Share

2. Penolakan

Keesokan harinya, Bian mengajar di kelas Audy dengan santai seolah pertunangan mereka semalam hanyalah mimpi. Melihat sikap Bian yang seakan tak peduli membuat Audy kesal. 

Setelah kelas berakhir, Audy buru-buru menghadang Bian yang sedang berjalan menuju ke ruang dosen. Bian menatap Audy datar sembari menaikkan alis kanannya. 

Audy yang semakin kesal lalu berkata, “Saya ingin bicara dengan Bapak.” Tanpa menjawab sedikitpun, Bian kemudian melenggang meninggalkan Audy. Namun setelah beberapa langkah berjalan, ia tak mendengar langkah seseorang mengikuti. 

Ia kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. “Tidak jadi?”, tanyanya pada Audy. 

Audy lalu beringsut mengikuti Bian menuju ke ruang dosen. Sesampainya di sana, tanpa basa basi ia langsung berkata “Saya ingin Bapak menolak perjodohan ini,” Bian yang asik dengan laptop-nya tak bergeming sedikit pun. 

"Bukan saya yang menginginkan perjodohan ini, tapi ayah dan ibu saya. Kalau kamu keberatan, kenapa semalam orang tua kamu menerima lamaran saya?"

Audy tersenyum kecut, dalam hati ia juga membenarkan apa yang dikatakan Bian. 

"Kalau gitu, gak ada alasan juga buat bapak menerima perjodohan ini!” 

Audy mulai meninggikan suaranya, membuat emosi Bian sedikit terpancing. 

“Bukan saya yang harusnya nolak, Audy! Tapi kamu!”

“Kalau bapak dari awal sudah menolak, keluarga saya gak akan nerima lamaran bapak.”

Pertemuan yang seharusnya membahas mengenai tugas skripsinya mendadak menjadi perdebatan yang penuh dengan emosi.

“Pak, saya ini masih muda ya. Saya gak mau mimpi saya hancur gara-gara perjodohan konyol ini!” ucap Audy dengan pelan, takut jika ada yang mendengar.

“Heh! Asal kamu tahu ya, kalau saya bisa milih, saya juga gak mau dijodohin sama orang kaya kamu!”

Ucapan Bian membuat dada Audy sesak, perasaan marah dan kecewa menjadi satu. Tanpa dia sadari, air matanya terjatuh. 

Ia mengingat kembali bagaimana perjuangannya mendirikan salon selama bertahun-tahun, bahkan tanpa uang ayahnya sedikitpun. Ia harus bekerja keras mengumpulkan uang sambil kuliah demi impiannya itu.

“Jadi bapak enak ya, bisa ngatain orang seenaknya. Tapi bapak juga harus tahu, pernikahan ini gak akan berhasil! Ini cuma akan jadi masalah!”

Mendengar ucapan Audy, Bian hanya tersenyum kecut lalu menjawab, “Kalaupun pernikahan ini akan jadi masalah, masalahnya cuma satu. Yaitu, kamu.”

Tangis Audy semakin pecah, ia tak pernah menduga bahwa Bian akan sejahat ini. Semua ucapannya justru meyakinkan Audy bahwa perjodohan ini memang tak seharusnya terjadi.

“Kamu bisa diem dulu gak?” ucap Bian.

Bian menghela napas panjang, ia juga muak dengan perdebatan ini. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tak ingin pernikahan mereka batal.

 Bian kemudian menyodorkan segelas air pada Audy, “Nih, duduk dulu.”

Audy mengikuti ucapan Bian, ia lalu duduk dan meminum air itu. Hal itu cukup membuat Audy berhenti menangis, meski dengan hati yang masih marah.

Kemarahannya bukan tanpa sebab, dipaksa menikah memang bukanlah hal yang mudah. Keinginannya yang belum tercapai, semua jerih payahnya selama ini, bahkan keraguannya pada komitmen membuat hatinya terluka.

“Udah?” tanya Bian yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Audy.

“Pernikahan ini gak bisa dibatalin, semuanya sudah di…”

Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, Audy kembali menyela, “Saya gak mau.”

“Kamu bisa dengerin saya dulu gak?” desis Bian. 

Audy tak merespon sedikit pun, ia mencoba membiarkan Bian berbicara.

“Orang tua kita udah ngatur ini semua, bahkan saya sendiri gak bisa nolak. Entah apa yang bikin kamu menolak saya sekeras ini, tapi saya pastikan kalau usaha kamu akan sia-sia.”

Audy terdiam, selama ini ia memang tak pernah bisa menolak perintah ayahnya. Bahkan bundanya tak pernah bisa membantu. Bian benar, semuanya akan sia-sia.

Mengingat dirinya yang tak pernah diberi pilihan, saat ini ia juga tak bisa memilih. Ia mungkin harus belajar menyesuaikan. 

Setelah beberapa menit, Audy kembali bersuara, “Kalau gitu, saya gak mau pernikahan ini diketahui orang.”

“Maksud kamu?” tanya Bian keheranan.

Audy membenarkan posisi duduknya, menyeka air matanya kemudian berkata dengan wajah yang serius. 

“Pernikahan ini harus digelar tertutup, gak boleh ada yang tahu soal hubungan kita. Saya gak mau orang-orang berpikir negatif ke saya karena saya menikah sama dosen pembimbing saya.”

“Kamu gak takut orang akan mengira kalau kamu hamil duluan, ya?”

“Saya gak peduli,” tegas Audy.

Jika pernikahan ini diketahui banyak orang, ia yakin orang akan mengira bahwa dia telah menggoda dosennya sendiri. Ia harus sebaik mungkin menutupi pernikahan ini.

“Oke, kalau itu mau kamu,” belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, Audy kembali menyela, 

“Satu lagi, setelah menikah saya gak mau terikat sedikitpun. Saya gak akan mencampuri urusan bapak, dan bapak gak boleh ikut campur urusan saya. Diluar urusan kuliah, kita gak ada hubungan.”

Bian kembali menghela napas panjang, belum menikah saja sudah banyak permintaan. Tapi lagi-lagi Bian menyanggupi, ia sudah mengira bahwa Audy pasti akan seperti ini.

“Saya setuju, lagipula saya tidak tertarik dengan urusan kamu.”

Audy tersenyum puas, meski ia tak bisa menolak tapi ia bisa mengatur bagaimana pernikahan ini akan berjalan. Tanpa komitmen dan tanpa perasaan. 

“Oke, saya permisi kalau begitu,” ucap Audy sambil berdiri.

Ia kemudian melenggang meninggalkan ruangan Bian. 

Sementara itu, di luar pintu seorang wanita buru-buru menyingkir. Setelah mendengar perdebatan di dalam, ia berniat mengetuk pintu, tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih pergi seolah tak terjadi apa-apa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status