Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.
“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.
“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.
“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.
“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.
“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.
Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat ruangan yang sangat rapi, bersih dan juga lucu karena didesain untuk bayi.
“Silakan, Pak.” Suster tersenyum.
“Anda bisa pergi,” ucap Wijaya melihat pada suster yang masih menunggu di dalam ruangan.
“Ah, iya.” Suster sedikit gugup karena mendapatkan nada tinggi dari Wijaya.
“Permisi.” Wanita itu keluar dari ruangan.
Sinta yang bertugas mengantarkan bayi ke ruangan. Dia menggendong putra dari Wijaya Kusuma dengan terus berbicara dengan bayi yang baru lahir itu.
“Kamu mirip sekali dengan anak Ibu Amira yang meninggal kemarin. Kasian,” ucap Sinta membaringkan bayi Wijaya Kusuma ke dalam ranjang bayi yang tergantung dengan indah.
“Apa kabar ibu Amira? Dia mempunya air asi yang penuh. Pasti cukup untuk membuat kenyang dua bayi sekaligus.” Sinta menyentuh pipi bayi milik Wijaya. Wanita itu tidak tahu bahwa seorang memperhatikannya dari sofa yang ada di sudut ruangan.
“Nama Keano Wijaya Kusuma.” Sinta menempelkan nama Wijaya di ranjang.
“Nama yang bagus. Bayi tampan,” ucap Sinta menutup kelambu bayi.
“Aku akan menghubungi ibu Amira untuk menanyakan kabarnya. Dia pasti sangat terpukul karena kehilangan bayi yang baru dilahirkan dan bahkan tidak sempat bertemu. Mimpi indah.” Sinta duduk di sofa karena dia harus menjaga bayi hingga keluarga datang.
“Apa kamu sudah selesai?” tanya Wijaya bediri di depan Sinta.
“Ya Tuhan.” Sinta terkejut hingga langsung berdiri.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu Anda sudah ada di ruangan ini. Saya akan keluar.” Sinta menunduk.
“Permisi.” Sinta segera keluar dari ruangan bayi dengan cepat. Dia tahu benar bahwa Wijaya tidka terlalu suka berada satu ruangan dengan orang asing.
“Amira. Kasian sekali,” ucap Wijaya Kusuma mendekati putranya. Pria itu tersenyum karena wajah bayi yang baru lahir sangat mirip dengannya. Dia tidak perlu tes DNA atau pun ap aitu.
“Anak kesayangan Papa.” Wijaya Kusuma tersenyum. Dia masih menunggu istri yang akan bergabung dengan mereka di ruangan khusus itu.
Perawat mengetuk pintu dan itu tidak lain adalah Sinta. Dia bersama dengan rekannya mengantarkan Luna ke ruangan dengan mendorong tempat tidur pasien.
“Permisi, Pak. Kami mengantarkan istri Anda.” Sinta memasangkan air infus di tiang.
“Bagaimana kabar kamu, Luna?” tanya Wijaya Kusuma melihat pada Luna.
“Menyakitkan,” jawab Luna kesal dan membuang wajahnya. Dia tidak mau melihat Wijaya yang sudah memaksanya untuk hamil dan melahirkan sehingga dia harus vakum dari dunia modelling dan aktris.
“Mm.” Wijaya Kusuma tersenyum tipis. Dia tetap senang karena Luna sudah mau menuruti perintahnya untuk hamis dan melahirkan anak mereka.
“Nyonya, Anda harus tenang agar cepat pulih. Apa air susu Anda sudah mengalir?” tanya Sinta.
“Nanti saja. Aku mau tidur. Tubuhku lelah,” tegas Luna menutup matanya.
“Baiklah.” Sinta menutupi tubuh Luna dengan selimut.
“Pak, Anda dan istri bisa memberikan asi kepada bayi secepatnya ketika bayi sudah lapar,” ucap Sinta.
“Mm.” Wijaya Kusuma mengangguk. Dia hanya melihat pada bayi yang tampan.
“Kami permisi. Dokter akan menjelaskan lebih lanjut.” Sinta dan rekannya keluar dari ruangan. Dia melihat sekilas pada Luna yang tidak terlalu antusias pada kelahiran bayi pertama mereka. Wanita itu pun belum mennggendong bayinya sama sekali.
“Setidaknya, kami sudah punya satu bayi.” Wijaya melihat pada Luna yang sudah tidur. Pria itu pun duduk di sofa dan mulai bekerja. Di saat yang sangat sibuk pun dia masih menyempatkan diri untuk menemani Luna melahirkan putra pertama mereka.
“Aku tahu kamu terpaksa.” Wijaya memangku computer dan memeriska laporan dari asistennya akan akan segera mengambil cuti liburan sehingga pria itu butuh sekretaris pribadi yang akan mengurus semua kebutuhan dan keperluannya. Dia benar-benar tidak bisa sendiri.
Luna yang seorang model tidak pernah mengurus Wijaya. Mereka hanya bertemu di atas kasur dan ruang makan saja. Itu pun tidak rutin karena sangat sibuk. Dua orang itu benar-benar bersama selama sang istri hamil besar dan mendekati waktu melahirkan. Tidak sampai lima bulan.
“Permisi.” Perawat datang menemui Wijaya Kusuma.
“Maaf, Tuan. Anda mau bicara dengan Anda,” ucap perawat.
“Saya akan ke ruangannya.” Wijaya Kusuma beranjak dari sofa. Dia merapikan computer lipat dan menyimpan ke dalam tas.
“Mari saya antar.” Perawat memberi jalan untuk Wijaya.
Pria itu berjalan dengan tegak dan angkuh. Dia tidak menundukan kepalanya. Masuk ke ruangan dokter yang tidak jauh dari kamar bayi dan istrinya.
“Silakan, Pak.” Perawat membuka pintu untuk Wijaya.
“Kamu datang. Padahal aku bisa menemui kamu. Silakan duduk.” Dokter beranjak dari kursi kerja dan berpindah ke sofa.
“Itu karena kita teman. Aku juga tidak mau mengganggu istirahat Luna dan putraku,” ucap Wijaya Kusuma duduk di sofa.
“Terima kasih. Aku sangat bangga memiliki teman hebat dan terkenal seperti kamu. Sangat membanggakan.” Dokter mengambil berkas dan memberikan kepada Wijaya Kusuma.
“Ini adalah kondisi istri kamu. Dia sepertinya stress sejak hamil sehingga air susu belum juga mengalir. Untung saja bayi kalian lahir dengan selamat dan sehat. Sangat berbeda dengan pasienku kemarin,” jelas dokter Ibra.
“Aku memang memaksa dia untuk hamil dan melahirkan,” ucap Wijaya Kusuma.“Ada apa dengan pasien kemarin?” Wijaya Kusuma menaikan alisnya bingung.
“Seorang pasien bernama Amira. Dia berusaha keras untuk bisa hamil dan melahirkan. Cintanya bergitu besar pada putranya sejak dari kandungan. Apa kamu tahu efek dari kasih sayang itu? Air susu sangat penuh bahkan dari usia kandungan yang baru enam bulan,” jelas Dokter Ibra tersenyum.
“Tapi, Sayang. Anaknya meninggal karena desakan keluarga yang memintanya melahirkan secara normal. Padahal tubuh pasien sangat lemah,” jelas dokter Ibra.
“Kenapa mereka sangat kejam? Bagamana dengan suaminya?” tanya Wijaya yang tiba-tiba tertarik lebih jauh untuk mengetahui tentang Amira. Padahal dia termasuk pria yang tidak peduli pada orang lain.“Suaminya anak mama yang patuh pada orang tua sehingga tidak peduli pada istrinya. Padahal aku lihat ada cinta untuk Amira,” jawab Ibra.
“Hm.” Wijaya Kusuma melihat berkas Luna.
“Aku kasian pada wanita itu sehingga tanpa sadar menjadi penjamin utangnya. Hahaha.” Dokter Ibra tertawa.
“Apa mereka meninggalkan utang biaya rumah sakit?” tanya Wijaya Kusuma.
“Ya. Mereka memutuskan biaya setelah tahu anak yang dilahirkan Amira meninggal dunia. Meninggalkan pasien yang bahkan belum sadarkan diri,” jawab Ibra.
“Masukan saja tagihannya dengan Luna,” ucap Wijaya Kusuma.
“Ini cukup mahal.” Ibra tersenyum.
“Apa aku kekurangan uang?” tanya Wijaya Kusuma.
“Tentu saja tidak, Teman. Hanya saja dia bukan siapa-siapa kamu,” jawab dokter Ibra tersenyum.
“Santunan kepada seorang ibu yang baru kehilangan anaknya. Dia juga sudah dibuang oleh keluarga suami. Aku yakin wanita itu akan diceraikan,” ucap Wijaya Kusuma.
“Kamu benar. Wanita itu rencananya akan diceraikan. Itu yang diketahui oleh Sinta. Mereka benar-benar tidak menginginkan Amira karena dianggap pembawa sial dan merugikan,” jelas dokter Ibra. “Bagaimana dengan Luna?” tanya Wijaya Kusuma.“Semoga Luna segera bisa memberikan asi untuk anak kalian,” jawab dokter Ibra.
“Aku rasa dia tidak akan mau,” ucap Wijaya Kusuma.
“Kami akan mencoba memberikan susu formula terbaik, tetapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan air susu dari seorang ibu yang penuh cinta kepada anak mereka,” jelas dokter Ibra.
“Aku tahu itu. Aku akan mencoba meminta Luna memberikan asi untuk putraku,” tegas Wijaya Kusuma.
“Jika Luna memang tidak berniat untuk memberi asi, maka itu akan mempengaruhi susu yang dihasilkan dan efek untuk anak kalian.” Dokter Ibra menatap serius pada Wijaya Kusuma.
“Solusi lainnya adalah kamu mencari ibu susu pengganti seperti Amira. Dia pasti sangat senang bisa memberikan asinya yang berlebihan kepada seorang bayi yang usianya sama dengan anaknya yang baru meninggal,” jelas dokter Ibra.
“Aku harus tahu latar belakang seseorang untuk bisa menjadi ibu susu putraku. Aku tidak mau sembarang orang,” tegas Wijaya Kusuma.
“Benar. Putra kamu adalah bayi Istimewa. Pewaris gen dan penerus dari seorang Wijaya Kusuma.” Dokter Ibra tertawa.
“Baiklah. Selamat atas kelahiran bayi emas yang sangat kamu tunggu-tunggu.” Dokter Ibra mengulurkan tangan kepada Wijaya Kusuma. Dia orang itu berjabat tangan dan saling merangkul.
“Terima kasih.” Wijaya Kusuma keluar dari ruang kerja dokter Ibra. Pria itu kembali ke kamar anak dan istrinya. Di tangannya ada berkas tentang Kesehatan Luna dari sejak hamil hingga melahirkan. Wanita yang dicintainya yang telah menjadi istri dan ibu dari bayinya.
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Andika duduk di dalam kamar. Pria itu memikirkam cara untuk bertemu dengan Amira yang tidak juga menerima panggilan darinya. “Apa maksud kamu, Amira? Apa kamu benar-benar memutuskan hubungan dengan ku?” Andika melihat foto mesra dirinya dengan Amira yang masih tersimpan di layar ponsenya.“Tidak. Amira. Aku tidak mengizinkan kamu pergi begitu saja. Kamu tetap menjadi milikku.” Andika tersenyum. Pria itu berencana untuk memabuat Amira terikat padanya.Sebuah mobil berhenti di depan rumah Andika. Ibra dan Wijaya Kusuma turun dari kendaraan mewah itu. Mereka benar-benar datang untuk bertemu dengan Amira.“Permisi.” Dokter Ibra dan Wijaya Kusuma disambut oleh bibi Nani. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya bibi Nani pada Ibra.“Apa benar ini rumah Ibu Amira?” Dokter Ibra balik bertanya.“Siapa yang mencari Amira?” Marni keluar dari ruang tengah.“Dokter Ibra. Silakan masuk.” Marni hanya mengenali dokter Ibra, tetapi tidak dengan Wijaya Kusuma. Pengusaha paling kaya di Indonesia.“Terima k
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira.“Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya.“Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tida
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh
Cantika kembali lagi ke klinik Dokter Doan. Wanita melakukan pemeriksaan setelah konsultasi.“Harusnya kamu datang dengan suami,” ucap dokter Doan tersenyum pada Cantika yang telah melepas pakaiannya.“Aku mau tahu kondisi tubuhku terlebih dahulu. Jika sudah dipastikan aku sehat dan subur. Barulah aku mengajak Andika,” jelas Cantika.“Kenapa?” tanya dokter Doan.“Karena dia sudah punya anak dengan istri pertamanya,” jawab Cantika.“Oh. Kamu khawatir dengan diri sendiri.” Dokter Doan dibantu asisten mulai melakukan pemeriksaan dan tes pada tubuh Cantika. Mereka fokus pada bagian alat reproduksi.“Bagimana, Dok?” tanya Cantika duduk di kursi ruang tunggu setelah pemeriksaan.“Apa kamu sering minum obat kimia?” Dokter Doan memperhatikan hasil pemeriksaan Cantika.“Iya. Apa itu berpengaruh pada kandung telurku? Apa aku tidak bisa hamil?” Cantika tampak khawatir. Dia benar-benar takut mandul dan tidak bisa melahirkan anak untuk Andika.“Obat apa yang kamu minum? Ini sudah berlebih sehingga