“Halo,” ucap Audy malas.“Kamu dimana sih, daritadi dichat ga dibales!” bentak Bian di seberang. Jelas sekali ia sedang marah.Audy menghela napas panjang, lalu mengecek kembali handphonenya. Terdapat beberapa chat dari Bian disana.“Maaf, gak kedengeran tadi,” jawab Audy singkat.“Pulang cepet! Ibu nyariin,”“Ya mas bilang apa kek, masa gitu aja gak bisa?” cicit Audy.“Ibu udah baca beritanya, bentar lagi ibu mau kerumah,” kalimat Bian terdengar menyedihkan.Mendengar hal itu, Audy semakin marah dibuatnya. Kini ia harus turut membereskan masalah yang diciptakan oleh Bian.Ia yakin ibu mertuanya itu akan murka pada mereka berdua. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya pening. Ia pun buru-buru mengambil tasnya.Namun, Robby justru menarik tangannya, “Kamu mau kemana?”“Aku harus pulang, su...” Audy menggeleng pelan, ia hampir saja keceplosan. Namun, ia lalu mengoreksi kalimatnya, “Ibu aku nyariin,”“Yaudah, aku anterin kamu,”“Aku pulang sendiri aja,” tolak Audy.Robby terus memaks
“Yaudah, kalo gitu malam ini ibu akan menginap,”“HAH!!”“Memangnya ibu mau nginap berapa lama?” tanya Bian pada sang ibu.Mega justru tak menjawab sedikitpun dan langsung melengos pergi. Seperti sudah tahu apa yang anak dan menantunya sembunyikan, ia langsung menuju ke kamar Audy.“Bu, kamar tamunya belum dibersihin. Biar aku bersihin dulu, ya,” cegah Audy sambil buru-buru menghampiri mertuanya.Namun, belum sempat Audy berhasil mencegah, Mega sudah lebih dulu membuka pintu dan melihat isi kamar.“Nah, bener kan feeling Ibu. Kalian ini kompak banget bohongin orang tua ya!” Ucap Mega sinis.“Sudahlah gak perlu dibersihin, ibu mau langsung tidur,” ucap Mega sembari masuk dan membanting pintu kamar.Audy tidak tahu harus berbuat apa, yang jelas ia kini dalam masalah yang jauh lebih besar.“Saya gak mau tidur sama, Mas!”“Terserah kamu, tapi aku gak akan tanggung jawab kalo ibu lebih marah lagi,” jawab Bian sambil melenggang menuju ke kamar.Dengan perasaan campur aduk, Audy berusaha unt
Audy terbangun setelah mendengar suara alarm dari handphonenya. Tangannya berusaha mencari-cari dimana letak handphonenya, namun pergerakannya terasa sulit seolah seseorang sedang menahannya.Audy pun membuka matanya perlahan, mengarahkan pandangannya pada sebuah benda berat yang sedari tadi menahannya tubuhnya. Begitu matanya terbuka dengan lebar, barulah ia menyadari bahwa benda berat itu adalah lengan suaminya yang memeluknya erat.“Astaga!” pekik Audy dengan suara yang tertahan.Perasaannya tak karuan, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Untuk sejenak ia justru tak dapat menggerakkan badannya sedikitpun, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.Sudah begitu lama ia merindukan rasanya dipeluk, namun ia tak menduga bahwa seseorang yang akan memeluknya adalah si brengsek Bian.Suara dengkuran halus dan lengan berotot itu membuat Audy sedikit bergetar. Ia dibuat terpesona dengan wajah Bian yang begitu teduh saat tertidur. Rambutnya yang berantakan dan al-Audy buru-buru mengh
“Kamu akan ayah jodohkan.” Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.“Yah, tapi aku baru aja..” Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya m
Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal. Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya. Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti. Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy. Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun. "Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamara
Sejak perdebatan itu, Audy menjadi semakin terbiasa dengan sikap dingin Bian. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu, ia memang tak berniat menjalin hubungan yang baik dengan Bian.Mereka berdua kini mulai sering bertemu, untuk melakukan bimbingan tentunya. Selama bimbingan itu, mereka bersikap profesional dan tidak membahas apapun diluar urusan kuliah.Seusai bimbingan, tanpa Audy duga Bian menahannya.“Kamu mau langsung pulang?” tanya Bian dengan ragu.“Iya, kenapa?”“Ibu saya pengen ketemu sama kamu, bisa kan?”Audy berpikir sejenak, tapi dalam hatinya ia tak ingin menolak. Pernikahan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terus dipusingkan dengan hal menyebalkan seperti ini.“Oke, dimana?” Tanya Audy.Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru berjalan mendahului Audy.“Ikut saya.” ucap Bian datar.Audy yang mendengar ucapan Bian hanya keheranan, tapi ia langsung mengekor di belakang Bian.Begitu sampai di parkiran, Audy sedikit ragu untuk masuk ke mobil Bian. Perasaan canggung d
Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun. Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.“Yaudah,”Tanpa
Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak ituAudy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri. Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dul