Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.
“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.
“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.
“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.
“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” tanya Amira sesegukan. Dia memeluk lututnya yang berdarah. Wijaya hanya mendengarkan dari dalam mobil. Memperhatikan wanita yang sedang kesusahan dari balik kaca jendela yang hitam pekat.
“Baiklah. Kami yang akan menggantikan motor ini. Setelah mendapatkan perkerjaan di sini. Kamu bisa mengganti rugi dan membayar utang kepada kami. Anda akan melamar di bagian mana?” Dodi memperlakukan Amira dengan lembut. Dia pun berjongkok di depan wanita muda itu.
“Sekretaris pribadi Wijaya Kusuma,” ucap Amira yang tidak tahu bahwa pria di dalam mobil adalah pemilik perusahaan itu. Dia tidak memperhatikan wajah lelaki yang ditabraknya.
“Itu bagus. Kamu bisa mencobanya. Berikan nomor ini kepada pemilik motor agar dia bisa menghubungi saya untuk ganti rugi.” Dodi memberikan kartu namanya kepada Amira.
“Bagaimana dengan aku?” tanya Amira bingung.
“Setelah mendapatkan pekerjaan. Kamu bisa hubungi aku juga.” Dodi memberikan satu kartu namanya satu lagi.
“Terima kasih, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya akan berusaha mendapatkan pekerjaan dan membayar semua utang.” Amira membungkuk.
“Ya. Pulanglah dan obati luka kamu. Apa ada uang untuk berobat ke rumah sakit?” tanya Dodi yang memang sangat baik serta perhatian. Wijaya pun masih sabar menjadi penonton dari dalam mobilnya.
“Luka kecil. Aku akan mengobatinya sendiri. Terima kasih.” Amira beranjak dari jalanan. Dia menghapus air matanya dan tersenyum cantik.
“Setelah urusan uang selesai. Dia langsung bisa tersenyum. Benar-benar seperti seorang penipu yang mau mencari keuntungan dariku. Aku tidak akan terjebak.” Wijaya Kusuma melihat jarinya yang terluka.
“Berani sekali.” Wijaya Kusuma mengambil tisu dan membersihkan jarinya. Dia terus terbayang pada bibir lembut dan lidah hangat Amira yang menghisap jarinya.
“Hm.” Wijaya Kusuma merasakan desiran nakal di dadanya.
“Apa karena aku sudah lama tidak menyentuh Luna sehingga wanita itu terlihat menggoda. Tidak mungkin.” Wijaya Kusuma memperhatikan Amira yang sudah pergi menjauh dari mobilnya.
“Dia terlihat berantakan dan berbeda dengan Luna yang cantik serta bersih.” Wijaya Kusuma bisa melihat Amira yang sederhana dan tidak berdandan sama sekali.
“Hem.” Wijaya Kusuma tidak bisa menolak bahwa Amira memang cantik serta seksi dengan tubuh padat berisi. Apalagi di bagian dada yang penuh serta tampak basah.
“Maaf lama, Tuan. Wanita muda tadi sedang banyak masalah. Lihatlah mata bengkak dan wajah sembabnya. Sebagai seorang ayah aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam.” Dodi duduk di samping Wijaya yang hanya diam dan memalingkan wajahnya dari melihat Amira.
“Apa langsung ke perusahaan utama?” tanya Dodi pada Wijaya Kusuma.
“Aku mau pulang ke rumah untuk melihat Keano. Sudah seharian meninggalkannya,” jawab Wijaya Kusuma.
“Benar. Sekarang pun sudah hampir jam makan siang. Waktu yang tepat untuk pulang.” Dodi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Mm.” Wijaya Kusuma memegang jari yang terbungkus tisu. Dia memejamkan matanya.
Mobil meninggalkan kawasan proyek dan perumahan. Mereka pulang ke rumah pribadi Wijaya Kusuma di mana dia dan istrinya Luna tinggal bersama. Menjalani kehidupan yang sangat sibuk untuk mengejar harta di dunia yang fana.
“Bang, maaf.” Amira memelas pada pemilik motor.
“Kamu terluka.” Pria itu segera memeriksa lutut Amira yang berdarah.“Tidak apa, Bang.” Amira menghindar agar pria itu tidak menyentuh dirinya.
“Aku minta maaf karena sudah membuat motor Abang lecet, tetapi pria tadi meminta Abang menghubunginya untuk ganti rugi.” Amira memberikan kartu nama Dodi pada pria itu.
“Pak Dodi.” Pria itu terkejut melihat kartu nama yang sangat dikenalnya. Asisten sekaligus sekretaris pribadi dan orang kepercayaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu menabrak mobil Pak Wijaya?” tanya pria itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Amira.
“Ya sudah. Kamu pulanglah ke rumah. Obati luka. Aku akan menghubungi Pak Dodi.” Pria itu tersenyum. Dia kasian melihat Amira yang terluka dengan wajah sembab karena terus menangis.
“Terima kasih, Bang. Aku benar-benar minta maaf. Baru pinjam pertama kali sudah membuat rusak,” ucap Amira.
“Tidak masalah. Hanya tergores sedikit saja. Pak Dodi juga yang akan ganti.” Pria itu tersenyum. Dia menelan ludah melihat dada Amira yang besar berlebihan dan basah.
“Terima kasih, Bang. Aku pamit pulang ke rumah.” Amira mengambil belanjaan dari motor pria itu.
“Apa perlu aku bantu?” tanya pria itu.
“Tidak, Bang. Terima kasih. Dekat juga rumah aku,” jawab Amira.
“Kita lupa kenalan. Namaku, Riyan.” Pria itu menyodorkan tangannya.
“Amira.” Amira berjabat tangan dengan Riyan.
“Okay.” Riyan tersenyum.
“Permisi, Bang.” Amira berjalan pulang ke rumah. Dia harus membuat makanan untuk makan siangnya.
“Cantik dan seksi. Apa dia janda ya?” Riyan terus memperhatikan Amira hingga wanita itu hilang dari pandangannya.
Wijaya Kusuma masuk ke kamarnya terlebih dahulu sebelum pergi menemui putranya. Pria itu wajib untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Tuan Wijaya akan masuk ke sini. Kalian keluarlah,” ucap bibi pada dua baby sister Keano.
“Baik, Bu.” Dua wanita segera keluar dari kamar Keano dan pergi ke kamar mereka masing-masing yang ada di belakang dapur.
“Selamat datang di rumah, Tuan.” Bibi menyambut Wijaya Kusuma yang sudah masuk ke kamar putranya.
“Di mana Keano?” tanya Wijaya melihat kamar yang kosong.
“Nyonya baru saja mengambil Tuan muda dan dibawa ke kamarnya,” jawab bibi.
“Oh.” Wijaya tersenyum. Dia senang karena Luna mau merawat putra mereka. Pria itu segera pergi ke kamar Luna.
Langkah kaki Wijaya Kusuma terhenti di depan pintu yang tertutup. Dia mendengarkan tangis putranya yang cukup nyaring dari balik pintu yang tidak terkunci.
“Kenapa menangis?” Wijaya membuka pintu perlahan. Dia melihat Luna sedang memberikan susu pada putra mereka menggunakan botol. Bayi yang baru lahir itu menolak. Dia hanya menginginkan asi dari mamanya.
“Luna!” bentak Wijaya Kusuma dan mengambil botol susu dari tangan wanita itu.
“Dia terus menangis,” ucap Luan kesal.
“Aku pusing mendengarkan suaranya yang nyaring dan bising. Diberi susu pun tidak mau,” jelas Luna duduk di sofa.
“Apa kamu sudah mencoba memberikan asi?” tanya Wijaya Kusuma menggendong Keano yang masih menangis.
“Asi aku kering dan sakit,” jawab Luna.
“Cobalah untuk tetap memberinya. Itu yang dikatakan dokter Ibra. Tarikan dari mulut bayi akan menstimulasi asi kamu,” jelas Wijaya Kusuma.
“Sakit,” tegas Luna.
“Aku dengar kamu tidak meminum dan memakan menu yang sudah disiapkan untuk menghasilkan asi.” Wijaya Kusuma keluar dari kamar Luna dengan membawa Keano. Dia memberikan putranya kepada bibi dan kembali lagi pada istrinya.
“Kenapa?” tanya Wijaya berdiri tegak di depan Luna.
“Semuanya tidak enak. Kamu tidak usah khawatir. Aku selalu minum susu.” Luna tersenyum. Dia beranjak dari sofa dan berdiri di depan cermin.
“Lihatlah tubuhku, Sayang. Kembali seksi dengan cepat.” Luna membuka pakaiannya dan memperlihat keindahan tubuh pada suaminya.
“Apa kamu tidak suka dengan tubuh seksi dan ramping ini? Aku harus diet ketat agar perut rata kembali.” Luna meletakkan tangan Wijaya di perutnya yang terbuka tanpa kain penutup.
“Kamu masih dalam masa nifas, Luna.” Wijaya menarik tangannya dan menghindari godaan Luna.
“Benar. Kamu harus menunggu satu bulan lebih untuk bisa bersentuhan dan berhubungan denganku.” Luan tersenyum. Dia mengecup bibir tipis Wijaya dengan lembut. Wanita itu mengenakan kembali pakaiannya yang seksi yaitu mini dress hitam tanpa lengan dan hanya sebatas paha.
“Apa kamu pulang untuk makan siang?” tanya Luna mengambil baju lain karena dia akan keluar kamar.
“Ya. Ayo makan bersama.” Wijaya memperhatikan Luna.
“Baiklah.” Luna mengenakan sweater untuk menutupi pundak dan dadanya yang terbuka. Mereka keluar bersama dari kamar menuju ruang makan.
Luna dan Wijaya Kusuma makan siang berdua saja. Tidak ada pelayan yang mendekat hingga mereka selesai dan meninggalkan ruang makan. Dua orang itu pergi ke ruang kerja masing-masing. Keduanya benar-benar sibuk.
Terima kasih. Semoga suka.
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Andika duduk di dalam kamar. Pria itu memikirkam cara untuk bertemu dengan Amira yang tidak juga menerima panggilan darinya. “Apa maksud kamu, Amira? Apa kamu benar-benar memutuskan hubungan dengan ku?” Andika melihat foto mesra dirinya dengan Amira yang masih tersimpan di layar ponsenya.“Tidak. Amira. Aku tidak mengizinkan kamu pergi begitu saja. Kamu tetap menjadi milikku.” Andika tersenyum. Pria itu berencana untuk memabuat Amira terikat padanya.Sebuah mobil berhenti di depan rumah Andika. Ibra dan Wijaya Kusuma turun dari kendaraan mewah itu. Mereka benar-benar datang untuk bertemu dengan Amira.“Permisi.” Dokter Ibra dan Wijaya Kusuma disambut oleh bibi Nani. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya bibi Nani pada Ibra.“Apa benar ini rumah Ibu Amira?” Dokter Ibra balik bertanya.“Siapa yang mencari Amira?” Marni keluar dari ruang tengah.“Dokter Ibra. Silakan masuk.” Marni hanya mengenali dokter Ibra, tetapi tidak dengan Wijaya Kusuma. Pengusaha paling kaya di Indonesia.“Terima k
Andika yang mendapatkan laporan dari penjaga makan bahwa Amira berada di sana. Pria itu segera keluar rumah dan mengendarai mobilnya. Dia masih punya banyak waktu sebelum makan malam bersama keluarga Raditya.“Kita harus bertemu Amira. Kamu pasti masih mencintaiku. Dari sekian banyak pria yang menginginkan kamu. Akulah yang terpilih.” Andika mengendarai mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Pria itu terlihat ugal-ugalan di jalan.“Hey, bukankah itu mobil Andika. Dia mau kemana?” tanya Ibra yang mengendarai mobil dengan santai karena dua pria itu menikmati pemandangan sore dengan bercakap-cakap. Dua orang teman yang jarang memiliki waktu bersama.“Apa dia menyusul Amira?” Wijaya Kusuma melihat pada dokter Ibra.“Bisa jadi. Apa kita juga harus ke sana?” tanya dokter Ibra.“Mungkin pria itu akan menyakiti Amira karena kita mencarinya. Ibu Marni terlihat jelas membanci Amira karena telah gagal melahirnya cucu untuknya,” jelas dokter Ibra.“Kita ikuti saja dia,” ucap Wijaya Kusuma mengambil
Marni terlihat sudah rapi dengan pakaian yang elegan. Dia menunggu di depan pintu untuk menyambut tamu Istimewa yang datang ke rumah yaitu keluarga Raditya.“Kamu cantik sekali, Sayang.” Handoko memeluk pinggang istrinya yang ramping.“Aku tahu itu. Di mana Andika? Apa dia belum turun dari kamar?” tanya Marni.“Dia akan segera turun. Belum juga pukul delapan,” jawab Handoko.“Anak itu tidak terlihat sama sekali sejak sore tadi,” ucap Marni kesal.Mobil putih dan mewah berhenti tepat di depan pintu ruang tamu rumah Marni. Sudah dipastikan itu adalah keluarga Raditya. Mereka turun dari mobil.“Selamat datang di rumah kami yang sedv erhana ini.” Marni menyambut kedatangan keluarga Raditya. Dia memeluk Cantika dan Ranika.“Apa ini putri yang cantik sesuai namanya?” Marni tersenyum dan memeluk Cantika.“Ya, Tante.” Cantika tersenyum. Dia memang sudah lama suka pada Andika. Dia juga sangat membenci Amira yang telah merebut cinta pertamanya di usia muda.“Mari masuk.” Marni benar-benar senang
Amira beranjak dari kursi. Dia harus pergi ke kamar mandi dan memeras asi yang sudah terisi penuh.“Ibu Amira,” sapa karyawati yang baru saja keluar dari ruang wawancara.“Ya.” Amira tersenyum. Dia menahan sakit pada dadanya yang membengkak.“Silakan masuk.” Wanita itu membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira masuk ke dalam ruangan dan dia hanya melihat seorang pria yang duduk diantar dua kursi kosong.“Silakan duduk,” ucap Wijaya Kusuma.Pria itu melihat Amira benar-benar sangat cantik dengan pakaian yang rapi. Wanita itu berbeda dari terakhir kali bertemu karena tidak ada polesan make up yang membuatnya terlihat lebih segar. Tidak ada lagi mata bengkak dan wajah sembab.“Terima kasih.” Amira merasa tidak asing dengan suara pria itu. “Anda….” Amira sangat mengenal Wijaya Kusuma ketika dia memperhatikan dengan jelas dari jarak yang cukup dekat wajah pria di depannya.“Mari kita mulai wawancaranya.” Wijaya Kusuma menatap Amira. Tidak bisa dipungkiri pria itu mengakui bahwa Amir
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la