“Aku akan menikah.”
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan maksud tujuannya membuat Tony menatapnya dingin. Dan hujan lebat seketika mengguyur sore ini. Pria tua itu bahkan mengorek kupingnya khawatir dia salah dengar sebelum kembali melihat ketenangan sikap cucunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu ruang kerja.
Maven menghela napas sebelum menambahkan, “Jadi, aku mohon untuk menemaniku mengunjungi keluarga calon istriku.”
Langkah kaki Tony berhenti tepat di depan pintu. Dia yang hendak memegang gagang pintu menoleh. “Memangnya kapan kalian akan menikah?”
“Tiga hari lagi.”
Tony memejamkan mata, membuang napas, lalu berbalik. Kesal, langkahnya yang mendekati Maven cukup cepat. Sebelum cucunya sempat bereaksi, dia sudah memukul bahunya dengan tongkat hingga Maven terkejut. “Dasar keparat, kau tidak bisa menikah cepat hanya karena aku menyuruhmu. Perempuan mana yang kau bayar, hah?”
Maven mengusap bahunya. “Kami pernah berpacaran ketika masih muda. Ketika aku melanjutkan pendidikan di luar negeri, kami pun putus kontak. Begitu kembali, aku mendengar dia sudah memiliki kekasih. Lalu, hubungan mereka akhirnya berakhir. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu.”
“Jadi, kau memutuskan untuk memilikinya kembali?”
“Benar.”
Bagaimana manik mata pria itu tidak goyah membuat Tony mendesah lega. Dia pikir cucunya penyuka sesama jenis yang seperti ia dengar dari desas-desus kantor ternyata tidak. Dan nyatanya cucunya memiliki wanita yang ia sukai ….
Baru saja duduk, Tony kembali berdiri dan memukulnya lagi, kali ini dengan tangan. “Kau bajingan nakal.”
Hampir saja ia mempercayai anak nakal ini. Maven Williams sangat ahli berbohong tanpa berkedip.
“Berhentilah memukulku. Aku sudah sebesar ini,” desis Maven. “Inilah sebabnya cucumu yang lain tidak betah kemari.”
“Kau!” Tony mengangkat tongkatnya, tetapi Maven sudah siap ingin menghindar. Meletakkan kembali tongkat ke lantai, dia berdecak. “Maka berhentilah berbohong!”
Maven berdiri dan mengusap bahu Tony, mencoba menenangkannya. “Sudahlah, Kek. Cukup percaya saja, oke? Bukankah kamu ingin cucu?”
Tony berdecak lagi sambil memalingkan wajah. “Siapa dia?”
“Rhea Pramidita anak mendiang Hans Hadikusumo.”
Nama pria yang tidak asing itu membuat Tony mengerutkan dahi. “Maka itu kau meletakkan perencanaan akuisisi perusahaan itu di mejaku pagi ini?”
Maven tidak menjawab, namun dari ketenangannya pria itu tidak mengelak.
“Astaga,” bisik Tony sambil mengambil ponsel. “Katakan pada ibumu juga. Dia pun akan ikut malam ini.”
Memikirkan siapa yang dibicarakan Tony, wajah Maven sedikit berubah tidak sedap. Namun dia tidak bisa menolak perintah kakeknya.
***
“Maaf, kami datang di cuaca seperti ini,” Tony William berkata setelah mereka saling berkenalan dan Ivanka mengajak mereka masuk.
Ivanka tertawa pelan. “Cuaca memang tidak bersahabat, tapi apakah Anda semua berkendara dengan lancar?”
“Ya, sangat baik.”
Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan dia tahu pria paruh baya ini tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.
Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Dia memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.
Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jangan pernah main-main dengannya. Menurutnya, Tony lebih menyeramkan dibandingkan ayahnya.
Lalu sekarang Maven menyuruhnya berbohong pada kakeknya? Walaupun sedang duduk, Rhea bisa merasakan kakinya gemetar. Dia benar-benar tidak mengira Maven benar-benar datang ke rumahnya membawa kakek dan ibu tirinya.
Dan sekarang pria tua itu sedang menatap Rhea seperti sedang mempelajari seperti apa sosoknya. Secara naluriah dia memundurkan tubuh ke belakang sofa. Dia berharap bisa mengecilkan tubuhnya.
Maven yang duduk di hadapannya menyadari itu. Jadi, dia berdeham untuk menarik perhatian semua orang. “Bu Ivanka, seperti yang saya jelaskan siang tadi, saya membawa keluarga saya kemari bermaksud ingin menikahi Rhea ….”
Sepanjang empat orang itu terlibat dalam obrolan hangat dan serius, Gemma menarik pandangannya pada Rhea dengan perasaan curiga.
“Maven tidak pernah membawa satu wanita pun kemari dan tiba-tiba mengatakan akan menikah. Ayah, kamu tidak mungkin berpikir jika ini sungguh-sungguh, kan? Aku sudah dengar desas-desus para direksi. Mungkin ini akal-akalannya untuk membungkam keinginan mereka itu.” Di saat Tony pulang dan menyuruhnya bersiap-siap karena mereka akan mengunjungi rumah calon istri Maven, Gemma mengatakan ini.
Tetapi, Tony yang keras kepala membalas, “Ini kemauannya. Bukankah sebagai ibu kamu harus mendukung keputusannya?”
Benar-benar menyebalkan. Batin Gemma.
“Saya ingin pernikahan sederhana yang dihadiri keluarga inti saja,” ucap Rhea tiba-tiba menyadarkan Gemma dari lamunannya. Dia mengangkat sebelah alisnya. “Juga, saya tahu seberapa besar pengaruh Keluarga Williams, tetapi bisakah pernikahan kami tidak dipublikasikan secara besar-besaran?”
Selain Gemma, Tony pun ikut terkejut. “Kamu yakin?”
Rhea mengangguk pasti. “Ya, Pak Tony.”
Maven kemudian melirik Gemma. “Itu cukup untuk menghilangkan kecurigaanmu, kan?”
Mengalihkan tatapannya, Gemma hanya membersihkan tenggorokannya karena malu.
***
“Berpacaran ketika muda? Serius?” Tony mendengus ketika hanya mereka berdua di halaman rumah. Mereka telah pulang dan Gemma sudah lebih dulu masuk dengan alasan lelah. “Berapa umurnya?”
“26.”
“26? Jadi kau memacari anak berusia 5 tahun saat itu, begitu? Hei, Anak Nakal, jika ingin mengarang cerita buatlah yang lebih realistis! Kau mulai sekolah di Amerika di umur 13. Menurutmu pria yang akan mati sebentar lagi ini akan percaya hal itu? Bahkan jika aku sudah tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengingat nama anak cucuku, aku tetap tidak akan percaya karangan seperti itu.”
Maven menatap ke pintu di mana Gemma baru saja masuk. “Bukankah kau yang menyuruhku menikah segera dan menjauhi skandal?”
Melihat betapa lancarnya Maven membalas perkataannya membuat dia menatap cucunya tajam.
Sementara itu di tempat lain, seorang pria sedang membelai anaknya yang tertidur dengan jari telunjuk. “Kapan dia akan membuka matanya? Ayahnya sudah kembali tapi dia tidak ingin melihatnya.”
Suara tawa pelan seorang wanita membuatnya mendongak. “Dia akan bangun sebentar lagi. Omong-omong bagaimana pekerjaanmu, Sayang? Akhir-akhir ini kamu selalu pulang malam.”
“Haa, semakin sibuk. Maaf tidak bisa kembali tepat waktu dan menggantimu menjaga anak kita.”
Istrinya yang bernama Vexia mengusap wajahnya. “Mulai besok aku akan mengantarkan makan siang dan malammu.”
“Aku sangat menginginkannya, sungguh. Itu akan menyenangkan dan membuat karyawanku iri. Tetapi fokus saja dengan kesehatanmu dan jaga anak kita,” ucapan lembutnya membuat istrinya tersenyum hangat.
Tepat saat itu dia terganggu dengan getaran ponsel. Dia melihat nama Gemma di sana dan mengangkatnya. “Ya, Ma?”
Gemma menghela napas di seberang telepon. “Henry, Maven akan menikah tiga hari lagi.”
Jarinya berhenti bergerak seketika dan Vexia yang menyadari itu menatapnya penasaran. Dan tatapan Henry berubah menjadi tertarik ketika merespons, “Sungguh cepat.”
Bukankah aneh? Pikirnya.
Seperti di rumah Rhea sebelumnya, Maven tanpa basa-basi mengatakan akan menikah membuat Tony menatapnya dingin.Rhea pernah bertemu Tony Williams di acara amal tahunan di salah satu hotel ternama di ibu kota. Saat itu dia menemani orang tuanya dan menyapa Tony. Itu sudah lama dan Rhea tahu Tony tidak mungkin mengingatnya karena tak sedikit yang ingin menyapa seorang Tony Williams.Seperti kebanyakan para pebisnis, pria tua ini sangat berwibawa dan mengesankan. Namun ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dengan pebisnis lain yang pernah Rhea temui. Pria tua ini memiliki aura tegas dan dominan yang jauh di atas yang lain. Dia membawa pengaruh yang besar pada sekelilingnya. Dia memiliki tatapan yang tajam walaupun sedang tersenyum atau tertawa. Seolah dia bisa menilai orang hanya dari wajah mereka saja. Yah mungkin karena dia sudah puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tersebut dan juga pengalaman hidupnya sudah banyak.Satu hal yang Rhea pelajari tentang Tony pada malam itu. Jan
“Anda sekarang dapat mencium pengantin wanita.” Rhea melirik ke atas tanpa mendongakkan kepalanya. Tanpa orang lain tahu, dia menggenggam tangannya dengan kuat. Ya, dia gugup. Rhea lupa tentang sesi ini. Dan mereka belum berlatih sebelumnya agar terlihat natural. Dia takut seseorang akan melihat kebohongan mereka. Di balik wajah tenang Rhea, Maven bisa melihat kegugupan yang terbaca di manik mata wanita itu. Dia menangkup wajah Rhea dan bertanya sangat pelan yang hanya bisa didengar mereka berdua saja, “Kamu juga belum pernah berciuman?” Dengan kerutan tidak senang di antara alisnya yang rapi, Rhea menjawab, “Tentu saja sudah.” Maven tersenyum tipis lalu berkata, “Kalau begitu izinkan aku.” Maven menundukkan kepalanya dan mendekati bibir Rhea. Dia mencoba yang terbaik yang dia bisa untuk tetap bergerak lembut agar Rhea bisa menikmati ciuman mereka. Dan nyatanya selang beberapa saat, dia bisa merasakan Rhea kembali santai. Itu ciuman yang menyenangkan. Lembut, tidak terburu-buru
Dan sekarang, tibalah sesi yang menggelisahkan. Tiga hari lalu, Rhea dengan mudahnya setuju dengan proposal ini. Akan tetapi mendekati waktu malam pertama mereka, dia menjadi sangat sangat gugup. Lebih gugup dibandingkan ketika mereka berciuman.Rhea mendesah setelah mematikan alat pengering rambut. Dia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Begitu dia menggeser pintu kamar mandi, ia melihat Maven sudah di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Pria yang hanya mengenakan jubah mandi sama sepertinya itu mendongak dan menatapnya.Indra penciuman Rhea menangkap aroma sensual dari pengharum ruangan. Lalu ada banyak kelopak bunga berhamburan tidak beraturan di bawah ranjang besar. Jika Rhea masih ingat, mereka semua berada di atas tempat tidur membentuk hati dengan rapi.“Itu mengganggu,” Maven bersuara seolah bisa mengetahui dengan jelas apa yang Rhea pikirkan.“Oh ….”Suaminya meletakkan iPad di nakas samping tempat tidur lalu beranjak dari tempat malasnya, melangkah mende
Well, mereka berada di satu tempat kerja. Jika Rhea seorang kurator, Andini adalah edukator. Juga tidak mungkin mereka tidak akan bertemu. Hanya saja, dia masih tidak ingin bertemu dengannya di hari pertamanya kembali bekerja setelah cuti empat hari.“Ayu bilang kamu sudah masuk hari ini jadi aku mencarimu ke mana-mana sejak tadi.”Suara sepatu hak tinggi terdengar semakin dekat dan berhenti di sebelah Rhea. Dia melirik ke samping dan melihat Andini yang tersenyum manis dengan posisi menghadapnya.“Aku turut berduka atas kepergian ayahmu. Aku sudah menganggap Om Hans seperti ayahku sendiri. Kamu tahu, tiap kali aku ke rumah kalian dia selalu memanjakanku. Kamu pasti sedih sampai-sampai mengambil cuti cukup lama. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, Rhe. Aku sangat sedih.”Apakah itu ekspresi orang yang berempati? Dia berbicara sambil tersenyum secantik yang ia bisa. Dan juga nada suaranya, kenapa harus setinggi itu? Rhea menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.Ketika melihat bebera
“Merebut kekasih sahabat sendiri lalu beralasan itu takdir benar-benar menjijikkan.”“Bukankah dia tidak tahu malu?”“Tidak bisa dipercaya.”“Ya, berikan saja sampah seperti itu padanya, Rhe.”Yang awalnya hanya berbisik pelan mulai terdengar jelas hingga ke indra pendengaran Andini dan Rhea.Perkataan Rhea ditambah rekan-rekannya sudah tidak bisa membuat Andini mempertahankan sikap tenangnya. Dia menarik tangannya kasar hingga mundur sedikit ke belakang. Menatap Rhea dengan marah sejenak, dia pun pergi dengan langkah cepat diiringi seruan cemooh.Dan Rhea hanya mengawasi kepergiannya. Apakah dia puas? Tidak, belum saatnya dia puas. Hanya karena wanita itu dipermalukan sekali tidaklah bisa mengobati luka di hatinya.Setelah itu, beberapa teman kerjanya mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Dan bertanya dengan wajah prihatin, “Kamu baik-baik saja, Rhea?”“Kamu pasti patah hati dan kecewa.”“Aku tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar sekarang,” Rhea menjawab berusaha untuk menenangkan
“Mamaku yakin, jika dia masih hidup, pria hidung belang itu pasti akan menikah lagi.”Gurauan itu membuat Rhea batuk-batuk sedangkan Naomi terkekeh.Well, life must go on. Rhea bisa melihat sikap santai Naomi ketika membicarakan mendiang ayah kandungnya.“Hubungan kami … cukup mendadak. Jadi, tidak banyak hal yang Maven bicarakan. Jujur saja dia hanya membicarakan Henry dan itu seperti bukan pembicaraan kurasa,” Rhea berbicara sepelan mungkin.“Yah, kami tidak cukup dekat sampai harus menjadi bahan pembicaraan. Hanya karena aku memiliki hubungan darah dengan Halim bukan berarti aku dan Maven dekat. Aku masih kecil ketika keluar dari kediaman Williams. Jika tidak ditambah sapaan singkat kami kemarin, terakhir kali kami berkomunikasi sekitar dua bulan yang lalu di acara kakek. Dia tidak menyukai mendiang papa, dan kupikir kami juga. Mamaku menikahi papanya, dia pasti tidak senang.”Entah kenapa Rhea bisa merasakan jejak kesedihan di nada bicara santai Naomi.“Setelah bercerai, aku dan ma
“Ya Tuhan. Mereka benar-benar tidak tahu malu.”Rhea tersentak dan melihat kehadiran Naomi dari belakang. “Kau juga baru pulang?”Naomi mengangguk. “Aku membersihkan peralatan melukis yang digunakan pelajar. Karena kalian mengobrol di depan pintu, aku tidak nyaman lewat begitu saja. Maaf harus menguping pembicaraan kalian.”“Itu bukan masalah.” Rhea menggeleng sambil tersenyum.“Jadi, kenapa kau masih di sini? Apa kau menunggu jemputan?”“Ah benar juga. Aku sampai lupa memesan taksi.” Rhea mengambil ponsel cepat.“Mau pulang denganku? Aku bisa mengantarmu.”Rhea menggeleng. “Tidak perlu. Ini sudah gelap. Kau pasti kelelahan. Pulanglah lebih dulu.”“Sungguh?”“Aku—” Rhea berhenti bicara ketika melihat sebuah mobil yang tidak asing lagi berhenti di depan mereka. Mereka berdua melihat Albar keluar dan dengan sigap menyapa mereka yang membalas sapaannya sebelum membuka pintu belakang untuk Maven. Pria yang telah sah menjadi suaminya itu keluar sambil mengancingkan jas. Dia melangkah denga
“Hah!”Desahan dan erangan terus keluar dari bibir manis Rhea tiap kali Maven mendorong pinggulnya. Maven memperhatikan wanita yang membungkuk di atas tempat tidur dengan lututnya tanpa berkedip. Sebelumnya Rhea masih kuat menahan tubuhnya sendiri. Namun lama-kelamaan setengah tubuhnya hingga wajah sudah menempel ke kasur. Dengan wajah cantiknya yang menoleh ke samping, dia bisa melihat fitur wajah istrinya walau ruangan cukup gelap. Matanya yang basah diliputi kesenangan. Rambut panjangnya menyebar berantakan di kasur tampak liar dan menampakkan punggung telanjang yang awalnya bersih kini penuh dengan tanda cinta darinya. Pelipisnya sudah berkeringat dengan bibir setengah terbuka. Dan tangan ringkihnya mencengkeram erat seprai. Godaan seperti itu mana mungkin tidak membuat Maven menjadi lebih bersemangat? Hasratnya berkobar hebat. Dengan posisi membelakangi dan tetap menahan pinggang istrinya agar tidak jatuh, gerakannya menjadi lebih kasar dan cepat.“Oh Lord.” Lagi, erangan lolos