Share

3. Pernikahan

Sejak perdebatan itu, Audy menjadi semakin terbiasa dengan sikap dingin Bian. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu, ia memang tak berniat menjalin hubungan yang baik dengan Bian.

Mereka berdua kini mulai sering bertemu, untuk melakukan bimbingan tentunya. Selama bimbingan itu, mereka bersikap profesional dan tidak membahas apapun diluar urusan kuliah.

Seusai bimbingan, tanpa Audy duga Bian menahannya.

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Bian dengan ragu.

“Iya, kenapa?”

“Ibu saya pengen ketemu sama kamu, bisa kan?”

Audy berpikir sejenak, tapi dalam hatinya ia tak ingin menolak. Pernikahan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terus dipusingkan dengan hal menyebalkan seperti ini.

“Oke, dimana?” Tanya Audy.

Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru berjalan mendahului Audy.

“Ikut saya.” ucap Bian datar.

Audy yang mendengar ucapan Bian hanya keheranan, tapi ia langsung mengekor di belakang Bian.

Begitu sampai di parkiran, Audy sedikit ragu untuk masuk ke mobil Bian. Perasaan canggung dan malu menyelimuti hatinya, ia bahkan takut jika ada yang melihatnya disana.

“Ayo! Ngapain berdiri disitu terus?” teriak Bian dari dalam mobil.

Audy lalu masuk ke dalam mobil dengan cepat, berharap tak ada yang melihatnya.

Di ujung parkiran, seorang wanita memperhatikan gerak gerik Audy dari dalam mobil. Mengamati setiap pergerakan Audy dan bersembunyi di bawah ketika mobil Bian melewatinya.

Audy dan Bian menuju ke sebuah coffee shop yang berada di cukup jauh dari kampusnya. Semoga saja tak ada yang melihat mereka disana.

Setelah memesan minuman, mereka segera menuju ke dalam mencari keberadaan calon ibu mertuanya itu.

Sesampainya disana, bukan hanya Bu Mega yang ia lihat, tapi juga bundanya.

Melihat ada bundanya disana, perasaan Audy berkecamuk. Menghadapi Bian dan ibunya saja sudah membuatnya terintimidasi, apalagi ada bundanya disana. 

Dasar Bian terkutuk, kenapa dia gak bilang sih?

“Halo, Sayang. Gimana skripsinya, lancar?” Tanya Bu Mega.

“Lancar kok, tante,” jawab Audy terbata.

“Audy cepet banget belajarnya, Ma. Gak heran, pilihan mama emang yang terbaik,” ucap Bian sembari menggamit tangan Audy.

Mendengar ucapan Bian membuat Audy merinding. Kemana perginya si mulut jahat yang memakinya kemarin? Kenapa ia kini bersikap sok baik?

Di sisi lain, bundanya dan Bu Mega justru tertawa mendengar ucapan Bian, seolah ini adalah hal yang lucu.

“Bian, Audy, nanti konsep pernikahan akan kaya gini. Berhubung tamunya terbatas, undangannya cukup di website aja ya,” ucap bundanya sembari menyodorkan ipad miliknya.

Mentang-mentang hanya akad tanpa resepsi, para ibu-ibu ini bahkan tak menanyakan pendapatnya sama sekali.

Audy membaca catatan yang ditulis bundanya, disana juga ditampilkan beberapa gambar mengenai konsep pernikahannya. 

“Semuanya sudah deal, Sayang. Kalian tinggal pilih mau pake jas sama kebaya yang mana,” ucap bundanya, yang tentu saja membuat Audy meremang. 

Bagaimana tidak, urusan penting seperti menikah ia tak bisa memilih, sedangkan urusan sepele ia harus memilih.

“Yang warna biru bagus, Sayang.” ucap Bian sambil mengelus rambut Audy.

Audy mengarahkan pandangannya pada Bian. Ia keheranan melihat sikap Bian, terlebih mendengar panggilan sayang darinya. Audy bahkan hampir muntah dibuatnya.

Bian yang sadar akan kebingungan Audy pun segera mengalihkan perhatian. Ia merapatkan posisinya dengan Audy kemudian berbisik pelan, “Ikutin aja.”

“Oohh, iya sayang bagus. Aku juga suka warna biru,” ucap Audy sambil tersenyum.

Hal itu jelas membuat orang tua mereka sangat senang, tak disangka kedua anaknya begitu cepat menjalin cinta.

Hari-hari berlalu dengan cepat, pernikahan Audy dan Bian akhirnya dilangsungkan.  Kini, Audy dan Bian sedang duduk berdampingan menghadap ke sebuah meja. Di seberang, ayahnya dan seorang penghulu duduk menghadap ke arah mereka. 

Beberapa kerabatnya juga terlihat duduk mengelilingi mereka. Suasana menjadi sangat tegang ketika ayahnya mulai menjabat tangan Bian. Tinggal beberapa detik saja, statusnya akan berubah menjadi istri orang.

Tak hanya dirinya, ia juga melihat kesedihan di raut wajah sang ayah. Minggu lalu dengan tegasnya ia memaksakan kehendaknya, tapi hari ini ia melihat bagaimana ayahnya itu mulai ragu melepaskan putrinya.

Setelah menghembuskan napas berat, Herman kemudian bersuara, “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, dengan anak perempuan saya, Audy Pratama Wijaya, dengan mas kawin sebesar dua juta tiga ratus dua puluh empat ribu rupiah dengan perhiasan emas sepuluh gram, dibayar tunai.”

“Saya terima nikahnya, Audy Pratama Wijaya binti Herman Wijaya, dengan maskawin tersebut, dibayar tunai.”

“Bagaimana para saksi, sah?” 

Semua orang bersahutan menjawab, “SAH!! SAH!”

Kini mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Bundanya menunduk sambil menyeka air matanya, ibu mertuanya yang duduk disampingnya mengelus pundaknya pelan.

Saat ini, Audy begitu sadar bahwa ia tak akan pernah bebas. Setelah menikah, kehidupannya akan diambil alih oleh Bian dan ia tak akan pernah merasakan kebebasan.

Meski penuh haru, Audy sama sekali tak terpengaruh. Baginya ini adalah dari sebuah bencana. 

Kehidupan rumah tangga yang penuh sandiwara pun dimulai. Setelah acara selesai, ibu mertuanya itu berkata, “Setelah menikah, akan lebih baik jika kalian tinggal di rumah Bian. Apartemen pasti terlalu sempit, lagian dari sini jauh lebih deket kalo ke kampus.”

Ia pun tak bisa menolak, terlebih Bian telah menyetujui ucapan sang ibu lebih dulu. Malamnya, Audy langsung memboyong seluruh barangnya dari apartemen ke rumah Bian. 

“Kamar saya dimana, Pak?” tanya Audy ketus.

“Itu,” jawab Bian singkat sambil menunjuk salah satu kamar.

Audy kemudian beranjak sambil membawa barang-barangnya masuk ke dalam kamar. Ia kemudian terkejut ketika mendapati bahwa ada banyak barang Bian disana. 

Dengan sedikit berlari, ia kemudian keluar kamar dan menghampiri Bian.

“Pak, kok ada barang-barang bapak sih?”

Bian mengernyit keheranan, “Itu kamar saya, jelas ada barang saya lah.”

Mendengar jawaban Bian, Audy sontak menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia tak menduga bahwa Bian justru berpikir akan tidur berdua dengannya.

“Saya gak mau tidur sama bapak! Ingat ya, kita itu cuma pura-pura, gak lebih!”

Setelah mengatakan hal itu, Audy kemudian kembali ke kamar Bian dan membawa seluruh barangnya ke kamar sebelah. Ia kemudian membanting pintu kamar dengan keras.

Bian yang melihat hal itu hanya mencebik lalu pergi.

Selesai menata barang dan juga pakaiannya, perut Audy yang meronta minta diisi membuatnya bergerak keluar kamar.

Ia sama sekali tak melihat keberadaan Bian, tak ada seorang pun di ruang tamu dan suasana terlihat sunyi. Audy kemudian melangkah menuju dapur, membuka kulkas mencari-cari bahan makanan disana. 

Belum sempat Audy mendapat apa yang dicari, samar-samar ia mendengar Bian sedang mengobrol dengan seseorang di telepon. Bian terlihat duduk di kursi samping sambil sesekali tertawa. 

“Iya, aku dirumah kok. Kesini aja, biasanya juga langsung dateng, gak pernah izin.” Kata Bian.

Mendengar hal itu membuat Audy yakin bahwa orang di seberang sana adalah teman Bian, wajar jika Bian terlihat akrab dengannya. Audy kemudian kembali melanjutkan niatnya untuk memasak. 

Selesai memasak, ia tak lagi mendengar suara Bian. Ia juga tak melihat keberadaan Bian di tempatnya tadi. 

Kebingungannya itu justru semakin bertambah ketika tak berapa lama, deru mobil terdengar memasuki pelataran rumah mereka. Aneh, siapa orang yang bertamu malam-malam begini, pikir Audy.

Audy kemudian menuju ke ruang tamu, berusaha mengintip dari jendela. 

Bu Erika?! Ngapain Bu Erika kesini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status