Terima kasih atas dukungannya. Semoga suka.
Andika masih menunggu Amira keluar dari kamar mandi. Pria itu sangat penasaran karena mantan istrinya telah menjadi sekretaris pribadi Wijaya. “Aku tahu dia mampu dan pantas menjadi sekretaris Wijaya karena Amira memang memiliki kemampuan. Dia menguasai banyak Bahasa.” Andika menyenderkan tubuh di dinding kamar mandi wanita.“Kenapa dia lama sekali?” Andikan berjalan masuk ke lorong kamar mandi dan melihat Amira yang masih berdiri di depan cermin. Wanita itu merapikan diri. “Dika, apa yang kamu lakukan di sini?” Amira terkejut melihat Andika yang sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu segera memutar tubuh. “Sayang, kamu semakin cantik dan seksi.” Andika mendekat.“Menjauh dariku!” Amira mundur dan terhimpit pada dinding. Dia benar-benar takut pada Andika yang telah dianggap asing olehnya. Apalagi pria itu hampir melecehkannya.“Aku merindukan kamu, Sayang.” Andika memperhatikan Amira.“Keluar!” teriak Amira. Wanita itu ingin berlari, tetapi tubuhnya ditahan Anidika.“Lepaskan!” Am
Wijaya melihat Amira yang berlari dari kaca jendela. Pria itu tersenyum. Amira seakan punya dua kepribadian. Kadang terlihat ceria dan tiba-tiba menjadi pendiam.“Padahal aku mau melihat Keano.” Amira berbicara di dalam hati. Dia hanya menoleh pada jendela kamar Keano yang tertutup rapat. Wanita itu rindu pada putra Wijaya. “Hm, berapa usia Amira?” tanya Wijaya Kusuma yang lupa melihat tahun lahir Amira di data pribadi wanita itu.Wijaya langsung menuju kamarnya dan membersihkan diri. Dia berganti pakaian dan pergi ke kamar Keano. Bayi tampan yang tidak lagi nangis kelaparan karena ada stok asi dari Amira.“Bagaimana kabar Keano?” tanya Wijaya pada bibi.“Tuan muda benar-benar sehat dan bersemangat. Hari ini hanya menangis ketika lapar saja,” jawab bibi tersenyum bahagia.“Mm.” Wijaya melihat anaknya sedang tidur di dalam ayunan.“Ah ya, Pak. Apa Nona Amira tidak kemari?” Bibi memperhatikan Wijaya yang mencium Keano.“Tidak. Dia pasti lelah dan butuh istirahat,” ucap Wijaya. “Stok as
Amira menyelesaikan makan malam. Dia beranjak dari kursi dan mengambil piring kotor. Wanita itu mau mencucinya.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Wijaya menatap tajam pada Amira yang memegang piring pria itu.“Aku akan mencuci piring,” jawab Amira.“Aku tidak membawa mahal untuk mencuci piring. Tugas kamu adalah menjadi sekrestaris dan asisten pribadi serta ibu susu untuk Keano,” tegas Wijaya.“Tidak apa, Pak. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum.“Pergilah ke kamar kamu,” usir Wijaya mengejutkan Amira.“Apa?” Amira melepaskan piring dari tangannya.“Aku tidak suka melihat tangan yang menggendong putraku menjadi kotor dan lecet.” Wijaya beranjak dari kursi.“Baiklah.” Amira segera berjalan menuju wastapel. Dia mencuci bersih dan mengeringkan tangannya. Wijaya memperhatikan secara diam-diam.“Pak.” Amira menyusul Wijaya.“Saya izin melihat Keano sebentar sebelum pulang,” ucap Amira.“Pergilah.” Wijaya tidak menoleh sama sekali pada Amira.“Terima kasih, Pak.” Amira berlari menaiki tan
Pagi-pagi Amira tidak pergi ke rumah Wijaya. Dia membuat sarapan sendiri dan menikmatinya dengan tenang tanpa tekanan dari bosnya. Tangan dan tubuh yang lincah serta kemampuan memasak yang tidak diragukan lagi.“Em, masakan hari ini benar-benar mewah. Sejak memberi asi kepada Keano, aku semakin kuat makan dan mudah lapar.” Amira sudah menyajika makanan di atas meja. Dia duduk dan membaca doa. “Anak Mama, Keano adalah Devano.” Amira tersenyum. Menikmati sarapan seorang diri.Wijaya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan. Dia tidak melihat Amira. Pria itu duduk di kursi.“Maaf, Pak. Nyonya meminta Anda untuk menghubunginya,” ucap bibi.“Ya.” Wijaya mengeluarkan ponsel dari saku jas.“Kenapa Amira tidak sarapan di sini?” tanya Wijaya pada bibi.“Nona Amira memasak sendiri, Pak. Dia punya banyak waktu di pagi hari. Itu yang dikatakan kepada saya,” jawab bibi.“Baik.” Wijaya menghubungi nomor ponsel Luna dan tidak ada jawaban karena wanita itu masih terlelap di dalam tidur.“Tidak
Luna benar-benar tidur dengan nyenyak hingga bangun kesiangan. Wanita itu lelah bekerja sampai tengah malam.“Ah, pukul berapa sekarang? Perutku lapar.” Luna membuka mata. Kamar yang tertutup rapat itu tepat gelap. Walaupun hari sudah siang.“Apa kamu sudah bangun?” Manager Luna duduk di sofa.“Ah lelah sekali,” ucap Luna malas mengangkat tubuhnya. “Sekarang bukan lagi waktu sarapan, tetapi sudah jam makan siang.” Sang manager tersenyum.“Kita pulang perawat jam berapa?” tanya Luna duduk di tepi kasur.“Pukul satu,” jawab Bella.“Aku mandi dulu.” Luna beranjak dari tempat tidur dan berjalan masuk ke kamar mandi.“Pernikahan seperti apa yang kalian jalani? Tidak ada komunikasi sama sekali? Apa Luna dan Wijaya ini benar-benar saling mencintai atau hanya pernikahan bisnis yang biasa dilakukan oleh Kalangan atas? Wijaya yang butuh istri untuk mendapatkan anak dan Luna menginginkan nama di dunia entertaimen.” Bella melihat ponsel pribadi Luna yang benar-benar sepi.“Aku tidak pernah meliha
Amira keluar dari kamar dengan menggendong Keano. Mereka berdua benar-benar harum. Wajah yang segar dengan senyuman penuh kebahagian. Keduanya saling melengkapi. Amira yang kehilangan putra dan Keano yang ditinggalkan sang ibu untuk berkarier. “Kenapa lama sekali?” Wijaya mengambil Keano dari tangan Amira. Pria itu bisa mencium aroma manis dari tubuh asistennya. Menyegarkan hidung dan membangkitkan gairahnya. Dia benar-benar harus terus menahan diri dari godaan ibu susu putranya. “Maaf. Kami bermain air. Keano sangat suka,” ucap Amira tersenyum. “Ayo jalan-jalan.” Wijaya meletakakn Keano di dalam tempat tidur roda.“Apa Bibi tidak ikut?” tanya Amira melihat bibi yang masih duduk diam.“Bibi akan memastikan menu makan malam untuk kita,” jawab bibi.“Oh. Baiklah.” Amira mengangguk. Dia berjalan berdampingan dengan Wijaya. Mereka benar-benar seperti pasangan suami istri yang sedang mengasuh bayi.“Apa kamu akan menikah lagi?” tanya Wijaya mengejutkan Amira karena wanita itu pikir bosny
Amira terbiasa bangun di pagi hari. Dia adalah wanita yang mandiri. Mempersiapkan semuanya dengan sempurna. Sebelum berangkat pun, sang ibu susu sudah menyimpan stok asi untuk Keano. Memandikan bayi kecil itu dengan tangannya sendiri. Hubungannya dengan putra Wijaya tidak ada lagi batasan. Benar-benar layaknya ibu kandung pada anaknya sendiri.“Mm.” Amira benar-benar bersemangat. Dia melakukan semuanya bersama dengan Keano. Wanita itu merasa benar-benar kembali hidup. Memiliki putra seperti yang diinginkannya.“Sayang, kamu dengan bibi ya. Tidak boleh lewel. Apalagi menangis. Stok asi sudah ibu siapkan.” Amira berbicara dengan Keano. Bayi kecil itu tertawa bahagia. Kedua bola mata mereka saling bertemu dalam ikatan cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak.“Terima kasih telah hadir di dalam hidupku.” Amira menatap Keano.“Terima kasih untuk malam pertama tidur bersama sehingga aku benar-benar merasakan jadi seorang ibu.” Mata Amira berkaca-kaca. Dia menatap Keano dengan senyuman dan
Mobil Wijaya berhenti di depan villa. Amira dengan cepat turun dari mobil. Wanita itu tidak peduli dengan bosnnya. Dia sangat merindukan Keano.“Apa?” Wijaya melihat pada Amira yang sudah berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan dirinya.“Sepertinya Keano jauh lebih berharga dari saya.” Wijaya berjalan santai dan menyusul Amira. Dia melihat sekretarisnya sudah masuk ke dalam kamar.“Hm.” Wijaya pun masuk ke kamarnya.“Non Amira.” Bibi tersenyum melihat kehadiran Amira.“Aku bersihkan diri dulu, Bi.” Amira masuk ke kamar mandi. Dia mandi untuk membersihkan diri.Wanita itu keluar dengan cepat. Dia membalut tubuh dengan handuk putih dan berjalan menuju lemari pakaian. Mengambil dress putih dan mengenakannya tanpa daleman agar mudah memberikan asi kepada Keano.“Ibu sudah bersih.” Amira naik ke tempat tidur. Dia membuka kancing dres dan memberikan asi kepada Keano.“Saya permisi.” Bibi tidak mau mengganggu waktu Amira dan Keano. Wanita itu memeriksa ruang makan dan memastikan bahwa menu
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano.“Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi.“Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe
Amira yang menyadari kedua putra yang masih menunggu dirinya segera menepi. Dia tidak butuh lama untuk memuaskan diri berkuda. Wanita itu merasa tidak muda lagi.“Ini menyenangkan.” Amira turun dari kuda dengan bantuan Leon.“Terima kasih,” ucap Amira.“Apa sudah selesai, Ma?” tanya Keano memegang tangan Amira.“Tentu saja, Sayang. Mama hanya perlu naik kuda dan menungganginya. Itu cukup.” Amira mengusap kepala dua putranya yang sudah memiliki postur tubuh tinggi di usia yang masih sangat muda.“Kalian berdua yang harus banyak Latihan karena akan mengikuti lombat,” ucap Amira.“Baik, Ma. Kami akan memperlihatkan penampilan terbaik di depan, Mama.” Keano sudah melompat ke atas kuda. “Wah. Keren.” Amira terkejut melihat gerakan lincah dan gesit dari Keano dan Devano.“Luar biasa. Anak Mama memang hebat.” Amira bertepuk tangan. Dia benar-benar kagum melihat kedua putranya. Wanita itu tidak pernah mengikuti Keano dan Devano ketika Latihan di luar rumah. Dia harus tetap bersama anak kembar
Wijaya telah terbang ke luar negeri. Pria itu benar-benar harus meninggalkan anak istrinya karena pertemuan yang tidak bisa diwakilkan. Dia sudah lama tidak pertemu dengan para pendukungnya sehingga dia tetap bisa terus berada pada puncak kesuksesan. Bisnis legal dan illegal dijalaninya.“Pastikan Leon tetap di rumah bersama anak dan istriku,” tegas Wijaya.“Iya, Pak. Anak-anak akan terus berada dalam pengawasan dan penjagaan,” ucap Jack.“Beberapa tahun ini hidup kita terlalu tenang. Jadi, mulai tingkatkan kembali kewaspadaan. Mungkin musuh dari masa lalu masih mencari kesempatan untuk menyerang balik,” jelas Wijaya.“Pasti, Pak.” Jack mengangguk.Amira selalu senang memasak. Dia dibantu para pelayan membuat cemilan sehat untuk anak-anaknya. Wanita itu tidak bisa hanya diam saja.“Nyonya, Anda dilarang lelah.” Leon menyusul ke dapur. Pria itu benar-benar mendapatkan tugas yang berat yaitu menjaga istri Wijaya Kusuma.“Aku tidak lelah, Leon. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum
Cantika meringkuk di atas kasur lusuh. Dia kedinginan karena curah hujan yang cukup tinggi. Wanita itu tidak memiliki selimut.“Dingin sekali. Tubuhku panas dan sakit. Luka ini akan infeksi jika tidak diobati.” Cantika beranjak dari kasur dan berusaha membuka pintu, tetapi terkunci.“Apa?” Cantika kembali ke kasur dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya.“Gudang ini sangat pengap. Bagaimana caranya aku keluar?” tanya Cantika yang mulai menangis. “Ma, Pa. Tolong aku.” Cantika terisak seorang diri.Andika mengaktifan ponsel Cantika. Dia melihat pesan dari Ranika dan beberapa panggilan yang tidak terjawab.“Aku akan meminta kembali milikku.” Andika tersenyum. Dia menghubungi ulang Ranika.“Cantika, di mana kamu?” tanya Ranika gelisah karena putrinya belum juga pulang dan hari sudah sangat laru serta hujan lebar.“Di rumahku,” jawab Andika.“Apa?” Ranika terkejut mendengarkan suara seorang pria yang tidak asing.“Siapa kamu?” tanya Ranika.“Apa Anda tidak mengenali saya lagi? Berapa tahun t
Pria yang marah dan terluka benar-benar menjadi sangat kejam. Tidak ada perasaan sama sekali. Dia menyiksa wanita dengan menggila.“Aku sangat sakit, Cantika. Kamu ditolong, tetapi tidak sadar diri. Aku dan Amira sudah sangat baik padamu di masa lalu.” Andika menggendong tubuh Cantika yang penuh luka dan memasukan ke dalam bak mandi yang terisi penuh air sabun.“Aaarhh!” Cantika tersadar karena rasa perih pada luka-luka tubuhnya.“Hah!” Wanita itu benar-benar terkejut mendapatkan dirinya yang sudah berada di dalam bak mandi.“Andika, aku mohon. Lepaskan aku. Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan.” Tangan gemetar Cantika memegang tepi bak mandi yang licin. Tubuhnya mulai menggigil karena kesakitan dan kedinginan.“Aku akan mati,” ucap Cantika.“Tidak, Cantika. Kamu tidak boleh mati dengan mudah.” Andika menarik tubuh Cantika keluar dari bak dan meletakkan dia atas lantai yang basah serta dingin. Pria itu membungkus tubuh mantan istrinya dengan handuk.“Keringkan tubuh kamu!” An
Cantika terpaksa mengikuti kemauan Andika karena nyawa wanita itu dalam bahaya. Dia pun pergi ke rumah sang mantan suami di bawah ancaman pisau.“Kita sampai,” ucap Cantika.“Kamu juga harus ikut turun.” Andika mengambil kunci mobil dan Cantika. Pria itu keluar dari mobil dengan senyuman puas. “Andika,” teriak Cantika. Wanita itu benar-benar takut masuk ke rumah Andika. Dia pernah disiksa dan hampir mati oleh mantan suaminya.“Kenapa Wijaya tidak memenjarakan kamu?” tanya Cantika dengan nada tinggi sehingga Andika menghentikan langkah kaki dan memutar tubuh mendekati mantan istrinya.“Karena aku adalah papa kandung Devano sama seperti Luna yang ibu kandung Keano,” jawab Andika tersenyum. “Apa maksud kamu?” Cantika bingung.“Wijaya dan Amira tidak mau anak-anak mereka memiliki orang tua yang di penjara,” jelas Andika. “Apa? Bukankah kalian tidak akan pernah bisa mendapatkan Devano dan Keano?” Cantika masih bertahan di dalam mobil. Dia tidak bisa pergi kemana pun. “Tapi darah kami me