Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal.
Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya.
Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti.
Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy.
Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun.
"Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamaran saya?"
Audy tersenyum kecut, dalam hati ia juga membenarkan apa yang dikatakan Bian.
"Kalau gitu, gak ada alasan juga buat bapak menerima perjodohan ini!”
Audy mulai meninggikan suaranya, membuat emosi Bian sedikit terpancing.
“Bukan saya yang harusnya nolak, Audy! Tapi kamu!”
“Kalau bapak dari awal sudah menolak, keluarga saya gak akan nerima lamaran bapak.”
Pertemuan yang seharusnya membahas mengenai tugas skripsinya mendadak menjadi perdebatan yang penuh dengan emosi.
“Pak, saya ini masih muda ya. Saya gak mau mimpi saya hancur gara-gara perjodohan konyol ini!” ucap Audy dengan pelan, takut jika ada yang mendengar.
“Heh! Asal kamu tahu ya, kalau saya bisa milih, saya juga gak mau dijodohin sama orang kaya kamu!”
Ucapan Bian membuat dada Audy sesak, perasaan marah dan kecewa menjadi satu. Tanpa dia sadari, air matanya terjatuh.
Ia mengingat kembali bagaimana perjuangannya mendirikan salon selama bertahun-tahun, bahkan tanpa uang ayahnya sedikitpun. Ia harus bekerja keras mengumpulkan uang sambil kuliah demi impiannya itu.
“Jadi bapak enak ya, bisa ngatain orang seenaknya. Tapi bapak juga harus tahu, pernikahan ini gak akan berhasil! Ini cuma akan jadi masalah!”
Mendengar ucapan Audy, Bian hanya tersenyum kecut lalu menjawab, “Kalaupun pernikahan ini akan jadi masalah, masalahnya cuma satu. Yaitu, kamu.”
Tangis Audy semakin pecah, ia tak pernah menduga bahwa Bian akan sejahat ini. Semua ucapannya justru meyakinkan Audy bahwa perjodohan ini memang tak seharusnya terjadi.
“Kamu bisa diem dulu gak?” ucap Bian.
Bian menghela napas panjang, ia juga muak dengan perdebatan ini. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tak ingin pernikahan mereka batal.
Bian kemudian menyodorkan segelas air pada Audy, “Nih, duduk dulu.”
Audy mengikuti ucapan Bian, ia lalu duduk dan meminum air itu. Hal itu cukup membuat Audy berhenti menangis, meski dengan hati yang masih marah.
Kemarahannya bukan tanpa sebab, dipaksa menikah memang bukanlah hal yang mudah. Keinginannya yang belum tercapai, semua jerih payahnya selama ini, bahkan keraguannya pada komitmen membuat hatinya terluka.
“Udah?” tanya Bian yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Audy.
“Pernikahan ini gak bisa dibatalin, semuanya sudah di…”
Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, Audy kembali menyela, “Saya gak mau.”
“Kamu bisa dengerin saya dulu gak?” desis Bian.
Audy tak merespon sedikit pun, ia mencoba membiarkan Bian berbicara.
“Orang tua kita udah ngatur ini semua, bahkan saya sendiri gak bisa nolak. Entah apa yang bikin kamu menolak saya sekeras ini, tapi saya pastikan kalau usaha kamu akan sia-sia.”
Audy terdiam, selama ini ia memang tak pernah bisa menolak perintah ayahnya. Bahkan bundanya tak pernah bisa membantu. Bian benar, semuanya akan sia-sia.
Mengingat dirinya yang tak pernah diberi pilihan, saat ini ia juga tak bisa memilih. Ia mungkin harus belajar menyesuaikan.
Setelah beberapa menit, Audy kembali bersuara, “Kalau gitu, saya gak mau pernikahan ini diketahui orang.”
“Maksud kamu?” tanya Bian keheranan.
Audy membenarkan posisi duduknya, menyeka air matanya kemudian berkata dengan wajah yang serius.
“Pernikahan ini harus digelar tertutup, gak boleh ada yang tahu soal hubungan kita. Saya gak mau orang-orang berpikir negatif ke saya karena saya menikah sama dosen pembimbing saya.”
“Kamu gak takut orang akan mengira kalau kamu hamil duluan, ya?”
“Saya gak peduli,” tegas Audy.
Jika pernikahan ini diketahui banyak orang, ia yakin orang akan mengira bahwa dia telah menggoda dosennya sendiri. Ia harus sebaik mungkin menutupi pernikahan ini.
“Oke, kalau itu mau kamu,” belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, Audy kembali menyela,
“Satu lagi, setelah menikah saya gak mau terikat sedikitpun. Saya gak akan mencampuri urusan bapak, dan bapak gak boleh ikut campur urusan saya. Diluar urusan kuliah, kita gak ada hubungan.”
Bian kembali menghela napas panjang, belum menikah saja sudah banyak permintaan. Tapi lagi-lagi Bian menyanggupi, ia sudah mengira bahwa Audy pasti akan seperti ini.
“Saya setuju, lagipula saya tidak tertarik dengan urusan kamu.”
Audy tersenyum puas, meski ia tak bisa menolak tapi ia bisa mengatur bagaimana pernikahan ini akan berjalan. Tanpa komitmen dan tanpa perasaan.
“Oke, saya permisi kalau begitu,” ucap Audy sambil berdiri.
Ia kemudian melenggang meninggalkan ruangan Bian.
Sementara itu, di luar pintu seorang wanita buru-buru menyingkir. Setelah mendengar perdebatan di dalam, ia berniat mengetuk pintu, tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih pergi seolah tak terjadi apa-apa.
Sejak perdebatan itu, Audy menjadi semakin terbiasa dengan sikap dingin Bian. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu, ia memang tak berniat menjalin hubungan yang baik dengan Bian.Mereka berdua kini mulai sering bertemu, untuk melakukan bimbingan tentunya. Selama bimbingan itu, mereka bersikap profesional dan tidak membahas apapun diluar urusan kuliah.Seusai bimbingan, tanpa Audy duga Bian menahannya.“Kamu mau langsung pulang?” tanya Bian dengan ragu.“Iya, kenapa?”“Ibu saya pengen ketemu sama kamu, bisa kan?”Audy berpikir sejenak, tapi dalam hatinya ia tak ingin menolak. Pernikahan ini harus segera diselesaikan, atau dia akan terus dipusingkan dengan hal menyebalkan seperti ini.“Oke, dimana?” Tanya Audy.Bian tak menjawab sedikitpun, ia justru berjalan mendahului Audy.“Ikut saya.” ucap Bian datar.Audy yang mendengar ucapan Bian hanya keheranan, tapi ia langsung mengekor di belakang Bian.Begitu sampai di parkiran, Audy sedikit ragu untuk masuk ke mobil Bian. Perasaan canggung d
Kedatangan Bu Erika membuat Audy ketakutan, bagaimanapun ia tak ingin seorang pun mengetahui pernikahannya. Terlebih dia adalah dosennya, bisa-bisa berita ini akan menyebar dengan cepat.Audy pun buru-buru masuk ke kamar dan meninggalkan masakannya di dapur. Yang terpenting sekarang adalah, rahasianya tak boleh terbongkar.Setelah menutup pintu kamar, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap dapat mendengar obrolan mereka. Sayangnya, sampai hampir lima belas menit, ia tak mendengar apapun. Audy sempat ingin keluar, tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa takut. Malam itu, ia akhirnya memilih tidur sambil menahan lapar.Keesokan harinya membuat Audy terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Lalu dengan langkah gontai, Audy bangun dan membukakan pintu. Ia melihat Bian sudah berpakaian rapi sambil menenteng tas ranselnya.“Cepat mandi, sarapannya di meja. Saya tunggu 20 menit,” ucap Bian.“Saya bisa berangkat sendiri,” sahut Audy dengan suara seraknya.“Yaudah,”Tanpa
Kejadian beberapa hari yang lalu membuat Audy lebih berhati-hati. Ia tak pernah lupa meminum vitamin pemberian Bian. Sambil memandangi botol kecil itu, tanpa sadar ia pun kembali tersenyum.Heh, aku ngapain senyum-senyum begini. Jangan sampe aku justru suka duluan sama bapak bapak ituAudy memukul mukul dahinya, berusaha mengingatkannya pada janjinya sendiri. Tak berapa lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan kasar. Ia memilih mengabaikannya dan pura-pura tak mendengar.Tapi bukannya berhenti, suara ketukan itu malah semakin keras. Kini ia mendengar Bian berteriak memanggil namanya. Audy masih tak mempedulikan Bian, perasaannya masih campur aduk mengingat perhatian Bian padanya.“Audy! Bukaa! Kamu udah bangun apa belum, sih?!” teriak Bian dari luar.Tak berapa lama, Audy justru mendengar suara kunci pintu dibuka. Astaga, Bian memaksa masuk ke kamarnya. Ia lalu buru-buru beranjak dari ranjang dan menuju ke arah pintu.Belum sempat Audy memegang gagang pintu, Bian jauh lebih dul
Setelah mengirimkan pesan pada Bian, Audy memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, melupakan sejenak kehebohan yang terjadi.Suasana perpustakaan yang sunyi membuatnya sedikit tenang. Tak banyak orang disana, tapi semua orang terlihat sibuk dengan tugasnya. Setidaknya ia tak akan mendengar gosip hingga beberapa waktu kedepan.Audy yang asyik dengan pikirannya, tiba-tiba dikejutkan dengan suara seseorang.“Permisi, Mbak. Boleh saya pinjam bukunya? Saya gak nemu buku yang sama di rak soalnya,” ucap pria itu.“Oh, maaf, Mas. Ini punya saya, gak tahu deh ada juga disini atau enggak,” jawab Audy menjelaskan. Pria itu tampak kebingungan, “Eh, maaf ya, Mbak. Saya kira mbak juga minjem di perpustakaan.”“Iya, gapapa mas,” ucap Audy ramah.Pria itu tak beranjak dari tempatnya, tapi ia justru mengulurkan tangannya pada Audy.“Saya Robby, kalo mbak?” ucap pria itu sambil tersenyum.Audy menjabat tangan pria itu sambil balik tersenyum, “Audy,”“Sendiri aja, Mbak?”“Iya nih, lagi ngerjai
“Mas! Mas!” teriak Audy memanggil Bian sambil berlari keluar kamar.“Apasih, kamu bukannya mandi malah liatin handphone terus,” jawab Bian sambil menyeruput kopinya.Melihat reaksi Bian yang santai membuat Audy geram. Ia lalu menunjukkan handphonenya pada Bian, “Lihat nih, baca!”Bian meraih handphone Audy dan membaca berita itu sekilas.“Shit! Ini gak bener!““Orang ada buktinya, gak bener gimana?” ejek Audy.Bian mengurut pelipisnya lalu mengusap wajahnya kasar.Tak hanya Bian, jauh di dalam hati kecil Audy pun merasa takut. Cepat atau lambat, seseorang pasti akan mengorek privasi Bian. Dan jika hal itu terjadi, ia yakin bahwa pernikahannya akan segera terbongkar.Audy merebut kembali handphonenya dari tangan Bian.“Ciee, COUPLE GOALS!” ledek Audy sambil tersenyum genit.“Pergi sana! Mandi cepet, bauuu!” teriak Bian.Setelah meninggalkan Bian, senyum Audy memudar. Ia merasa sedikit cemburu, dan mengejek Bian seperti itu adalah cara untuk menutupinya.Hari itu, Bian memilih tidak mas
“Kamu akan ayah jodohkan.” Audy tercekat. Ia hendak menolak, tapi rasanya penolakan itu hanya sampai di tenggorokan. Setelah beberapa saat memberanikan diri, ia lalu berusaha menolak dengan halus.“Yah, tapi aku baru aja..” Belum sempat Audy menyelesaikan ucapannya, sang ayah sudah lebih dulu beranjak meninggalkan meja makan sambil mengatakan hal yang jauh lebih mengerikan.“Besok malam keluarga calon kamu akan datang. Jadi, malam ini kamu gak perlu kembali ke apartemen.”Audy hanya terdiam ketika ayahnya melenggang meninggalkan dirinya yang masih kebingungan. Ia menatap bundanya lekat, berusaha meminta penjelasan darinya.“Bun, aku gak mau nikah.” Lirih Audy.“Ini yang terbaik untuk kamu, Sayang,” ucap bundanya berusaha menenangkan.Meski begitu, kalimat bundanya sama sekali tak menenangkan hatinya. Ia begitu yakin kalau kedua orang tuanya tak akan bercanda dengan hal sesakral ini. Lalu bagaimana ia harus menjalani sesuatu yang tak ia sukai?Sama seperti ayahnya, sang bunda hanya m