Share

4. Salah Paham

Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.

Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.

Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun. 

Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.

Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.

“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.

“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.

“Yaudah,”

Tanpa basa basi, Bian kemudian meninggalkan Audy. 

Audy yang terlanjur bangun langsung menuju kamar mandi dan bersiap menuju kampus. Ia buru-buru meninggalkan rumah tanpa menyentuh makanan yang disiapkan Bian sama sekali.

Setelah mengikuti beberapa kelas, Audy mendadak merasa pusing. Hari ini seharusnya ia kembali melakukan bimbingan dengan Bian, tapi hal itu ia urungkan. Audy memilih untuk pulang dan beristirahat. 

Begitu sampai di rumah, kepalanya yang semakin pusing membuat pandangannya kabur. Ia juga baru sadar bahwa ia belum makan dari tadi pagi. Belum sempat ia membuka pintu, ia kemudian tersungkur, pingsan di depan pintu.

Saat ia terbangun, ia sudah berada di sebuah ruangan yang asing. Ia juga melihat selang infus menancap di tangan kanannya. 

Audy berusaha mengingat apa yang telah terjadi, lalu suara seorang wanita membuyarkan lamunannya. 

“Sudah sadar, Mbak? Boleh saya tahu namanya?”

“Audy, Sus. Kenapa saya bisa ada disini, ya?” tanya Audy.

“Tadi Mbak pingsan, kecapekan kayaknya,” jawab perawat itu.

“Oh iya, tadi suaminya menggendong mbak sambil lari-lari, takut banget istrinya kenapa-napa katanya,” lanjutnya sambil cekikikan.

Mendengar penjelasan perawat itu, Audy hanya tersenyum kecut. 

Sikap peduli Bian padanya membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Orang tua mereka tak ada disana, kenapa pula dia harus bersikap baik.

Setelah perawat itu meninggalkannya, ia melihat Bian datang menghampirinya. Bian menanyakan keadaan Audy dengan wajah yang masam, ”Masih pusing?”.

“Enggak,” jawab Audy singkat.

Mendengar jawaban ketus Audy, Bian kemudian menarik sebuah kursi lalu duduk menghadap ke arahnya. 

“Saya udah siapin sarapan loh, kenapa gak dimakan? Sengaja ya? Sampai pingsan begini,” oceh Bian kesal.

Sudah lelah dengan kegiatan di kampus, tapi ia masih harus membopong gadis itu menuju klinik.

“Bapak kalau mau ngomel, nanti aja. Saya lapar,” ucap Audy.

Hal itu sontak membuat Bian menggeleng pelan sebelum kemudian beranjak dari kursi.

Melihat sikap Bian, Audy tak ingin ambil pusing. Ia memilih memejamkan matanya kembali. Badannya yang lemas membuatnya ingin kembali tidur.

Tak berapa lama, Audy mendengar Bian memanggilnya. Begitu membuka mata, ia melihat Bian membawa bungkusan dalam plastik.

“Duduk,” Bian memerintah.

Audy lalu duduk dan menghadap ke arah Bian dengan tangan yang bersiap menerima bungkusan dari Bian. Namun, sebelum tangannya sempat mengambil plastik itu, dengan cepat Bian menepis tangan Audy sehingga membuat sang empunya tangan mengernyitkan dahi.

Tanpa menjawab apa pun, Bian duduk di samping Audy dan mulai membuka bungkusan yang ia bawa. Aroma makanan yang menggoda langsung menguar hingga Audy menatap bungkusan itu dengan mata berbinar.

Audy seketika terkejut, jantungnya berdebar ketika Bian mengambil satu suapan dengan sendok dan mengarahkannya ke bibir Audy.

“Eh, Pak. Saya bisa makan sendiri,” tolak Audy sambil memundurkan kepalanya.

Bian menggeleng, ia terus berusaha menyuapi Audy, “Tangan kamu gak kenapa-napa aja kamu gak bisa makan, apalagi diinfus begini,” cicit Bian padanya.

Audy terus berusaha menolak, kini ia justru menutupi mulutnya dengan tangan kirinya. Bian terus bersikeras menyuapinya, “Ayo, Audy. Kamu mau pingsan lagi apa gimana sih?”

“Saya bukan anak kecil, Pak. Saya bisa makan sendiri,” ucap Audy sambil terus menggelengkan kepalanya.

Melihat Audy yang terus menolak, dengan sigap Bian langsung menarik tangan kiri Audy yang menutupi mulutnya.

Audy pun pasrah, dengan sedikit ragu ia akhirnya menerima suapan Bian. Jantungnya seakan mau meledak, rasa laparnya mendadak sirna ketika sendok itu menyentuh bibirnya. Bian tersenyum puas sambil terus menyuapinya.

Hingga makanan itu pun habis, tak ada sedikitpun obrolan di antara mereka. Suasana yang canggung membuat mereka berdua saling diam. Lalu tak berapa lama, seorang dokter menghampiri mereka.

“Permisi, Pak, Bu. Bagaimana kondisinya, apakah masih terasa pusing atau lemas?” tanya dokter ramah.

“Sudah enggak, dok.” jawab Audy.

Mendengar jawaban Audy, dokter hanya mengangguk pelan. Lalu dengan wajah serius, ia pun menjelaskan, “Jadi begini, Pak, Bu. Setelah diperiksa, Bu Audy memang ada riwayat penyakit tifus. Jadi pola makannya harus teratur, perbanyak makan buah dan sayur juga. Dan yang paling penting dikurangi makan junk food dan minuman yang tinggi kafein ya, Bu.” 

“Iya, dok,” jawab Audy pelan. Ia tak mengira melewatkan sarapan akan jadi separah ini.

“Kalau begitu, istri saya sudah boleh pulang, dok?” 

Mendengar Bian memanggilnya dengan sebutan istri membuat jantung Audy kembali berdebar. Sekuat tenaga ia menahan senyumnya.

“Boleh, Pak. Tunggu sampai infusnya habis dulu, ya. Oh iya, stress juga bisa mempengaruhi kondisi kesehatan, jadi kalau bisa hindari stress ya, Bu,” ucap dokter sebelum meninggalkan mereka berdua.

Kesunyian kembali melanda mereka berdua. Audy memilih untuk kembali berbaring, sementara Bian memilih fokus pada layar handphonenya.

Menjelang malam, mereka berdua pun akhirnya pulang. Tanpa ragu, Bian memapah Audy menuju mobil.

“Padahal saya bisa jalan sendiri loh, Pak,” protes Audy.

Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru semakin mengeratkan rangkulannya pada Audy.

Sepanjang perjalanan, Audy terus memandang ke arah jendela. Ia enggan menatap wajah Bian sedikitpun, rasanya ia begitu malu jika mengingat kejadian tadi.

Sesampainya di rumah, Bian kembali memapahnya menuju ke kamar. Hal itu sontak membuat Audy kembali protes, “Stop! Bapak jangan keenakan meluk-meluk saya, ya!”

Mendengar ucapan Audy, Bian reflek menjauhkan tubuhnya dari Audy. Lalu dengan ekspresi datar, ia menjawab, “Orang saya cuma bantu,”

Audy tak menghiraukan Bian dan langsung melengos pergi. Ia mengatur napasnya pelan, berusaha mengingat kembali janjinya. Ia tak akan pernah melibatkan perasaan sedikitpun. 

Kejadian itu membuat hubungan mereka membaik. Meski tak bisa seperti kehidupan suami istri pada umumnya, tapi kini mereka jauh lebih peduli satu sama lain. 

Keesokan harinya mereka bahkan duduk berdua di meja makan, menikmati sarapan sebelum berangkat ke kampus.

“Mulai sekarang, jangan panggil saya Pak. Saya gak mau kamu keceplosan di depan keluarga,” ucap Bian.

Audy sebenarnya tak keberatan, hanya saja ia merasa sedikit geli untuk melakukannya.

“Iya, Pak,”

“Ssshhh, Mas bukan Pak,”

“I-iya, Mas..”

Terbiasa menganggapnya sebagai bapak-bapak membuat lidah Audy kelu, rasanya seperti harus menjilat kotoran. Menjijikan.

Selesai sarapan, mereka akhirnya berangkat ke kampus bersama. Kini Bian tak pernah membiarkan Audy berangkat sendiri, ia bahkan rela berangkat lebih siang demi menemaninya sarapan.

Mengingat ucapannya yang tajam membuat Audy tak bisa bersimpati, Bian tetaplah orang yang ia benci.

Di perjalanan menuju ke kampus, mereka mulai membuka obrolan. 

Bian memulainya singkat, “Aku boleh minta tolong, gak?”

“Apa?” sahut Audy.

“Ambilin vitamin di laci depan, dong,” ucap Bian sambil menunjuk laci yang ia maksud.

Audy lalu membuka laci itu dan menyodorkan botol kecil berisi kapsul kecil pada Bian. Tak disangka, Bian justru menolak dan berkata, “Itu buat kamu, biar gak gampang sakit.”

Audy mengerutkan dahinya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jantungnya mendadak berdebar kencang.

Tak kuat menahan senyum, ia langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Ia tak menyangka Bian akan sepeduli ini dengannya, juga sikapnya beberapa hari ini membuat pipi Audy memerah.

Tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa senang ketika Bian peduli padanya. Tapi ia buru-buru menepis perasaan itu, ia sudah berjanji tak akan melibatkan perasaan dalam pernikahan ini.

“Kamu gak mau turun?”

Pertanyaan Bian membuat Audy tersadar, ternyata ia sudah berada di parkiran. Ia kemudian buru-buru keluar, tapi setelah beberapa langkah ia pun kembali. 

“Makasih, Pak.. Mas,” ucap Audy kikuk lalu berlari meninggalkan Bian.

Melihat tingkah Audy, Bian hanya menggeleng pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status