Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.
“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.
“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.
“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.
“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” tanya Amira sesegukan. Dia memeluk lututnya yang berdarah. Wijaya hanya mendengarkan dari dalam mobil. Memperhatikan wanita yang sedang kesusahan dari balik kaca jendela yang hitam pekat.
“Baiklah. Kami yang akan menggantikan motor ini. Setelah mendapatkan perkerjaan di sini. Kamu bisa mengganti rugi dan membayar utang kepada kami. Anda akan melamar di bagian mana?” Dodi memperlakukan Amira dengan lembut. Dia pun berjongkok di depan wanita muda itu.
“Sekretaris pribadi Wijaya Kusuma,” ucap Amira yang tidak tahu bahwa pria di dalam mobil adalah pemilik perusahaan itu. Dia tidak memperhatikan wajah lelaki yang ditabraknya.
“Itu bagus. Kamu bisa mencobanya. Berikan nomor ini kepada pemilik motor agar dia bisa menghubungi saya untuk ganti rugi.” Dodi memberikan kartu namanya kepada Amira.
“Bagaimana dengan aku?” tanya Amira bingung.
“Setelah mendapatkan pekerjaan. Kamu bisa hubungi aku juga.” Dodi memberikan satu kartu namanya satu lagi.
“Terima kasih, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya akan berusaha mendapatkan pekerjaan dan membayar semua utang.” Amira membungkuk.
“Ya. Pulanglah dan obati luka kamu. Apa ada uang untuk berobat ke rumah sakit?” tanya Dodi yang memang sangat baik serta perhatian. Wijaya pun masih sabar menjadi penonton dari dalam mobilnya.
“Luka kecil. Aku akan mengobatinya sendiri. Terima kasih.” Amira beranjak dari jalanan. Dia menghapus air matanya dan tersenyum cantik.
“Setelah urusan uang selesai. Dia langsung bisa tersenyum. Benar-benar seperti seorang penipu yang mau mencari keuntungan dariku. Aku tidak akan terjebak.” Wijaya Kusuma melihat jarinya yang terluka.
“Berani sekali.” Wijaya Kusuma mengambil tisu dan membersihkan jarinya. Dia terus terbayang pada bibir lembut dan lidah hangat Amira yang menghisap jarinya.
“Hm.” Wijaya Kusuma merasakan desiran nakal di dadanya.
“Apa karena aku sudah lama tidak menyentuh Luna sehingga wanita itu terlihat menggoda. Tidak mungkin.” Wijaya Kusuma memperhatikan Amira yang sudah pergi menjauh dari mobilnya.
“Dia terlihat berantakan dan berbeda dengan Luna yang cantik serta bersih.” Wijaya Kusuma bisa melihat Amira yang sederhana dan tidak berdandan sama sekali.
“Hem.” Wijaya Kusuma tidak bisa menolak bahwa Amira memang cantik serta seksi dengan tubuh padat berisi. Apalagi di bagian dada yang penuh serta tampak basah.
“Maaf lama, Tuan. Wanita muda tadi sedang banyak masalah. Lihatlah mata bengkak dan wajah sembabnya. Sebagai seorang ayah aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam.” Dodi duduk di samping Wijaya yang hanya diam dan memalingkan wajahnya dari melihat Amira.
“Apa langsung ke perusahaan utama?” tanya Dodi pada Wijaya Kusuma.
“Aku mau pulang ke rumah untuk melihat Keano. Sudah seharian meninggalkannya,” jawab Wijaya Kusuma.
“Benar. Sekarang pun sudah hampir jam makan siang. Waktu yang tepat untuk pulang.” Dodi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Mm.” Wijaya Kusuma memegang jari yang terbungkus tisu. Dia memejamkan matanya.
Mobil meninggalkan kawasan proyek dan perumahan. Mereka pulang ke rumah pribadi Wijaya Kusuma di mana dia dan istrinya Luna tinggal bersama. Menjalani kehidupan yang sangat sibuk untuk mengejar harta di dunia yang fana.
“Bang, maaf.” Amira memelas pada pemilik motor.
“Kamu terluka.” Pria itu segera memeriksa lutut Amira yang berdarah.“Tidak apa, Bang.” Amira menghindar agar pria itu tidak menyentuh dirinya.
“Aku minta maaf karena sudah membuat motor Abang lecet, tetapi pria tadi meminta Abang menghubunginya untuk ganti rugi.” Amira memberikan kartu nama Dodi pada pria itu.
“Pak Dodi.” Pria itu terkejut melihat kartu nama yang sangat dikenalnya. Asisten sekaligus sekretaris pribadi dan orang kepercayaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu menabrak mobil Pak Wijaya?” tanya pria itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Amira.
“Ya sudah. Kamu pulanglah ke rumah. Obati luka. Aku akan menghubungi Pak Dodi.” Pria itu tersenyum. Dia kasian melihat Amira yang terluka dengan wajah sembab karena terus menangis.
“Terima kasih, Bang. Aku benar-benar minta maaf. Baru pinjam pertama kali sudah membuat rusak,” ucap Amira.
“Tidak masalah. Hanya tergores sedikit saja. Pak Dodi juga yang akan ganti.” Pria itu tersenyum. Dia menelan ludah melihat dada Amira yang besar berlebihan dan basah.
“Terima kasih, Bang. Aku pamit pulang ke rumah.” Amira mengambil belanjaan dari motor pria itu.
“Apa perlu aku bantu?” tanya pria itu.
“Tidak, Bang. Terima kasih. Dekat juga rumah aku,” jawab Amira.
“Kita lupa kenalan. Namaku, Riyan.” Pria itu menyodorkan tangannya.
“Amira.” Amira berjabat tangan dengan Riyan.
“Okay.” Riyan tersenyum.
“Permisi, Bang.” Amira berjalan pulang ke rumah. Dia harus membuat makanan untuk makan siangnya.
“Cantik dan seksi. Apa dia janda ya?” Riyan terus memperhatikan Amira hingga wanita itu hilang dari pandangannya.
Wijaya Kusuma masuk ke kamarnya terlebih dahulu sebelum pergi menemui putranya. Pria itu wajib untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Tuan Wijaya akan masuk ke sini. Kalian keluarlah,” ucap bibi pada dua baby sister Keano.
“Baik, Bu.” Dua wanita segera keluar dari kamar Keano dan pergi ke kamar mereka masing-masing yang ada di belakang dapur.
“Selamat datang di rumah, Tuan.” Bibi menyambut Wijaya Kusuma yang sudah masuk ke kamar putranya.
“Di mana Keano?” tanya Wijaya melihat kamar yang kosong.
“Nyonya baru saja mengambil Tuan muda dan dibawa ke kamarnya,” jawab bibi.
“Oh.” Wijaya tersenyum. Dia senang karena Luna mau merawat putra mereka. Pria itu segera pergi ke kamar Luna.
Langkah kaki Wijaya Kusuma terhenti di depan pintu yang tertutup. Dia mendengarkan tangis putranya yang cukup nyaring dari balik pintu yang tidak terkunci.
“Kenapa menangis?” Wijaya membuka pintu perlahan. Dia melihat Luna sedang memberikan susu pada putra mereka menggunakan botol. Bayi yang baru lahir itu menolak. Dia hanya menginginkan asi dari mamanya.
“Luna!” bentak Wijaya Kusuma dan mengambil botol susu dari tangan wanita itu.
“Dia terus menangis,” ucap Luan kesal.
“Aku pusing mendengarkan suaranya yang nyaring dan bising. Diberi susu pun tidak mau,” jelas Luna duduk di sofa.
“Apa kamu sudah mencoba memberikan asi?” tanya Wijaya Kusuma menggendong Keano yang masih menangis.
“Asi aku kering dan sakit,” jawab Luna.
“Cobalah untuk tetap memberinya. Itu yang dikatakan dokter Ibra. Tarikan dari mulut bayi akan menstimulasi asi kamu,” jelas Wijaya Kusuma.
“Sakit,” tegas Luna.
“Aku dengar kamu tidak meminum dan memakan menu yang sudah disiapkan untuk menghasilkan asi.” Wijaya Kusuma keluar dari kamar Luna dengan membawa Keano. Dia memberikan putranya kepada bibi dan kembali lagi pada istrinya.
“Kenapa?” tanya Wijaya berdiri tegak di depan Luna.
“Semuanya tidak enak. Kamu tidak usah khawatir. Aku selalu minum susu.” Luna tersenyum. Dia beranjak dari sofa dan berdiri di depan cermin.
“Lihatlah tubuhku, Sayang. Kembali seksi dengan cepat.” Luna membuka pakaiannya dan memperlihat keindahan tubuh pada suaminya.
“Apa kamu tidak suka dengan tubuh seksi dan ramping ini? Aku harus diet ketat agar perut rata kembali.” Luna meletakkan tangan Wijaya di perutnya yang terbuka tanpa kain penutup.
“Kamu masih dalam masa nifas, Luna.” Wijaya menarik tangannya dan menghindari godaan Luna.
“Benar. Kamu harus menunggu satu bulan lebih untuk bisa bersentuhan dan berhubungan denganku.” Luan tersenyum. Dia mengecup bibir tipis Wijaya dengan lembut. Wanita itu mengenakan kembali pakaiannya yang seksi yaitu mini dress hitam tanpa lengan dan hanya sebatas paha.
“Apa kamu pulang untuk makan siang?” tanya Luna mengambil baju lain karena dia akan keluar kamar.
“Ya. Ayo makan bersama.” Wijaya memperhatikan Luna.
“Baiklah.” Luna mengenakan sweater untuk menutupi pundak dan dadanya yang terbuka. Mereka keluar bersama dari kamar menuju ruang makan.
Luna dan Wijaya Kusuma makan siang berdua saja. Tidak ada pelayan yang mendekat hingga mereka selesai dan meninggalkan ruang makan. Dua orang itu pergi ke ruang kerja masing-masing. Keduanya benar-benar sibuk.
Terima kasih. Semoga suka.
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Andika duduk di dalam kamar. Pria itu memikirkam cara untuk bertemu dengan Amira yang tidak juga menerima panggilan darinya. “Apa maksud kamu, Amira? Apa kamu benar-benar memutuskan hubungan dengan ku?” Andika melihat foto mesra dirinya dengan Amira yang masih tersimpan di layar ponsenya.“Tidak. Amira. Aku tidak mengizinkan kamu pergi begitu saja. Kamu tetap menjadi milikku.” Andika tersenyum. Pria itu berencana untuk memabuat Amira terikat padanya.Sebuah mobil berhenti di depan rumah Andika. Ibra dan Wijaya Kusuma turun dari kendaraan mewah itu. Mereka benar-benar datang untuk bertemu dengan Amira.“Permisi.” Dokter Ibra dan Wijaya Kusuma disambut oleh bibi Nani. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya bibi Nani pada Ibra.“Apa benar ini rumah Ibu Amira?” Dokter Ibra balik bertanya.“Siapa yang mencari Amira?” Marni keluar dari ruang tengah.“Dokter Ibra. Silakan masuk.” Marni hanya mengenali dokter Ibra, tetapi tidak dengan Wijaya Kusuma. Pengusaha paling kaya di Indonesia.“Terima k
Andika yang mendapatkan laporan dari penjaga makan bahwa Amira berada di sana. Pria itu segera keluar rumah dan mengendarai mobilnya. Dia masih punya banyak waktu sebelum makan malam bersama keluarga Raditya.“Kita harus bertemu Amira. Kamu pasti masih mencintaiku. Dari sekian banyak pria yang menginginkan kamu. Akulah yang terpilih.” Andika mengendarai mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Pria itu terlihat ugal-ugalan di jalan.“Hey, bukankah itu mobil Andika. Dia mau kemana?” tanya Ibra yang mengendarai mobil dengan santai karena dua pria itu menikmati pemandangan sore dengan bercakap-cakap. Dua orang teman yang jarang memiliki waktu bersama.“Apa dia menyusul Amira?” Wijaya Kusuma melihat pada dokter Ibra.“Bisa jadi. Apa kita juga harus ke sana?” tanya dokter Ibra.“Mungkin pria itu akan menyakiti Amira karena kita mencarinya. Ibu Marni terlihat jelas membanci Amira karena telah gagal melahirnya cucu untuknya,” jelas dokter Ibra.“Kita ikuti saja dia,” ucap Wijaya Kusuma mengambil
Marni terlihat sudah rapi dengan pakaian yang elegan. Dia menunggu di depan pintu untuk menyambut tamu Istimewa yang datang ke rumah yaitu keluarga Raditya.“Kamu cantik sekali, Sayang.” Handoko memeluk pinggang istrinya yang ramping.“Aku tahu itu. Di mana Andika? Apa dia belum turun dari kamar?” tanya Marni.“Dia akan segera turun. Belum juga pukul delapan,” jawab Handoko.“Anak itu tidak terlihat sama sekali sejak sore tadi,” ucap Marni kesal.Mobil putih dan mewah berhenti tepat di depan pintu ruang tamu rumah Marni. Sudah dipastikan itu adalah keluarga Raditya. Mereka turun dari mobil.“Selamat datang di rumah kami yang sedv erhana ini.” Marni menyambut kedatangan keluarga Raditya. Dia memeluk Cantika dan Ranika.“Apa ini putri yang cantik sesuai namanya?” Marni tersenyum dan memeluk Cantika.“Ya, Tante.” Cantika tersenyum. Dia memang sudah lama suka pada Andika. Dia juga sangat membenci Amira yang telah merebut cinta pertamanya di usia muda.“Mari masuk.” Marni benar-benar senang
Amira beranjak dari kursi. Dia harus pergi ke kamar mandi dan memeras asi yang sudah terisi penuh.“Ibu Amira,” sapa karyawati yang baru saja keluar dari ruang wawancara.“Ya.” Amira tersenyum. Dia menahan sakit pada dadanya yang membengkak.“Silakan masuk.” Wanita itu membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira masuk ke dalam ruangan dan dia hanya melihat seorang pria yang duduk diantar dua kursi kosong.“Silakan duduk,” ucap Wijaya Kusuma.Pria itu melihat Amira benar-benar sangat cantik dengan pakaian yang rapi. Wanita itu berbeda dari terakhir kali bertemu karena tidak ada polesan make up yang membuatnya terlihat lebih segar. Tidak ada lagi mata bengkak dan wajah sembab.“Terima kasih.” Amira merasa tidak asing dengan suara pria itu. “Anda….” Amira sangat mengenal Wijaya Kusuma ketika dia memperhatikan dengan jelas dari jarak yang cukup dekat wajah pria di depannya.“Mari kita mulai wawancaranya.” Wijaya Kusuma menatap Amira. Tidak bisa dipungkiri pria itu mengakui bahwa Amir
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh
Cantika kembali lagi ke klinik Dokter Doan. Wanita melakukan pemeriksaan setelah konsultasi.“Harusnya kamu datang dengan suami,” ucap dokter Doan tersenyum pada Cantika yang telah melepas pakaiannya.“Aku mau tahu kondisi tubuhku terlebih dahulu. Jika sudah dipastikan aku sehat dan subur. Barulah aku mengajak Andika,” jelas Cantika.“Kenapa?” tanya dokter Doan.“Karena dia sudah punya anak dengan istri pertamanya,” jawab Cantika.“Oh. Kamu khawatir dengan diri sendiri.” Dokter Doan dibantu asisten mulai melakukan pemeriksaan dan tes pada tubuh Cantika. Mereka fokus pada bagian alat reproduksi.“Bagimana, Dok?” tanya Cantika duduk di kursi ruang tunggu setelah pemeriksaan.“Apa kamu sering minum obat kimia?” Dokter Doan memperhatikan hasil pemeriksaan Cantika.“Iya. Apa itu berpengaruh pada kandung telurku? Apa aku tidak bisa hamil?” Cantika tampak khawatir. Dia benar-benar takut mandul dan tidak bisa melahirkan anak untuk Andika.“Obat apa yang kamu minum? Ini sudah berlebih sehingga
Sebuah mobil berhenti di depan Luna. Seorang pria membuka pintu dan tersenyum pada mantan istri Wijaya Kusuma.“Apa Anda Ibu Luna?” tanya pria itu.“Ya. Siapa yang mengirim kamu?” Luna balik bertanya.“Bella,” jawab pria itu.“Oh.” Luna masuk ke dalam mobil. Pria itu tersenyum. Dia mengambil koper dan dimasukan ke dalam bagasi.“Apa Anda sudah siap?” tanya pria itu.“Ya.” Luna terlihat bahagia karena bisa lari dari vila jelek milik Wijaya.“Anda mau pergi kemana?” tanya sopir.“Bawa aku ke apartemen atau hotel yang paling dekat di sini,” jawab Luna.“Apa Anda masih belum punya tujuan?” tanya sopir lagi.“Aku sudah berusaha menghubungi teman-temanku, tetapi tidak ada satu pun yang terhubung,” jawab Luna.“Apa Anda punya uang untuk masuk hotel?” Sopir melihat Luna dari kaca dashboard.“Aku akan menggunakan kartu,” ucap Luna.“Sekarang kita di mana?” tanya Luna.“Hotel,” jawab sopir menghentikan mobilnya.“Anda bisa turun.” Sopir membuka pintu. Dia mengeluarkan koper milik Luna.“Ini hot