Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.
Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.
“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.
“Sudah, Ma,” jawab Andika.
“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.
“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.
“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.
“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.
“Menantu sialan itu kembali ke rumah ini. Kenapa dia tidak menjadi gembel saja di jalanan saja,” ucap Marni.
“Apa? Kenapa kamu sangat jahat? Dia itu baru saja selesai melahirkan,” ucap Handoko.
“Biarkan dia pulih terlebih dulu,” lanjut pria itu.
“Tidak. Hari ini, Amira harus keluar dari rumah dan Andika segera mencari istri baru. Aku akan memilih wanita dari kalangan atas. Anak pengusaha atau pembisnis,” tegas Marni.
“Itu bisa mengembangkan bisnis keluarga kita juga. Cari calon keluarga dari lingkungan yang sama bukan seperti Amira yang yatim piatu dan tidak jelas asalnya,” lanjut Marni.
“Papa benar, Ma. Tunggu Amira pulih saja. Kasian dia masih lemah,” ucap Andika.
“Tidak usah kasian. Itu akan membuat dia melunjak. Ingat! Marni itu lemah dan penyakitan. Tidak subur. Kamu ceraikan dia dan akan dengan mudah mendapatkan istri yang lebih cantik serta sehat sehingga bisa dengan cepat memberikan kami cucu,” jelas Marni dengan nada tinggi dan menatap tajam pada putra sematawayangnya.
“Dari awal Mama sudah tidak setuju kamu menikah dengannya. Lihat buktinya, wanita itu benar-benar pembawa sial.” Marni beranjak dari kursi.
“Pasti sekarang dia lagi enak-enakan tidur di kamar tamu.” Marni berjalan menuju kamar tamu di maan Amira sedang tidur.
“Hey, wanita sialan bangun!” Marni membuka dan membanting pintu dengan kasar. Dia melihat Amira yang masih meringkuk di balik selimut tebal. Wanita itu demam.
“Hm.” Amira kesulitan membuka matanya yang bengkak karena terlalu lama menangis. Seluruh tubuhnya sakit.
“Ma.” Amira memegang kepala yang pusing. Dia benar-benar lemah. Perut kosong sehingga rasa lapar semakin membuatnya tidak bertenaga.
“Keluar dari rumah ini segera!” Marni menarik selimut yang menutupi tubuh Amira.
“Dingin, Ma.” Amira memeluk tubuhnya.
“Tidak usah pura-pura. Lebih baik kamu cepat keluar dari rumah ini agar perceraian kalian juga segera diputuskan.” Marni mencengkram tangan Amira dan menarik wanita itu turun dari kasur.
“Aarrhh!” Amira terjatuh di lantai.
“Dasar perempuan lemah,” bentak Marni.
“Ma.” Handoko dan Andika berdiri di pintu. Mereka melihat Amira yang terbaring di lantai dengan wajah pucat dan mata bengkak.
“Cepat, Dika. Usir wanita sialan ini dari rumah. Mama tidak mau melihatnya lagi.” Marni menyeret tubuh Amira keluar dari kamar.
“Cukup, Marni.” Handoko memegang tangan Marni agar tidak menyiksa menantunya yang lemah itu.
“Kenapa? Apa kamu mau membela wanita ini? Jangan-jangan kamu menyukainya.” Marni menatap tajam pada Handoko.
“Apa?” Handoko terkejut dengan tuduhan istrinya.
“Jika tidak. Jangan pernah untuk ikut campur apalagi membelanya!” Marni terus menarik tangan Amira keluar dari kamar.
“Ma, sakit.” Amira hanya bisa pasrah. Dia benar-benar sangat lemah dan tidak berdaya.
“Ma, tolong lepaskan.” Amira merintih. Marni semakin menggila. Dia menjambak rambut panjang menantunya.
“Ma. Kasian Amira.” Andika tidak tega melihat Amira yang kesakitan.
“Jika tidak mau melihat Mama menyakitinya. Cepat bawa wanita ini pergi dan buang di jalanan. Setelah itu kita langsung pergi ke pengadilan agama.” Marni mendorong tubuh Amira ke lantai.
“Hiks hiks.” Amira hanya bisa menangis sesegukan. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan.
“Ayo, Pa.” Marni menarik tangan Handoko pergi meninggalkan Amira dan Andika.
“Pak, Ibu pasti lapar,” ucap bibi membawa sepiring nasi untuk Amira. Wanita itu takut-takut untuk memberikan makanan kepada istri Andika.
“Ayo, Amira. Kita keluar dulu. Kamu bisa makan.” Andika mengangkat tubuh Amira dari lantai. Wanita itu hanya menurut dan mengikuti suaminya keluar dari rumah.
“Bibi temani Amira. Aku akan mengambil koper.” Andika masuk ke rumah. Amira duduk di kursi taman dekat dari mobil suaminya.
“Ayo makan, Bu. Biar punya tenaga. Ibu harus sehat dan kuat. Lalu bangkit lagi.” Bibi menyuapi nasi ke mulut Amira yang hanya melamun dengan mata terus basah.
“Mm.” Amira mengunyah nasi dengan terpaksa. Dirinya memang harus bangkit dan berjuang dari awal seperti dulu. Hidup sendiri di perantauan dengan keberanian dan nekat untuk bisa sukses di kota.
“Amira, kamu akan pergi kemana?” tanya Andika pada Amira yang hanya diam. Wanita itu mengunyak nasi yang terasa hambar dengan lauk air matanya.“Amira, aku akan mengantarkan kamu sebelum mama datang.” Andika menatap Amira.
“Kemana aku akan pergi? Aku tidak punya rumah dan tidak memiliki keluarga kecuali kamu,” ucap Amira menatap kosong pada Andika. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah suami yang akan menceraikan dirinya dan mengusir dari rumah. Matanya tertutup kabut air mata.
“Ke kosan dekat Perusahaan ujung saja, Pak. Di sana murah. Ada bangunan baru yang sedang dipromosikan,” ucap bibi yang sangat peduli dengan Amira. Dia benar-benar kasian pada wanita itu.
“Andai Bibi punya rumah,” gumam bibi pelan.
“Aku antar kamu ke sana saja.” Andika memasukan koper ke dalam mobil. Dia dan bibi membantu Amira.
“Ibu harus sehat ya. Bibi tidak akan pernah melupakan Ibu,” bisik bibi. Wanita itu masih sempat menyelipkan uang di tas Amira.
“Terima kasih, Bi.” Amira terus menangis. Dia memeluk erat tubuh bibi hingga sesegukan.
“Hati-hati, Bu.” Bibi melepaskan pelukan. Dia melambaikan tangan pada Amira yang duduk di kursi barisan kedua.
“Amira, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa memilih antara kamu dan mama,” jelas Andika melihat Amira dari cermin dasbor.
“Aku akan tetap mengirimkan uang ke rekening pribadi kamu,” ucap Andika dan Amira hanya bisa diam.
“Kamu tahukan. Semua bisnis yang aku jalani sekarang ini adalah warisan dari keluarga mama. Papa saja tidak berani membantah,” lanjut Andika.
“Aku masih cinta dan sayang kamu, Amira. Hanya saja kita tidak bisa bersama lagi. Aku harus menikah dengan wanita pilihan mama agar cepat mendapatkan keturunan dengan mudah dan tidak perlu program seperti dengan kamu.” Andika terus bicara. Dia tidak sadar telah melukai hari wanita yang dicintainya.
“Cukup, Dika. Kamu tidak perlu bicara lagi. Kita memang sudah selesai,” tegas Amira menghapus air matanya.
“Terima kasih untuk kebersamaan kita yang manis dan berakhir dengan rasa pahit yang pekat,” ucap Amira menatap tajam pada Andika.
“Hm.” Andika hanya diam. Dia tidak bisa berkomentar lagi.
Pernikahan mereka benar-benar hanya sebentar. Kebahagiaan itu hanya selama pacaran saja. Ketika pernikahan terjadi begitu banyak tekanan dari keluarga Andika. Amira yang harus berhenti bekerja dan melakukan program kehamilan dengan segera karena dia yang tidak langsung hamil setelah satu bulan pernikahan. Dianggap lemah dan penyakitan.
“Kita sampai.” Andika turun dari mobil dan mengeluarkan koper milik Amira.
“Aku akan menanyakan kosan kosong untuk kamu. Tempat ini masih dibuka untuk umum.” Andika menemui bagian administrasi. Dia berbicara sebentar dan setuju untuk mengambil satu unit rumah petak.
“Aku sudah membayar untuk satu bulan ke depan,” ucap Andika memberikan kartu rumah kepada Amira.
“Terima kasih.” Amira mengambil kartu tanpa melihat wajah Andika. Dia berlalu begitu saja dengan menarik kopernya. Mengikuti petugas yang mengantarkannya ke rumah kosan yang sempit.
Amira masuk ke dalam rumah. Dia menutup dan mengunci pintu. Menghempaskan tubuh di atas kasur. Menangis dalam diam. Hatinya sakit. Jiwanya hancur. Rasa cinta dan kasih sayang diantar dirinya dan Andika telah sirna. Luka yang begitu dalam ditorehkan.
“Aku adalah wanita mandiri. Aku bisa bangkit sendiri.” Amira meremas ujung bantal.
“Aku harus memulihkan diri dan sembuh. Aku akan melamar pekerjaan di sini.” Amira duduk. Dia melihat berkas yang diberikan pihak perumahan. Di sana tertulis lowongan pekerjaan untuk sekretaris pribadi dari Wijaya Kusuma. Pemilik Perusahaan yang baru saja dibangun di Kawasan perumahan elit dan sederhana.“Aku tidak akan percaya lagi pada cinta laki-laki. Semuanya bohong. Tidak ada cinta sejati yang setia sampai mati.” Amira menatap kertas di tangannya.
“Aku masih punya sedikit Tabungan sisa program kehamilan. Ini cukup untuk dua bulan ke depan setelah masa nifas sebelum aku mendapatkan pekerjaan.” Amira beranjak dari kasur. Dia membuka dan membongkar isi koper.
“Syukurlah. Andika memasukan semua berkas penting milikku.” Amira tersenyum melihat sertifika dan ijazah miliknya. Dia juga punya surat pengalaman kerja dan menjadi karyawati terbaik.
Ada banyak perusahaan yang mau menerima wanita cantik dan seksi serta memiliki kemampuan. Cerdas dan menarik. Itu dambaan semua orang. Amira memiliki segalanya. Sempurna secara fisik dan bertalenta.
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak