Terima kasih atas dukungannya. Semoga suka.
Amira selalu mandi lebih awal dan merapikan diri. Dia tampil cantik di sepanjang hari. Wanita itu sangat mementingkan penampilannya. Walaupun hanya di rumah saja. Duduk di sofa memeriksa data dengan computer di atas paha.“Ah! Apa gajiku harus melunasi semua utang pada Wijaya?” Amira kepikiran dengan kontrak kerja yang ditawarkan oleh Wijaya. Dia pun melihat lagi nota utang yang tidak sedikit. “Sial! Apa aku harus meminta Andika membayarnya?” Amira meletakkan laptop di atas meja. Dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika.“Aku benar-benar membenci pria ini,” ucap Amira.“Siapa yang kamu benci?” Wijaya mengambil ponsel Amira dan melihat nama Andika di layar.“Halo Amira, Sayang.” Suara Andika terdengar lembut melalui ponsel.“Apa kamu merindukan aku?” tanya Andika dan Wijaya memutuskan panggilan.“Apa kamu mau mengemis pada pria yang sudah mencampakkan kamu?” tanya Wijaya melempar ponsel Amira ke sofa.“Utang itu tidak harus aku tanggung sendiri. Mereka juga mengambil uangku,
Luna berada di kamarnya. Dia membuka mata dengan malas. Wanita itu masih belum bisa menghubungi Wijaya. Pria dingin yang terus mematikan ponsel. “Di mana ini?” tanya Luna pada dirinya sendiri. Dia melihat makanan dan minuman di atas meja.“Arrggh! Kepalaku sakit sekali.” Luna duduk di tepi kasur dan memegang kepalanya.“Anda sudah bangun, Bu.” Dira memberikan segelas air putih hangat pada Luna. Wanita itu segera meneguknya. Dia memang merasa tenggorokannya kering.“Apa Wijaya sudah pulang?” tanya Luna.“Belum. Bu,” jawab Dira.“Hubungi Pak Dodi dan tanyakan jadwal kepulangan Wijaya!” perintah Luna.“Baik.” Dira mengambil ponsel yang ada di atas meja dan menghubungi Dodi yang masih berada di perusahaan. Dia sedang mengajari putranya yang masuk dengan jalur khusus di Perusahaan Wijaya. “Halo, Pak Dodi. Ibu Luna meminta jadwal Pak Wijaya,” ucap Dira.“Saya akan mengirimkannya.” Pak Dodi langsung mematikan ponsel. Pria itu tidak ingin memberitahu Lokasi Wijaya pada Luna. Dia hanya member
Amira meninnggalkan Keano dan Wijaya di taman. Wanita itu harus berkemas karena mereka akan pulang. Dia memberikan kesempatan untuk anak dan bapak berduaan.“Non Amira beres-beres.” Bibi masuk ke kamar Amira karena pintu yang terbuka.“Iya, Bi. Kita kan mau pulang malam ini,” jawab Amira tersenyum. Dia pun menyimpan surat penting yang diberikan Wijaya sebagai hadiah pernikahan mereka yang sedang dalam proses.“Kata, Pak Wijaya kita belum jadi pulang, Non.” Bibi duduk di depan Amira yang baru saja mentup koper miliknya. “Apa? Kenapa? Kok, aku tidak tahu?” Amira merapikan koper di samping lemari. Dia duduk berhadapan dengan bibi.“Kata, Pak Jaya kita liburan dulu. Nanti sore mau ke puncak. Bapak jarang-jarang ambil libur seperti ini,” jelas bibi.“Benar. Setahuku Pak Wijaya gila kerja. Apa karena sudah punya anak ya?” Amira tampak berpikir. Dia melihat Wijaya yang sedang bicara dengan Keano dari jendela kamarnya.“Baguslah. Aku bisa beristirahat.” Amira beranjak dari lantai dan merebahk
Tidak ada tamu undangan. Tidak ada makanan. Tim dari kantor catatan sipil pun langsung pergi meninggalkan puncak. Mereka kembali malam itu juga. Amira masih duduk membeku di kursinya.“Kenapa masih duduk di sini? Malam sudah larut. Keano pasti sudah tidur.” Wijaya menatap Amira.“Bapak janji hanya menikah di atas kertas, tetapi kenapa benar-benar menikah bahkan secara agama?” Amira menatap tajam pada Wijaya. “Untuk mendapatkan buku nikah. Bukankah harus menjalankan semua prosesnya?” Wijaya pun membalas tatapan Amira. “Bapak menipu saja,” bentak Amira. “Siapa yang menipu kamu?” tanya Wijaya bingung melihat Amira yang sangat marah karena menikah dengannya. Padahal ada banyak wanita di luar sana yang berebut mau menjadi istrinya. Mereka bahkan mau menjadi simpanan atau selingkuhan pria itu. “Aku tidak mau menikah dengan Anda!” Amira beranjak dari kursi. Dia berjalan cepat masuk ke dalam vila. “Apa?” Wijaya benar-benar terkejut dengan penolakan Amira. “Kamu tidak mau menikah, tetapi
Amira semakin dekat dengan Kiano. Dia benar-benar terus menghabiskan waktu bersama dengan putra dari Wijaya Kusuma. Menikmati jatah liburan yang diberikan oleh pria itu dengan sebaik-baiknya.“Apa yang kamu inginkan?” tanya Wijaya.“Apa Anda akan memberikannya kepada saya?” Amira balik bertanya. Dia berdiri di depan Wijaya yang duduk di kursi kerjanya.“Asal jangan minta cerai,” tegas Wijaya menatap tajam pada Amira.“Hm.” Amira tampak berpikir.“Kenapa diam? Apa kamu benar-benar mau bercerai setelah menikah satu minggu denganku?” tanya Wijaya memicingkan mata pada Amira.“Tidak,” jawab Amira cepat.“Em. Apa Akta Keano sudah selesai?” tanya Amira.“Sudah. Ini.” Wijaya memperlihatkan file akta Keano pada Amira melalui ponsel pribadinya.“Wah.” Amira terkejut. Namanya benar-benar tertulis di sana.“Apa boleh begini?” tanya Amira melihat pada Wijaya. Wanita itu tidak sadar memeggang tangan bosnya yang memperlihatkan layar ponsel.“Kenapa tidak boleh?” Wijaya tersenyum tipis. Dia membiarka
Wijaya keluar dari kamar. Pria itu berjalan menuju ruang makan dan melihat bibi.“Apa Amira sudah selesai sarapan?” tanya Wijaya.“Sudah, Pak,” jawab bibi.“Baguslah. Pukul sebelas kita berangkat ke bandara,” ucap Wijaya.“Baik, Pak. Apa ada yang Anda butuhkan?” tanya bibi.“Tidak,” jawab Wijaya.“Saya permisi.” Bibi meninggalkan ruang makan agar tidak mengganggu Wijaya sarapan. Dia pergi ke kamar Amira dan Keano untuk membantu berkemas.“Permisi. Non.” Bibi mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Iya, Bik.” Amira sudah siap pulang. Koper wanita itu telah berada di depan pintu.“Anda sudah selesai berkemas,” ucap bibi.“Sudah, Bi. Nanti ada petugas yang akan membawa barang-barang kita.” Amira tersenyum.“Iya.” Bibi mendekati Amira yang rebahan di atas kasur bersama dengan Keano. Wanita itu benar-benar seperti ibu dan anak.“Sepertinya, Pak Wijaya memang menyukai Non Amira.” Bibi memperhatikan leher Amira yang masih merah karena wanita itu sangat putih dan bersih.“Ibu Luna tidak pernah men
Wijaya melihat bibirnya yang pecah dan bengkak. Pria itu merasakan perih dan sakit akibat gigitan Amira.“Apa aku harus pergi ke dokter?” tanya Wijaya pada dirinya sendiri.“Aku akan hubungi Ibra. Dia pasti bisa memberikan obat untukku.” Wijaya mengambil ponsel dan duduk di sofa.“Mm.” Wijaya tampak berpikir.“Dokter Ibra akan bertanya tentang bibir pecah ini. Tidak mungkin ada orang yang memukuliku. Tidak mungkin pula aku memberitahunya karena digigit Amira.” Wijaya mengurungkan niat untuk menghubungi dokter Ibra. Dia tidak mau temannya tahu bahwa dirinya telah menikah dengan Amira dan gigitan itu didapat karena berusaha mencium sang istri.“Aku tidak bisa menghubungi Ibra. Dia akan anyak bertanya.” Wijaya menyentuh bibirnya dengan jari.“Ini cukup perih. Belum ada seorang pun yang berhasil melukaiku.” Wijaya tersenyum. Bibir mahal itu telah terluka oleh gigitan Amira. Wanita pertama yang berhasil membuat pria itu merasakan sakit. “Permisi, Tuan.” Bibi mengetuk pintu kamar Wijaya.“Y
Wijaya memarkirkan mobil di tempat parkir khusus miliknya. Dia keluar sendirian tanpa ada Amira di sisinya. Pria itu masih sempat menoleh untuk memastikan bahwa sang sekretaris memang tidak ikut. “Aku benar-benar terbiasa dengan keberadaan Amira.” Wijaya masuk ke dalam lift yang mengantarkan dirinya ke ruangan kerja.“Selamat pagi, Pak.” Para karyawan menyapa Wijaya.“Kenapa Bu Amira tidak ada ya?” tanya para wanita yang selalu memiliki topik pembicaraan setiap waktunya.“Aku juga tidak tahu. Apa sudah dipecat?” Dua wanita yang bekerja di bagian resepsionis saling pandang.“Aku dengar baru kali ini keluarga Kusuma memiliki sekretaris seorang wanita. Biasanya laki-laki,” ucap wanita itu.“Pasti tidak cocok,” sambung rekannya.Wijaya sudah tiba di ruang kerjanya. Dia disambut oleh Dody yang masih tetap bekerja untuk membimbing putranya agar pantas berada di perusahan Kusuma.“Selamat pagi, Pak Wijaya.” Dody tersenyum dan terkejut melihat Wijaya sendirian. “Pagi,” jawab Wijaya keluar da
Anto dan anak buahnya bergerak di malam hari. Mereka meninggalkan pulau dengan kapal. Bayi tampan dengan kulit putih bersih berada dalam gendongan Sulas. Putra dari Andika dan Amira tertidur lelap. Lelaki kecil itu mampu bersaing dengan Keano. Lahir dari bobot dan bibit terbaik kedua orang tuanya.Wijaya dan Amira tidur dalam senyuman. Mereka tidak tahu bahwa putra yang dijaga dan dilindingi dari kejauhan akan datang sendiri ke kota dan tidak sulit untuk digapai. Berbeda ketika berada di pulau terpencil. Ada bgitu banyak penjaga dan lokasi yang sulit dijangkau.Jack yang selalu memantau pulau menggantikan pekerjaan Leon mendapatkan laporan dari anak buah mereka. Pria itu tidak bisa memberikan perintah menyerang dan merebut Devano karena Wijaya yang tidak bisa dihubungi. Dia hanya bisa terus mengikuti dan mengawasi pergerakan Anto beserta rombongannya.“Ada apa?” tanya Leon.“Devano dibawa keluar pulau. Apa kita rebut sekarang?” Jack melihat pada Leon.“Bukankah ini memang rencana Pak
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira.“Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya.“Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tida
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh