Terima kasih atas dukungan dan hadiahnya. Semoga rezeki semakin melimpah, Aamiin.
Amira semakin dekat dengan Kiano. Dia benar-benar terus menghabiskan waktu bersama dengan putra dari Wijaya Kusuma. Menikmati jatah liburan yang diberikan oleh pria itu dengan sebaik-baiknya.“Apa yang kamu inginkan?” tanya Wijaya.“Apa Anda akan memberikannya kepada saya?” Amira balik bertanya. Dia berdiri di depan Wijaya yang duduk di kursi kerjanya.“Asal jangan minta cerai,” tegas Wijaya menatap tajam pada Amira.“Hm.” Amira tampak berpikir.“Kenapa diam? Apa kamu benar-benar mau bercerai setelah menikah satu minggu denganku?” tanya Wijaya memicingkan mata pada Amira.“Tidak,” jawab Amira cepat.“Em. Apa Akta Keano sudah selesai?” tanya Amira.“Sudah. Ini.” Wijaya memperlihatkan file akta Keano pada Amira melalui ponsel pribadinya.“Wah.” Amira terkejut. Namanya benar-benar tertulis di sana.“Apa boleh begini?” tanya Amira melihat pada Wijaya. Wanita itu tidak sadar memeggang tangan bosnya yang memperlihatkan layar ponsel.“Kenapa tidak boleh?” Wijaya tersenyum tipis. Dia membiarka
Wijaya keluar dari kamar. Pria itu berjalan menuju ruang makan dan melihat bibi.“Apa Amira sudah selesai sarapan?” tanya Wijaya.“Sudah, Pak,” jawab bibi.“Baguslah. Pukul sebelas kita berangkat ke bandara,” ucap Wijaya.“Baik, Pak. Apa ada yang Anda butuhkan?” tanya bibi.“Tidak,” jawab Wijaya.“Saya permisi.” Bibi meninggalkan ruang makan agar tidak mengganggu Wijaya sarapan. Dia pergi ke kamar Amira dan Keano untuk membantu berkemas.“Permisi. Non.” Bibi mengetuk pintu kamar yang terbuka.“Iya, Bik.” Amira sudah siap pulang. Koper wanita itu telah berada di depan pintu.“Anda sudah selesai berkemas,” ucap bibi.“Sudah, Bi. Nanti ada petugas yang akan membawa barang-barang kita.” Amira tersenyum.“Iya.” Bibi mendekati Amira yang rebahan di atas kasur bersama dengan Keano. Wanita itu benar-benar seperti ibu dan anak.“Sepertinya, Pak Wijaya memang menyukai Non Amira.” Bibi memperhatikan leher Amira yang masih merah karena wanita itu sangat putih dan bersih.“Ibu Luna tidak pernah men
Wijaya melihat bibirnya yang pecah dan bengkak. Pria itu merasakan perih dan sakit akibat gigitan Amira.“Apa aku harus pergi ke dokter?” tanya Wijaya pada dirinya sendiri.“Aku akan hubungi Ibra. Dia pasti bisa memberikan obat untukku.” Wijaya mengambil ponsel dan duduk di sofa.“Mm.” Wijaya tampak berpikir.“Dokter Ibra akan bertanya tentang bibir pecah ini. Tidak mungkin ada orang yang memukuliku. Tidak mungkin pula aku memberitahunya karena digigit Amira.” Wijaya mengurungkan niat untuk menghubungi dokter Ibra. Dia tidak mau temannya tahu bahwa dirinya telah menikah dengan Amira dan gigitan itu didapat karena berusaha mencium sang istri.“Aku tidak bisa menghubungi Ibra. Dia akan anyak bertanya.” Wijaya menyentuh bibirnya dengan jari.“Ini cukup perih. Belum ada seorang pun yang berhasil melukaiku.” Wijaya tersenyum. Bibir mahal itu telah terluka oleh gigitan Amira. Wanita pertama yang berhasil membuat pria itu merasakan sakit. “Permisi, Tuan.” Bibi mengetuk pintu kamar Wijaya.“Y
Wijaya memarkirkan mobil di tempat parkir khusus miliknya. Dia keluar sendirian tanpa ada Amira di sisinya. Pria itu masih sempat menoleh untuk memastikan bahwa sang sekretaris memang tidak ikut. “Aku benar-benar terbiasa dengan keberadaan Amira.” Wijaya masuk ke dalam lift yang mengantarkan dirinya ke ruangan kerja.“Selamat pagi, Pak.” Para karyawan menyapa Wijaya.“Kenapa Bu Amira tidak ada ya?” tanya para wanita yang selalu memiliki topik pembicaraan setiap waktunya.“Aku juga tidak tahu. Apa sudah dipecat?” Dua wanita yang bekerja di bagian resepsionis saling pandang.“Aku dengar baru kali ini keluarga Kusuma memiliki sekretaris seorang wanita. Biasanya laki-laki,” ucap wanita itu.“Pasti tidak cocok,” sambung rekannya.Wijaya sudah tiba di ruang kerjanya. Dia disambut oleh Dody yang masih tetap bekerja untuk membimbing putranya agar pantas berada di perusahan Kusuma.“Selamat pagi, Pak Wijaya.” Dody tersenyum dan terkejut melihat Wijaya sendirian. “Pagi,” jawab Wijaya keluar da
Luna membuka matanya. Wanita yang lelah bekerja itu tidur dengan sangat lelap karena tidak ada yang mengganggu. Apalagi ruangan yang sejuk dan nyaman.“Pukul berapa sekarang?” Luna melihat jam yang menempel di dinding yang telah menunjukkan pukul dua siang. Dia sudah melewatkan waktu makan siang.“Ah, di mana Wijaya? Apa dia masih belum selesai rapat?” Luna melihat ruangan yang sepi dan kursi kerja kosong.“Apa dia sudah pergi?” tanya Luna yang tidak mendapatkan jawaban. Dia keluar dari ruang kerja Wijaya dan bertanya pada seorang karyawan. “Apa Pak Wijaya belum selesai rapat?” Luna melihat seorang wanita yang berada di depan ruangan kerja Wijaya.“Pak Wijaya sudah keluar untuk makan siang,” jawab wanita itu.“Apa? Dia meninggalkanku.” Luna benar-benar kesal. Wijaya tidak membangunkan dirinya dan tidak mengajaknya untuk makan siang bersama. “Sial. Aku meninggalkan Lokasi syuting agar bisa makan siang bersama dengannya.” Luna sangat marah. Dia masuk ke dalam lift dan menuju tempat par
Amira sangat serius bekerja sehingga dia tidak sadar bahwa Wijaya yang hanya mengenakan handuk berdiri di depannya. Tubuh dan rambut yang masih basah. Dada bidang dan perut rata terlihat jelas. Pria itu terpesona melihat sekretarisnya yang sedang memeriksa laporan keuangan.“Bagus,” ucap Amira.“Dia cukup ahli untuk orang baru.” Amira memuji hasil kerja Kristian. Dia tidak tahu bahwa pria itu adalah adik tingkatannya di kampus.“Ini….” Amira melihat air yang menetas di papan huruf computer lipatnya. Dia segera mengambil tisu untuk mengeringkan laptop yang di atas pangkuan dan memindahkan ke meja.“Pak, keringkan rambut Anda dulu.” Amira mendongak dan cukup terkejut melihat tubuh seksi Wijaya. Dia harus menelan ludah karena pria pun bisa menggoda wanita.“Di mana baju gantiku?” tanya Wijaya memperhatikan Amira yang menatap tubuhnya. Pria itu pun tersenyum. Setidaknya wanita yang tampak tidak peduli pada godaanya itu masih normal ketika melihat tubuhnya yang seksi.“Amira,” sapa Wijaya k
Tidak biasanya Wijaya tidur di siang hari, tetapi sejak Amira menjadi ibu susu Keano membuat pria itu merasa nyaman dan rindu akan kebersamaan. Dia benar-benar terlelap dan tenang memeluk istri keduanya.“Ah.” Amira tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ada tangan kekar yang melingkar di perutnya.“Siapa ini?” Amira memergang tangan Wijaya yang kokoh. Pria itu memeluk istrinya dari belakang.“Pak Jaya.” Amira terkejut. Dia tidak menyangkan bahwa Wijaya akan tidur satu kasur dengannya dan Keano.“Bukankah pria ini tidak pernah tidur siang? Dia terkenal sangat gila bekerja.” Amira mengehela napas dengan berat. Tangan Wijaya bergerak dan memegang dadanya yang terbuka karena memberi asi untuk Keano hingga tertidur.“Ah.” Amira terkejut karena jari-jari Wijaya meremas tempat Cadangan makanan untuk Keano. “Oh my God.” Amira terangsang. Dia merasakan gairah yang semakin menggelora. Apalagi Wjaya mulai mencium leher dan telinganya.“Hentikan, Pak.” Amira hanya bisa memegang tangan Wijaya, tetapi
Amira duduk di tepi kasur. Wanita itu tidak bisa bekerja karena ponsel dan laptop tertinggal di kamar Wijaya. Dia juga tidak bisa tidur.“Hm. Apa yang harus aku lakukan?” Amira keluar dari kamar dan membuat jus buah serta kue dengan bahan-bahan yang ada di dapur.“Aku memang lapar karena terus memberi asi kepada Keano.” Amira menyajikan makanan dan minuman yang telah dibuatkannya.“Bagaimana aku bisa meminta bibi mengantarkan ponsel dan laptop? Aku harus bekerja di pagi hari,” ucap Amira dengan berdiri di wastapel. Dia mencuci dan mengeringkan piring. Wanita itu terbiasa bersih dan rapi.“Kenapa kamu pergi begitu saja?” Wijaya memeluk Amira dari belakang.“Lepaskan aku!” Amira mendorong tubuh Wijaya dengan kuat sehingga pria itu terbentur ke sudut meja. “Argh!” Wijaya merasakan sakit pada pinggangnya.“Aku tidak mau mengganggu Anda,” ucap Amira tidak melihat pada Wijaya.“Aku sudah bawakan ponsel dan laptop.” Wijaya tersenyum. Dia benar-benar sering dibuat sakit oleh Amira, tetapi ti
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wij
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak
Amira berada di dalam kamar dan bersiap untuk tidur. Wanita itu baru saja akan mematikan ponsel dan melihat panggilan dari Wijaya.“Wijaya.” Amira segera menerim panggilan dari suaminya.“Halo, Sayang.” Wijaya tersenyum pada Amira yang terlihat di layar ponsel.“Halo, Sayang. Bagaimana perkerjaan di sana? Apa kamu lelah?” tanya Amira.“Aku tidak lelah, tetapi tersiksa karena merindukan kamu,” jawab Wijaya.“Apa kamu akan tidur?” Wijaya melihat yang istri yang sudah mengenakan piyama.“Aku sedang bersiap untuk tidur,” ucap Amira merebahkan tubuhnya di kasur.“Apa kamu menggodaku?” tanya Wijaya.“Tidak, Sayang. Kamu terlihat sedang bekerja,” jawab Amira.“Ya. Aku tahu kamu akan tidur jadi dengan cepat menghubungi istriku tercinta. Bagaimana hari ini?” Wijaya tersenyum.“Hari ini menyenangkan. Aku menemani anak-anak Latihan berkuda dan memanah. Mereka benar-benar luar biasa. Aku sangat bangga.” Amira terlihat bersemangat menceritakaan kebersamaanya dengan Keano dan Devano. Dia tidak membe