Amira masih berada di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan mirip dengan dirinya secara normal. Dia baru sadarkan diri dan langsung mencari bayinya.
“Suster di mana bayiku?” tanya Amira.
“Ah, Anda sudah bangun, Nyonya.” Perawat mendekati Amira yang ditinggalkan sendiri di rumah sakit. Semua anggota keluarga suaminya sudah pulang dan tidak menunggu dirinya hingga siuman.
“Ya. Di mana suamiku juga?” Amira mulai merasakan dirinya tidak nyaman. Tidak biasanya Andika meninggalkan dia begitu saja.
“Kami benar-benar minta maaf, Nyonya.” Perawat memegang tangan Amira dengan lembut. Dia ingin memberikan kekuatan kepada wanita yang masih lemah karena baru saja melahirkan itu.
“Minta maaf untuk apa?” Amira memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia benar-benar sudah ketakutan.
“Anda kehilangan putra yang baru saja dilahirkan,” ucap perawat merapikan rambut Amira yang berantakan.
“Apa? Tidak!” Amira segera duduk.“Aku susah payah untuk bisa hamil untuk mendapatkan anak. Aku rela resign dari pekerjaaku. Tidak!” Amira menggelengkan kepalanya. Dia menangis histeris. Di saat sedang terpuruk tidak satu pun anggota keluarga yang memberikan kekuatan kepadanya. Dia benar-benar sendirian.
“Sus, di mana putraku?” tanya Amira sesegukan.“Bayi Anda sudah dibawa pulang oleh pihak keluarga,” jawab perawat.
“Apa? Kenapa mereka tidak menungguku bangun? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Amira memegang kuat tangan perawat.
“Sejak mengetahui bayi Anda meninggal. Semua anggota keluarga langsung pulang dengan membawa jenazah bayi,” jelas perawat merasa iba pada Amira.
“Apa mereka membawa pergi bayiku?” Amira histeris. Dia ingin segera turun dari tempat tidur dan pulang ke rumah.
“Tenangkan diri Anda.” Perawat menahan tubuh lemah Amira yang hampir saja jatuh ke lantai.
“Tidak. Aku mau bertemu dengan anakku. Aku belum melihatnya. Aku belum mencium dan memeluk putraku.” Amira menangis tersedu-sedu. Dia memeluk perawat yang masih setia menemaninya.
“Bayi Anda pasti sudah dimakamkan,” ucap perawat pelan. Dia mengusap punggung Amira.
“Anakku. Kenapa kamu meninggalkan Mama.” Amira terus menangis hingga tidak sadarkan diri. Dia kembali pingsan.
Tubuhnya benar-benar tidak berdaya. Hatinya terluka begitu dalam. Sedih yang menyayat jiwa. Kehilangan putra pertama yang baru saja dilahirkannya. Dia belum sempat bertemu dengan bayinya setelah dilahirkan.
“Bagaimana kondisi pasien?” Dokter yang membantu Amira melahirkan masuk ke dalam ruangan.
“Pasien sempat bangun dan pingsan kembali setelah mengetahui bayinya meninggal,” jawab perawat merapikan selimut untuk menutupi tubuh Amira.
“Dia harus segera keluar dari rumah sakit karena tidak ada lagi pihak keluarga yang mau menanggung biaya pengobatan dan penginapan. Mereka hanya melunasi hingga kelahiran bayi saja,” jelas Dokter Ibra memeriksa air infus Amira.
“Apa? Kasian sekali. Padahal masih muda dan cantik.” Perawat memperhatikan wajah cantik Amira yang masih terlelap.“Dia masih bisa bertahan di sini jika tidak ada pasien baru, tetapi tetap harus melunasi biaya yang tersisa,” ucap dokter Ibra Amira. Wanita itu benar-benar cantik dan seksi dengan usia yang memang masih muda.
“Jika pasien sudah bangun akan saya jelaskan, Dok.” Perawat benar-benar kasian pada Amira.
“Ya. Terima kasih. Kamu sangat baik dan peduli. Saya keluar dulu.” Dokter Ibra menyentuh dahi Amira.
“Terima kasih, Dok.” Perawat mengantarkan dokter Ibra ke depan pintu kamar. Wanita itu kembali mendekati Amira yang masih belum sadarkan diri.
“Kasian sekali. Apa dia tidak punya keluarga selain dari pihak suami?” tanya perawat pada dirinya sendiri.
“Bu, saya harus pergi ke ruangan lain. Semoga Anda segera pulih.” Perawat meninggalkan Amira sendirian di kamar.
Amira tidak akan mendapatkan pengobatan dan perawatan lagi karena pihak suami tidak mau menanggung biayanya. Dia hanya menumpang tidur di kamar pasien yang masih kosong. Wanita itu benar-benar sudah dibuang oleh suaminya.
“Anak Mama.” Amira membuka mata. Butiran bening mengalir membasahi bantal. Jari-jarinya meremas seprai.
“Kenapa kamu tinggalkan Mama, Nak.” Amira terus menangis. Air mata tidak ingin berhenti mengalir.“Ya Tuhan. Apa aku tidak pantas menjadi seorang ibu?” Amira menggigit bibirnya.
“Ah.” Amira melihat air infus yang hampir kering. Dia juga tidak mendapatkan makanan lagi dari pihak rumah sakit karena tidak terdaftar sebagai pasien.
“Aku lapar.” Amira duduk di tepi kasur. Dia meneguk air yang ada di dalam gelas tertutup.“Apa sudah malam lagi? Aku harus pulang.” Amira mencabut jarum infus dan turun dari tempat tidur. Dia kesulitan untuk berdiri karena tubuh dan kaki yang terasa lemas.
“Ya Tuhan.” Amira menyusuri dinding dan duduk di sofa. Dia melihat ada roti dan buah. Wanita itu benar-benar lapar hingga memakan habis buah dan roti.
“Di mana ponselku?” Amira mencari tas miliknya.
“Ah itu.” Amira tersenyum. Dia segera mengambil tas hitam yang ada di bawah meja sofa.
“Aku harus menghubungi Andika agar bisa menjemputku pulang.” Amira menghubungi nomor Andika, tetapi tidak ada jawaban sama sekali.
“Kemana Andika? Baru pukul sepuluh malam. Apa dia sudah tidur?” Amira melihat jam yang menempel di dinding.
“Bu.” Perawat yang sangat baik dan peduli pada Amira memastikan pasiennya baik-baik saja. Dia masih sempat mengunjungi Amira ketika akan pulang.
“Siapa nama kamu?” tanya Amira tersenyum pada perawat.
“Sinta, Bu,” jawab Sinta duduk di samping Amira.
“Apa kamu mau pulang?” Amira menatap Sinta dengan tatapannya yang kosong.
“Iya, Bu. Apa Ibu juga mau pulang?” tanya Sinta.
“Iya. Bagaimana dengan biaya rumah sakit?” Amira tampak bingung.
“Sebenarnya, Anda sudah harus keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Pihak keluarga sudah menghentikan pembayaran,” jelas Sinta dengan lembut.
“Apa?” Amira sangat terkejut. Dia tidak menyangka suami dan keluarga akan membuangnya dengan cara yang kejam.
“Itu artinya aku ada tunggakan biaya rumah sakit,” ucap Amira.
“Iya, Bu. Tetapi Dokter Ibra sudah membantu menjadi penjamin. Jadi, Anda bisa keluar rumah sakit dan melunasi di kemudian hari,” jelas Sinta.
“Hm.” Amira tertunduk. Wanita itu kembali menangis. Matanya sudah bengkak dengan wajah sembab.“Apa aku boleh pulang sekarang?” tanya Amira menatap pada Sinta.
“Apa Ibu sudah kuat?” Sinta memegang tangan Amira.
“Ya. Apa kita bisa keluar sama-sama?” Amira tersenyum. Wanita itu benar-benar berusaha untuk tegar.“Iya. Mari saya bantu, Bu.” Sinta memegang tangan Amira dengan tidak lupa membawa tas wanita itu. Mereka keluar bersama menuju pintu gerbang utama rumah sakit.
“Ibu pulang kemana?” tanya Sinta.
“Jalan Cedrawasih Elit,” jawab Amira.
“Syukurlah. Kita searah. Saya temani Ibu sampai rumah.” Sinta tersenyum.
“Terima kasih.” Amira pun senang karena masih ada orang baik yang mau membantunya.
Sinta memesan taksi online agar bisa membawa mereka berdua. Mobil hitam melaju dengan kecepatan standar mengantarkan penumpang pada tujuan.
“Kita sampai,” ucap sopir.
“Bang, tunggu sebentar boleh?” tanya Sinta yang sudah menjadi langganan sopir.
“Tentu saja, Neng.” Pak sopir tersenyum.
“Terima kasih, Bang. Aku antar Bu Amira sampai dalam dulu.” Sinta turun dari mobil bersama dengan Amira. Mereka menekan bel pintu pagar rumah Andika.
“Siapa malam-malam begini?” Pak satpam mengintip dari lubang kecil.
“Ibu Amira.” Pak Satpam terkejut. Dia segera membuka pintu.
“Ibu dari mana saja malam-malam begini?” tanya satpam memperhatikan Amira yang masih mengenakan baju pasien rumah sakit.“Bu Amira baru keluar dari rumah sakit. Dia ditinggalkan sendiri,” jawab Sinta.
“Apa?” Satpam saling pandang. Mereka baru ingat bahwa Amira melahirkan di rumah sakit dan bayinya meninggal. Mereka tidak tahu bahwa wanita itu masih tinggal di rumah sakit.
“Pak, ini bisa tolong bantu Ibu Amira masuk ke rumah dulu. Kasian dia masih lemah,” ucap Sinta.“Ah Iya. Ayo, Bu.” Satpam mengantarkan Amira ditemani Sinta hingga ke depan pintu utama.
“Pak Andika.” Pak satpam mengetuk pintu dan tidak ada jawaban.
“Permisi.” Pak satpam menghubungi bibi yang ada di dapur agar wanita itu membuka pintu yang sudah terkunci.“Ada apa?” tanya bibi membuka pintu.
“Ibu.” Bibi terkejut melihat Amira. Dia yang terus berada di rumah tahu benar bahwa Pak Andika sedang mempersiapkan berkas perceraian.
“Masuk, Bu.” Bibi tanpa sadar membawa Amira masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih.” Amira benar-benar lemah. Dia segera duduk di sofa.
“Bu, saya pamit pulang dulu,” ucap Sinta.“Terima kasih, Sin. Tolong berikan nomor ponsel kamu.” Amira menyerahkan ponselnya.
“Baik, Bu.” Sinta menuliskan nomor ponselnya.
“Terima kasih,” ucap Amira lembut.
“Sama-sama. Saya pamit. Semoga ibu cepat sembuh dan pulih.” Sinta tersenyum. Wanita itu segera berlari cepat menuju taksi yang dengan setia menunggunya. Meninggalkan Amira di rumah mewah yang tidak lagi menerimanya menjadi menantu karena telah gagal melahirkan seorang bayi.
Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira. “Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah. “Karena kamu sudah membuat
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la