“Aku akan menikah.”
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan maksud tujuannya membuat Tony menatapnya dingin. Dan hujan lebat seketika mengguyur sore ini. Pria tua itu bahkan mengorek kupingnya khawatir dia salah dengar sebelum kembali melihat ketenangan sikap cucunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja.
Maven menghela napas sebelum menambahkan, “Jadi, aku mohon untuk menemaniku mengunjungi keluarga calon istriku.”
Langkah kaki Tony berhenti tepat di depan pintu. Dia yang hendak memegang gagang pintu menoleh. “Memangnya kapan kalian akan menikah?”
“Tiga hari lagi.”
Tony memejamkan mata, membuang napas, lalu berbalik. Kesal, langkahnya yang mendekati Maven cukup cepat. Sebelum cucunya sempat bereaksi, dia sudah memukul bahunya dengan tongkat hingga Maven terkejut. “Dasar keparat, kau tidak bisa menikah cepat hanya karena aku menyuruhmu. Perempuan mana yang kau bayar, hah?”
Maven mengusap bahunya. “Kami pernah berpacaran ketika masih muda. Ketika aku melanjutkan pendidikan di luar negeri, kami pun putus kontak. Begitu kembali, aku mendengar dia sudah memiliki kekasih. Lalu, hubungan mereka akhirnya berakhir. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu.”
“Jadi, kau memutuskan untuk memilikinya kembali?”
“Benar.”
Bagaimana manik mata pria itu tidak goyah membuat Tony mendesah lega. Dia pikir cucunya penyuka sesama jenis yang seperti ia dengar dari desas-desus kantor ternyata tidak. Dan nyatanya cucunya memiliki wanita yang ia sukai ….
Baru saja duduk, Tony kembali berdiri dan memukulnya lagi, kali ini dengan tangan. “Kau bajingan nakal.”
Hampir saja ia mempercayai anak nakal ini. Maven Williams sangat ahli berbohong tanpa berkedip.
“Berhentilah memukulku. Aku sudah sebesar ini,” desis Maven. “Inilah sebabnya cucumu yang lain tidak betah kemari.”
“Kau!” Tony mengangkat tongkatnya, tetapi Maven sudah siap ingin menghindar. Meletakkan kembali tongkat ke lantai, dia berdecak. “Maka berhentilah berbohong!”
Maven berdiri dan mengusap bahu Tony, mencoba menenangkannya. “Sudahlah, Kek. Cukup percaya saja, oke? Bukankah kamu ingin cucu?”
Tony berdecak lagi sambil memalingkan wajah. “Siapa dia?”
“Rhea Pramidita anak mendiang Hans Hadikusumo.”
Nama pria yang tidak asing itu membuat Tony mengerutkan dahi. “Maka itu kau meletakkan perencanaan akuisisi perusahaan itu di mejaku pagi ini?”
Maven tidak menjawab, namun dari ketenangannya pria itu tidak mengelak.
“Astaga,” bisik Tony sambil mengambil ponsel. “Katakan pada ibumu juga. Dia pun akan ikut malam ini.”
Memikirkan siapa yang dibicarakan Tony, wajah Maven sedikit berubah tidak sedap. Namun dia tidak bisa menolak perintah kakeknya.
***
“Maaf, kami datang di cuaca seperti ini,” Tony William berkata setelah mereka saling berkenalan dan Ivanka mengajak mereka masuk.
Ivanka tertawa pelan. “Cuaca memang tidak bersahabat, tapi apakah Anda semua berkendara dengan lancar?”
“Ya, sangat baik.”
Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan dia tahu pria paruh baya ini tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.
Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Dia memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.
Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jangan pernah main-main dengannya. Menurutnya, Tony lebih menyeramkan dibandingkan ayahnya.
Lalu sekarang Maven menyuruhnya berbohong pada kakeknya? Walaupun sedang duduk, Rhea bisa merasakan kakinya gemetar. Dia benar-benar tidak mengira Maven benar-benar datang ke rumahnya membawa kakek dan ibu tirinya.
Dan sekarang pria tua itu sedang menatap Rhea seperti sedang mempelajari seperti apa sosoknya. Secara naluriah dia memundurkan tubuh ke belakang sofa. Dia berharap bisa mengecilkan tubuhnya.
Maven yang duduk di hadapannya menyadari itu. Jadi, dia berdeham untuk menarik perhatian semua orang. “Bu Ivanka, seperti yang saya jelaskan siang tadi, saya membawa keluarga saya kemari bermaksud ingin menikahi Rhea ….”
Sepanjang empat orang itu terlibat dalam obrolan hangat dan serius, Gemma menarik pandangannya pada Rhea dengan perasaan curiga.
“Maven tidak pernah membawa satu wanita pun kemari dan tiba-tiba mengatakan akan menikah. Ayah, kamu tidak mungkin berpikir jika ini sungguh-sungguh, kan? Aku sudah dengar desas-desus para direksi. Mungkin ini akal-akalannya untuk membungkam keinginan mereka itu.” Di saat Tony pulang dan menyuruhnya bersiap-siap karena mereka akan mengunjungi rumah calon istri Maven, Gemma mengatakan ini.
Tetapi, Tony yang keras kepala membalas, “Ini kemauannya. Bukankah sebagai ibu kamu harus mendukung keputusannya?”
Benar-benar menyebalkan. Batin Gemma.
“Saya ingin pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga inti saja,” ucap Rhea tiba-tiba menyadarkan Gemma dari lamunannya. Dia mengangkat sebelah alisnya. “Juga, saya tahu seberapa besar pengaruh Keluarga Williams, tetapi bisakah pernikahan kami tidak dipublikasikan secara besar-besaran?”
Selain Gemma, Tony pun ikut terkejut. “Kamu yakin?”
Rhea mengangguk pasti. “Ya, Pak Tony.”
Maven kemudian melirik Gemma. “Itu cukup untuk menghilangkan kecurigaanmu, kan?”
Mengalihkan tatapannya, Gemma hanya membersihkan tenggorokannya karena malu.
***
“Berpacaran ketika muda? Serius?” Tony mendengus ketika hanya mereka berdua di halaman rumah. Mereka telah pulang dan Gemma sudah lebih dulu masuk dengan alasan lelah. “Berapa umurnya?”
“26.”
“26? Jadi kau memacari anak berusia 5 tahun saat itu, begitu? Hei, Anak Nakal, jika ingin mengarang cerita buatlah yang lebih realistis! Kau mulai sekolah di Amerika di umur 13. Menurutmu pria yang akan mati sebentar lagi ini akan percaya hal itu? Bahkan jika aku sudah tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengingat nama anak cucuku, aku tetap tidak akan percaya karangan seperti itu.”
Maven menatap ke pintu di mana Gemma baru saja masuk. “Bukankah kau yang menyuruhku menikah segera dan menjauhi skandal?”
Melihat betapa lancarnya Maven membalas perkataannya membuat dia menatap cucunya tajam.
Sementara itu di tempat lain, seorang pria sedang membelai anaknya yang tertidur dengan jari telunjuk. “Kapan dia akan membuka matanya? Ayahnya sudah kembali tapi dia tidak ingin melihatnya.”
Suara tawa pelan seorang wanita membuatnya mendongak. “Dia akan bangun sebentar lagi. Omong-omong bagaimana pekerjaanmu, Sayang? Akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam.”
“Haa, semakin sibuk. Maaf tidak bisa kembali tepat waktu dan menggantimu menjaga anak kita.”
Istrinya yang bernama Vexia mengusap wajahnya. “Mulai besok aku akan mengantarkan makan siang dan malammu.”
“Aku sangat menginginkannya, sungguh. Itu akan menyenangkan dan membuat karyawanku iri. Tetapi fokus saja dengan kesehatanmu dan jaga anak kita,” ucapan lembutnya membuat istrinya tersenyum hangat.
Tepat saat itu dia terganggu dengan getaran ponsel. Dia melihat nama Gemma di sana dan mengangkatnya. “Ya, Ma?”
Gemma menghela napas di seberang telepon. “Henry, Maven akan menikah tiga hari lagi.”
Jarinya berhenti bergerak seketika dan Vexia yang menyadari itu menatapnya penasaran. Dan tatapan Henry berubah menjadi tertarik ketika merespons, “Sungguh cepat.”
Bukankah aneh? Pikirnya.
Apa yang diharapkan Rhea sepertinya sedikit tidak sesuai dengan keinginannya. Ketika dia ingin pernikahan sederhana saja, Tony menolak dengan halus.“Ya, itu bagus. Tetapi pihak kami perlu mengundang beberapa orang penting. Kurang lebih begitu yang kakekku katakan.”Artinya, sesederhana apa pun perlu diadakan pesta. Rhea mengerang pelan dengan katalog di pangkuannya di ruangan yang memajang beberapa gaun pengantin.Maven yang duduk di sebelahnya berbicara lagi, “Kemungkinan hanya sekitar 50 orang penting saja. Direksi juga perlu diundang mau bagaimana pun.”“Jujur saja, kakekmu sepertinya tidak ingin membiarkanku hidup tenang.”Maven tersenyum tipis. “Bagaimana dengan pihakmu? Ibumu pasti ingin hal yang sama untuk pernikahan putri satu-satunya.”Bicara tentang ibunya, Rhea membisu. Dia masih ingat wajah kaget Ivanka tadi malam setelah dia mengatakan ingin menggelar acara itu secara sederhana, sebelum berubah sedih. Dan dia pura-pura tidak memperhatikan.Selang beberapa menit diam, dia
Merasa terlalu lama membuatnya menunggu, Rhea hendak membalas jabatan itu tepat ketika Maven menariknya mendekat dengannya. Jadi, dia hanya sedikit menurunkan tubuhnya dengan sikap sopan. “Rhea.”Henry terkekeh dalam hati melihat tangannya yang kosong. Dia kemudian mengambil kembali tangannya. “Selamat telah menjadi bagian dari keluarga Williams. Panggil aku jika kamu memerlukan bantuan, Rhea.”Rhea memperhatikan Henry lagi, namun pria ini tak tampak berbahaya sebelum mengangguk. “Terima kasih.”“Kalian berkumpul akhirnya.” Tony datang membuat mereka berempat menatap kehadirannya. Dia membawa tiga orang bersamanya, dua orang lebih tua dan satu yang lebih muda.Ketika Rhea melihat wajah yang tidak asing pada salah satunya, dia sontak saja terkejut. Naomi …? Dia adalah salah satu rekan kerjanya di Art Centre, tetapi tidak terlalu dekat. Dan tunggu, sejak kapan dia mengundang Naomi?“Rhea, perkenalkan ini Elisa, Vino, dan Naomi. Mereka juga bagian dari keluarga Williams,” ucap Tony.Dan R
Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.“Itu mengganggu,” Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.“Oh ….”Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mende
Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.“Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi.”Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.“Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih.”Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Ketika melihat bebera
“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.”“Bukankah dia tidak tahu malu?”“Tidak bisa dipercaya.”“Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya, Rhe.”Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea.Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menarik tangannya kasar hingga mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, dia pun pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh.Dan Rhea hanya mengawasi kepergiannya. Apakah dia puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya.Setelah itu, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kamu baik-baik saja, Rhea?”“Kamu pasti patah hati dan kecewa.”“Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang,” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan
“Mamaku yakin, jika dia masih hidup, pria hidung belang itu pasti akan menikah lagi.”Gurauan itu membuat Rhea batuk-batuk sedangkan Naomi terkekeh.Well, life must go on. Rhea bisa melihat sikap santai Naomi ketika membicarakan mendiang ayah kandungnya.“Hubungan kami … cukup mendadak. Jadi, tidak banyak hal yang Maven bicarakan. Jujur saja dia hanya membicarakan Henry dan itu seperti bukan pembicaraan kurasa,” Rhea berbicara sepelan mungkin.“Yah, kami tidak cukup dekat sampai harus menjadi bahan pembicaraan. Hanya karena aku memiliki hubungan darah dengan Halim bukan berarti aku dan Maven dekat. Aku masih kecil ketika keluar dari kediaman Williams. Jika tidak ditambah sapaan singkat kami kemarin, terakhir kali kami berkomunikasi sekitar dua bulan yang lalu di acara kakek. Dia tidak menyukai mendiang papa, dan kupikir kami juga. Mamaku menikahi papanya, dia pasti tidak senang.”Entah kenapa Rhea bisa merasakan jejak kesedihan di nada bicara santai Naomi.“Setelah bercerai, aku dan ma
“Ya Tuhan. Mereka benar-benar tidak tahu malu.”Rhea tersentak dan melihat kehadiran Naomi dari belakang. “Kau juga baru pulang?”Naomi mengangguk. “Aku membersihkan peralatan melukis yang digunakan pelajar. Karena kalian mengobrol di depan pintu, aku tidak nyaman lewat begitu saja. Maaf harus menguping pembicaraan kalian.”“Itu bukan masalah.” Rhea menggeleng sambil tersenyum.“Jadi, kenapa kau masih di sini? Apa kau menunggu jemputan?”“Ah benar juga. Aku sampai lupa memesan taksi.” Rhea mengambil ponsel cepat.“Mau pulang denganku? Aku bisa mengantarmu.”Rhea menggeleng. “Tidak perlu. Ini sudah gelap. Kau pasti kelelahan. Pulanglah lebih dulu.”“Sungguh?”“Aku—” Rhea berhenti bicara ketika melihat sebuah mobil yang tidak asing lagi berhenti di depan mereka. Mereka berdua melihat Albar keluar dan dengan sigap menyapa mereka yang membalas sapaannya sebelum membuka pintu belakang untuk Maven. Pria yang telah sah menjadi suaminya itu keluar sambil mengancingkan jas. Dia melangkah denga
“Hah!”Desahan dan erangan terus keluar dari bibir manis Rhea tiap kali Maven mendorong pinggulnya. Maven memperhatikan wanita yang membungkuk di atas tempat tidur dengan lututnya tanpa berkedip. Sebelumnya Rhea masih kuat menahan tubuhnya sendiri. Namun lama-kelamaan setengah tubuhnya hingga wajah sudah menempel ke kasur. Dengan wajah cantiknya yang menoleh ke samping, dia bisa melihat fitur wajah istrinya walau ruangan cukup gelap. Matanya yang basah diliputi kesenangan. Rambut panjangnya menyebar berantakan di kasur tampak liar dan menampakkan punggung telanjang yang awalnya bersih kini penuh dengan tanda cinta darinya. Pelipisnya sudah berkeringat dengan bibir setengah terbuka. Dan tangan ringkihnya mencengkeram erat seprai. Godaan seperti itu mana mungkin tidak membuat Maven menjadi lebih bersemangat? Hasratnya berkobar hebat. Dengan posisi membelakangi dan tetap menahan pinggang istrinya agar tidak jatuh, gerakannya menjadi lebih kasar dan cepat.“Oh Lord.” Lagi, erangan lolos
Rhea merasakan sentuhan lembut yang membuatnya terjaga. Dan dia merasa seperti sedang digendong. Dipandangnya Maven yang ternyata memang mengangkat tubuhnya sambil melangkah. Tunggu, dia masih ingat dia sedang membaca buku di ruang santai ketika beberapa orangnya memindahkan barang-barang Maven ke kamarnya.“Apa aku membangunkanmu?”Rhea balik bertanya. “Apa aku tertidur? Aku masih ingat sedang membaca tadi.”Maven menunduk sambil tersenyum lembut. “Ya.”“Di mana bukunya?”“Aku letakkan di meja.”“Tunggu, mereka sudah selesai mengemasi barangmu?”“Hm.”“Bukankah aku berat? Ada makhluk hidup di dalamku.”“Sama sekali tidak.”“Jam berapa sekarang?”“Empat.”Rhea mengerutkan dahi samar masih sedikit mengantuk. “Kamu pulang awal lagi.”“Begitulah.”Rhea kembali bertanya, “Kenapa kamu pulang cepat?”’“Tidak ada pekerjaan yang mendesak.”Dengan lihai walau kedua tangannya mengangkat tubuh istrinya yang sedang mengandung, tagannya masih bisa membuka pintu dan mereka masuk ke kamar.“Aku kasi
Dokter mengecek hasil laporan di tangannya, saling pandang, lalu menatap Maven dan mengangguk. Rhea yang duduk manis di tempat tidur pasien tersenyum lebar ketika menatap suaminya.“Anda sudah dibolehkan pulang, Bu Rhea,” ujar salah satu dokter. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, mohon untuk datang pada jadwal temu nanti.”“Baik.”Di dalam mobil, Rhea yang memegang buket bunga dari Maven tidak bisa berhenti tersenyum. Kaca mobil dibiarkan terbuka agar dia bisa merasakan angin pagi yang segar. Maven yang mengemudi juga tidak bisa tidak ikut tersenyum. Melihat istrinya yang bahagia sudah cukup melegakannya.Tidak seperti di rumah sakit, kali ini Maven melonggarkan keamanannya dan membolehkan rekan kerjanya datang menjenguknya di rumah. Rumah mereka yang biasanya sepi kini sangat berisik dan ramai. Yana dan pelayan lainnya menjadi kewalahan dan sibuk namun tetap menikmati pekerjaan mereka.“Kau membuatku khawatir, kau tahu!” seru Ayu berlebihan membuat Rhea tertawa pelan. “Kami bahka
Duduk di sofa dengan membiarkan jendela dibiarkan dibuka, Rhea tidak bereaksi saat Maven menyelimuti pundaknya. Suaminya lalu meletakkan botol minum mineral yang sudah dibuka segel botolnya di depannya sebelum duduk di seberangnya.“Bagaimana kabarmu?”“Sudah lebih baik,” jawabnya pelan setelah menoleh. “Aku bisa pulang besok kata dokter.”“Mereka sudah mengabariku tadi pagi bahwa kamu ingin cepat pulang.”Tentu. Tiga dokter yang mengawasinya tidak mungkin tidak memberitahukan detail kondisi terbarunya pada Maven.“Untuk apa aku dikurung di sini lebih lama jika aku sudah baik?”“Kamu tidak tahu mengenai kondisimu—”“Aku lebih tahu mengenai kondisi tubuhku.”“Ya sampai pingsan. Tentu.”Rhea tidak bisa membalas, namun ekspresinya jelas menunjukkan ketidakpuasan.“… Dengar, aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan berharap kamu menerima perawatan dan diawasi di sini untuk beberapa hari ke depan lagi. Hanya untuk berjaga-jaga.”Nada bicara Maven terdengar lebih lembut dan pelan, tidak ingi
Rhea tidak memikirkannya dua kali. Dia sudah mengambil keputusan bulat dari awal. Begitu dia hamil, dia akan merawatnya dengan baik lalu menyerahkannya pada Maven setelah lahir. Toh, sudah tidak ada harapan mengenai sebuah keluarga baginya berkat Enzo.“Setelah dia lahir?”Lalu kenapa dia tidak bisa menjawab hal yang sama seperti saat kesepakatan itu dibuat? Apa karena wajah penuh harap dan ketakutan dari Maven yang kali pertama ia lihat? Atau ….“… bisa mengkhawatirkan, terutama selama kehamilan. Tetapi saya ingin meyakinkan Anda bahwa bayi Anda baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahaya—” Dokter yang menangani Rhea terdiam seketika begitu mengamatinya yang termenung memandang ke luar jendela.“Bu Rhea, apa Anda mendengarkan?”Rhea mengerjap pelan sebelum mengangguk kecil. Mereka sudah mengatakan hal yang sama sejak dua hari lalu. Dan dia sudah berada di rumah sakit selama tiga hari.“Selamat, Bu Rhea, Anda hamil. Ini sudah memasuki minggu ke-7,” ujar dokter setelah melakukan tes b
Sekarang, setelah Maven menjelaskannya, dia jadi mengingat pertemuan mereka walau masih samar. Itu sangat mengejutkannya hingga rasanya mustahil. Dia masih tidak percaya jika dia memiliki cinta monyet saat masih kecil, bahkan mengajaknya berpacaran. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pria itu ternyata suaminya.Artinya, dia dapat menyimpulkan kesepakatan di antara mereka itu sebenarnya akses untuk kembali padanya.“Jadi, bagaimana kita akan membuat skenario hubungan ini?”“Ada ide?”“Uh … mantan yang kembali?”Pantas saja saat dia memberi saran bagaimana hubungan palsu ini dimulai, Maven meatapnya dengan pandangan yang berbeda.“Aku anggap kamu sudah mengingatnya,” gumam Maven yang memperhatikan raut wajahnya sejak tadi.“Ta-Tapi, apa harus membantuku mengingatnya dengan posisi ini?”Alih-alih ke rumah sakit atau pulang ke rumah, Maven membawanya ke hotel. Memesan suite mewah dengan pemandangan khas ibu kota, juga makan malam dengan lilin. Situasi ini lebih intim hanya untuk mengingat
Ketika Rhea berkata dia belajar bahasa baru dari ibunya, itu bukanlah kebohongan. Sejak dini, orang tuanya selalu mengajaknya ke acara pribadi kalangan atas, jika acara itu semua orang membawa anak mereka.“Kalian sudah dengar soal kebijakan pajak baru yang pemerintah keluarkan? Mereka mulai mengenakan pajak lebih tinggi untuk perusahaan besar, terutama di sektor teknologi dan energi.”“Kita harus mulai berpikir jangka panjang. Tapi, Pak Okta, saya lebih tertarik dengan apa yang pemerintah lakukan terkait kebijakan perdagangan.”“Saya baru-baru ini terlibat dalam sebuah inisiatif untuk membantu masyarakat di daerah terpencil …. Oh ya, bagaimana kabar usahamu, Pak Hans?”“Yah, tidak banyak hal. Terima kasih untuk Pak Joko yang membantu saya.”“Ahahah aku yang seharusnya berterima kasih! Kau banyak membantuku selama dua tahun terakhir ini!”Para pria dewasa mendiskusikan banyak hal yang tidak dipahaminya. Tiap kali Rhea mendengar obrolan mereka, dia masih belum terbiasa. Hans yang memeg
Mau update kemarin tapi wi-fi lelet banget. Gagal terus buka wattpad di laptop. Selamat baca loves!________________________________“Apa kalian sadar? Sepertinya kita jarang sekali mengobrol. Bukan hanya dengan kalian sebetulnya, aku juga tidak dekat dengan pria lain di Putik. Aku penasaran kenapa tidak ada yang mengajakku mengobrol atau diam-diam mengeluhkan atasan kita di belakang.”Sambil berjalan bersama, para pria ini diam saja membuatnya tidak sabar. Dia butuh obrolan agar mengalihkan kekesalannya. Dia perlu menjaga kewarasannya.“Uh, apa kau ingin mendengarnya?”Cukup jawab saja! “Aku bersikap menyebalkan untuk menjadi teman kalian, ya?”“Tidak sama sekali. Hanya saja ….” Mereka saling pandang.“Kami terlalu malu,” celetuk salah satunya tertawa.“Kau terlalu tinggi untuk tipe kami. Apalagi saat itu kau berpacaran dengan pria berkelas sepertimu. Harapan para pria di Putik segera pupus saat itu.”Rhea berhenti melangkah seketika. Bukan jawaban seperti itu yang ia harapkan. Dia
Wanita asing ini mulai berbalik dan ikut menatap Rhea. Sepertinya, wanita ini pun tampak bingung seolah bertanya-tanya, ‘Who on earth is she?’.Rhea mencoba untuk berusaha tetap tenang. “Aku pun tidak tahu kamu di sini.”Dia kemudian menatap wanita di sebelah Maven terang-terangan sambil tersenyum. Dan Maven menyadarinya.“Ini teman lamaku, Alicia. Dan Lili, ini istriku, Rhea.”Alicia membawa rambut panjang hitamnya ke belakang telinga sebelum mengulurkan tangan. “Halo, Rhea.”Teman lama ditambah panggilan seperti itu, Rhea menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan perlahan dan diam-diam. Dia kemudian menjabat tangan indah itu dan membalas singkat sapaannya, “Hai.”Tanpa sadar pandangannya melirik tangan Alicia lain yang tidak menggunakan perhiasan apa pun di jari-jarinya. Rhea mengatur napasnya teratur dan lambat. Dia perlu tetap tenang dan berperilaku. Dinginkan kepala dan tenangkan pikiran. Apa yang perlu ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya, ya?Haa, tangannya yang mengepa
“… Ini sudah larut dan aku tidak punya energi untuk bergagumen hal kecil seperti ini.”Ucapan Enzo pada malam itu membuat Andini mendiamkannya. Tentu dia lebih marah karena tidak menyangka suaminya menganggap kecemasannya sebagai ‘hal kecil’. Suaminya itu bahkan tidak tahu betapa terluka perasaannya.Di saat bersiap ke kantor, Enzo berkata, “Aku sepertinya akan pulang malam lagi hari i—”“Lakukan saja apa yang kamu mau,” potong Andini yang segera mengambil tasnya. Dia selalu pulang sangat malam, jadi untuk apa mengatakan ‘hal kecil’ itu?Gerakannya yang memasang dasi terhenti seketika. Enzo kemudian melihat kepergian Andini. Tepat hari itu suaminya menyadari perang dingin yang dibuatnya. Terima kasih untuk kesibukan Enzo beberapa minggu berikutnya, perang dingin itu semakin menyesakkan dada.Suasana hatinya menjadi buruk dari hari ke hari. Bahkan di tempat kerjanya. Andini beberapa kali nyaris kehilangan kendali dirinya. Dia akui, hal kekanakkan yang ia lakukan ini pun menyakiti dirin