Amira masih berada di atas ranjang pasien. Wanita itu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan mirip dengan dirinya secara normal. Dia baru sadarkan diri dan langsung mencari bayinya.
“Suster di mana bayiku?” tanya Amira.
“Ah, Anda sudah bangun, Nyonya.” Perawat mendekati Amira yang ditinggalkan sendiri di rumah sakit. Semua anggota keluarga suaminya sudah pulang dan tidak menunggu dirinya hingga siuman.
“Ya. Di mana suamiku juga?” Amira mulai merasakan dirinya tidak nyaman. Tidak biasanya Andika meninggalkan dia begitu saja.
“Kami benar-benar minta maaf, Nyonya.” Perawat memegang tangan Amira dengan lembut. Dia ingin memberikan kekuatan kepada wanita yang masih lemah karena baru saja melahirkan itu.
“Minta maaf untuk apa?” Amira memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dia benar-benar sudah ketakutan.
“Anda kehilangan putra yang baru saja dilahirkan,” ucap perawat merapikan rambut Amira yang berantakan.
“Apa? Tidak!” Amira segera duduk.“Aku susah payah untuk bisa hamil untuk mendapatkan anak. Aku rela resign dari pekerjaaku. Tidak!” Amira menggelengkan kepalanya. Dia menangis histeris. Di saat sedang terpuruk tidak satu pun anggota keluarga yang memberikan kekuatan kepadanya. Dia benar-benar sendirian.
“Sus, di mana putraku?” tanya Amira sesegukan.“Bayi Anda sudah dibawa pulang oleh pihak keluarga,” jawab perawat.
“Apa? Kenapa mereka tidak menungguku bangun? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Amira memegang kuat tangan perawat.
“Sejak mengetahui bayi Anda meninggal. Semua anggota keluarga langsung pulang dengan membawa jenazah bayi,” jelas perawat merasa iba pada Amira.
“Apa mereka membawa pergi bayiku?” Amira histeris. Dia ingin segera turun dari tempat tidur dan pulang ke rumah.
“Tenangkan diri Anda.” Perawat menahan tubuh lemah Amira yang hampir saja jatuh ke lantai.
“Tidak. Aku mau bertemu dengan anakku. Aku belum melihatnya. Aku belum mencium dan memeluk putraku.” Amira menangis tersedu-sedu. Dia memeluk perawat yang masih setia menemaninya.
“Bayi Anda pasti sudah dimakamkan,” ucap perawat pelan. Dia mengusap punggung Amira.
“Anakku. Kenapa kamu meninggalkan Mama.” Amira terus menangis hingga tidak sadarkan diri. Dia kembali pingsan.
Tubuhnya benar-benar tidak berdaya. Hatinya terluka begitu dalam. Sedih yang menyayat jiwa. Kehilangan putra pertama yang baru saja dilahirkannya. Dia belum sempat bertemu dengan bayinya setelah dilahirkan.
“Bagaimana kondisi pasien?” Dokter yang membantu Amira melahirkan masuk ke dalam ruangan.
“Pasien sempat bangun dan pingsan kembali setelah mengetahui bayinya meninggal,” jawab perawat merapikan selimut untuk menutupi tubuh Amira.
“Dia harus segera keluar dari rumah sakit karena tidak ada lagi pihak keluarga yang mau menanggung biaya pengobatan dan penginapan. Mereka hanya melunasi hingga kelahiran bayi saja,” jelas Dokter Ibra memeriksa air infus Amira.
“Apa? Kasian sekali. Padahal masih muda dan cantik.” Perawat memperhatikan wajah cantik Amira yang masih terlelap.“Dia masih bisa bertahan di sini jika tidak ada pasien baru, tetapi tetap harus melunasi biaya yang tersisa,” ucap dokter Ibra Amira. Wanita itu benar-benar cantik dan seksi dengan usia yang memang masih muda.
“Jika pasien sudah bangun akan saya jelaskan, Dok.” Perawat benar-benar kasian pada Amira.
“Ya. Terima kasih. Kamu sangat baik dan peduli. Saya keluar dulu.” Dokter Ibra menyentuh dahi Amira.
“Terima kasih, Dok.” Perawat mengantarkan dokter Ibra ke depan pintu kamar. Wanita itu kembali mendekati Amira yang masih belum sadarkan diri.
“Kasian sekali. Apa dia tidak punya keluarga selain dari pihak suami?” tanya perawat pada dirinya sendiri.
“Bu, saya harus pergi ke ruangan lain. Semoga Anda segera pulih.” Perawat meninggalkan Amira sendirian di kamar.
Amira tidak akan mendapatkan pengobatan dan perawatan lagi karena pihak suami tidak mau menanggung biayanya. Dia hanya menumpang tidur di kamar pasien yang masih kosong. Wanita itu benar-benar sudah dibuang oleh suaminya.
“Anak Mama.” Amira membuka mata. Butiran bening mengalir membasahi bantal. Jari-jarinya meremas seprai.
“Kenapa kamu tinggalkan Mama, Nak.” Amira terus menangis. Air mata tidak ingin berhenti mengalir.“Ya Tuhan. Apa aku tidak pantas menjadi seorang ibu?” Amira menggigit bibirnya.
“Ah.” Amira melihat air infus yang hampir kering. Dia juga tidak mendapatkan makanan lagi dari pihak rumah sakit karena tidak terdaftar sebagai pasien.
“Aku lapar.” Amira duduk di tepi kasur. Dia meneguk air yang ada di dalam gelas tertutup.“Apa sudah malam lagi? Aku harus pulang.” Amira mencabut jarum infus dan turun dari tempat tidur. Dia kesulitan untuk berdiri karena tubuh dan kaki yang terasa lemas.
“Ya Tuhan.” Amira menyusuri dinding dan duduk di sofa. Dia melihat ada roti dan buah. Wanita itu benar-benar lapar hingga memakan habis buah dan roti.
“Di mana ponselku?” Amira mencari tas miliknya.
“Ah itu.” Amira tersenyum. Dia segera mengambil tas hitam yang ada di bawah meja sofa.
“Aku harus menghubungi Andika agar bisa menjemputku pulang.” Amira menghubungi nomor Andika, tetapi tidak ada jawaban sama sekali.
“Kemana Andika? Baru pukul sepuluh malam. Apa dia sudah tidur?” Amira melihat jam yang menempel di dinding.
“Bu.” Perawat yang sangat baik dan peduli pada Amira memastikan pasiennya baik-baik saja. Dia masih sempat mengunjungi Amira ketika akan pulang.
“Siapa nama kamu?” tanya Amira tersenyum pada perawat.
“Sinta, Bu,” jawab Sinta duduk di samping Amira.
“Apa kamu mau pulang?” Amira menatap Sinta dengan tatapannya yang kosong.
“Iya, Bu. Apa Ibu juga mau pulang?” tanya Sinta.
“Iya. Bagaimana dengan biaya rumah sakit?” Amira tampak bingung.
“Sebenarnya, Anda sudah harus keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Pihak keluarga sudah menghentikan pembayaran,” jelas Sinta dengan lembut.
“Apa?” Amira sangat terkejut. Dia tidak menyangka suami dan keluarga akan membuangnya dengan cara yang kejam.
“Itu artinya aku ada tunggakan biaya rumah sakit,” ucap Amira.
“Iya, Bu. Tetapi Dokter Ibra sudah membantu menjadi penjamin. Jadi, Anda bisa keluar rumah sakit dan melunasi di kemudian hari,” jelas Sinta.
“Hm.” Amira tertunduk. Wanita itu kembali menangis. Matanya sudah bengkak dengan wajah sembab.“Apa aku boleh pulang sekarang?” tanya Amira menatap pada Sinta.
“Apa Ibu sudah kuat?” Sinta memegang tangan Amira.
“Ya. Apa kita bisa keluar sama-sama?” Amira tersenyum. Wanita itu benar-benar berusaha untuk tegar.“Iya. Mari saya bantu, Bu.” Sinta memegang tangan Amira dengan tidak lupa membawa tas wanita itu. Mereka keluar bersama menuju pintu gerbang utama rumah sakit.
“Ibu pulang kemana?” tanya Sinta.
“Jalan Cedrawasih Elit,” jawab Amira.
“Syukurlah. Kita searah. Saya temani Ibu sampai rumah.” Sinta tersenyum.
“Terima kasih.” Amira pun senang karena masih ada orang baik yang mau membantunya.
Sinta memesan taksi online agar bisa membawa mereka berdua. Mobil hitam melaju dengan kecepatan standar mengantarkan penumpang pada tujuan.
“Kita sampai,” ucap sopir.
“Bang, tunggu sebentar boleh?” tanya Sinta yang sudah menjadi langganan sopir.
“Tentu saja, Neng.” Pak sopir tersenyum.
“Terima kasih, Bang. Aku antar Bu Amira sampai dalam dulu.” Sinta turun dari mobil bersama dengan Amira. Mereka menekan bel pintu pagar rumah Andika.
“Siapa malam-malam begini?” Pak satpam mengintip dari lubang kecil.
“Ibu Amira.” Pak Satpam terkejut. Dia segera membuka pintu.
“Ibu dari mana saja malam-malam begini?” tanya satpam memperhatikan Amira yang masih mengenakan baju pasien rumah sakit.“Bu Amira baru keluar dari rumah sakit. Dia ditinggalkan sendiri,” jawab Sinta.
“Apa?” Satpam saling pandang. Mereka baru ingat bahwa Amira melahirkan di rumah sakit dan bayinya meninggal. Mereka tidak tahu bahwa wanita itu masih tinggal di rumah sakit.
“Pak, ini bisa tolong bantu Ibu Amira masuk ke rumah dulu. Kasian dia masih lemah,” ucap Sinta.“Ah Iya. Ayo, Bu.” Satpam mengantarkan Amira ditemani Sinta hingga ke depan pintu utama.
“Pak Andika.” Pak satpam mengetuk pintu dan tidak ada jawaban.
“Permisi.” Pak satpam menghubungi bibi yang ada di dapur agar wanita itu membuka pintu yang sudah terkunci.“Ada apa?” tanya bibi membuka pintu.
“Ibu.” Bibi terkejut melihat Amira. Dia yang terus berada di rumah tahu benar bahwa Pak Andika sedang mempersiapkan berkas perceraian.
“Masuk, Bu.” Bibi tanpa sadar membawa Amira masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih.” Amira benar-benar lemah. Dia segera duduk di sofa.
“Bu, saya pamit pulang dulu,” ucap Sinta.“Terima kasih, Sin. Tolong berikan nomor ponsel kamu.” Amira menyerahkan ponselnya.
“Baik, Bu.” Sinta menuliskan nomor ponselnya.
“Terima kasih,” ucap Amira lembut.
“Sama-sama. Saya pamit. Semoga ibu cepat sembuh dan pulih.” Sinta tersenyum. Wanita itu segera berlari cepat menuju taksi yang dengan setia menunggunya. Meninggalkan Amira di rumah mewah yang tidak lagi menerimanya menjadi menantu karena telah gagal melahirkan seorang bayi.
Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira. “Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah. “Karena kamu sudah membuat
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Dena telah mempersiapkan makan malam untuk Andika. Wanita itu masih berharap dinikahi Andika, tetapi belum juga ada kepastian.“Kenapa Pak Andika masih belum menikahiku?” tanya Dena pada diri sendiri. Dia berdiri di depan cermin melihat tubuhnya yang seksi.“Tubuhku jauh lebih seksi dari pada wanita tadi yang kurus krempeng.” Dena tersenyum menganggumi tubuh sendiri.“Tidak mungkin Pak Andika tergoda dengan sekretarisnya. Tubuhku lebih mirip dengan ibu Amira. Montok dan padat berisi.” Dena berputar di depan cermin.“Aku mendapatkan gaji yang cukup tinggi selama di rumah ini. Tidak masalah hanya menjadi teman tidur Pak Andika. Aku tidak rugi juga. Dia tampandan kaya.” Dena benar-benar menikmati hidup sebagai simpanan Andika.“Kenapa Pak Andika belum juga pulang?” Dena melihat ke luar jendela dan belum ada mobil Andika.“Apa Pak Andika membohongiku.” Dena menerima pesan dari nomor ponsel Andika.“Pak Andika.” Dena sangat senang dan segera membuka pesan.“Apa?” Dena terkejut karena pesa
Amira duduk santai memperhatikan dua putranya yang sedang belajar banyak hal di taman. Wijaya memanggil pengajar dalam segala bidang untuk melihat minat dan bakat dua anaknya agar bisa diarahkan.“Nyonya, apa Anda butuh sesuatu?” tanya bibi.“Ya. Aku mau jus Alpukat,” jawab Amira.“Apa?” Bibi terkejut karena Amira sudah minum tiga gelas besar jus buah bergantian.“Nyonya, apa perut Anda tidak apa-apa?” Bibi memperhatikan Amira.“Kenapa dengan perutku?” Amira mengusap perutnya yang rata.“Aku tidak sedang sakit atau pun gembung.” Amira tersenyum dan menatap bibi.“Anda minum jus buah dan makan banyak buah.” Bibi melihat piring buah yang telah kosong.“Akhir-akhir ini aku suka sekali buah-buahan dan daging. Ah ya. Menu makan malam harus sea food.” Amira tersenyum lebar.“Aku sudah mencatatnya.” Amira memberikan selembar kertas kepada bibi.“Ini makanan yang mau aku makan,” ucap Amira.“Baik, Nyonya.” Bibi membaca kertas dengan tulisan tangan yang sangat rapi.“Ini masakan restaurant. Ti
Amira masih berada di atas kasur dalam pelukan Wijaya. Wanita itu sangat lelah setelah bercinta cukup panjang dan penuh gairah bersama sang suami.“Pukul berapa sekarang?” tanya Amira membuka mata dan melihat ruang kamar yang masih gelap karena semua gorden tertutup rapat.“Tidak usah tanyakan waktu. Tidurlah. Tidak ada yang melarang atau menganggu kamu,” bisik Wijaya memeluk erat tubuh Amira.“Sayang, anak-anak pasti sudah bangun,” ucap Amira mendongak.“Istriku tercinta. Apa kamu lupa? Devano dan Keano harus mulai mandiri. Mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin Perusahaan. Kamu harus mulai belajar melepaskan mereka,” jelas Wijaya.“Apa?” Amira terkejut dengan ucapan Wijaya.“Kita tidak boleh memanjakan mereka lagi. Seseorang yang sukses harus dimulai dengan hidup disiplin dan mandiri. Ingat, kamu sedang program hamil. Kita akan memiliki sepasang bayi kembar.” Wijaya tersenyum.“Sayang, anak-anak masih kecil. Mereka termasuk bayi.” Amira menatap Wijaya.“Susah di waktu keci
Andika mencoba menghubungi orang tua Cantika, tetapi gagal. Pria itu ingin menanyakan kabar istrinya.“Kenapa nomor mereka tidak aktif? Aku pergi ke rumah pun kosong.” Andika tampak gelisah. Dia berada di kantor dan akan mengadakan rapat rutin akhir tahun. Pria itu butuh istrinya untuk memberikan tanda tangan dan cap jari.“Kemana mereka pergi? Apa keluar negeri?” Pria itu hanya bisa bertanya kepada diri sendiri. Dia benar-benar kehilangan Cantika dan keluarga.“Bagaimana mereka bisa menghilang dan tidak bisa aku temukan? Siapa yang melindungi?” Andika duduk di sofa. Pria itu tampak melamun dan berpikir keras.“Padahal dunia ini terasa tenang,” ucap Andika.“Permisi, Pak. Semua orang sudah menunggu di ruang rapat.” Sekretaris Andika mengetuk pintu yang terbuka.“Aku akan segera datang. Apa semua berkas sudah siap?” tanya Andika beranjak dari sofa. Dia merapikan diri.“Sudah, Pak. Tanda tangan Ibu Cantika pun telah diselesaikan,” jawab sekretaris.“Benarkah?” Andika menatap pada sekrert
Warning 21+Wijaya menggendong Amira ke kamar mereka. Para pelayan segera merapikan dan membersihkan taman dengan cepat. Bibi memiliki tugas menjaga dua bayi yang sudah tidur.“Apa malam ini kita bisa bercinta?” tanya Wijaya.“Tentu saja.” Amira tersenyum. Dia melingkarkan tangan di leher Wijaya dengan tatapan yang menggoda.“Jangan berteriak.” Wijaya melepaskan Amira di kasur. Dia mulai menyerang leher istrinya yang putih. “Hahaha.” Amira tertawa geli. Wanita itu benar-benar menjadi manja dan menikmati setiap sentuhan Wijaya.“Aaahhh!” Jari-jari Amira mengacak rambut Wijaya. Ciuman kuat dan gigitan pria itu membuat sang istri berteriak menahan hasrat yang terus bangkit. Leher dan lengan yang putih telah menjadi merah.“Hhhhhh!” Wijaya benar-benar sangat liar. Dia menjelajahi tubuh istrinya dengan lidahnya yang hangat. Menghisap putting susu yang masih memiliki asi walaupun tidak banyak lagi. Ada sisa-sisa dari dua putranya yang sudah minum susu formula sehingga cairan putih itu mulai
Wijaya melihat jam yang telah menunjukkan pukul enam sore. Pria itu segera beranjak dari kursi dan mengambil jas. “Kita pulang sekarang,” ucap Wijaya.“Baik, Pak.” Jack mengambil berkas yang tersisa dan memasukan ke dalam tas. Pria itu dengan cepat menyusul Wijaya yang sudah lebih dulu keluar dari ruang kerja.Wijaya meninggalkan kantor yang sudah sepi karena para pegawa telah pulang di pukul empat. Pria itu benar-benar lembur untuk menyelesaikan banyak berkas yang harus di tanda tangan segera.“Kita sampai, Pak. Saya akan membawa berkas ke ruang kerja Anda,” ucap Jack.“Ya.” Wijaya keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pria itu dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya. Dia harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Bersiap untuk makan malam berdua dengan sang istri.“Sayang.” Amira tersenyum. “Sayang.” Wijaya tidak menyangka sang istri telah menunggu di kamar mereka.“Aku pikir kamu di kamar anak-anak.” Wijaya segera mencium bibir istrinya. Dia sangat merindukan Amira ka
Wijaya tidak pernah datang ke Perusahaan orang lain, tetapi mereka yang membutuhkan pria itulah yang akan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan.“Pak, ada Pak Radit di ruang tunggu.” Jack melaporkan. Pria itu menggantikan posisi Dody dan Amira karena Wijaya tidak mudah mempercayai orang lain untuk menjadi sekretaris pribadinya. Dia bisa menilai seseorang dengan satu kali tatap. Itu juga yang membuat jatuh cinta kepada istrinya. “Aku akan menemuinya,” ucap Wijaya yang sedang bermain-main dengan kehidupan orang lain. Dia mengganti cara kejamnya untuk balas dendam. Tidak lagi menyiksa secara langsung karena dirinya telah bahagia bersama sang istri dan anak-anak. “Baik, Pak.” Jack mengikuti Wijaya keluar dari ruang kerja untuk menemui Radit.“Pak Wijaya.” Radit yang sedang duduk segera berdiri ketika melihat Wijaya masuk. “Duduklah,” ucap Wijaya yang juga menghempaskan tubuhnya di sofa.“Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum.Wijaya memang masih muda, tetapi harta dan tahta yang dimi
Wijaya merasa rumahnya begitu sepi. Sang istri hampir tidak pernah lagi menghampirinya. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. “Ada apa, Bos?” tanya Jack bingung dengan Wijaya yang menghentikan langkah kaki di ruang tengah.“Aku merasa ada yang hilang,” jawab Wijaya menatap pada Jack. “Apa?” Jack mengerutkan dahinya.“Aku merasa istriku tidak pernah lagi menghampiri dan mengganggu diriku di ruang kerja. Dia tidak mendatangiku di jam-jam tertentu.” Wijaya menghela napasnya dengan berat.“Apa cinta dia sudah berkurang?” tanya Wijaya.“Maaf, Bos. Nyonya punya dua putra. Jadi, dia pasti sangat sibuk.” Jack tersenyum.“Hah! Dua anak itu telah merebut istriku.” Wijaya menggelengkan kepalanya.“Bukankah Anda masih mau menambah anak?” Jack menahan senyum. “Aarggh! Ini benar-benar mengacaukan. Aku mau punya anak bersama Amira. Tidak bisa ditunda lagi. Aku rela harus mengalah.” Wijaya berjalan cepat pergi ke kamar anaknya.“Bos. Kita mau ke kantor.” Jack tertawa melihat Wijaya menjadi bingung ka
Cantika telah berada di rumah baru mereka. Wanita itu menangis karena menjadi lumpuh.“Cantika, kenapa kamu bisa begini?” Ranika memeluk putrinya yang hanya bisa meneteskan air matannya. “Pa, kita harus membawa Cantika berobat ke luar negeri.” Ranita menghapus air mata Cantika. Sang ibu pun ikut menangis. Dia tidak sanggup melihat kondisi putrinya.“Kita tidak bisa melakukan apa pun tanpa izin Wijaya. Ini pun kita tahu dari dia,” ucap Raditya.“Benar. Kita harus meminta bantuan Wijaya. Aku rela melakukan apa pun agar Cantika bisa sembuh. Wijaya memiliki banyak dokter hebat. Baik di dalam maupun luar negeri.” Ranika memegang tangan suaminya.“Aku akan mencoba menghubungi Wijaya.” Raditya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia terhubung langsung dengan Jack.“Selamat pagi.” Jack menerima panggilan dengan ramah.“Halo, Pak. Apa saya bisa bicara dengan Pak Wijaya,” ucap Raditya.“Anda bisa langsung mengatakan kepada saya,” tegas Jack.“Apa Pak Wijaya bisa membantu pengobatan Cantika