Terima kasih. Semoga suka.
Ponsel Wijaya Kusuma berdering. Pria itu segera menerima panggilan dari kepala pelayan. “Halo, Bibi.” Wijaya Kusuma memutar kursi membelakangi Amira dan Dodi.“Pak, Tuan Muda Keano terus menangis. Tubuhnya mengigil dan panas,” ucap bibi khawatir.“Apa? Telpon dokter Ibra,” tegas Wijaya Kusuma dengan suara yang nyaring sehingga Dodi dan Amira menoleh pada pria itu. “Sudah, Pak. Kami dalam perjalanan ke rumah sakit, Pak.” Suara bibi terdengar serak.“Hah! Amira ikut aku ke rumah sakit.” Wijaya Kusuma mengambil jas dan kunci mobil.“Pak Dodi tetap di sini,” ucap Wijaya Kusuma.“Ada apa?” tanya Dodi.“Keano sakit,” jawab Wijaya Kusuma keluar dari ruangan.“Cepatlah, Amira. Ikut Pak Jaya.” Pak Dodi mendorong tubuh Amira.“Ya.” Amira segera mengejar Wijaya masuk ke dalam lift.“Siapa Keano?” tanya Amira ketika pintu lift tertutup.“Putraku,” jawab Wijaya.“Oh. Berapa usianya?” tanya Amira lagi.“Belum satu bulan,” jawab Wijaya Kusuma tanpa melihat pada Amira.“Sama dengan putraku yang me
Amira merasakan pergerakan tangan kecil yang mengusap dadanya. Wanita itu segera membuka mata dan tersenyum pada bayi tampan yang menatapnya.“Apa pangeran kecil masih lapar?” Amira tidak tahu bahwa Wijaya memperhatikannya. Dia berpikir hanya berdua dengan Keano. Wanita itu membuka kancing kemeja dan mengeluarkan buah montok berisi susu penuh. Dia memberikan kepada bayi yang baru saja menemukan kehidupan barunya. “Ah, kamu kuat sekali.” Amira tersenyum merasakan tarikan dari mulut kecil Keano. Bayi itu seakan takut wanita yang menjadi ibu susunya itu akan pergi meninggalkannya. “Ah, aku jadi lapar.” Amira mencium kepala Keano penuh cinta. Wanita itu begitu lembut. Dia menganggap bayi kecil itu adalah putranya yang sudah meninggal.“Andai anaku masih hidup. Pasti dia akan setampan kamu,” ucap Amira menghela napas berat. Dia kembali tersenyum melihat bola mata jernih Keano.“Kapan aku mendekatinya? Tidak mungin melihat itu,” ucap Wijaya Kusuma duduk di sofa. Dia mengalihkan pandangan k
Mobil yang membawa Amira langsung menuju villa di samping rumah utama. Bangunan dengan nuansa putih tenang dan sejuk dengan banyak pohon yang rindang. Wanita itu segera turun. Muchen melihat dari kamarnya. Memperhatikan penghuni tempat kesukaanya yang sudah lama ditinggali.“Anda akan tinggal di sini. Anggap saja rumah sendiri.” Sopir mengeluarkan koper dari bagasi.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira membawa koper masuk ke dalam rumah yang terlihat minimalis, tetapi mewah. Semua serba putih sehingga tampak terang. “Aku pilih kamar di bawah saja. Di atas akan lelah turun naik tangga dan membuat lama keluar masuk.” Amira membuka pintu kamar yang ada di ruang tengah. Dia meletakkan koper di kamar dan kembali ke ruang. Wanita itu lebih tertarik untuk menjelajahi tempat tinggal barunya.“Wah. Benar-benar nyaman. Ada kolam ikan dan kolam renang. Taman untuk bersantai.” Amira berkeliling sekitar villa. Dia seakan mengetahui Batasan antara tempat tinggalnya dengan rumah utama Muchen.Am
Amira mulai mempelajari dan menghapal jadwal kerja Wijaya. Wanita itu tidak kesulitan sama sekali dengan pekerjaan yang memang sudah biasa dia lakukan. “Apa kamu butuh pelayan?” tanya Wijaya. “Tidak,” jawab Amira yang tidak melihat sama sekali pada Wijaya. “Kenapa?” tanya Wijaya. “Aku lebih nyaman melakukan semuanya sendiri,” jawab Amira. “Aku hanya perlu stok makanan cukup. Itu saja,” ucap Amira. “Itu lebih baik sehingga kamu bisa menjaga privasi diri.” Wijaya berbicara di dalam hati. Mobil terus melaju hingga tiba di kantor. Amira dan Dodi masih bekerja sama sebelum pria itu benar-benar berhenti. Memastikan sekretaris baru memahami pekerjaannya. Andika duduk di balik meja kerjanya. Dia menatap akta cerai dirinya dengan Amira. Pria itu merasa tidak rela untuk memberitahu kepada sang mantan istri bahwa mereka sudah sah bercerai. “Kenapa ponselnya tidak aktif lagi? Apa Amira ganti nomor?” Andika menghela napas dengan berat. Pria itu sudah sangat merindukan istrinya. “Aku akan
Andika masih menunggu Amira keluar dari kamar mandi. Pria itu sangat penasaran karena mantan istrinya telah menjadi sekretaris pribadi Wijaya. “Aku tahu dia mampu dan pantas menjadi sekretaris Wijaya karena Amira memang memiliki kemampuan. Dia menguasai banyak Bahasa.” Andika menyenderkan tubuh di dinding kamar mandi wanita.“Kenapa dia lama sekali?” Andikan berjalan masuk ke lorong kamar mandi dan melihat Amira yang masih berdiri di depan cermin. Wanita itu merapikan diri. “Dika, apa yang kamu lakukan di sini?” Amira terkejut melihat Andika yang sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu segera memutar tubuh. “Sayang, kamu semakin cantik dan seksi.” Andika mendekat.“Menjauh dariku!” Amira mundur dan terhimpit pada dinding. Dia benar-benar takut pada Andika yang telah dianggap asing olehnya. Apalagi pria itu hampir melecehkannya.“Aku merindukan kamu, Sayang.” Andika memperhatikan Amira.“Keluar!” teriak Amira. Wanita itu ingin berlari, tetapi tubuhnya ditahan Anidika.“Lepaskan!” Am
Wijaya melihat Amira yang berlari dari kaca jendela. Pria itu tersenyum. Amira seakan punya dua kepribadian. Kadang terlihat ceria dan tiba-tiba menjadi pendiam.“Padahal aku mau melihat Keano.” Amira berbicara di dalam hati. Dia hanya menoleh pada jendela kamar Keano yang tertutup rapat. Wanita itu rindu pada putra Wijaya. “Hm, berapa usia Amira?” tanya Wijaya Kusuma yang lupa melihat tahun lahir Amira di data pribadi wanita itu.Wijaya langsung menuju kamarnya dan membersihkan diri. Dia berganti pakaian dan pergi ke kamar Keano. Bayi tampan yang tidak lagi nangis kelaparan karena ada stok asi dari Amira.“Bagaimana kabar Keano?” tanya Wijaya pada bibi.“Tuan muda benar-benar sehat dan bersemangat. Hari ini hanya menangis ketika lapar saja,” jawab bibi tersenyum bahagia.“Mm.” Wijaya melihat anaknya sedang tidur di dalam ayunan.“Ah ya, Pak. Apa Nona Amira tidak kemari?” Bibi memperhatikan Wijaya yang mencium Keano.“Tidak. Dia pasti lelah dan butuh istirahat,” ucap Wijaya. “Stok as
Amira menyelesaikan makan malam. Dia beranjak dari kursi dan mengambil piring kotor. Wanita itu mau mencucinya.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Wijaya menatap tajam pada Amira yang memegang piring pria itu.“Aku akan mencuci piring,” jawab Amira.“Aku tidak membawa mahal untuk mencuci piring. Tugas kamu adalah menjadi sekrestaris dan asisten pribadi serta ibu susu untuk Keano,” tegas Wijaya.“Tidak apa, Pak. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum.“Pergilah ke kamar kamu,” usir Wijaya mengejutkan Amira.“Apa?” Amira melepaskan piring dari tangannya.“Aku tidak suka melihat tangan yang menggendong putraku menjadi kotor dan lecet.” Wijaya beranjak dari kursi.“Baiklah.” Amira segera berjalan menuju wastapel. Dia mencuci bersih dan mengeringkan tangannya. Wijaya memperhatikan secara diam-diam.“Pak.” Amira menyusul Wijaya.“Saya izin melihat Keano sebentar sebelum pulang,” ucap Amira.“Pergilah.” Wijaya tidak menoleh sama sekali pada Amira.“Terima kasih, Pak.” Amira berlari menaiki tan
Pagi-pagi Amira tidak pergi ke rumah Wijaya. Dia membuat sarapan sendiri dan menikmatinya dengan tenang tanpa tekanan dari bosnya. Tangan dan tubuh yang lincah serta kemampuan memasak yang tidak diragukan lagi.“Em, masakan hari ini benar-benar mewah. Sejak memberi asi kepada Keano, aku semakin kuat makan dan mudah lapar.” Amira sudah menyajika makanan di atas meja. Dia duduk dan membaca doa. “Anak Mama, Keano adalah Devano.” Amira tersenyum. Menikmati sarapan seorang diri.Wijaya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan. Dia tidak melihat Amira. Pria itu duduk di kursi.“Maaf, Pak. Nyonya meminta Anda untuk menghubunginya,” ucap bibi.“Ya.” Wijaya mengeluarkan ponsel dari saku jas.“Kenapa Amira tidak sarapan di sini?” tanya Wijaya pada bibi.“Nona Amira memasak sendiri, Pak. Dia punya banyak waktu di pagi hari. Itu yang dikatakan kepada saya,” jawab bibi.“Baik.” Wijaya menghubungi nomor ponsel Luna dan tidak ada jawaban karena wanita itu masih terlelap di dalam tidur.“Tidak
Amira selalu bangun lebih awal agar bisa mengurus sendiri suami dan bayinya. Dia membuka mata dan mencium tiga lelakinya. Beranjak dari kasur dan masuk ke kamar mandi. Wijaya dengan mudat terbangun setiap ada pergerakan. Pria itu melihat sang istri yang sudah hilang di balik pintu.“Mm.” Wijaya tersenyum. Dia pun menyusul istrinya yang tidak pernah mengunci pintu kamar mandi.“Aaahh!” Amira terkejut hingga memegang dadanya dan bersender di dinding. Wanita itu menatap pada Wijaya yang tersenyum.“Sayang, kamu mengejutkanku.” Amira menenangkan dirinya.“Kenapa bangun sangat awal?” tanya Wijaya mencuci muka dan menggosok giginya.“Karena aku mau mengurus anak-anak dan suamiku,” jawab Amira yang sudah membasahi diri di bawah shower.“Apa tidak dingin?” Wijaya memeluk Amira dari belakang.“Tidak, Sayang. Suhu airnya tepat.” Amira memutar tubuh dan menghadap Wijaya. Dia mengecup bibir suaminya yang masih terasa mint dari pasta gigi. Wajah pria itu pun harum karena mendapatkan pembersih denga
Luwiq duduk di sebuah café di Italia. Dia menunggu seseorang yang telah janjian dengannya. Pria itu datang seorang diri.“Kenapa kamu mengundangku?” tanya Giorgio yang segera duduk di depan Luwiq.“Kamu kenal mereka kan?” Luwiq memberikan foto Amira dan Wijaya.“Apa kamu bermasalah dengan Wijaya?” tanya Giorgio.“Ya. Dia menghancurkan bisnis keluargaku. Aku ingin balas dendam,” jawab Luwiq.“Kamu mau balas dendam dengan cara bagaimana?” Giogio melihat foto Amira.“Membunuh semua anggota keluarga Wijaya dan mengambil istrinya untukku. Tidak masalah sisa Wijaya.” Luwiq tersenyum.“Balas dendam yang seharusnya kamu lakukan adalah membunuh bisnis Wijaya dan bukan menghancurkan keluarganya.” Giorgio mengepalkan tangannya menutupi rasa marah ketika dia tahu Luwiq ingin memiliki Amira.“Dia sudah menghancurkan kehidupan adikku,” ucap Luwiq.“Siapa adik kamu?” tanya Giorgio.“Luna. Dia adalah adik beda ibu, tetapi aku tetap menyayanginya. Sekarang dia terjebak di Amerika dan aku tidak bisa men
Cantika benar-benar tidak bisa lari dari rumah Andika. Dia tidak berani mengambil resiko terjun bebas. Ada rasa takut yang tidak bisa dilawan.“Kak Andika, tolong lepaskan aku. Aku terlalu mencintai kamu.” Cantika meringkuk di balkon kamar. Wanita itu hanya bisa menangis seorang diri menunggu Nasib yang akan ditentukan oleh Andika. Dia tertidur di lantai.Andika kembali ke kamar dan melihat tempat tidur yang kosong. Pria itu bisa menebak bahwa Cantika berada di balkon karena pintu yang terbuka.“Kamu tidak akan bisa lagi, Cantika.” Andika membawa tali menuju balkon dan melihat Cantika yang meringkuk di lantai.“Sepertinya kamu suka di sini.” Andia mengikat Cantika di pagar balkon.“Ah. Andika.” Cantika membuka mata. Dia terkejut ketika melihat tangan yang sudah diikat di besi pagar balkon. “Sepertinya kamu lebih suka di sini dari pada di kasur.” Andika tersenyum.“Tidak. Aku mau ke kasur,” ucap Cantika.“Kak, tolong ampuni aku. Aku sangat mencintai kamu sehingga menjadi gelap mata.” C
Andika mengerahkan semua tenaga dan uang untuk mencari keberadaan Devano. Dia yakin bahwa itu adalah anaknya dan Amira. Pria itu ingin bersama kembali dengan mantan istrinya.“Pak, kami menemukan ini di lokasi kecelakaan pesawat.” Anak buah Andika memberikan rekaman video dan foto serta menemukan peluru.“Apa ini?” Andika bingung karena foto dan video itu benar-benar gelap.“Ini adalah mobil Pak Wijaya. Dia terlihat menggendong bayi,” jelas pria itu.“Wijaya!” Andika mengepalkan tangannya. Dia sangat marah karena terlambat datang ke lokasi sehingga Wijaya lebih dulu mendapatkan Devano.“Bayi ini dapat dipastikan adalah Devano karena Wijaya rela turun langsung ke lapangan untuk menjemputnya demi Amira.” Andika benar-benar kesal. Kehidupannya hancur karena Cantika. Dia harus kehilangan wanita yang dicintainya dan seorang anak laki-laki yang tampan.“Sial. Cantika. Aku akan membunuh kamu.” Andika meremas foto yang dipegangnya. “Kita tidak bisa mengambil Devano dari Wijaya. Hentikan penca
Amira dan Wijaya tidur di atas kasur yang sama, tetapi mereka dipisahkan oleh dua bayi laki-laki yang akan memperebutkan asi ketika terbangun.“Sayang, apa bisa kamu tidur di sebelahku?” tanya Wijaya.“Siapa yang akan menjaga Keano?” Amira tersenyum.“Tetapi aku mau memeluk kamu,” ucap Wijaya.“Untuk mala mini. Kita hanya akan memeluk anak-anak.” Amira memejamkan mata dan memeluk Devano.“Hm. Satu saja kami rebutan. Apalagi dua.” Wijaya melihat dua bayi tampan yang ada diantara dirinya dan Amira.Malam semakin larut. Tidur Amira benar-benar nyenyak. Wanita itu tersenyum bahagia memeluk putranya, tetapi mata Wijaya terus terbuka. Dia tidak bisa memejamkan indera penglihatannya karena tidak memeluk sang istri.“Pasti dia sudah tidur.” Wijaya melihat tempat tidur yang memiliki dinding. Pria itu segera turun dan menarik pagar untuk melindungi putrinya. Dia berpindah ke tempat Amira.“Aku tidak bisa tidur. Jika tidak memeluk kamu, Sayang.” Wijaya mencium pipi dan mengecup bibir Amira. Dia m
Luwiq menatap layar computer. Pria itu mendapatkan laporan bahwa anak buah terbaiknya telah hilang kontak. Dipastikan sudah ditangkap Wijaya.“Apa tidak ada yang tersisa?” tanya Luwiq.“Tidak ada, Bos. Mereka semua masuk ke rumah Wijaya untuk mengambil dua bayi yang disembunyikan,” jawab asisten pribadinya membungkuk.“Bodoh!” bentak Luwiq.“Aku menunggu waktu ini sangat lama dan masih gagal juga. Biaya yang aku keluarkan tidak sedikit dan Wijaya bahkan tidak mati.” Luwiq menatap tajam pada asistennya yang menunduk.“Jika tidak bisa membunuh Wijaya. Aku mau orang yang paling dicintainya. Wanita itu Amira kan? Dia bahkan rela melepaskan Luna demi seorang janda yang memang menggoda.” Luwiq melihat foto Amira yang ada di layar computer.“Siapa pria yang telah membuang wanita yang cantik dan seksi ini?” tanya Luwiq.“Andika. Pria itu terpaksa menceraikan Amira karena dorongan orang tua. Padahal, dia masih sangat mencintai sang istri,” jawab asisten.“Sekarang mencari sang anak yang dikabar
Wijaya masuk ke dalam penjara dan mendekati pelayan yang telah jadi mata-mata di rumahnya. Pria itu mencengkram leher perempuan yang meringkuk kedinginan di lantai yang mulai membeku.“Kamu benar-benar berani masuk ke dalam rumahku.” Wijaya mencekik leher pelayan yang gemetar menahan dingin yang menusuk tulang.“Aku bahkan tidak sadar ada musuh, tetapi tidak akan mudah masuk lebih dalam.” Wijaya tersenyum tipis.“Siapa yang memerintahkan kamu?” tanya Wijaya melepaskan tangannya dari leher pelayan.“Plak!” Tamparan kuat mendarat di wajah wanita itu.“Aku tidak peduli kamu seorang wanita.” Wijaya memberi kode kepada penjaga untuk melakukan penyiksaan pada wanita itu agar menjawab pertanyaannya.“Lakuka napa pun untuk mendapatkan jawaban,” tegas Wijaya.“Baik, Pak.” Para penjaga melepaskan pakaian wanita sehingga hanya mengenakan dalaman saja.“Kamu bisa menjawab karena ada kamera di ruangan ini. Kami beri waktu tiga puluh menit,” ucap penjaga tersenyum.“To-tolong.” Bibir wanita itu berg
Wijaya pergi ke rumah yang sudah ditinggalkan. Pria itu tidak terlalu rumah yang penuh dengan kenangan bersama Amira menjadi tempat pembantaian. “Jack. Apa bisa pindahkan mereka ke gudang? Aku tidak tega membuat rumah ini penuh dengan darah dan teriakan. Lebih baik merobohkannya saja.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia memadangi rumahnya.“Bisa, Bos.” Jack tersenyum.“Kita hanya perlu membuat mereka tidak sadarkan diri dan diangkut dengan truk tertutup,” ucap Jack.“Lakukan itu di malam hari. Aku tidak mau mengotori rumah pertama aku dan Amira,” tegas Wijaya.“Baik, Pak. Kami akan bergerak malam ini,” ucap Jack mengikuti Wijaya masuk ke dalam rumah.“Aku hanya mau memeriksa rumah saja. Bawa mereka semua ke penjara kematian.” Wijaya menaiki tangga menuju kamarnya dan Amira.“Terlalu banyak kenangan di kamar ini. Marahnya Amira ketika dia belum jatuh cinta padaku.” Wijaya tersenyum. Dia duduk di tepi kasur. Pria itu memperhatikan seisi kamar.“Sebaiknya aku pulang saja.” Wijaya beranja
Wijaya sudah siap untuk pergi ke Perusahaan. Pria itu sudah cukup lama meninggalkan pekerjaan. Dia harus menyelesaikan banyak hal.“Apa kamu akan pergi ke kantor?” Amira merapikan dasi dan jas Wijaya.“Ya, Sayang. Kita punya dua bayi yang harus dibesarkan.” Wijaya tersenyum.“Kamu di rumah saja bersama anak-anak. Aku akan terlambat pulang karena sudah beberapa hari tidak masuk kantor. Jadi, tidak usah menungguku.” Wijaya mencium dahi Amira.“Apa kamu benar-benar sudah pulih?” Amira menatap Wijaya khawatir.“Tentu saja, Sayang. Aku bukan pria lemah.” Wijaya dan Amira berjalan ke halaman. Wanita itu mengantarkan suaminya hingga ke mobil.“Aku berangkat dulu. Tetap di rumah dan jangan keluar. Kamu tahu kan ada orang jahat yang sedang mengintai kita.” Wijaya tersenyum.“Apa ini ada hubungan dengan Devano?” tanya Amira.“Bisa jadi, Sayang. Jadi, tetap berada di dalam rumah bersama anak-anak,” ucap Wijaya.“Ya.” Amira mengangguk.“Aku mencintai kamu.” Wijaya mengecup bibir Amira.“Aku juga.”