Sejak perdebatan itu, Audy menjadi semakin terbiasa dengan sikap dingin Bian. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu, ia memang tak berniat menjalin hubungan yang baik dengan Bian.
Mereka berdua kini mulai sering bertemu, untuk melakukan bimbingan tentunya. Selama bimbingan itu, mereka bersikap profesional dan tidak membahas apapun diluar urusan kuliah.
Seusai bimbingan, tanpa Audy duga Bian menahannya.
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Bian dengan ragu.
“Iya, kenapa?”
“Ibu saya pengen ketemu sama kamu, bisa kan?”
Audy berpikir sejenak, tapi dalam hatinya ia tak ingin menolak. Pernikahan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terus dipusingkan dengan hal menyebalkan seperti ini.
“Oke, dimana?” Tanya Audy.
Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru berjalan mendahului Audy.
“Ikut saya.” ucap Bian datar.
Audy yang mendengar ucapan Bian hanya keheranan, tapi ia langsung mengekor di belakang Bian.
Begitu sampai di parkiran, Audy sedikit ragu untuk masuk ke mobil Bian. Perasaan canggung dan malu menyelimuti hatinya, ia bahkan takut jika ada yang melihatnya disana.
“Ayo! Ngapain berdiri disitu terus?” teriak Bian dari dalam mobil.
Audy lalu masuk ke dalam mobil dengan cepat, berharap tak ada yang melihatnya.
Di ujung parkiran, seorang wanita memperhatikan gerak gerik Audy dari dalam mobil. Mengamati setiap pergerakan Audy dan bersembunyi di bawah ketika mobil Bian melewatinya.
Audy dan Bian menuju ke sebuah coffee shop yang berada di cukup jauh dari kampusnya. Semoga saja tak ada yang melihat mereka disana.
Setelah memesan minuman, mereka segera menuju ke dalam mencari keberadaan calon ibu mertuanya itu.
Sesampainya disana, bukan hanya Bu Mega yang ia lihat, tapi juga bundanya.
Melihat ada bundanya disana, perasaan Audy berkecamuk. Menghadapi Bian dan ibunya saja sudah membuatnya terintimidasi, apalagi ada bundanya disana.
Dasar Bian terkutuk, kenapa dia gak bilang sih?
“Halo, Sayang. Gimana skripsinya, lancar?” Tanya Bu Mega.
“Lancar kok, tante,” jawab Audy terbata.
“Audy cepet banget belajarnya, Ma. Gak heran, pilihan mama emang yang terbaik,” ucap Bian sembari menggamit tangan Audy.
Mendengar ucapan Bian membuat Audy merinding. Kemana perginya si mulut jahat yang memakinya kemarin? Kenapa ia kini bersikap sok baik?
Di sisi lain, bundanya dan Bu Mega justru tertawa mendengar ucapan Bian, seolah ini adalah hal yang lucu.
“Bian, Audy, nanti konsep pernikahan akan kaya gini. Berhubung tamunya terbatas, undangannya cukup di website aja ya,” ucap bundanya sembari menyodorkan ipad miliknya.
Mentang-mentang hanya akad tanpa resepsi, para ibu-ibu ini bahkan tak menanyakan pendapatnya sama sekali.
Audy membaca catatan yang ditulis bundanya, disana juga ditampilkan beberapa gambar mengenai konsep pernikahannya.
“Semuanya sudah deal, Sayang. Kalian tinggal pilih mau pake jas sama kebaya yang mana,” ucap bundanya, yang tentu saja membuat Audy meremang.
Bagaimana tidak, urusan penting seperti menikah ia tak bisa memilih, sedangkan urusan sepele ia harus memilih.
“Yang warna biru bagus, Sayang.” ucap Bian sambil mengelus rambut Audy.
Audy mengarahkan pandangannya pada Bian. Ia keheranan melihat sikap Bian, terlebih mendengar panggilan sayang darinya. Audy bahkan hampir muntah dibuatnya.
Bian yang sadar akan kebingungan Audy pun segera mengalihkan perhatian. Ia merapatkan posisinya dengan Audy kemudian berbisik pelan, “Ikutin aja.”
“Oohh, iya sayang bagus. Aku juga suka warna biru,” ucap Audy sambil tersenyum.
Hal itu jelas membuat orang tua mereka sangat senang, tak disangka kedua anaknya begitu cepat menjalin cinta.
Hari-hari berlalu dengan cepat, pernikahan Audy dan Bian akhirnya dilangsungkan. Kini, Audy dan Bian sedang duduk berdampingan menghadap ke sebuah meja. Di seberang, ayahnya dan seorang penghulu duduk menghadap ke arah mereka.
Beberapa kerabatnya juga terlihat duduk mengelilingi mereka. Suasana menjadi sangat tegang ketika ayahnya mulai menjabat tangan Bian. Tinggal beberapa detik saja, statusnya akan berubah menjadi istri orang.
Tak hanya dirinya, ia juga melihat kesedihan di raut wajah sang ayah. Minggu lalu dengan tegasnya ia memaksakan kehendaknya, tapi hari ini ia melihat bagaimana ayahnya itu mulai ragu melepaskan putrinya.
Setelah menghembuskan napas berat, Herman kemudian bersuara, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, dengan anak perempuan saya, Audy Pratama Wijaya, dengan mas kawin sebesar dua juta tiga ratus dua puluh empat ribu rupiah dengan perhiasan emas sepuluh gram, dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya, Audy Pratama Wijaya binti Herman Wijaya, dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi, sah?”
Semua orang bersahutan menjawab, “SAH!! SAH!”
Kini mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Bundanya menunduk sambil menyeka air matanya, ibu mertuanya yang duduk disampingnya mengelus pundaknya pelan.
Saat ini, Audy begitu sadar bahwa ia tak akan pernah bebas. Setelah menikah, kehidupannya akan diambil alih oleh Bian dan ia tak akan pernah merasakan kebebasan.
Meski penuh haru, Audy sama sekali tak terpengaruh. Baginya ini adalah dari sebuah bencana.
Kehidupan rumah tangga yang penuh sandiwara pun dimulai. Setelah acara selesai, ibu mertuanya itu berkata, “Setelah menikah, akan lebih baik jika kalian tinggal di rumah Bian. Apartemen pasti terlalu sempit, lagian dari sini jauh lebih deket kalo ke kampus.”
Ia pun tak bisa menolak, terlebih Bian telah menyetujui ucapan sang ibu lebih dulu. Malamnya, Audy langsung memboyong seluruh barangnya dari apartemen ke rumah Bian.
“Kamar saya dimana, Pak?” tanya Audy ketus.
“Itu,” jawab Bian singkat sambil menunjuk salah satu kamar.
Audy kemudian beranjak sambil membawa barang-barangnya masuk ke dalam kamar. Ia kemudian terkejut ketika mendapati bahwa ada banyak barang Bian disana.
Dengan sedikit berlari, ia kemudian keluar kamar dan menghampiri Bian.
“Pak, kok ada barang-barang bapak sih?”
Bian mengernyit keheranan, “Itu kamar saya, jelas ada barang saya lah.”
Mendengar jawaban Bian, Audy sontak menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia tak menduga bahwa Bian justru berpikir akan tidur berdua dengannya.
“Saya gak mau tidur sama bapak! Ingat ya, kita itu cuma pura-pura, gak lebih!”
Setelah mengatakan hal itu, Audy kemudian kembali ke kamar Bian dan membawa seluruh barangnya ke kamar sebelah. Ia kemudian membanting pintu kamar dengan keras.
Bian yang melihat hal itu hanya mencebik lalu pergi.
Selesai menata barang dan juga pakaiannya, perut Audy yang meronta minta diisi membuatnya bergerak keluar kamar.
Ia sama sekali tak melihat keberadaan Bian, tak ada seorang pun di ruang tamu dan suasana terlihat sunyi. Audy kemudian melangkah menuju dapur, membuka kulkas mencari-cari bahan makanan disana.
Belum sempat Audy mendapat apa yang dicari, samar-samar ia mendengar Bian sedang mengobrol dengan seseorang di telepon. Bian terlihat duduk di kursi samping sambil sesekali tertawa.
“Iya, aku dirumah kok. Kesini aja, biasanya juga langsung dateng, gak pernah izin.” Kata Bian.
Mendengar hal itu membuat Audy yakin bahwa orang di seberang sana adalah teman Bian, wajar jika Bian terlihat akrab dengannya. Audy kemudian kembali melanjutkan niatnya untuk memasak.
Selesai memasak, ia tak lagi mendengar suara Bian. Ia juga tak melihat keberadaan Bian di tempatnya tadi.
Kebingungannya itu justru semakin bertambah ketika tak berapa lama, deru mobil terdengar memasuki pelataran rumah mereka. Aneh, siapa orang yang bertamu malam-malam begini, pikir Audy.
Audy kemudian menuju ke ruang tamu, berusaha mengintip dari jendela.
Bu Erika?! Ngapain Bu Erika kesini?
Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun. Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.“Yaudah,”Tanpa
Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak ituAudy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri. Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dul
Setelah mengirimkan pesan pada Bian, Audy memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, melupakan sejenak kehebohan yang terjadi.Suasana perpustakaan yang sunyi membuatnya sedikit tenang. Tak banyak orang disana, tapi semua orang terlihat sibuk dengan tugasnya. Setidaknya ia tak akan mendengar gosip hingga beberapa waktu kedepan.Audy yang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba dikejutkan dengan suara seseorang.“Permisi, Mbak. Boleh saya pinjam bukunya? Saya gak nemu buku yang sama di rak soalnya,” ucap pria itu.“Oh, maaf, Mas. Ini punya saya, gak tahu deh ada juga disini atau enggak,” jawab Audy menjelaskan. Pria itu tampak kebingungan, “Eh, maaf ya, Mbak. Saya kira mbak juga minjem di perpustakaan.”“Iya, gapapa mas,” ucap Audy ramah.Pria itu tak beranjak dari tempatnya, tapi ia justru mengulurkan tangannya pada Audy.“Saya Robby, kalo mbak?” ucap pria itu sambil tersenyum.Audy menjabat tangan pria itu sambil balik tersenyum, “Audy,”“Sendiri aja, Mbak?”“Iya nih, lagi ngerjai
“Mas! Mas!” teriak Audy memanggil Bian sambil berlari keluar kamar.“Apasih, kamu bukannya mandi malah liatin handphone terus,” jawab Bian sambil menyeruput kopinya.Melihat reaksi Bian yang santai membuat Audy geram. Ia lalu menunjukkan handphonenya pada Bian, “Lihat nih, baca!”Bian meraih handphone Audy dan membaca berita itu sekilas.“Shit! Ini gak bener!““Orang ada buktinya, gak bener gimana?” ejek Audy.Bian mengurut pelipisnya lalu mengusap wajahnya kasar.Tak hanya Bian, jauh di dalam hati kecil Audy pun merasa takut. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mengorek privasi Bian. Dan jika hal itu terjadi, ia yakin bahwa pernikahannya akan segera terbongkar.Audy merebut kembali handphonenya dari tangan Bian.“Ciee, COUPLE GOALS!” ledek Audy sambil tersenyum genit.“Pergi sana! Mandi cepet, bauuu!” teriak Bian.Setelah meninggalkan Bian, senyum Audy memudar. Ia merasa sedikit cemburu, dan mengejek Bian seperti itu adalah cara untuk menutupinya.Hari itu, Bian memilih tidak mas
“Kamu akan ayah jodohkan.” Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.“Yah, tapi aku baru aja..” Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya m
Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal. Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya. Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti. Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy. Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun. "Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamara