Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.
Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.
Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun.
Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.
Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.
“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.
“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.
“Yaudah,”
Tanpa basa basi, Bian kemudian meninggalkan Audy.
Audy yang terlanjur bangun langsung menuju kamar mandi dan bersiap menuju kampus. Ia buru-buru meninggalkan rumah tanpa menyentuh makanan yang disiapkan Bian sama sekali.
Setelah mengikuti beberapa kelas, Audy mendadak merasa pusing. Hari ini seharusnya ia kembali melakukan bimbingan dengan Bian, tapi hal itu ia urungkan. Audy memilih untuk pulang dan beristirahat.
Begitu sampai di rumah, kepalanya yang semakin pusing membuat pandangannya kabur. Ia juga baru sadar bahwa ia belum makan dari tadi pagi. Belum sempat ia membuka pintu, ia kemudian tersungkur, pingsan di depan pintu.
Saat ia terbangun, ia sudah berada di sebuah ruangan yang asing. Ia juga melihat selang infus menancap di tangan kanannya.
Audy berusaha mengingat apa yang telah terjadi, lalu suara seorang wanita membuyarkan lamunannya.
“Sudah sadar, Mbak? Boleh saya tahu namanya?”
“Audy, Sus. Kenapa saya bisa ada disini, ya?” tanya Audy.
“Tadi Mbak pingsan, kecapekan kayaknya,” jawab perawat itu.
“Oh iya, tadi suaminya menggendong mbak sambil lari-lari, takut banget istrinya kenapa-napa katanya,” lanjutnya sambil cekikikan.
Mendengar penjelasan perawat itu, Audy hanya tersenyum kecut.
Sikap peduli Bian padanya membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Orang tua mereka tak ada disana, kenapa pula dia harus bersikap baik.
Setelah perawat itu meninggalkannya, ia melihat Bian datang menghampirinya. Bian menanyakan keadaan Audy dengan wajah yang masam, ”Masih pusing?”.
“Enggak,” jawab Audy singkat.
Mendengar jawaban ketus Audy, Bian kemudian menarik sebuah kursi lalu duduk menghadap ke arahnya.
“Saya udah siapin sarapan loh, kenapa gak dimakan? Sengaja ya? Sampai pingsan begini,” oceh Bian kesal.
Sudah lelah dengan kegiatan di kampus, tapi ia masih harus membopong gadis itu menuju klinik.
“Bapak kalau mau ngomel, nanti aja. Saya lapar,” ucap Audy.
Hal itu sontak membuat Bian menggeleng pelan sebelum kemudian beranjak dari kursi.
Melihat sikap Bian, Audy tak ingin ambil pusing. Ia memilih memejamkan matanya kembali. Badannya yang lemas membuatnya ingin kembali tidur.
Tak berapa lama, Audy mendengar Bian memanggilnya. Begitu membuka mata, ia melihat Bian membawa bungkusan dalam plastik.
“Duduk,” Bian memerintah.
Audy lalu duduk dan menghadap ke arah Bian dengan tangan yang bersiap menerima bungkusan dari Bian. Namun, sebelum tangannya sempat mengambil plastik itu, dengan cepat Bian menepis tangan Audy sehingga membuat sang empunya tangan mengernyitkan dahi.
Tanpa menjawab apa pun, Bian duduk di samping Audy dan mulai membuka bungkusan yang ia bawa. Aroma makanan yang menggoda langsung menguar hingga Audy menatap bungkusan itu dengan mata berbinar.
Audy seketika terkejut, jantungnya berdebar ketika Bian mengambil satu suapan dengan sendok dan mengarahkannya ke bibir Audy.
“Eh, Pak. Saya bisa makan sendiri,” tolak Audy sambil memundurkan kepalanya.
Bian menggeleng, ia terus berusaha menyuapi Audy, “Tangan kamu gak kenapa-napa aja kamu gak bisa makan, apalagi diinfus begini,” cicit Bian padanya.
Audy terus berusaha menolak, kini ia justru menutupi mulutnya dengan tangan kirinya. Bian terus bersikeras menyuapinya, “Ayo, Audy. Kamu mau pingsan lagi apa gimana sih?”
“Saya bukan anak kecil, Pak. Saya bisa makan sendiri,” ucap Audy sambil terus menggelengkan kepalanya.
Melihat Audy yang terus menolak, dengan sigap Bian langsung menarik tangan kiri Audy yang menutupi mulutnya.
Audy pun pasrah, dengan sedikit ragu ia akhirnya menerima suapan Bian. Jantungnya seakan mau meledak, rasa laparnya mendadak sirna ketika sendok itu menyentuh bibirnya. Bian tersenyum puas sambil terus menyuapinya.
Hingga makanan itu pun habis, tak ada sedikitpun obrolan di antara mereka. Suasana yang canggung membuat mereka berdua saling diam. Lalu tak berapa lama, seorang dokter menghampiri mereka.
“Permisi, Pak, Bu. Bagaimana kondisinya, apakah masih terasa pusing atau lemas?” tanya dokter ramah.
“Sudah enggak, dok.” jawab Audy.
Mendengar jawaban Audy, dokter hanya mengangguk pelan. Lalu dengan wajah serius, ia pun menjelaskan, “Jadi begini, Pak, Bu. Setelah diperiksa, Bu Audy memang ada riwayat penyakit tifus. Jadi pola makannya harus teratur, perbanyak makan buah dan sayur juga. Dan yang paling penting dikurangi makan junk food dan minuman yang tinggi kafein ya, Bu.”
“Iya, dok,” jawab Audy pelan. Ia tak mengira melewatkan sarapan akan jadi separah ini.
“Kalau begitu, istri saya sudah boleh pulang, dok?”
Mendengar Bian memanggilnya dengan sebutan istri membuat jantung Audy kembali berdebar. Sekuat tenaga ia menahan senyumnya.
“Boleh, Pak. Tunggu sampai infusnya habis dulu, ya. Oh iya, stress juga bisa mempengaruhi kondisi kesehatan, jadi kalau bisa hindari stress ya, Bu,” ucap dokter sebelum meninggalkan mereka berdua.
Kesunyian kembali melanda mereka berdua. Audy memilih untuk kembali berbaring, sementara Bian memilih fokus pada layar handphonenya.
Menjelang malam, mereka berdua pun akhirnya pulang. Tanpa ragu, Bian memapah Audy menuju mobil.
“Padahal saya bisa jalan sendiri loh, Pak,” protes Audy.
Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru semakin mengeratkan rangkulannya pada Audy.
Sepanjang perjalanan, Audy terus memandang ke arah jendela. Ia enggan menatap wajah Bian sedikitpun, rasanya ia begitu malu jika mengingat kejadian tadi.
Sesampainya di rumah, Bian kembali memapahnya menuju ke kamar. Hal itu sontak membuat Audy kembali protes, “Stop! Bapak jangan keenakan meluk-meluk saya, ya!”
Mendengar ucapan Audy, Bian reflek menjauhkan tubuhnya dari Audy. Lalu dengan ekspresi datar, ia menjawab, “Orang saya cuma bantu,”
Audy tak menghiraukan Bian dan langsung melengos pergi. Ia mengatur napasnya pelan, berusaha mengingat kembali janjinya. Ia tak akan pernah melibatkan perasaan sedikitpun.
Kejadian itu membuat hubungan mereka membaik. Meski tak bisa seperti kehidupan suami istri pada umumnya, tapi kini mereka jauh lebih peduli satu sama lain.
Keesokan harinya mereka bahkan duduk berdua di meja makan, menikmati sarapan sebelum berangkat ke kampus.
“Mulai sekarang, jangan panggil saya Pak. Saya gak mau kamu keceplosan di depan keluarga,” ucap Bian.
Audy sebenarnya tak keberatan, hanya saja ia merasa sedikit geli untuk melakukannya.
“Iya, Pak,”
“Ssshhh, Mas bukan Pak,”
“I-iya, Mas..”
Terbiasa menganggapnya sebagai bapak-bapak membuat lidah Audy kelu, rasanya seperti harus menjilat kotoran. Menjijikan.
Selesai sarapan, mereka akhirnya berangkat ke kampus bersama. Kini Bian tak pernah membiarkan Audy berangkat sendiri, ia bahkan rela berangkat lebih siang demi menemaninya sarapan.
Mengingat ucapannya yang tajam membuat Audy tak bisa bersimpati, Bian tetaplah orang yang ia benci.
Di perjalanan menuju ke kampus, mereka mulai membuka obrolan.
Bian memulainya singkat, “Aku boleh minta tolong, gak?”
“Apa?” sahut Audy.
“Ambilin vitamin di laci depan, dong,” ucap Bian sambil menunjuk laci yang ia maksud.
Audy lalu membuka laci itu dan menyodorkan botol kecil berisi kapsul kecil pada Bian. Tak disangka, Bian justru menolak dan berkata, “Itu buat kamu, biar gak gampang sakit.”
Audy mengerutkan dahinya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jantungnya mendadak berdebar kencang.
Tak kuat menahan senyum, ia langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Ia tak menyangka Bian akan sepeduli ini dengannya, juga sikapnya beberapa hari ini membuat pipi Audy memerah.
Tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa senang ketika Bian peduli padanya. Tapi ia buru-buru menepis perasaan itu, ia sudah berjanji tak akan melibatkan perasaan dalam pernikahan ini.
“Kamu gak mau turun?”
Pertanyaan Bian membuat Audy tersadar, ternyata ia sudah berada di parkiran. Ia kemudian buru-buru keluar, tapi setelah beberapa langkah ia pun kembali.
“Makasih, Pak.. Mas,” ucap Audy kikuk lalu berlari meninggalkan Bian.
Melihat tingkah Audy, Bian hanya menggeleng pelan.
Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak ituAudy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri. Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dul
Setelah mengirimkan pesan pada Bian, Audy memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, melupakan sejenak kehebohan yang terjadi.Suasana perpustakaan yang sunyi membuatnya sedikit tenang. Tak banyak orang disana, tapi semua orang terlihat sibuk dengan tugasnya. Setidaknya ia tak akan mendengar gosip hingga beberapa waktu kedepan.Audy yang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba dikejutkan dengan suara seseorang.“Permisi, Mbak. Boleh saya pinjam bukunya? Saya gak nemu buku yang sama di rak soalnya,” ucap pria itu.“Oh, maaf, Mas. Ini punya saya, gak tahu deh ada juga disini atau enggak,” jawab Audy menjelaskan. Pria itu tampak kebingungan, “Eh, maaf ya, Mbak. Saya kira mbak juga minjem di perpustakaan.”“Iya, gapapa mas,” ucap Audy ramah.Pria itu tak beranjak dari tempatnya, tapi ia justru mengulurkan tangannya pada Audy.“Saya Robby, kalo mbak?” ucap pria itu sambil tersenyum.Audy menjabat tangan pria itu sambil balik tersenyum, “Audy,”“Sendiri aja, Mbak?”“Iya nih, lagi ngerjai
“Mas! Mas!” teriak Audy memanggil Bian sambil berlari keluar kamar.“Apasih, kamu bukannya mandi malah liatin handphone terus,” jawab Bian sambil menyeruput kopinya.Melihat reaksi Bian yang santai membuat Audy geram. Ia lalu menunjukkan handphonenya pada Bian, “Lihat nih, baca!”Bian meraih handphone Audy dan membaca berita itu sekilas.“Shit! Ini gak bener!““Orang ada buktinya, gak bener gimana?” ejek Audy.Bian mengurut pelipisnya lalu mengusap wajahnya kasar.Tak hanya Bian, jauh di dalam hati kecil Audy pun merasa takut. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mengorek privasi Bian. Dan jika hal itu terjadi, ia yakin bahwa pernikahannya akan segera terbongkar.Audy merebut kembali handphonenya dari tangan Bian.“Ciee, COUPLE GOALS!” ledek Audy sambil tersenyum sinis.“Kamu bisa diem gak?”“Enggak! Kenapa aku yang harus diem? Kan mas yang bikin masalah, bukan aku,”“Aku udah bilang, berita ini gak bener!” tegas Bian dengan suara yang meninggi.Tak ingin berdebat panjang, ia pun me
Rasa cemburu bercampur marah menyelimuti hati Audy. Ia marah lantaran Bian justru tak memikirkan dirinya dan keluarga besarnya.Gosip yang sedang menyebar bisa saja didengar oleh orang tuanya, tapi ia justru tak peduli dan malah membawa wanita itu ke rumah.“Kamu gak papa?” tanya Robby membuyarkan lamunan Audy.“Gapapa,” jawab Audy singkat.Melihat Audy yang tampak murung membuat Robby buru-buru melajukan kembali mobilnya.Audy tak bisa menceritakan masalahnya pada siapapun. Ia merasa terkekang, beberapa kali batinnya ingin memberontak, tapi raganya terus menolak.“Kamu beneran gak apa-apa, kan?’ tanya Robby memastikan.Audy hanya mengangguk pelan dan kembali mengarahkan pandangannya ke jendela.Perjalanan terasa singkat karena pikiran Audy yang tak di tempat. Pikirannya terus berkelana membayangkan apa yang Erika lakukan di rumahnya. Lebih tepatnya rumah Bian.Ia terus memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi pada mereka berdua, terlebih fakta bahwa mereka pernah menjalin hubungan
“Halo,” ucap Audy malas.“Kamu dimana sih, daritadi dichat ga dibales!” bentak Bian di seberang. Jelas sekali ia sedang marah.Audy menghela napas panjang, lalu mengecek kembali handphonenya. Terdapat beberapa chat dari Bian disana.“Maaf, gak kedengeran tadi,” jawab Audy singkat.“Pulang cepet! Ibu nyariin,”“Ya mas bilang apa kek, masa gitu aja gak bisa?” cicit Audy.“Ibu udah baca beritanya, bentar lagi ibu mau kerumah,” kalimat Bian terdengar menyedihkan.Mendengar hal itu, Audy semakin marah dibuatnya. Kini ia harus turut membereskan masalah yang diciptakan oleh Bian.Ia yakin ibu mertuanya itu akan murka pada mereka berdua. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya pening. Ia pun buru-buru mengambil tasnya.Namun, Robby justru menarik tangannya, “Kamu mau kemana?”“Aku harus pulang, su...” Audy menggeleng pelan, ia hampir saja keceplosan. Namun, ia lalu mengoreksi kalimatnya, “Ibu aku nyariin,”“Yaudah, aku anterin kamu,”“Aku pulang sendiri aja,” tolak Audy.Robby terus memaks
“Yaudah, kalo gitu malam ini ibu akan menginap,”“HAH!!”“Memangnya ibu mau nginap berapa lama?” tanya Bian pada sang ibu.Mega justru tak menjawab sedikitpun dan langsung melengos pergi. Seperti sudah tahu apa yang anak dan menantunya sembunyikan, ia langsung menuju ke kamar Audy.“Bu, kamar tamunya belum dibersihin. Biar aku bersihin dulu, ya,” cegah Audy sambil buru-buru menghampiri mertuanya.Namun, belum sempat Audy berhasil mencegah, Mega sudah lebih dulu membuka pintu dan melihat isi kamar.“Nah, bener kan feeling Ibu. Kalian ini kompak banget bohongin orang tua ya!” Ucap Mega sinis.“Sudahlah gak perlu dibersihin, ibu mau langsung tidur,” ucap Mega sembari masuk dan membanting pintu kamar.Audy tidak tahu harus berbuat apa, yang jelas ia kini dalam masalah yang jauh lebih besar.“Saya gak mau tidur sama, Mas!”“Terserah kamu, tapi aku gak akan tanggung jawab kalo ibu lebih marah lagi,” jawab Bian sambil melenggang menuju ke kamar.Dengan perasaan campur aduk, Audy berusaha unt
Audy terbangun setelah mendengar suara alarm dari handphonenya. Tangannya berusaha mencari-cari dimana letak handphonenya, namun pergerakannya terasa sulit seolah seseorang sedang menahannya.Audy pun membuka matanya perlahan, mengarahkan pandangannya pada sebuah benda berat yang sedari tadi menahannya tubuhnya. Begitu matanya terbuka dengan lebar, barulah ia menyadari bahwa benda berat itu adalah lengan suaminya yang memeluknya erat.“Astaga!” pekik Audy dengan suara yang tertahan.Perasaannya tak karuan, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Untuk sejenak ia justru tak dapat menggerakkan badannya sedikitpun, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.Sudah begitu lama ia merindukan rasanya dipeluk, namun ia tak menduga bahwa seseorang yang akan memeluknya adalah si brengsek Bian.Suara dengkuran halus dan lengan berotot itu membuat Audy sedikit bergetar. Ia dibuat terpesona dengan wajah Bian yang begitu teduh saat tertidur. Rambutnya yang berantakan dan al-Audy buru-buru mengh
“Kamu akan ayah jodohkan.” Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.“Yah, tapi aku baru aja..” Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya m