Terima kasih atas dukungannya. Semoga suka.
Amira terbiasa bangun di pagi hari. Dia adalah wanita yang mandiri. Mempersiapkan semuanya dengan sempurna. Sebelum berangkat pun, sang ibu susu sudah menyimpan stok asi untuk Keano. Memandikan bayi kecil itu dengan tangannya sendiri. Hubungannya dengan putra Wijaya tidak ada lagi batasan. Benar-benar layaknya ibu kandung pada anaknya sendiri.“Mm.” Amira benar-benar bersemangat. Dia melakukan semuanya bersama dengan Keano. Wanita itu merasa benar-benar kembali hidup. Memiliki putra seperti yang diinginkannya.“Sayang, kamu dengan bibi ya. Tidak boleh lewel. Apalagi menangis. Stok asi sudah ibu siapkan.” Amira berbicara dengan Keano. Bayi kecil itu tertawa bahagia. Kedua bola mata mereka saling bertemu dalam ikatan cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak.“Terima kasih telah hadir di dalam hidupku.” Amira menatap Keano.“Terima kasih untuk malam pertama tidur bersama sehingga aku benar-benar merasakan jadi seorang ibu.” Mata Amira berkaca-kaca. Dia menatap Keano dengan senyuman dan
Mobil Wijaya berhenti di depan villa. Amira dengan cepat turun dari mobil. Wanita itu tidak peduli dengan bosnnya. Dia sangat merindukan Keano.“Apa?” Wijaya melihat pada Amira yang sudah berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan dirinya.“Sepertinya Keano jauh lebih berharga dari saya.” Wijaya berjalan santai dan menyusul Amira. Dia melihat sekretarisnya sudah masuk ke dalam kamar.“Hm.” Wijaya pun masuk ke kamarnya.“Non Amira.” Bibi tersenyum melihat kehadiran Amira.“Aku bersihkan diri dulu, Bi.” Amira masuk ke kamar mandi. Dia mandi untuk membersihkan diri.Wanita itu keluar dengan cepat. Dia membalut tubuh dengan handuk putih dan berjalan menuju lemari pakaian. Mengambil dress putih dan mengenakannya tanpa daleman agar mudah memberikan asi kepada Keano.“Ibu sudah bersih.” Amira naik ke tempat tidur. Dia membuka kancing dres dan memberikan asi kepada Keano.“Saya permisi.” Bibi tidak mau mengganggu waktu Amira dan Keano. Wanita itu memeriksa ruang makan dan memastikan bahwa menu
Amira turun dari mobil. Dia menunggu Wijaya dan tersenyum. Wanita itu segera masuk karena bosnya hanya diam tanpa ekspresi. Masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. “Baju sore.” Amira mengambil kaos putih lengan pendek dan celana dengan warna senada sebatas lutut. Itu adalah pakaian santai yang nyaman di kenakan di rumah. Dia keluar kamar dan menemui Keano yang sedang bersama bibi.“Non Amira sudah pulang.” Bibi tersenyum.“Sudah, Bi. Besok kita sudah pulang.” Amira mengambil Keano dari kereta bayi.“Halo, Sayang. Uh, anak ibu sudah semakin berat.” Amira mengangkat tinggi tubuh Keana dan menggendongnya. Bayi kecil itu tertawa lepas. Wijaya memperhatikan dari balik dinding kaca kamarnya.“Aku mau istri seperti Amira,” ucap Wijaya.“Baiklah. Aku akan menawarinya untuk menjadi istriku agar bisa menjadi ibu dari Keano.” Wijata Kusuma terus memperhatikan interaksi Amira dan Keano.“Tetapi, kenapa aku merasa Amira tidak tertarik sama sekali padaku? Dia cuek dan tidak ada
Amira melihat Keano yang tidur dengan nyenyak. Bibir mungil itu tersenyum. Dia benar-benar mirip dengan Wijaya.“Hah! Ketika kamu tidak butuh asi lagi. Ibu akan pergi.” Amira mencium dahi Keano.“Ibu tidak akan mengambil kamu dari mama Luna,” ucap Amira.“Ah, aku hampir lupa. Pesan tiket atau tidak?” Amira kembali keluar dari kamar. Dia harus berbicara dengan Wijaya.Ketika akan mengetuk pintu kamar Wijaya. Ponsel Amira berdering. Dia melihat nomor Eduar yang muncul di layar. Wanita itu memang harus menyimpan semua kontak yang bekerja sama dengan perusahaan mereka.“Halo, Pak Eduar.” Amira menerima panggilan dari Eduar. Dia membatalkan tangan yang akan mengetuk pintu kamar Wijaya. Pria yang juga sudah berdiri di depan pintu karena mau keluar dari kamar.“Amira, aku ada di depan villa kamu,” ucap Eduar.“Apa? Pak Eduar ada di depan vila,” teriak Amira mengejutkan Wijaya. Pria itu benar-benar tidak suka ibu susunya didekati laki-laki lain.“Ya. Bisakah kamu keluar?” tanya Eduar.“Tunggu
Amira selalu mandi lebih awal dan merapikan diri. Dia tampil cantik di sepanjang hari. Wanita itu sangat mementingkan penampilannya. Walaupun hanya di rumah saja. Duduk di sofa memeriksa data dengan computer di atas paha.“Ah! Apa gajiku harus melunasi semua utang pada Wijaya?” Amira kepikiran dengan kontrak kerja yang ditawarkan oleh Wijaya. Dia pun melihat lagi nota utang yang tidak sedikit. “Sial! Apa aku harus meminta Andika membayarnya?” Amira meletakkan laptop di atas meja. Dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika.“Aku benar-benar membenci pria ini,” ucap Amira.“Siapa yang kamu benci?” Wijaya mengambil ponsel Amira dan melihat nama Andika di layar.“Halo Amira, Sayang.” Suara Andika terdengar lembut melalui ponsel.“Apa kamu merindukan aku?” tanya Andika dan Wijaya memutuskan panggilan.“Apa kamu mau mengemis pada pria yang sudah mencampakkan kamu?” tanya Wijaya melempar ponsel Amira ke sofa.“Utang itu tidak harus aku tanggung sendiri. Mereka juga mengambil uangku,
Luna berada di kamarnya. Dia membuka mata dengan malas. Wanita itu masih belum bisa menghubungi Wijaya. Pria dingin yang terus mematikan ponsel. “Di mana ini?” tanya Luna pada dirinya sendiri. Dia melihat makanan dan minuman di atas meja.“Arrggh! Kepalaku sakit sekali.” Luna duduk di tepi kasur dan memegang kepalanya.“Anda sudah bangun, Bu.” Dira memberikan segelas air putih hangat pada Luna. Wanita itu segera meneguknya. Dia memang merasa tenggorokannya kering.“Apa Wijaya sudah pulang?” tanya Luna.“Belum. Bu,” jawab Dira.“Hubungi Pak Dodi dan tanyakan jadwal kepulangan Wijaya!” perintah Luna.“Baik.” Dira mengambil ponsel yang ada di atas meja dan menghubungi Dodi yang masih berada di perusahaan. Dia sedang mengajari putranya yang masuk dengan jalur khusus di Perusahaan Wijaya. “Halo, Pak Dodi. Ibu Luna meminta jadwal Pak Wijaya,” ucap Dira.“Saya akan mengirimkannya.” Pak Dodi langsung mematikan ponsel. Pria itu tidak ingin memberitahu Lokasi Wijaya pada Luna. Dia hanya member
Amira meninnggalkan Keano dan Wijaya di taman. Wanita itu harus berkemas karena mereka akan pulang. Dia memberikan kesempatan untuk anak dan bapak berduaan.“Non Amira beres-beres.” Bibi masuk ke kamar Amira karena pintu yang terbuka.“Iya, Bi. Kita kan mau pulang malam ini,” jawab Amira tersenyum. Dia pun menyimpan surat penting yang diberikan Wijaya sebagai hadiah pernikahan mereka yang sedang dalam proses.“Kata, Pak Wijaya kita belum jadi pulang, Non.” Bibi duduk di depan Amira yang baru saja mentup koper miliknya. “Apa? Kenapa? Kok, aku tidak tahu?” Amira merapikan koper di samping lemari. Dia duduk berhadapan dengan bibi.“Kata, Pak Jaya kita liburan dulu. Nanti sore mau ke puncak. Bapak jarang-jarang ambil libur seperti ini,” jelas bibi.“Benar. Setahuku Pak Wijaya gila kerja. Apa karena sudah punya anak ya?” Amira tampak berpikir. Dia melihat Wijaya yang sedang bicara dengan Keano dari jendela kamarnya.“Baguslah. Aku bisa beristirahat.” Amira beranjak dari lantai dan merebahk
Tidak ada tamu undangan. Tidak ada makanan. Tim dari kantor catatan sipil pun langsung pergi meninggalkan puncak. Mereka kembali malam itu juga. Amira masih duduk membeku di kursinya.“Kenapa masih duduk di sini? Malam sudah larut. Keano pasti sudah tidur.” Wijaya menatap Amira.“Bapak janji hanya menikah di atas kertas, tetapi kenapa benar-benar menikah bahkan secara agama?” Amira menatap tajam pada Wijaya. “Untuk mendapatkan buku nikah. Bukankah harus menjalankan semua prosesnya?” Wijaya pun membalas tatapan Amira. “Bapak menipu saja,” bentak Amira. “Siapa yang menipu kamu?” tanya Wijaya bingung melihat Amira yang sangat marah karena menikah dengannya. Padahal ada banyak wanita di luar sana yang berebut mau menjadi istrinya. Mereka bahkan mau menjadi simpanan atau selingkuhan pria itu. “Aku tidak mau menikah dengan Anda!” Amira beranjak dari kursi. Dia berjalan cepat masuk ke dalam vila. “Apa?” Wijaya benar-benar terkejut dengan penolakan Amira. “Kamu tidak mau menikah, tetapi
Keano dan Devano duduk di depan computer mereka. Dua anak lelaki itu telihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak saling mengganggu.“Apa Papa boleh masuk?” Wijaya mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Ya,” ucap Keano dan Devano melihat kepada papa mereka.“Terima kasih.” Wijaya masuk ke dalam kamar Keano dan Devano. Pria itu duduk di sofa dan kedua putranya mendekat.“Ada apa, Pa?” tanya Devano.“Di mana Mama?” Keano pun bertanya.“Mama di kamar adik kembar. Duduklah.” Wijaya menunjukkan sofa yang berada tepat di depannya.“Apa ada kejadian yang janggal di sekolah?” tanya Wijaya.“Ya. Seorang wanita berusaha mendekati Keano. Dia mengatakan bahwa Keano mirip anaknya yang hilang,” jawab Devano.“Bagaimana perasaan kamu, Keano?” Wijaya menatap Keano.“Aku tidak suka dengan wanita itu,” tegas Keano.“Bagus. Kamu bisa menyelidikinya dan memastikan dia tidak akan berani mendekat. Apalagi sampai melukai perasaan mama kalian,” ucap Wijaya tersenyum.“Tentu saja, Pa. Kami sedang menyel
Amira dan anak-anak menyelesaikan kegiatan pembukaan ajaran baru di sekolah. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah. Leon sudah menunggu di mobil dan melihat istri Wijaya bersama dua putra keluar dari gerbang gedung.“Nyonya sudah kembali.” Leon tersenyum. Pria itu tidak sadar bahwa dirinya semakin dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia terbiasa berada di sisi istri dan anak Wijaya. Ada rasa tenang dan senang ketika bisa melihat wanita itu di depan matanya.“Siapa wanita dan anak itu? Kenapa dia terus mengikuti Nyonya?” Leon sangat teliti memperhatikan orang-orang di dekat Amira dan anak-anak.“Mencurigakan.” Leon segera mengirim data kepada anak buahnya. Mengambil gambar orang yang terlalu dekat dengan Amira dan anak-anak. Dia benar-benar harus sangat berhati-hati dan tidak mudah mempercayai siapa pun.“Apa kita langsung pulang?” tanya Leon membuka pintu untuk Amira.“Ya.” Amira memberikan jalan untuk Keano dan Devano untuk masuk lebih dulu ke dalam mobil.“Wanita duluan,” ucap Devano.“
Amira yang menyadari bahwa dia terlalu lama di dalam kamar meminta izin untuk kembali kepada anak-anaknya. Dia tahu segala sesuatu harus diperhitungkan karena akan berakibat fatal.“Aku harus pergi sekarang. Pemisi.” Amira tersenyum dan keluar dari kamar mandi. Langkah kakinya terhenti melihat seorang wanita yang sedang berinteraksi dengan Keano.“Maaf.” Luna menangis.“Kenapa Anda menangis?” tanya Devano dengan lembut.“Dia sangat mirip dengan putraku yang hilang,” jawab Luna.“Tetapi aku bukan putra Anda,” tegas Keano benar-benar tidak suka dengan keberadaan Luna.“Bagaimana jika kamu adalah putraku yang hilang?” tanya Luna menatap Keano.“Itu tidak mungkin. Kami adalah putra dari Wijaya Kusuma dan Amira Salsabila,” tegas Devano menepis tangan Luna yang sangat ingin memeluk Keano.“Aku punya mama yang luas biasa dan bukan kamu!” Keano beranjak dari kursi dan mendorong Luna hingga jatuh ke lantai.“Hah!” Dewi, Amira dan Luciana sangat terkejut. Tenaga Keano benar-benar kuat.“Jangan p
Amira memperhatikan keranjang buah yang dibawa Keano. Anak lelakinya duduk dengan tenang dan meletakkan keranjang buah di atas paha sang ibu.“Apa ini, Sayang? Apa kamu mau memakan semuanya?” tanya Amira tersenyum.“Buah-buah ini tidak ada di rumah,” jawab Keano.“Hahaha.” Amira mencubit pipi Keano dengan gemasnya. Wanita itu tertawa melihat tinggah yang tampak lucu. Dia tahu putranya miliki rasa penasaran yang tinggi.“Ini buah-buah dari desa yang hanya dijual di pasar tradisional dan pinggir jalan. Bibi dapur biasa belanja di supermarket sehingga tidak akan menemukan buah-buah local, Sayang.” Amira menyentuh buah-buahan yang ada di keranjang.“Oh.” Keano memperhatikan buah-buahan.“Rasanya manis dan asam. Enak dan segar, Sayang. Coba saja.” Amira memberikan buah cempedak kepada Keano.“Cempedak.” Keano menaikkan alisnya. Dia bisa mencium aroma yang kuat dari buah cempedak.“Cobalah.” Amira mendekati buah cempedak ke mulut Keano dan sang anak pun membuka mulutnya. “Mm. Aku tidak suka
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la