“Kamu akan ayah jodohkan.”
Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.
“Yah, tapi aku baru aja..”
Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.
“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”
Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.
“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.
“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.
Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?
Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya memegang pundaknya pelan lalu meninggalkannya sendirian di sana.
Pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan, karena merupakan komitmen seumur hidup yang harus dijaga oleh dua orang. Oleh karena itu, pernikahan adalah hal yang sangat Audy hindari. Ia yakin komitmen itu tak akan pernah terjaga hingga seumur hidup.
Pernikahan orang tuanya memang berhasil, tapi tidak ada yang tahu bahwa ia lah yang gagal. Dikhianati oleh pasangan yang telah mendampingi selama delapan tahun tak mudah dilupakan, terlebih itu adalah cinta pertamanya.
Keesokan harinya, Audy sudah berada di kelas. Duduk di kursi paling depan dengan beberapa buku di mejanya.
Tak berapa lama, seorang pria memasuki ruangan sebelum kemudian menaruh tas dan laptop di meja dosen. Pria itu terlihat familiar, tetapi Audy sama sekali tak mengingatnya.
“Selamat pagi, perkenalkan saya Bian Agra Wiratama. Saya penggantinya Pak Burhan, semoga kita bisa segera beradaptasi ya.”
Nada bicaranya terdengar khas, sangat lembut meskipun agak kontras dengan suaranya yang sedikit serak. Bahkan penampilannya yang casual tak bisa menutupi gesturnya yang sedikit kaku, seperti bapak-bapak.
Meski terlihat familiar, Audy yakin ia baru pertama kali mendengar nama itu. Hanya saja, rahangnya yang tegas dan alisnya yang tebal seperti mengingatkannya pada seseorang.
Setelah lama berpikir dan tak menemukan jawaban, Audy akhirnya teringat kembali dengan ucapan ayahnya semalam. Nanti malam akan menjadi malam pertemuan dua keluarga yang sebentar lagi akan menjadi satu keluarga besar.
Seperti apakah pria yang akan menjadi suaminya? Bagaimana wajahnya? Seperti apa sifatnya? Dan masih banyak hal lain yang menjadi beban pikirannya hari itu. Ia bergidik ngeri membayangkan jika ia akan tinggal serumah dengan mertua galak dan cerewet.
Suara Bian mendadak membuyarkan lamunan Audy.
“Nama-nama yang saya sebutkan, besok pagi harap menemui saya di ruangan.” Ucap Bian menginterupsi.
Mendengar namanya dan beberapa nama lain disebut, ia hanya mengangguk tak peduli. Yang ia pikirkan adalah bagaimana menemui keluarga calon suaminya nanti, karena menemui dosen pembimbing bukanlah masalah besar.
Waktu berlalu semakin cepat, seolah ingin segera melihat pertemuan Audy dan keluarga calonnya.
Menjelang malam, ia melihat semua makanan sudah tertata rapi di meja makan. Tak ia sangka bundanya bahkan mendekorasi seluruh ruang tamu hingga ke taman samping rumah.
Bundanya memang orang yang heboh, setiap acara pasti akan selalu terlihat mewah. Tapi hanya untuk sebuah makan malam, ini terlihat berlebihan.
Tak menunggu lama, keluarga calonnya tiba. Mereka semua turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilat, samar ia berusaha melihat wajah mereka satu per satu.
Ada empat orang disana. Audy sedikit kebingungan, ia berusaha mengamati wajah mereka lekat-lekat. Setelah mereka semakin dekat dengan posisinya berdiri, barulah ia sadar betul siapa yang akan menjadi calon keluarganya.
Mereka adalah Pak Damar, pemilik yayasan kampusnya dan Bu Mega istrinya. Diikuti oleh Arka Mahesa Wiratama anak sulungnya, dan... Bian Agra Wiratama??!
Pak Bian dosennya?!
PAK BIAN ANAK PEMILIK YAYASAN??!
Jantung Audy berdebar kencang, bahkan suaranya seakan bisa didengar oleh semua orang.
Audy hanya bisa menggigit bibirnya pelan. Dosen baru yang tadi pagi memperkenalkan dirinya, kini duduk bersama keluarganya di meja makan.
Lelucon macam apa ini?
Audy merasa dijebak, tak ada seorangpun yang memberitahunya bahwa ia akan menikah dengan anak dari Pak Damar. Bagaimana ia akan menghadapi omongan para temannya nanti jika mereka tahu tentang perjodohan ini?
Entah dengan Arka atau Bian, yang jelas ia tak akan sanggup melanjutkan perjodohan. Ini akan menjadi skandal yang besar.
Sejak tadi Audy hanya terdiam, bahkan senyum pun tidak. Rasanya ia marah pada semua orang. Ia juga kehilangan nafsu makannya, padahal ia berencana makan dengan jorok agar keluarga calon suaminya itu ilfeel dengannya.
Setelah makan malam berakhir, di dalam keheningan Pak Damar kemudian membuka suara.
“Singkat saja Pak Herman dan Bu Sonya, kedatangan saya kemari ingin melamar putri bapak, Audy untuk putra saya, Bian.”
Jantung Audy seakan berpindah ke lutut. Ia seperti tak dapat merasakan kakinya menapak di tanah. Kebingungan semakin melanda pikirannya.
Bagaimana tidak? Ia akan dijodohkan dengan dosen pembimbingnya. Membayangkan menjadi menantu pemilik yayasan saja sudah membuat kepalanya pening, apalagi menjadi istri dosen pembimbingnya sendiri?!
Ini tak bisa dilanjutkan, pernikahan ini akan mengundang banyak masalah nanti.
Dengan keberanian penuh Audy ingin menyela, tapi belum sempat membuka mulutnya, ayahnya terlebih dahulu memberikan jawaban.
“Tentu dengan senang hati saya dan keluarga menerima lamaran putra bapak untuk Audy putri saya. Semoga harapan baik kita dapat segera terlaksana.”
Tubuh Audy seakan membeku, ia tak lagi dapat menolak perjodohan ini. Keberaniannya mendadak sirna, ia tak lagi bisa mundur.
Kini mereka telah berpindah tempat menuju taman samping. Semua orang berdiri berjejer dengan Audy dan Bian berada di tengah, seolah mereka berdua lah pemeran utamanya.
Kemudian calon ibu mertuanya memasangkan sebuah cincin padanya, pertanda bahwa ia telah terikat dengan Bian.
Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal. Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya. Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti. Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy. Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun. "Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamara
Sejak perdebatan itu, Audy menjadi semakin terbiasa dengan sikap dingin Bian. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu, ia memang tak berniat menjalin hubungan yang baik dengan Bian.Mereka berdua kini mulai sering bertemu, untuk melakukan bimbingan tentunya. Selama bimbingan itu, mereka bersikap profesional dan tidak membahas apapun diluar urusan kuliah.Seusai bimbingan, tanpa Audy duga Bian menahannya.“Kamu mau langsung pulang?” tanya Bian dengan ragu.“Iya, kenapa?”“Ibu saya pengen ketemu sama kamu, bisa kan?”Audy berpikir sejenak, tapi dalam hatinya ia tak ingin menolak. Pernikahan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terus dipusingkan dengan hal menyebalkan seperti ini.“Oke, dimana?” Tanya Audy.Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru berjalan mendahului Audy.“Ikut saya.” ucap Bian datar.Audy yang mendengar ucapan Bian hanya keheranan, tapi ia langsung mengekor di belakang Bian.Begitu sampai di parkiran, Audy sedikit ragu untuk masuk ke mobil Bian. Perasaan canggung d
Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun. Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.“Yaudah,”Tanpa
Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak ituAudy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri. Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dul
Setelah mengirimkan pesan pada Bian, Audy memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, melupakan sejenak kehebohan yang terjadi.Suasana perpustakaan yang sunyi membuatnya sedikit tenang. Tak banyak orang disana, tapi semua orang terlihat sibuk dengan tugasnya. Setidaknya ia tak akan mendengar gosip hingga beberapa waktu kedepan.Audy yang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba dikejutkan dengan suara seseorang.“Permisi, Mbak. Boleh saya pinjam bukunya? Saya gak nemu buku yang sama di rak soalnya,” ucap pria itu.“Oh, maaf, Mas. Ini punya saya, gak tahu deh ada juga disini atau enggak,” jawab Audy menjelaskan. Pria itu tampak kebingungan, “Eh, maaf ya, Mbak. Saya kira mbak juga minjem di perpustakaan.”“Iya, gapapa mas,” ucap Audy ramah.Pria itu tak beranjak dari tempatnya, tapi ia justru mengulurkan tangannya pada Audy.“Saya Robby, kalo mbak?” ucap pria itu sambil tersenyum.Audy menjabat tangan pria itu sambil balik tersenyum, “Audy,”“Sendiri aja, Mbak?”“Iya nih, lagi ngerjai
“Mas! Mas!” teriak Audy memanggil Bian sambil berlari keluar kamar.“Apasih, kamu bukannya mandi malah liatin handphone terus,” jawab Bian sambil menyeruput kopinya.Melihat reaksi Bian yang santai membuat Audy geram. Ia lalu menunjukkan handphonenya pada Bian, “Lihat nih, baca!”Bian meraih handphone Audy dan membaca berita itu sekilas.“Shit! Ini gak bener!““Orang ada buktinya, gak bener gimana?” ejek Audy.Bian mengurut pelipisnya lalu mengusap wajahnya kasar.Tak hanya Bian, jauh di dalam hati kecil Audy pun merasa takut. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mengorek privasi Bian. Dan jika hal itu terjadi, ia yakin bahwa pernikahannya akan segera terbongkar.Audy merebut kembali handphonenya dari tangan Bian.“Ciee, COUPLE GOALS!” ledek Audy sambil tersenyum sinis.“Kamu bisa diem gak?”“Enggak! Kenapa aku yang harus diem? Kan mas yang bikin masalah, bukan aku,”“Aku udah bilang, berita ini gak bener!” tegas Bian dengan suara yang meninggi.Tak ingin berdebat panjang, ia pun me
Rasa cemburu bercampur marah menyelimuti hati Audy. Ia marah lantaran Bian justru tak memikirkan dirinya dan keluarga besarnya.Gosip yang sedang menyebar bisa saja didengar oleh orang tuanya, tapi ia justru tak peduli dan malah membawa wanita itu ke rumah.“Kamu gak papa?” tanya Robby membuyarkan lamunan Audy.“Gapapa,” jawab Audy singkat.Melihat Audy yang tampak murung membuat Robby buru-buru melajukan kembali mobilnya.Audy tak bisa menceritakan masalahnya pada siapapun. Ia merasa terkekang, beberapa kali batinnya ingin memberontak, tapi raganya terus menolak.“Kamu beneran gak apa-apa, kan?’ tanya Robby memastikan.Audy hanya mengangguk pelan dan kembali mengarahkan pandangannya ke jendela.Perjalanan terasa singkat karena pikiran Audy yang tak di tempat. Pikirannya terus berkelana membayangkan apa yang Erika lakukan di rumahnya. Lebih tepatnya rumah Bian.Ia terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi pada mereka berdua, terlebih fakta bahwa mereka pernah menjalin hubungan
“Halo,” ucap Audy malas.“Kamu dimana sih, daritadi dichat ga dibales!” bentak Bian di seberang. Jelas sekali ia sedang marah.Audy menghela napas panjang, lalu mengecek kembali handphonenya. Terdapat beberapa chat dari Bian disana.“Maaf, gak kedengeran tadi,” jawab Audy singkat.“Pulang cepet! Ibu nyariin,”“Ya mas bilang apa kek, masa gitu aja gak bisa?” cicit Audy.“Ibu udah baca beritanya, bentar lagi ibu mau kerumah,” kalimat Bian terdengar menyedihkan.Mendengar hal itu, Audy semakin marah dibuatnya. Kini ia harus turut membereskan masalah yang diciptakan oleh Bian.Ia yakin ibu mertuanya itu akan murka pada mereka berdua. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya pening. Ia pun buru-buru mengambil tasnya.Namun, Robby justru menarik tangannya, “Kamu mau kemana?”“Aku harus pulang, su...” Audy menggeleng pelan, ia hampir saja keceplosan. Namun, ia lalu mengoreksi kalimatnya, “Ibu aku nyariin,”“Yaudah, aku anterin kamu,”“Aku pulang sendiri aja,” tolak Audy.Robby terus memaks