“Luna ngomong gitu?” Faisal menganggukkan kepalanya pada Heri ketika bercerita tentang suami Dewi yang meminta tolong “Memang harus ditegasin, terus tu suami gimana?”
“Dia anggep Luna nggak percaya sama aku, dia yakin nggak akan ada apa-apa diantara kita nantinya. Memang benar nggak akan ada apa-apa, cuman dia nggak tahu gimana sikap istrinya waktu dia nggak ada.”“Selama kalian tinggal satu tempat Dewi pernah ke rumah atau apapun itu?” tanya Heri.Faisal menggelengkan kepalanya “Terakhir dia ke tokonya Luna, waktu kita pindahan juga yang datang suaminya. Dia bahkan belum ke rumah, semoga saja nggak ke rumah. Aku nggak mau Ada apa-apa sama rumah tanggaku.”“Permisi.”Faisal dan Heri menghentikan pembicaraan dengan menatap Nisa yang berada depan pintu, Faisal memilih menatap laptopnya untuk menghindari interaksi dengan wanita yang masuk kedalam ruangan. Kesalahan yang hanya beberapa“Luar biasa memang dia.” Luna memilih tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari Raka, kakaknya. Memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala di sofa, kejadian yang benar-benar tidak bisa ditebak, bahkan membayangkannya saja tidak ada sama sekali. “Tempat ini nggak bisa di akses semaunya, kan?” Luna menatap Raka penuh harap. “Kamu sudah kesini berapa kali? Nilai sendiri.” “Aku hanya takut aja.” Luna mengangkat bahunya malas “Ada ya nggak tahu malu gitu? Padahal udah nikah dan hamil pula. Apa sih yang sudah kamu lakukan mas sampai terobsesi sama kamu.” “Servicenya.” Raka menaik turunkan alisnya menggoda mereka berdua. Luna menganggukkan kepalanya seakan paham atas apa yang dikatakan Raka, membayangkan apa yang mereka berdua lakukan selama ini tidak salah jika masih belum bisa melupakan semua yang dilakukan Faisal. “Otaknya malah mikir
“Bagaimana keadaan Dewi?” “Sudah membaik, mas. Terima kasih waktu itu langsung menghubungi keluarga saya. Saya sendiri tidak tahu kenapa Dewi malah memilih anda jika terjadi sesuatu padanya. Saya tahu jika hubungan Dewi dengan orang tua saya tidak baik-baik saja, saya sendiri tidak bisa memilih diantara mereka.” Faisal mendengarkan semua yang dikatakan Galih, satu hal yang ingin diketahuinya adalah awal hubungan mereka tapi segera menahan diri karena bagaimanapun semua bukan urusannya. Helaan napas dikeluarkan Faisal perlahan untuk menghilangkan perasaan yang tidak menentu dihatinya, tatapannya tidak lepas dari pria yang menjadi suami mantannya, Galih. “Maaf apa Dewi mengatakan tentang hubungan kami sebenarnya?” tanya Faisal hati-hati. “Tidak, tapi saya tahu siapa anda.” Faisal mengerutkan kening mendengar jawaban Galih “Saya tahu dari Dewi sendiri, dia pernah menceritakan tentang anda.”
“Apa harus ketemu sama suami aku? Aku hanya meminta tolong, aku hanya mengenal kalian.” “Nggak usah playing victim,” ucap Faisal dengan nada tidak suka “Kita sudah selesai, kamu menikah dan aku juga. Kamu yang memutuskan menikah, jadi selesai.” “Kalau aku nggak memutuskan menikah, apa kita masih bisa kembali? Kamu menjalani hubungan denganku hanya pelarian.” “Kamu sudah tahu itu, lalu kenapa sekarang malah mengganggu kami?” Faisal menatap tidak percaya ketika mendengar kalimat Dewi. Dewi mengangkat bahu “Aku ingin merasakan perhatian dari kamu seperti dulu, mungkin.” “Hentikan ini semua, Wi.” Faisal menatap dengan tatapan memohon. “Aku nggak bisa, perasaan ke kamu masih ada disini.” Dewi menunjuk dadanya dengan tatapan sedih “Aku tahu kalau selama ini hanya pelarian, tapi aku nggak peduli karena memang mencintai kamu dan kamu tahu alasan pernikahan ini.”
“Lama banget belanjanya, ma?” Intan menatap Andi yang fokus dengan tabletnya “Ngobrol sama tetangga sebelah jadi lupa waktu.” “Faisal itu belum nikah, kan?” tanya Andi menghentikan kegiatannya dengan menatap sang istri.“Papa nggak ada niatan buat jodohin Luna sama Faisal, kan? Mereka itu beda jauh, pa. Faisal itu kalau nggak salah seumuran sama Raka.” “Daripada Audrey meratapi hubungannya yang kandas. Papa heran cowok model begitu masih aja ditangisi, lagian anak kok ngeyel sama orang tua.” Andi menggelengkan kepalanya.“Luna itu papa banget, keras.” Luna yang mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepalanya, melangkahkan kakinya mendekati meja makan tidak lupa mencium pipi Andi sebelum duduk disalah satu meja. Menatap hidangan yang ada dihadapannya, tidak ada yang membuatnya lapar atau lebih tepatnya sedang melakukan puasa yang sedang trend saat ini.“Kemana hari ini?” tanya Intan yang duduk dihadapan Luna.“Toko roti, kenapa? Harusnya sih subuh tapi mas
“Memang kamu nggak mau kasih ibu dan bapak cucu? Raka aja udah ada anak, masa kamu masih mau sendiri?” “Ibu sudah ada cucu dari Nuri, kurang?” “Bukan dari kamu, mas!” “Apa bedanya, bu?” Faisal menatap malas mendengar perdebatan yang sama.“Beda! Ibu bilang beda ya pasti beda!” Eni menatap kesal pada Faisal “Kamu cari cewek kaya gimana? Apa mau sama Luna?” “Ibu yang benar aja? Luna udah aku anggap kaya Nuri, Luna juga baru patah hati masa harus begini?” Faisal menggelengkan kepalanya.“Bagus kalau dia jadi istri kamu, Nuri pasti senang. Raka bisa percaya kamu menjaga Luna dengan baik. Apa yang kurang dari dia? Pandang Luna sebagai wanita bukan adik seperti Nuri.” Eni memberikan gambaran yang hanya ditanggapi dengan gelengan kepalanya.“Aku berangkat.” Faisal mencium punggung tangan kedua orang tuanya sebelum berangkat.Tatapan Faisal beralih ke tetangga samping, mobil Luna dan papanya masih ada dan itu artinya mereka masih betah didalam. Faisal sangat tahu pastinya Luna masih dala
“Mobil kenapa?” Luna menghentikan langkahnya ketika melihat papanya sudah siap dengan pakaian olahraga “Papa mau kemana? Olahraga sama siapa?” “Faisal dan papanya, Raka bentar lagi datang. Mobil kenapa? Kamu telat service?” Andi menatap penuh selidik yang diangguki Luna dengan senyum bersalah “Kamu naik apa ke toko?”“Mobil papa memang dipakai? Papa kan pergi sama tetangga dan Mas Raka, jadi aku pakai mobil papa aja.” Andi menggelengkan kepalanya “Mama kamu mau pakai, ketemuan sama teman-temannya. Kamu pakai punya Raka aja.” “Naik kendaraan online aja.” Luna malas jika meminjam mobil kakaknya, Raka. Sebenarnya enak, tapi Raka akan minta segera balik karena harus menghabiskan waktu dengan istri dan anaknya di rumah orang tua istrinya. Menikmati sarapannya dalam diam, tanpa ada gangguan siapapun sampai suara yang sangat dikenal masuk kedalam rumah.“Kamu ngapain kesini?” Luna mengerutkan keningnya menatap Nuri duduk dihadapannya.“Aku udah minta ijin sama Mas Ali buat ke tokomu, me
“Kamu apanya Faisal?” Luna mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan wanita yang menjadi kekasih, ralat mantan kekasih tetangganya yang juga sahabat kakaknya. Hubungan mereka memang membingungkan, tapi lebih membingungkan ketika wanita datang ke toko hanya bertanya hubungan mereka berdua.“Kenapa, mbak?” tanya Luna sopan.“Kalian berdua itu ada hubungan apa? Faisal sering beli roti disini, pasti kalian punya hubungan lebih karena nggak mungkin bisa beli di satu toko terlalu sering bahkan pakai promosiin segala.” Rachel berkata sambil menatap sekitar.“Kenapa mbak nggak tanya sama orangnya sendiri?” tanya Luna masih dengan nada sopan sambil menahan emosi.“Apa sulitnya jawab pertanyaan yang saya berikan?” Rachel menatap tajam pada Luna.“Saya juga nggak ada kewajiban menjawab pertanyaan anda. Anda yang mempunyai hubungan dengan dia, harusnya bisa tanya secara langsung. Disini hanya toko kue, melayani orang-orang yang membeli kue bukan masalah percintaan. Kalau tidak ada yang dibeli m
“Kamu mencari aku selama ini, apa ada hubungan sama kehamilan ini?” Rachel menganggukkan kepalanya penuh kepastian “Aku mau minta bantuan.” “Bantuan apa?” tanya Faisal menatap tidak suka dan seakan paham dengan arah pembicaraan Rachel “Aku nggak pernah melakukan itu sama kamu.” Rachel menghembuskan napas panjangnya “Kita pernah...”“Nggak! Ciuman adalah batas maksimal yang...”“Pegang alat aset? Lupa?” potong Rachel “Kita manusia dewasa jadi...”“Memang tapi nggak sampai...lagian kenapa kamu nggak Minta sama pria kemarin?” Faisal memotong kalimat Rachel dengan tatapan tajam.“Bukan dia.” Rachel menundukkan kepalanya.“Lalu? Berapa banyak pria yang melakukan sama kamu?” Faisal menatap tidak percaya.“Mertuanya kakakku,” jawab Rachel tanpa menatap Faisal yang membelalakkan matanya “Makanya aku nggak bisa minta dinikahin, pernikahan hanya status dihadapan orang tua dan keluarga.” “Kamu nggak lupa kalau masih ada permasalahan lain? Kita berbeda keyakinan, orang tua aku pasti nggak aka
“Apa harus ketemu sama suami aku? Aku hanya meminta tolong, aku hanya mengenal kalian.” “Nggak usah playing victim,” ucap Faisal dengan nada tidak suka “Kita sudah selesai, kamu menikah dan aku juga. Kamu yang memutuskan menikah, jadi selesai.” “Kalau aku nggak memutuskan menikah, apa kita masih bisa kembali? Kamu menjalani hubungan denganku hanya pelarian.” “Kamu sudah tahu itu, lalu kenapa sekarang malah mengganggu kami?” Faisal menatap tidak percaya ketika mendengar kalimat Dewi. Dewi mengangkat bahu “Aku ingin merasakan perhatian dari kamu seperti dulu, mungkin.” “Hentikan ini semua, Wi.” Faisal menatap dengan tatapan memohon. “Aku nggak bisa, perasaan ke kamu masih ada disini.” Dewi menunjuk dadanya dengan tatapan sedih “Aku tahu kalau selama ini hanya pelarian, tapi aku nggak peduli karena memang mencintai kamu dan kamu tahu alasan pernikahan ini.”
“Bagaimana keadaan Dewi?” “Sudah membaik, mas. Terima kasih waktu itu langsung menghubungi keluarga saya. Saya sendiri tidak tahu kenapa Dewi malah memilih anda jika terjadi sesuatu padanya. Saya tahu jika hubungan Dewi dengan orang tua saya tidak baik-baik saja, saya sendiri tidak bisa memilih diantara mereka.” Faisal mendengarkan semua yang dikatakan Galih, satu hal yang ingin diketahuinya adalah awal hubungan mereka tapi segera menahan diri karena bagaimanapun semua bukan urusannya. Helaan napas dikeluarkan Faisal perlahan untuk menghilangkan perasaan yang tidak menentu dihatinya, tatapannya tidak lepas dari pria yang menjadi suami mantannya, Galih. “Maaf apa Dewi mengatakan tentang hubungan kami sebenarnya?” tanya Faisal hati-hati. “Tidak, tapi saya tahu siapa anda.” Faisal mengerutkan kening mendengar jawaban Galih “Saya tahu dari Dewi sendiri, dia pernah menceritakan tentang anda.”
“Luar biasa memang dia.” Luna memilih tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari Raka, kakaknya. Memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala di sofa, kejadian yang benar-benar tidak bisa ditebak, bahkan membayangkannya saja tidak ada sama sekali. “Tempat ini nggak bisa di akses semaunya, kan?” Luna menatap Raka penuh harap. “Kamu sudah kesini berapa kali? Nilai sendiri.” “Aku hanya takut aja.” Luna mengangkat bahunya malas “Ada ya nggak tahu malu gitu? Padahal udah nikah dan hamil pula. Apa sih yang sudah kamu lakukan mas sampai terobsesi sama kamu.” “Servicenya.” Raka menaik turunkan alisnya menggoda mereka berdua. Luna menganggukkan kepalanya seakan paham atas apa yang dikatakan Raka, membayangkan apa yang mereka berdua lakukan selama ini tidak salah jika masih belum bisa melupakan semua yang dilakukan Faisal. “Otaknya malah mikir
“Luna ngomong gitu?” Faisal menganggukkan kepalanya pada Heri ketika bercerita tentang suami Dewi yang meminta tolong “Memang harus ditegasin, terus tu suami gimana?” “Dia anggep Luna nggak percaya sama aku, dia yakin nggak akan ada apa-apa diantara kita nantinya. Memang benar nggak akan ada apa-apa, cuman dia nggak tahu gimana sikap istrinya waktu dia nggak ada.” “Selama kalian tinggal satu tempat Dewi pernah ke rumah atau apapun itu?” tanya Heri. Faisal menggelengkan kepalanya “Terakhir dia ke tokonya Luna, waktu kita pindahan juga yang datang suaminya. Dia bahkan belum ke rumah, semoga saja nggak ke rumah. Aku nggak mau Ada apa-apa sama rumah tanggaku.” “Permisi.” Faisal dan Heri menghentikan pembicaraan dengan menatap Nisa yang berada depan pintu, Faisal memilih menatap laptopnya untuk menghindari interaksi dengan wanita yang masuk kedalam ruangan. Kesalahan yang hanya beberapa
“Dewi tinggal dekat sama rumah kalian?” Luna menganggukkan kepalanya “Parah sih ini....memang ada yang kasih tahu kalau Mas Faisal punya tanah disana? Kalaupun punya tanah bukan berarti bakal bangun rumah disana.” “Dia kenal Mas Faisal dengan baik keknya, makanya beli rumah disana. Aku nggak mau negatif thinking sama dia, tapi nggak bisa.” Luna menghela napas panjangnya mengingat pembicaraan mereka berdua waktu itu “Aku kira dengan menikah secara otomatis dia akan berhenti, tapi nyatanya...” “Malah jadi tetangga.” Luna menganggukkan kepalanya mendengar kalimat Ismi “Apa aku tanya sama Akbar?” “Nggak perlu,” jawab Luna langsung “Aku nggak mau hubungan keluarga kalian buruk gara-gara ini.” “Udahlah nggak usah dipikir, sekarang itu yang penting adalah kamu sama Mas Faisal. Aku lihat Mas Faisal juga udah nggak peduli sama Dewi, jadi nggak usah dipikirkan lebih dalam yang ada malah sakit nanti.” Ismi menena
“AKHIRNYA!!” Faisal menggelengkan kepalanya saat Luna berteriak setelah acara masuk kedalam rumah mereka yang baru, permintaan kedua orang tua dimana memasuki rumah baru harus ada pembacaan doa dan juga berbagi rezeki. Makanan sudah dipegang kedua wanita kesayangan mereka berdua untuk mengurusnya, sedangkan masalah snack Luna sendiri yang memegangnya. “Bahagia banget keluar dari rumah orang tua.” Faisal memeluk Luna yang sedang mengelap meja. “Tentu, bukan nggak senang tinggal sama orang tua. Kamu tinggal di rumah papa pasti sungkan, sedangkan aku juga sama. Lagian kita jadi nggak bebas mau ngapa-ngapain.” “Ngapa-ngapain gimana?” Faisal menghentikan gerakan Luna dengan membalikkan badannya “Kayaknya kita menjelajahi sudut rumah seru.” Luna memukul bahu Faisal pelan “Nggak usah aneh-aneh, mas. Kamu kalau udah sekali main nggak berhenti.” “Kamu terlalu nikmat, saya
“Pengantin baru mau kemana?” Luna tersenyum sambil menganggukkan kepalanya saat keluar dari rumah orang tua Faisal, mendengar sapaan tetangga tetap saja tidak membuatnya nyaman. Pernikahan mereka memang terhitung baru, jelas saja baru secara baru saja pulang dari honeymoon. Kedatangan ke rumah orang tua memang untuk tinggal sementara sebelum menempati rumah baru, rumah mereka belum dikasih doa atau selamatan. “Kok udah masuk aja, mas?” tanya salah satu tetangga menatap Faisal yang akan membuka pintu. “Kalau nggak kerja terus yang biayai Luna siapa?” Eni membuka suaranya “Kalian berangkat sana.” Luna menatap Faisal yang menganggukkan kepalanya, menatap mamanya yang melakukan hal sama. Masuk kedalam mobil dengan tatapan tidak percaya sambil menggelengkan kepalanya, baru kali ini merasakan kehidupan bersama tetangga sebenarnya. “Padahal masih tinggal sama orang tua gimana nanti?” Luna
“Cantik banget! Faisal pasti minta nikah kalau gini.” Luna menundukkan wajahnya untuk menutupi rona merah di pipi, beberapa hari memang tidak bertemu dengan Faisal karena kesibukan mereka masing-masing. Hembusan napas panjang dikeluarkan, tidak membayangkan jika mereka berdua bisa sampai sejauh ini. “Nuri di rumah Mas Faisal? Dia nggak disini temani kamu?” Ismi memilih membahas hal lain saat melihat Luna yang salah tingkah. Luna menggelengkan kepalanya “Nuri harus temani masnya dibandingkan aku. Aku nggak masalah sama itu.” “Aku hanya tanya bukan persoalan yang perlu dibahas panjang, lagian tinggal jalan sudah sampai.” “Mentang-mentang calonnya tetangga sendiri.” Risa menyindir dengan memberikan tatapan menggoda yang semakin membuat Luna mengerucutkan bibirnya. Suara ketukan menghentikan pembahasan yang tidak penting, mengerutkan kening saat melihat staff WO datan
“Kenapa, bu?” “Ibu itu kesal! Masa mereka bilang kalau kamu sama Luna itu hamil duluan!” Faisal membuka mulutnya mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita yang sangat dicintainya itu. Hembusan napas panjang dikeluarkan, perkataan tetangga memang sudah disiapkan secara lahir dan batin karena keputusan mereka berdua yang mengadakan lamaran tanpa ada berita kencan. “Ibu ngapain dengar mulut mereka.” Herman menggelengkan kepalanya. “Ibu itu kasihan sama Intan dan Luna, Pak.” Eni menatap sedih kearah suaminya “Mereka pasti malu dikatakan begitu.” “Kenyataan nggak hamil, terus gimana? Luna sudah kuat masalah begitu, bu.” Faisal menenangkan sang ibu yang memilih mengangguk lemah. “Intan sih masa bodoh, cuman kok ya...mereka tega bicara gitu padahal kenal kita gimana.” Eni menggelengkan kepalanya. “Malam...” Faisal menggeleng