“Lama banget belanjanya, ma?”
Intan menatap Andi yang fokus dengan tabletnya “Ngobrol sama tetangga sebelah jadi lupa waktu.” “Faisal itu belum nikah, kan?” tanya Andi menghentikan kegiatannya dengan menatap sang istri. “Papa nggak ada niatan buat jodohin Luna sama Faisal, kan? Mereka itu beda jauh, pa. Faisal itu kalau nggak salah seumuran sama Raka.” “Daripada Audrey meratapi hubungannya yang kandas. Papa heran cowok model begitu masih aja ditangisi, lagian anak kok ngeyel sama orang tua.” Andi menggelengkan kepalanya. “Luna itu papa banget, keras.” Luna yang mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepalanya, melangkahkan kakinya mendekati meja makan tidak lupa mencium pipi Andi sebelum duduk disalah satu meja. Menatap hidangan yang ada dihadapannya, tidak ada yang membuatnya lapar atau lebih tepatnya sedang melakukan puasa yang sedang trend saat ini. “Kemana hari ini?” tanya Intan yang duduk dihadapan Luna. “Toko roti, kenapa? Harusnya sih subuh tapi masih ada yang harus dilakukan.” Luna menjawab sambil menghabiskan minumannya “Mama ada perlu?” “Kamu nggak ada keinginan membuka hati? Mencari pengganti cowok itu.” Intan mengatakan dengan sedikit keraguan. “Kamu harus membuka hati, biar nggak sedih terus.” Andi menambahkan kalimat Intan. “Memang aku terlihat menyedihkan? Papa dan mama, aku malah pengen nggak nikah aja.” Luna mengatakan dengan santai. “APA?!” teriak kedua orang tuanya bersamaan. “Mana ada begitu? Mama nggak setuju!” “Papa juga! Papa pengen jadi wali kamu mumpung masih hidup.” Luna menatap tidak percaya atas kompaknya kedua orang tua jika berhubungan dengan pilihan anaknya dan tidak sesuai dengan keinginan mereka, bayangan di masa tua seakan selalu bermain di kepalanya setelah kegagalan itu. “Kamu trauma?” tanya Intan hati-hati. Luna menggelengkan kepalanya “Malas saja berhubungan sama cowok.” “Faisal gimana? Kalian sudah saling kenal, lagian Faisal juga masih single.” Andi kembali mengatakan hal yang sama. “Nggak mau! Aku nggak mau sama Faisal.” Luna menolak langsung. Faisal, tetangga sebelah rumah. Mereka sudah mengenal dari kecil, Faisal berteman dengan Raka yang tidak lain kakaknya. Luna sendiri berteman dengan adiknya Faisal, Nuri. Hubungan mereka sangat dekat, bahkan Nuri selalu meminta Luna menemani dalam hal apapun tapi sekarang sudah menikah karena memang memutuskan menikah muda. “Papa kan pengen gendong cucu.” “Papa sama mama sudah punya dua cucu, masih kurang? Kalau kurang minta Mas Raka hamilin istrinya lagi. Luna mau siap-siap, kalau dengerin mama sama papa bisa pusing. Papa nggak berangkat ke kampus?” “Gara-gara kamu! Papa hampir telat.” Luna membuka mulutnya tidak percaya mendengar kalimat papanya, menggelengkan kepalanya ketika Andi mencium kening Luna, memilih masuk kedalam kamar untuk menyiapkan dirinya. Toko roti adalah toko yang dibuat sejak kuliah, awalnya hanya membuka pesanan semakin lama pesanannya semakin banyak, membuat Luna memutuskan membuka toko kecil. Menyewa ruko yang letaknya tidak jauh dari rumah, dekat dengan perkantoran membuat tokonya semakin ramai. Letaknya yang strategis, tidak hanya itu dukungan dari keluarga adalah faktor utama. Menatap aktivitas karyawannya saat ini seketika senyum lebar tampak di wajahnya, langkah kakinya langsung menuju tempat produksi. “Banyak yang beli?” Intan menatap seluruh toko. “Alhamdulillah. Mama ada apa kesini?” tanya Luna menatap sang mama yang secara tiba-tiba datang. “Memang nggak boleh datang kesini?” Intan menatap tidak suka pada Luna yang hanya bisa meringis “Mama mau ambil beberapa roti buat dibawa acara PKK ya.” Luna memilih menganggukkan kepalanya, kebiasaan sang mama yang datang ke toko untuk mengambil roti setiap ada acara. Setidaknya sudah mempersiapkan kemungkinan semalam ini, bahkan kalau masih ada sisa pastinya Luna akan bagi ke karyawan atau kasih ke orang yang nggak mampu dimanapun dia temuin. “Mbak Eni bilang kalau kesel sama Faisal, masa belum ada hilal bawa cewek ke rumah. Raka bilang Faisal cuman butuh waktu aja, mama penasaran cewek macam apa yang disukai sama Faisal.” “Kenapa harus buru-buru nikah sih? Siapa tahu Mas Faisal belum menemukan yang sreg atau mau fokus sama pekerjaannya.” “Kamu pernah bicara sama Faisal?” Intan menatap penuh selidik. “Nggak sama sekali! Kenapa mama jadi kepo banget sama urusan mereka?” Luna menggelengkan kepalanya. “Kita itu penasaran wanita seperti apa yang disukai Faisal karena sama sekali nggak pernah dibawa kerumah, bahkan mas kamu aja nggak tahu model cewek yang disukai Faisal.” “Mas Raka malas ribet.” Luna berjalan meninggalkan sang mama yang masih berpikir. Luna sangat tahu jika kakaknya itu sangat tahu tentang rahasia Faisal, tapi malas berhadapan dengan orang tua mereka. Luna pernah bertemu sama Faisal dengan ceweknya kapan itu, ketika dirinya masih menjalin hubungan dengan mantan laknatnya. “Kamu nggak pulang?” tanya Intan ketika melihat Luna masih terlihat sibuk. “Mama pulang dulu, aku masih ada yang harus dilakukan.” Luna menjawab tanpa menatap sang mama. Hembusan napas panjang dikeluarkan saat mendengar suara langkah menjauh, keberadaan mamanya akan membuatnya tidak fokus. Menatap beberapa pesanan yang sudah masuk membuat Luna harus memastikan semuanya, bukan hanya bahan tapi mental pegawainya. “Mbak, ada yang mau ketemu.” “Siapa?” Luna mengingat rasanya tidak pernah membuat janji dengan siapapun. “Mas ganteng yang kapan itu.” Luna paham siapa yang dimaksud pegawainya, memilih menutup pekerjaannya dengan mendatangi sang tamu. Tamu yang menjadi bahan pembicaraan orang tuanya dari pagi, ralat bukan pagi saja tapi setiap hari, dimana membahas tentang Faisal tidak ada habisnya. “Ada apa, mas?” tanya Luna menatap Faisal yang langsung berbalik badan. “Stok roti kamu habis?” “Memang mas butuh buat apa? Di belakang ada, tapi nggak tahu cocok sama mas atau nggak.” Faisal menggaruk kepalanya yang tidak gatal “Mau kasih cewek aku, lagi ngambek soalnya aku lupa kalau ada janji.” Luna menggelengkan kepalanya “Apa aja ya? Kalau yang sesuai sama ceweknya mas belum tentu ada.” Luna masuk kedalam menatap roti yang masih ada, mengambil beberapa dan membawa kedepan. Faisal yang melihat Luna keluar seketika tersenyum lebar, mengeluarkan uang karena tampaknya transaksi sudah selesai. Luna menghitung dan membungkusnya dengan cepat, tidak ada pembicaraan saat Luna melakukan pekerjaannya. “Mas nggak bilang kalau ada cewek?” Luna membuka pembicaraan. “Nggak, orang tua nggak akan setuju. Kamu tahu gimana mama, belum papa.” Faisal menggelengkan kepalanya “Kamu udah baik-baik saja?” Luna mengerutkan keningnya “Baiklah, mas. Aku nggak mungkin meratapi hubungan yang belum jelas. Beda cerita kalau hubungan ini pernikahan dan ada anak didalam sana. Mas memang nggak mau serius sama Mbak Rachel?” “Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kamu sendiri kapan membuka hati?” “Jalanin aja sekarang, mas. Lagian aku nggak ada target menikah sekarang, kalau dapat yang cocok mungkin bisa langsung.” “Makasih, kamu memang bisa diandalkan.” “Harusnya kasih bayaran lebih, mas.” “Nanti aku traktir makanan kesukaan kamu. Aku pergi dulu, keburu Rachel makin marah.” “Good luck, mas.”“Memang kamu nggak mau kasih ibu dan bapak cucu? Raka aja udah ada anak, masa kamu masih mau sendiri?” “Ibu sudah ada cucu dari Nuri, kurang?” “Bukan dari kamu, mas!” “Apa bedanya, bu?” Faisal menatap malas mendengar perdebatan yang sama.“Beda! Ibu bilang beda ya pasti beda!” Eni menatap kesal pada Faisal “Kamu cari cewek kaya gimana? Apa mau sama Luna?” “Ibu yang benar aja? Luna udah aku anggap kaya Nuri, Luna juga baru patah hati masa harus begini?” Faisal menggelengkan kepalanya.“Bagus kalau dia jadi istri kamu, Nuri pasti senang. Raka bisa percaya kamu menjaga Luna dengan baik. Apa yang kurang dari dia? Pandang Luna sebagai wanita bukan adik seperti Nuri.” Eni memberikan gambaran yang hanya ditanggapi dengan gelengan kepalanya.“Aku berangkat.” Faisal mencium punggung tangan kedua orang tuanya sebelum berangkat.Tatapan Faisal beralih ke tetangga samping, mobil Luna dan papanya masih ada dan itu artinya mereka masih betah didalam. Faisal sangat tahu pastinya Luna masih dala
“Mobil kenapa?” Luna menghentikan langkahnya ketika melihat papanya sudah siap dengan pakaian olahraga “Papa mau kemana? Olahraga sama siapa?” “Faisal dan papanya, Raka bentar lagi datang. Mobil kenapa? Kamu telat service?” Andi menatap penuh selidik yang diangguki Luna dengan senyum bersalah “Kamu naik apa ke toko?”“Mobil papa memang dipakai? Papa kan pergi sama tetangga dan Mas Raka, jadi aku pakai mobil papa aja.” Andi menggelengkan kepalanya “Mama kamu mau pakai, ketemuan sama teman-temannya. Kamu pakai punya Raka aja.” “Naik kendaraan online aja.” Luna malas jika meminjam mobil kakaknya, Raka. Sebenarnya enak, tapi Raka akan minta segera balik karena harus menghabiskan waktu dengan istri dan anaknya di rumah orang tua istrinya. Menikmati sarapannya dalam diam, tanpa ada gangguan siapapun sampai suara yang sangat dikenal masuk kedalam rumah.“Kamu ngapain kesini?” Luna mengerutkan keningnya menatap Nuri duduk dihadapannya.“Aku udah minta ijin sama Mas Ali buat ke tokomu, me
“Kamu apanya Faisal?” Luna mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan wanita yang menjadi kekasih, ralat mantan kekasih tetangganya yang juga sahabat kakaknya. Hubungan mereka memang membingungkan, tapi lebih membingungkan ketika wanita datang ke toko hanya bertanya hubungan mereka berdua.“Kenapa, mbak?” tanya Luna sopan.“Kalian berdua itu ada hubungan apa? Faisal sering beli roti disini, pasti kalian punya hubungan lebih karena nggak mungkin bisa beli di satu toko terlalu sering bahkan pakai promosiin segala.” Rachel berkata sambil menatap sekitar.“Kenapa mbak nggak tanya sama orangnya sendiri?” tanya Luna masih dengan nada sopan sambil menahan emosi.“Apa sulitnya jawab pertanyaan yang saya berikan?” Rachel menatap tajam pada Luna.“Saya juga nggak ada kewajiban menjawab pertanyaan anda. Anda yang mempunyai hubungan dengan dia, harusnya bisa tanya secara langsung. Disini hanya toko kue, melayani orang-orang yang membeli kue bukan masalah percintaan. Kalau tidak ada yang dibeli m
“Kamu mencari aku selama ini, apa ada hubungan sama kehamilan ini?” Rachel menganggukkan kepalanya penuh kepastian “Aku mau minta bantuan.” “Bantuan apa?” tanya Faisal menatap tidak suka dan seakan paham dengan arah pembicaraan Rachel “Aku nggak pernah melakukan itu sama kamu.” Rachel menghembuskan napas panjangnya “Kita pernah...”“Nggak! Ciuman adalah batas maksimal yang...”“Pegang alat aset? Lupa?” potong Rachel “Kita manusia dewasa jadi...”“Memang tapi nggak sampai...lagian kenapa kamu nggak Minta sama pria kemarin?” Faisal memotong kalimat Rachel dengan tatapan tajam.“Bukan dia.” Rachel menundukkan kepalanya.“Lalu? Berapa banyak pria yang melakukan sama kamu?” Faisal menatap tidak percaya.“Mertuanya kakakku,” jawab Rachel tanpa menatap Faisal yang membelalakkan matanya “Makanya aku nggak bisa minta dinikahin, pernikahan hanya status dihadapan orang tua dan keluarga.” “Kamu nggak lupa kalau masih ada permasalahan lain? Kita berbeda keyakinan, orang tua aku pasti nggak aka
“Jelaskan!” Luna menatap kesal kearah Faisal mendengar kalimat yang keluar dari bibirnya, tidak tahu alasan apa yang membuat pria dihadapannya ini berkata hal gila. Gila, memang gila. Sekarang mereka berdua harus menjelaskan pada kedua wanita yang melahirkan mereka dan juga suami-suaminya, maksudnya adalah orang tua mereka berdua. “Luna bisa jelaskan?” suara Eni keluar dengan lembut beserta tatapannya. “Ibu tanya langsung sama Mas Faisal, Luna nggak ada hubungan apa-apa. Zaky tadi datang dan...minta bantuan buat...” “Bantuan apa?” potong Intan yang mendapatkan tepukan pelan dari Andi agar diam “Mama nggak suka aja udah dilepas malah datang minta bantuan, pa.” Intan menatap Andi dengan penuh kekesalan. “Bantuan buat yakinin mamanya kalau pasangannya sekarang itu baik...” “Pasangan dia namanya Re
“Gara-gara mulut kamu!” “Kenapa sih pagi-pagi udah marah aja, bu?” “Anakmu ini!” Faisal mengangkat alisnya mendengar tuduhan ibunya “Memang aku ngapain, bu?” “Tetangga sebelah ada yang dengar kalau Faisal mau nikah sama Luna.” Eni mengatakan sambil menatap tajam pada Faisal. “Faisal waktu itu ngomongnya juga pelan, ibu sama mama aja teriak sampai ada yang dengar.” Faisal mengatakan tanpa bersalah. “Kita kan kaget, mas. Wajar teriak.” Eni membelai dirinya yang hanya dijawab gelengan kepala Faisal. “Kamu memang ada perasaan sama Luna?” tanya Herman menatap dalam Faisal. “Luna sudah aku anggap kaya Nuri, Pak.” Faisal memberikan jawaban yang memang sebenarnya. “Ibu kemarin kirim foto Rena ke mamanya Raka, Luna bilang orang yang sama. Waktu kamu ketemu memang nggak ada yang beda?” Eni menatap penasaran.
“Kita nggak ada hubungan apa-apa, lagian tumben pada dengerin tetangga? Biasanya mama dan ibu termasuk cuek kalau ada gosip-gosip begitu.” Faisal menatap kedua wanita bergantian. “Beda, gosip itu nggak ada hubungan sama keluarga kita.” Eni menanggapi Faisal yang diangguki Intan. Faisal mengusap wajahnya kasar, menatap Luna yang memilih diam padahal tadi dia yang meminta agar masalah ini cepat selesai. “Ibu dan mama tersayang. Kita berdua nggak ada hubungan apa-apa, aku anggap Luna sudah kaya Nuri dan pastinya Luna juga menganggap aku kaya Raka. Bener kan, Lun?” Luna menganggukkan kepalanya cepat dan tampak bersungguh-sungguh. “Ma, gosip akan berlalu dengan sendirinya. Ngapain diambil hati? Luna banyak pesanan, belum lagi harus buat menu baru, mau akhir bulan jadi harus hitung semua. Luna nggak ada waktu bahas beginian! Kita berdua udah kasih tahu kalau nggak ada apa-apa, hubungannya sama kaya dulu dan sa
“Kalian dekat sekarang?” Faisal mengerutkan kening mendengar pertanyaan Heri, seketika mengangkat bahu “Antar jemput saja, nggak ada hubungan lebih. Memang salah? Lagian satu jalanan, aku juga nggak antar sampai pagar.” Heri menggelengkan kepalanya “Nggak salah, masalahnya adalah kalian jadi bahan pembicaraan satu kantor, satu lagi Nisa itu diam-diam suka sama kamu.” “Aku udah bilang kalau apa yang terjadi sekarang hanya sebatas teman, lagian kalau aku nggak bisa juga nggak antar jemput.” Faisal melakukan pembelaan. “Kamu nggak jemput kasih tahu dia?” Faisal menganggukkan kepalanya tanpa keraguan “Kamu berhenti deh, takutnya Nisa semakin berharap sama kamu.” Heri memang benar, tapi bukannya membantu orang lain tidak ada yang salah. Menatap Heri yang menggelengkan kepalanya tanpa ragu, hembusan napas panjang dikeluarkan Faisal ketika memang harus menghentikan semuanya.
“Ibu sama mamanya Luna sudah bahas tentang acara lamaran kalian. Kapan rencananya?” “Aku belum bicara sama Luna, bu.” Eni menggelengkan kepalanya melihat Faisal yang tampak santai “Uang kamu habis buat bangun rumah? Bapak sama ibu masih ada uang kalau buat biaya pernikahan kamu.” Faisal menghembuskan napas panjangnya “Masih ada uangnya, bu. Ibu dan bapak tenang saja kalau masalah itu.” “Lalu?” Eni memberikan tatapan menyelidik “Kamu nggak lagi main-main sama kalimat kemarin, kan?” “Nggaklah! Kalau main-main ngapain bangun rumah, bu.” Faisal membantah sambil menggelengkan kepalanya. Tujuannya memang menikah dengan Luna, tapi pertemuan dengan Dewi memberikan rasa penasaran lebih dalam. Hubungan mereka memang berakhir, mengetahui pernikahannya dan harusnya memang sudah selesai. Memilih mengambil berlalu dari hadapan orang tuanya menuju kamar, menatap langit kamar
“Dia bilang gitu? Terus kamu?” “Diam.” Heri membuka mulutnya tidak percaya mendengar jawaban Faisal “Harusnya kamu bilang apa gitu...” “Apa? Bilang kalau aku menyesal juga?” Faisal menatap Heri yang memilih diam. “Aku tahu kamu pacaran sama Dewi biar bisa move on dari Luna, tapi selamat kalian bersama aku lihat kalau dia bukan pelarian...” “Dia memang bukan pelarian,” potong Faisal mengoreksi kalimat Heri. Heri berdecih pelan mendengarnya “Kamu ngajak dia pacaran kenapa? Cinta? Iseng? Apa biar kelihatan move on?” Mendengar pertanyaan Heri seketika mengingat alasannya bersama dengan Dewi dulu, semua itu memang tidak ada tapi berjalannya waktu rasa itu hadir. Hubungan mereka belum sampai jauh, tapi saling kenal orang tua. Saat itu sudah cukup bagi Faisal, mungkin bisa dikatakan sama dengan hubungan Luna dan Zaky. “Jadi...ap
“Calon mantu udah siap aja.” Faisal tersenyum sambil menganggukkan kepalanya melihat Intan berada di dapur, bukan hal baru melihat pemandangan seperti ini. Pemandangan dimana orang tua Luna berada di dapur, pastinya sedang membicarakan sesuatu atau menemukan resep baru. Melihat ekspresi kedua wanita sudah bisa dipastikan pembicaraan mereka pastinya tentang hubungan anak-anaknya saat ini, memilih tidak menghiraukan dengan melakukan aktivitas seperti biasanya. “Kalian rencana menikah kapan?” Faisal menatap sang ibu yang mengeluarkan pertanyaan sama dari semalam. “Belum bicarakan lagi, ma.” Faisal menjawab pelan. “Pakai lamaran nggak, mas?” Faisal mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan sang ibu “Lamaran resmi gitu, walaupun tetangga tetap harus dipersiapkan.” “Semalam bukan lamaran memang?” tanya Faisal bingung. Eni menepuk keningnya pelan “Bukan, lamaran itu ka
“Apa maksudnya ini? Papa capek kalau apa yang kamu katakan tadi hanya untuk membantu Luna.” Kejadian yang sama terjadi kembali, kali ini tidak hanya orang tua mereka tapi juga ada Raka dan Nuri yang bersama keluarganya. Luna tidak tahu jika mereka memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang permasalahan dirinya atau Faisal. Orang tua Zaky? Tentu saja pulang, melihat Faisal seketika tidak berani mengeluarkan suara kembali. Luna sendiri tidak menyadari jika Faisal berdiri tidak jauh dari pertemuan mereka, lebih tepatnya mengikuti permintaan Raka yang penasaran dengan pembicaraan mereka. “Memang benar kalau kami merencanakan pernikahan.” Faisal menjawab tanpa keraguan. “Sejak kapan?” Raka menatap Faisal tidak percaya “Bukannya kamu...” “Udah selesai sama dia, Rak.” Faisal memotong kalimat Raka yang akan keluar membuatnya langsung menutup mulut. “Jadi kamu nolak perjo
“Hubungan kita sudah berakhir.” “Kamu nggak bisa kembali sama Zaky, sayang?” mamanya Zaky menggenggam tangan Luna dengan tatapan penuh harap. Luna menggelengkan kepalanya “Zaky sudah punya wanita yang dicintai, tante. Tolong restuin mereka.” “Kamu tahu wanita itu, kan? Bagaimana kita bisa merestui?” mamanya Zaky, Warti. Luna menghembuskan napasnya panjang “Tante sudah kenal sama Rena? Dia nggak kalah baik kok.” “Luna, wanita yang status janda itu imagenya jelek. Masa Zaky sama wanita itu, Lun. Dia udah gagal rumah tangga, kamu tahu kalau menikah itu selamanya? Nah ini...janda cerai, kalau janda mati mungkin tante bisa terima.” “Tante sudah tahu cerainya kenapa?” “Buat apa! Nggak mau tahu dan nggak penting!” Warti menatap kesal mendengar pertanyaan Luna. Pertemuan dengan orang tua Zaky bukan pertama kali, mungkin ini adala
“Tumben kok pada kumpul?” “Memang nggak boleh aku pulang ke rumah orang tua sendiri?” Raka menatap malas pada Luna yang hanya memutar bola matanya malas. “Maksud Luna itu kita pulang terus Nuri juga pulang, tumben.” Risa menjelaskan detail pada Raka yang hanya menganggukkan kepalanya “Nuri berdua aja, suaminya nggak ikut. Nuri bilang ada jadwal piket, jadinya dia milih pulang dulu.” “Faisal lagi bangun rumah, artinya dia mau nikah berarti.” Raka memberikan informasi. Luna yang mendengarnya pura-pura mendengarkan tanpa ada niat membuka suara, membuka rahasia dirinya dengan Faisal. Pembicaraan terakhir di toko, Luna akhirnya ikut mendatangi insinyur yang membangun rumah, memberitahu apa yang diinginkan dan lain-lain. Belanja bahan-bahan pembangunan rumah, dimana semuanya adalah uang Faisal. Selain itu Faisal membicarakan tentang perjanjian pra nikah, Luna awalnya menolak tapi ternya
“Makasih ya, aku nggak tahu kalau nggak ada kamu.” “Kaya sama siapa aja, Nur.” Luna menata hadiah yang didapat anaknya Nuri dari acara ulang tahunnya, tidak hanya Luna tapi juga Faisal. Raka, kakaknya? Jelas sudah pulang. Orang tua? Mereka masih ada didalam. Pembicaraan mereka tidak akan ada habisnya, terkadang mereka suka geleng kepala atas kelakuan para orang tua. “Langsung pulang, Nur? Nggak kerumah?” tanya Luna setelah memastikan tidak ada lagi hadiah atau barang yang tertinggal. “Ya, besok mau tidur. Capek juga ya ulang tahun gini.” Nuri menggelengkan kepalanya sambil menatap sekitar “Kamu tahu? Mbak Dewi katanya ketemu mas ya?” “Tahu, ketemu pas acara lamarannya Ismi.” “Benar?” Luna menganggukkan kepalanya “Mas kok nggak kaya orang galau ya?” Mengikuti arah pandang Nuri dimana Faisal sedang berbicara dengan adik iparnya yang tidak lain
“Makasih udah kasih harga diskon, Lun.” “Apa sih yang nggak buat ibu, apalagi ini untuk ulang tahun anaknya Nuri. Kita udah Kaya keluarga sendiri, bu.” “Kamu belum jadi mantu ibu, jadi belum kaya keluarga.” Eni mengatakan dengan santai. Luna menata kotak roti yang dibawanya dari toko, pesanan ibunya Faisal yang akan merayakan ulang tahun anak Nuri. Mereka merayakan di panti asuhan, lebih tepatnya hanya mengirimkan saja tanpa perayaan disana. Mengalihkan fokus dari kalimat ibunya Faisal, Luna tidak mau pembahasan akan semakin lebar. “Mau dibawa kedalam mobil, bu?” tanya Faisal yang keluar dari kamar. Eni menganggukkan kepalanya “Ibu siap-siap dulu, nanti ketemu langsung di restoran siap saji udah ditunggu Nuri disana.” “Ya, bu.” Luna menatap Faisal yang membawa kotak rotinya kedalam mobil, melihat itu membuat Luna melakukan hal yang sama. Men
“Serius itu mantannya Mas Faisal?” Luna menganggukkan kepalanya “Udah lama sih, mungkin ada setahun kita pisah. Hubungannya juga lumayan lama, tapi pas mereka putus aku jadian sama Zaki.” “Mbak Dewi itu sepupu dekatnya Akbar, belum nikah keknya.” Ismi mencoba mengingat Dewi, tapi mengatakan sedikit ragu. Luna menatap tidak percaya “Masa?” “Mas Faisal nggak cerita?” Luna menggelengkan kepalanya “Nggak penting, mungkin.” Ismi mungkin benar, Dewi tampaknya tidak penting bagi Faisal. Pertemuan kemarin tampak biasa saja, mereka berbicara selayaknya teman dimana seakan tidak pernah terjadi hal pribadi diantara mereka. Pemikiran Luna adalah hubungan mereka itu hanya pelarian, menggelengkan kepalanya dimana tampak tidak mungkin Faisal melakukan ini semua. “Udah nikah,” ucap Ismi sambil memukul lengan Luna yang membuatnya terkejut “Akbar bilang kalau suaminya di laut.”