Terima kasih atas dukungannya. Semoga suka. Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah.
Amira beranjak dari kursi. Dia harus pergi ke kamar mandi dan memeras asi yang sudah terisi penuh.“Ibu Amira,” sapa karyawati yang baru saja keluar dari ruang wawancara.“Ya.” Amira tersenyum. Dia menahan sakit pada dadanya yang membengkak.“Silakan masuk.” Wanita itu membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira masuk ke dalam ruangan dan dia hanya melihat seorang pria yang duduk diantar dua kursi kosong.“Silakan duduk,” ucap Wijaya Kusuma.Pria itu melihat Amira benar-benar sangat cantik dengan pakaian yang rapi. Wanita itu berbeda dari terakhir kali bertemu karena tidak ada polesan make up yang membuatnya terlihat lebih segar. Tidak ada lagi mata bengkak dan wajah sembab.“Terima kasih.” Amira merasa tidak asing dengan suara pria itu. “Anda….” Amira sangat mengenal Wijaya Kusuma ketika dia memperhatikan dengan jelas dari jarak yang cukup dekat wajah pria di depannya.“Mari kita mulai wawancaranya.” Wijaya Kusuma menatap Amira. Tidak bisa dipungkiri pria itu mengakui bahwa Amir
Wijaya Kusuma pulang ke rumah lebih awal. Dia membersihkan diri dan berganti pakaian. Menemani putranya bermain di taman sambil menunggu malam. Bayi laki-laki yang seakan tidak terawat. Walaupun bersih dan putih, tetapi tampak kurus seperti pertama kali dilahirkan. Keano seakan tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan.“Kenapa putraku terlihat kurus sekali?” Wijaya Kusuma menyentuh tangan dan jari-jari yang kecil serta lemah.“Tuan muda hanya minum sedikit susu untuk menahan lapar, tetapi tidak sampai kenyang, Pak. Dia juga sering menangis dan kurang tidur,” jelas bibi.“Para baby sister sudah melakukan segalanya untuk merawat tuan muda Keano,” lanjut bibi.“Saya rasa berat badan Tuan Muda pun tidak naik.” Bibi benar-benar khawatir.“Apa Bibi sudah menghubungi Luna?” tanya Wijaya Kusuma melihat pada bibi.“Nyonya meminta Anda menghubunginya. Dia menunggu di hotel dekat bandara. Ini nomor kamar.” Bibi memberikan secarik kertas kepada Wijaya Kusuma.“Untuk apa aku menemuinya? Di band
Wijaya Kusuma tahu benar bahwa Luna sangat cemburu sehingga pria itu berpikir untuk membeli rumah baru untuk tempat tinggal Amira, tetapi masih ragu.“Apa aku gunakan vila itu saja.” Wijaya Kusuma melihat bangunan minimalis yang ada di depan kamarnya. Dia berdiri di balkon kamar.“Luna tidak suka vila itu karena baginya sempit. Dia juga jarang pulang ke rumah ini.” Wijaya Kusuma memperhatikan sekeliling untuk menemukan ide agar dia bisa membuta Amira mudah untuk bolak balik dua rumah.“Keano bisa tinggal bersama Amira di sana. Aku hanya perlu membangun ruang sirkulasi untuk menghubungkan dua bangunan ini agar ketika hujan tidak basah. Ya.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Aku harus tidur.” Wijaya Kusuma kembali ke kamar karena malam sudah sangat larut. Dia menutup pintu balkon dan mematikan lampu. Naik ke kasur dan tidur dalam senyuman. Pria itu yakin Amira akan memberikan kehidupan lebih baik untuk Keano melalu asi yang melimpah dari perempuan itu.Baru saja Wijaya Kusuma masuk kea lam mimp
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama perusahaan. Dodi dan Wijaya Kusuma turun dari mobil. Pria itu berjalan lurus saja tanpa menoleh ke ruang tunggu. Walaupun dia tahu Amira ada di sana.“Selamat pagi, Pak.” Semua karyawan menyambut Kedatangan Wijaya Kusuma dengan senyuman. Pria itu tidak membalas sama sekali. Dia melirik pun tidak.“Kenapa Pak Wijaya tidak menemui wanita itu?” tanya pertugas resepsionis.“Lihat itu! Pak Dodi yang masuk ruang tunggu,” jawab rekannya.“Oh ya.” Dua wanita melihat Dodi yang sudah berbicara dengan Amira.“Selamat datang, Amira.” Dodi mengulurkan tangan pada Amira.“Terima kasih, Pak Dodi.” Amira berjabat tangan dengan Dodi.“Maaf menunggu lama.” Pak Dodi duduk berhadapan dengan Amira.“Tidak apa. Sudah menjadi hukum alam bahwa bawahan harus datang lebih awal dari atasan,” ucap Amira tersenyum cantik. “Anda benar-benar terbuka.” Pak Dodi tertawa. Dia memastikan Wijaya Kusuma sudah berada di ruang kerja.“Mari kita ke ruangan Pak Wijaya.” Dodi kembali
Ponsel Wijaya Kusuma berdering. Pria itu segera menerima panggilan dari kepala pelayan. “Halo, Bibi.” Wijaya Kusuma memutar kursi membelakangi Amira dan Dodi.“Pak, Tuan Muda Keano terus menangis. Tubuhnya mengigil dan panas,” ucap bibi khawatir.“Apa? Telpon dokter Ibra,” tegas Wijaya Kusuma dengan suara yang nyaring sehingga Dodi dan Amira menoleh pada pria itu. “Sudah, Pak. Kami dalam perjalanan ke rumah sakit, Pak.” Suara bibi terdengar serak.“Hah! Amira ikut aku ke rumah sakit.” Wijaya Kusuma mengambil jas dan kunci mobil.“Pak Dodi tetap di sini,” ucap Wijaya Kusuma.“Ada apa?” tanya Dodi.“Keano sakit,” jawab Wijaya Kusuma keluar dari ruangan.“Cepatlah, Amira. Ikut Pak Jaya.” Pak Dodi mendorong tubuh Amira.“Ya.” Amira segera mengejar Wijaya masuk ke dalam lift.“Siapa Keano?” tanya Amira ketika pintu lift tertutup.“Putraku,” jawab Wijaya.“Oh. Berapa usianya?” tanya Amira lagi.“Belum satu bulan,” jawab Wijaya Kusuma tanpa melihat pada Amira.“Sama dengan putraku yang me
Amira merasakan pergerakan tangan kecil yang mengusap dadanya. Wanita itu segera membuka mata dan tersenyum pada bayi tampan yang menatapnya.“Apa pangeran kecil masih lapar?” Amira tidak tahu bahwa Wijaya memperhatikannya. Dia berpikir hanya berdua dengan Keano. Wanita itu membuka kancing kemeja dan mengeluarkan buah montok berisi susu penuh. Dia memberikan kepada bayi yang baru saja menemukan kehidupan barunya. “Ah, kamu kuat sekali.” Amira tersenyum merasakan tarikan dari mulut kecil Keano. Bayi itu seakan takut wanita yang menjadi ibu susunya itu akan pergi meninggalkannya. “Ah, aku jadi lapar.” Amira mencium kepala Keano penuh cinta. Wanita itu begitu lembut. Dia menganggap bayi kecil itu adalah putranya yang sudah meninggal.“Andai anaku masih hidup. Pasti dia akan setampan kamu,” ucap Amira menghela napas berat. Dia kembali tersenyum melihat bola mata jernih Keano.“Kapan aku mendekatinya? Tidak mungin melihat itu,” ucap Wijaya Kusuma duduk di sofa. Dia mengalihkan pandangan k
Mobil yang membawa Amira langsung menuju villa di samping rumah utama. Bangunan dengan nuansa putih tenang dan sejuk dengan banyak pohon yang rindang. Wanita itu segera turun. Muchen melihat dari kamarnya. Memperhatikan penghuni tempat kesukaanya yang sudah lama ditinggali.“Anda akan tinggal di sini. Anggap saja rumah sendiri.” Sopir mengeluarkan koper dari bagasi.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira membawa koper masuk ke dalam rumah yang terlihat minimalis, tetapi mewah. Semua serba putih sehingga tampak terang. “Aku pilih kamar di bawah saja. Di atas akan lelah turun naik tangga dan membuat lama keluar masuk.” Amira membuka pintu kamar yang ada di ruang tengah. Dia meletakkan koper di kamar dan kembali ke ruang. Wanita itu lebih tertarik untuk menjelajahi tempat tinggal barunya.“Wah. Benar-benar nyaman. Ada kolam ikan dan kolam renang. Taman untuk bersantai.” Amira berkeliling sekitar villa. Dia seakan mengetahui Batasan antara tempat tinggalnya dengan rumah utama Muchen.Am
Amira mulai mempelajari dan menghapal jadwal kerja Wijaya. Wanita itu tidak kesulitan sama sekali dengan pekerjaan yang memang sudah biasa dia lakukan. “Apa kamu butuh pelayan?” tanya Wijaya. “Tidak,” jawab Amira yang tidak melihat sama sekali pada Wijaya. “Kenapa?” tanya Wijaya. “Aku lebih nyaman melakukan semuanya sendiri,” jawab Amira. “Aku hanya perlu stok makanan cukup. Itu saja,” ucap Amira. “Itu lebih baik sehingga kamu bisa menjaga privasi diri.” Wijaya berbicara di dalam hati. Mobil terus melaju hingga tiba di kantor. Amira dan Dodi masih bekerja sama sebelum pria itu benar-benar berhenti. Memastikan sekretaris baru memahami pekerjaannya. Andika duduk di balik meja kerjanya. Dia menatap akta cerai dirinya dengan Amira. Pria itu merasa tidak rela untuk memberitahu kepada sang mantan istri bahwa mereka sudah sah bercerai. “Kenapa ponselnya tidak aktif lagi? Apa Amira ganti nomor?” Andika menghela napas dengan berat. Pria itu sudah sangat merindukan istrinya. “Aku akan
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la