya tidak akan melarangnya.”
“Omong-omong, aku tidak tahu kamu sangat ahli berbohong.”
“Serius? Apa aku harus mengatakan bahwa seseorang membantuku dengan syarat anak?”
“Kamu bisa mengatakan iblis datang membantumu.”
Menyadari bahwa Maven sedang menggodanya sebab malam itu, Rhea yang malu berdecak. Dia kembali mengawasi pintu utama rumah yang tertutup, takut jika Ivanka atau pelayan rumah mendengar obrolan mereka.
“Aku akan membawa kakekku kemari nanti malam untuk membahas pernikahan kita lebih lanjut dengan mamamu. Tolong katakan alasan yang sama yang kamu buat tadi,”
“Sungguh? Apa aku harus bertemu dengannya dulu di sana? Kurasa tidak sopan jika aku belum mengunjunginya.”
“Tidak apa-apa. Lagipula aku perlu berbicara empat mata dengannya.”
“Tapi kau yakin dia akan percaya?”
“Dia sudah tua, hal semacam ini pasti bisa juga menipunya.”
Rhea mendesah pelan. “Lalu bagaimana dengan orang tuamu?”
Pertanyaan itu membuat Albar yang berdiri diam di samping mobil segera menatap Rhea cepat.
Berbeda dari Albar, Maven menjawab dengan ringan, “Mereka sudah tiada.”
“… Maaf. Aku turut berduka cita," Rhea berujar pelan, tidak enak hati.
“Kamu akan menjadi istriku beberapa hari lagi. Berita itu harus aku beritahu. Ini sebenarnya bukan informasi penting, tapi karena kamu akan menjadi bagian dalam keluarga untuk beberapa tahun ke depan kamu perlu mengetahui beberapa hal yang terjadi di dalam keluarga besar Williams. Di sana kamu akan bertemu dengan adik dan ibu tiriku. Selain Kakek, kamu tidak perlu bersikap sopan dan baik pada siapa pun, mengerti?”
“.…” Rhea menatapnya datar. Mana mungkin dia begitu!
“Aku akan menikah.”Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan maksud tujuannya membuat Tony menatapnya dingin. Dan hujan lebat seketika mengguyur sore ini. Pria tua itu bahkan mengorek kupingnya khawatir dia salah dengar sebelum kembali melihat ketenangan sikap cucunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja.Maven menghela napas sebelum menambahkan, “Jadi, aku mohon untuk menemaniku mengunjungi keluarga calon istriku.”Langkah kaki Tony berhenti tepat di depan pintu. Dia yang hendak memegang gagang pintu menoleh. “Memangnya kapan kalian akan menikah?”“Tiga hari lagi.”Tony memejamkan mata, membuang napas, lalu berbalik. Kesal, langkahnya yang mendekati Maven cukup cepat. Sebelum cucunya sempat bereaksi, dia sudah memukul bahunya dengan tongkat hingga Maven terkejut. “Dasar keparat, kau tidak bisa menikah cepat hanya karena aku menyuruhmu. Perempuan mana yang kau bayar, hah?”Maven mengusap bahunya. “Kami pernah berpacaran ketika masih muda
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan akan menikah membuat Tony menatapnya dingin.Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan Rhea tahu Tony tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Pria tua ini memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena dia sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jan
“Anda sekarang dapat mencium pengantin wanita.” Rhea melirik ke atas tanpa mendongakkan kepalanya. Tanpa orang lain tahu, dia menggenggam tangannya dengan kuat. Ya, dia gugup. Rhea lupa tentang sesi ini. Dan mereka belum berlatih sebelumnya agar terlihat natural. Dia takut seseorang akan melihat kebohongan mereka. Di balik wajah tenang Rhea, Maven bisa melihat kegugupan yang terbaca di manik mata wanita itu. Dia menangkup wajah Rhea dan bertanya sangat pelan yang hanya bisa didengar mereka berdua saja, “Kamu juga belum pernah berciuman?” Dengan kerutan tidak senang di antara alisnya yang rapi, Rhea menjawab, “Tentu saja sudah.” Maven tersenyum tipis lalu berkata, “Kalau begitu izinkan aku.” Maven menundukkan kepalanya dan mendekati bibir Rhea. Dia mencoba yang terbaik yang dia bisa untuk tetap bergerak lembut agar Rhea bisa menikmati ciuman mereka. Dan nyatanya selang beberapa saat, dia bisa merasakan Rhea kembali santai. Itu ciuman yang menyenangkan. Lembut, tidak terburu-buru
Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.“Itu mengganggu,” Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.“Oh ….”Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mende
Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.“Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi.”Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.“Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih.”Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Ketika melihat bebera
“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.”“Bukankah dia tidak tahu malu?”“Tidak bisa dipercaya.”“Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya, Rhe.”Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea.Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menarik tangannya kasar hingga mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, dia pun pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh.Dan Rhea hanya mengawasi kepergiannya. Apakah dia puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya.Setelah itu, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kamu baik-baik saja, Rhea?”“Kamu pasti patah hati dan kecewa.”“Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang,” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan
“Mamaku yakin, jika dia masih hidup, pria hidung belang itu pasti akan menikah lagi.”Gurauan itu membuat Rhea batuk-batuk sedangkan Naomi terkekeh.Well, life must go on. Rhea bisa melihat sikap santai Naomi ketika membicarakan mendiang ayah kandungnya.“Hubungan kami … cukup mendadak. Jadi, tidak banyak hal yang Maven bicarakan. Jujur saja dia hanya membicarakan Henry dan itu seperti bukan pembicaraan kurasa,” Rhea berbicara sepelan mungkin.“Yah, kami tidak cukup dekat sampai harus menjadi bahan pembicaraan. Hanya karena aku memiliki hubungan darah dengan Halim bukan berarti aku dan Maven dekat. Aku masih kecil ketika keluar dari kediaman Williams. Jika tidak ditambah sapaan singkat kami kemarin, terakhir kali kami berkomunikasi sekitar dua bulan yang lalu di acara kakek. Dia tidak menyukai mendiang papa, dan kupikir kami juga. Mamaku menikahi papanya, dia pasti tidak senang.”Entah kenapa Rhea bisa merasakan jejak kesedihan di nada bicara santai Naomi.“Setelah bercerai, aku dan ma
“Ya Tuhan. Mereka benar-benar tidak tahu malu.”Rhea tersentak dan melihat kehadiran Naomi dari belakang. “Kau juga baru pulang?”Naomi mengangguk. “Aku membersihkan peralatan melukis yang digunakan pelajar. Karena kalian mengobrol di depan pintu, aku tidak nyaman lewat begitu saja. Maaf harus menguping pembicaraan kalian.”“Itu bukan masalah.” Rhea menggeleng sambil tersenyum.“Jadi, kenapa kau masih di sini? Apa kau menunggu jemputan?”“Ah benar juga. Aku sampai lupa memesan taksi.” Rhea mengambil ponsel cepat.“Mau pulang denganku? Aku bisa mengantarmu.”Rhea menggeleng. “Tidak perlu. Ini sudah gelap. Kau pasti kelelahan. Pulanglah lebih dulu.”“Sungguh?”“Aku—” Rhea berhenti bicara ketika melihat sebuah mobil yang tidak asing lagi berhenti di depan mereka. Mereka berdua melihat Albar keluar dan dengan sigap menyapa mereka yang membalas sapaannya sebelum membuka pintu belakang untuk Maven. Pria yang telah sah menjadi suaminya itu keluar sambil mengancingkan jas. Dia melangkah denga