Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.
Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak itu
Audy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri.
Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.
Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.
“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.
Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.
Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dulu membuka pintu. Tatapan mereka bertemu, hingga sekian detik kemudian Bian akhirnya bersuara.
“Sarapan, aku kira kamu pingsan lagi,” ucap Bian lalu beringsut meninggalkannya.
Bian kentara sekali sedang khawatir, tapi lagi-lagi Audy tak ingin berharap lebih. Ia tak boleh melanggar janjinya sendiri.
Begitu Bian pergi, Audy langsung menutup pintu kamarnya kembali. Ia pun segera mandi dan langsung menuju ke meja makan.
Bian terlihat sudah memakan setengah makanannya. Audy langsung duduk di kursi menghadap ke arah Bian, mengambil nasi dan juga sayur.
“Lain kali pintunya jangan dikunci. Kalo ada apa-apa susah bukanya,” tegur Bian pelan.
Mendengar hal itu, Audy langsung menghentikan kegiatannya. Ia menatap Bian lekat, “Jadi mas mau seenaknya keluar masuk ke kamar aku?”
“Oh, jadi kalau kamu pingsan bisa jalan sendiri ke klinik?” ujar Bian tak mau kalah.
Audy bersungut-sungut mendengar jawaban Bian. Ia tak bisa mengelak lagi, bagaimanapun Bian telah membantunya.
Selesai sarapan, Audy bergegas mencuci piring di dapur. Begitu ia menoleh ke arah meja makan, ia tak melihat keberadaan Bian disana. Ia menggaruk tengkuknya dan berjalan mencari ke setiap sudut rumah.
Audy mengecek garasi, dan benar mobil Bian tak ada disana. Mungkin Bian sedang ke rumah temannya, pikir Audy.
Bian baru kembali saat waktu menunjukkan pukul 8 malam. Audy yang sedang membaca buku di ruang tamu berdehem pelan ketika melihat Bian masuk ke rumah.
“Jam segini baru pulang, pasti malem mingguan sama cewe,” sindir Audy dengan suara yang keras.
Bian sama sekali tak menjawab dan berlalu menuju kamar. Melihat Bian mengabaikannya membuat Audy sedikit kesal, padahal dia hanya ingin sedikit akrab.
Audy lalu melempar bukunya ke meja dan bergegas ke kamar. Lebih baik ia tidur daripada memikirkan bapak bapak itu.
Keesokan harinya, mereka kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Sarapan dan berangkat ke kampus bersama. Hanya saja, mereka berdua kembali canggung dan tak mengobrol sedikitpun.
Begitu juga ketika berpapasan di kampus, Bian seolah menjaga jaraknya dari Audy.
Bian yang berjalan dari arah berlawanan tampak menunduk, sibuk dengan handphonenya. Melihat hal itu, Audy berinisiatif untuk menyapa, sambil tersenyum ia berkata, “Siang, Pak.”
Bian hanya melihat Audy sekilas lalu berjalan melewatinya begitu saja.
Audy hanya mencebik, ia sudah terbiasa dengan sifat mood swing Bian seperti ini. Ia lalu dikejutkan dengan banyaknya notif dari grup kelasnya.
Ahh, pasti ada gosip baru lagi.
Audy sama sekali tak tertarik dengan obrolan mereka, ia mengabaikan pesan itu dan kembali berjalan menuju kelas.
Di sepanjang lorong, ia melihat beberapa orang berkerumun sambil sesekali tertawa cekikikan.
Samar-samar Audy mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Pak Bian dosen baru itu?”
Mendengar nama Bian disebut membuat Audy sedikit penasaran. Ia memelankan langkahnya dan menguping pembicaraan mereka.
“Hah, masa sih?”
“Nih, buktinya. Masa digandeng begini gak pacaran, sih?”
“Iya! Waktu itu sempet ada gosip kalo Pak Bian sama Bu Erika tuh pernah pacaran!”
Audy mematung, dalam hati ia menepis ucapan itu. Handphonenya kembali bergetar, ia buru-buru mengeceknya. Setelah membuka pesan di grup kelasnya, Audy kembali tercekat, hawa panas menjalar di sekujur tubuhnya.
Ia melihat foto Bian sedang bergandengan tangan mesra dengan seorang perempuan. Wajahnya tidak kelihatan, tapi melihat posturnya, ia seperti pernah melihat wanita ini. Setelah ia melihat foto-foto yang lain, betapa terkejutnya Audy ketika ia melihat wanita itu adalah Bu Erika, dosennya.
Ia berusaha menutupi pernikahannya agar tak ada gosip, tapi apa? Bian justru membuat gosip yang jauh lebih buruk. Bagaimana jika hal ini diketahui oleh keluarganya?
Ia lalu teringat kembali saat malam setelah pernikahannya.
Malam itu, Bu Erika emang dateng kerumah dan…
Tunggu, waktu itu Bian juga bilang di telepon kalau dia biasa dateng kerumah tanpa izin. Jadi, selama ini Bian masih berhubungan dengannya mantannya?
Audy hendak menuju ke ruangan Bian, berniat memprotes sikapnya. Tapi ia langsung mengurungkan niatnya.
Ia menepis pikiran buruknya, lagi-lagi ia tak bisa berbuat banyak. Meski dalam hati ia sangat ingin memaki perbuatan Bian. Terlintas sedikit perasaan kecewa pada Bian, terlebih ketika ia mengingat sikap baik Bian beberapa hari ini.
Audy berusaha meredam emosinya, walau bagaimanapun ia telah setuju untuk tak mencampuri urusan masing-masing. Ia pun memilih mengirim pesan singkat pada Bian.
Foto kamu viral.
Setelah mengirimkan pesan pada Bian, Audy memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, melupakan sejenak kehebohan yang terjadi.Suasana perpustakaan yang sunyi membuatnya sedikit tenang. Tak banyak orang disana, tapi semua orang terlihat sibuk dengan tugasnya. Setidaknya ia tak akan mendengar gosip hingga beberapa waktu kedepan.Audy yang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba dikejutkan dengan suara seseorang.“Permisi, Mbak. Boleh saya pinjam bukunya? Saya gak nemu buku yang sama di rak soalnya,” ucap pria itu.“Oh, maaf, Mas. Ini punya saya, gak tahu deh ada juga disini atau enggak,” jawab Audy menjelaskan. Pria itu tampak kebingungan, “Eh, maaf ya, Mbak. Saya kira mbak juga minjem di perpustakaan.”“Iya, gapapa mas,” ucap Audy ramah.Pria itu tak beranjak dari tempatnya, tapi ia justru mengulurkan tangannya pada Audy.“Saya Robby, kalo mbak?” ucap pria itu sambil tersenyum.Audy menjabat tangan pria itu sambil balik tersenyum, “Audy,”“Sendiri aja, Mbak?”“Iya nih, lagi ngerjai
“Mas! Mas!” teriak Audy memanggil Bian sambil berlari keluar kamar.“Apasih, kamu bukannya mandi malah liatin handphone terus,” jawab Bian sambil menyeruput kopinya.Melihat reaksi Bian yang santai membuat Audy geram. Ia lalu menunjukkan handphonenya pada Bian, “Lihat nih, baca!”Bian meraih handphone Audy dan membaca berita itu sekilas.“Shit! Ini gak bener!““Orang ada buktinya, gak bener gimana?” ejek Audy.Bian mengurut pelipisnya lalu mengusap wajahnya kasar.Tak hanya Bian, jauh di dalam hati kecil Audy pun merasa takut. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mengorek privasi Bian. Dan jika hal itu terjadi, ia yakin bahwa pernikahannya akan segera terbongkar.Audy merebut kembali handphonenya dari tangan Bian.“Ciee, COUPLE GOALS!” ledek Audy sambil tersenyum sinis.“Kamu bisa diem gak?”“Enggak! Kenapa aku yang harus diem? Kan mas yang bikin masalah, bukan aku,”“Aku udah bilang, berita ini gak bener!” tegas Bian dengan suara yang meninggi.Tak ingin berdebat panjang, ia pun me
Rasa cemburu bercampur marah menyelimuti hati Audy. Ia marah lantaran Bian justru tak memikirkan dirinya dan keluarga besarnya.Gosip yang sedang menyebar bisa saja didengar oleh orang tuanya, tapi ia justru tak peduli dan malah membawa wanita itu ke rumah.“Kamu gak papa?” tanya Robby membuyarkan lamunan Audy.“Gapapa,” jawab Audy singkat.Melihat Audy yang tampak murung membuat Robby buru-buru melajukan kembali mobilnya.Audy tak bisa menceritakan masalahnya pada siapapun. Ia merasa terkekang, beberapa kali batinnya ingin memberontak, tapi raganya terus menolak.“Kamu beneran gak apa-apa, kan?’ tanya Robby memastikan.Audy hanya mengangguk pelan dan kembali mengarahkan pandangannya ke jendela.Perjalanan terasa singkat karena pikiran Audy yang tak di tempat. Pikirannya terus berkelana membayangkan apa yang Erika lakukan di rumahnya. Lebih tepatnya rumah Bian.Ia terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi pada mereka berdua, terlebih fakta bahwa mereka pernah menjalin hubungan
“Halo,” ucap Audy malas.“Kamu dimana sih, daritadi dichat ga dibales!” bentak Bian di seberang. Jelas sekali ia sedang marah.Audy menghela napas panjang, lalu mengecek kembali handphonenya. Terdapat beberapa chat dari Bian disana.“Maaf, gak kedengeran tadi,” jawab Audy singkat.“Pulang cepet! Ibu nyariin,”“Ya mas bilang apa kek, masa gitu aja gak bisa?” cicit Audy.“Ibu udah baca beritanya, bentar lagi ibu mau kerumah,” kalimat Bian terdengar menyedihkan.Mendengar hal itu, Audy semakin marah dibuatnya. Kini ia harus turut membereskan masalah yang diciptakan oleh Bian.Ia yakin ibu mertuanya itu akan murka pada mereka berdua. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya pening. Ia pun buru-buru mengambil tasnya.Namun, Robby justru menarik tangannya, “Kamu mau kemana?”“Aku harus pulang, su...” Audy menggeleng pelan, ia hampir saja keceplosan. Namun, ia lalu mengoreksi kalimatnya, “Ibu aku nyariin,”“Yaudah, aku anterin kamu,”“Aku pulang sendiri aja,” tolak Audy.Robby terus memaks
“Yaudah, kalo gitu malam ini ibu akan menginap,”“HAH!!”“Memangnya ibu mau nginap berapa lama?” tanya Bian pada sang ibu.Mega justru tak menjawab sedikitpun dan langsung melengos pergi. Seperti sudah tahu apa yang anak dan menantunya sembunyikan, ia langsung menuju ke kamar Audy.“Bu, kamar tamunya belum dibersihin. Biar aku bersihin dulu, ya,” cegah Audy sambil buru-buru menghampiri mertuanya.Namun, belum sempat Audy berhasil mencegah, Mega sudah lebih dulu membuka pintu dan melihat isi kamar.“Nah, bener kan feeling Ibu. Kalian ini kompak banget bohongin orang tua ya!” Ucap Mega sinis.“Sudahlah gak perlu dibersihin, ibu mau langsung tidur,” ucap Mega sembari masuk dan membanting pintu kamar.Audy tidak tahu harus berbuat apa, yang jelas ia kini dalam masalah yang jauh lebih besar.“Saya gak mau tidur sama, Mas!”“Terserah kamu, tapi aku gak akan tanggung jawab kalo ibu lebih marah lagi,” jawab Bian sambil melenggang menuju ke kamar.Dengan perasaan campur aduk, Audy berusaha unt
Audy terbangun setelah mendengar suara alarm dari handphonenya. Tangannya berusaha mencari-cari dimana letak handphonenya, namun pergerakannya terasa sulit seolah seseorang sedang menahannya.Audy pun membuka matanya perlahan, mengarahkan pandangannya pada sebuah benda berat yang sedari tadi menahannya tubuhnya. Begitu matanya terbuka dengan lebar, barulah ia menyadari bahwa benda berat itu adalah lengan suaminya yang memeluknya erat.“Astaga!” pekik Audy dengan suara yang tertahan.Perasaannya tak karuan, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Untuk sejenak ia justru tak dapat menggerakkan badannya sedikitpun, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.Sudah begitu lama ia merindukan rasanya dipeluk, namun ia tak menduga bahwa seseorang yang akan memeluknya adalah si brengsek Bian.Suara dengkuran halus dan lengan berotot itu membuat Audy sedikit bergetar. Ia dibuat terpesona dengan wajah Bian yang begitu teduh saat tertidur. Rambutnya yang berantakan dan al-Audy buru-buru mengh
“Kamu akan ayah jodohkan.” Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.“Yah, tapi aku baru aja..” Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya m
Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal. Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya. Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti. Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy. Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun. "Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamara