Terima kasih. Semoga suka.
Mobil yang membawa Amira langsung menuju villa di samping rumah utama. Bangunan dengan nuansa putih tenang dan sejuk dengan banyak pohon yang rindang. Wanita itu segera turun. Muchen melihat dari kamarnya. Memperhatikan penghuni tempat kesukaanya yang sudah lama ditinggali.“Anda akan tinggal di sini. Anggap saja rumah sendiri.” Sopir mengeluarkan koper dari bagasi.“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira membawa koper masuk ke dalam rumah yang terlihat minimalis, tetapi mewah. Semua serba putih sehingga tampak terang. “Aku pilih kamar di bawah saja. Di atas akan lelah turun naik tangga dan membuat lama keluar masuk.” Amira membuka pintu kamar yang ada di ruang tengah. Dia meletakkan koper di kamar dan kembali ke ruang. Wanita itu lebih tertarik untuk menjelajahi tempat tinggal barunya.“Wah. Benar-benar nyaman. Ada kolam ikan dan kolam renang. Taman untuk bersantai.” Amira berkeliling sekitar villa. Dia seakan mengetahui Batasan antara tempat tinggalnya dengan rumah utama Muchen.Am
Amira mulai mempelajari dan menghapal jadwal kerja Wijaya. Wanita itu tidak kesulitan sama sekali dengan pekerjaan yang memang sudah biasa dia lakukan. “Apa kamu butuh pelayan?” tanya Wijaya. “Tidak,” jawab Amira yang tidak melihat sama sekali pada Wijaya. “Kenapa?” tanya Wijaya. “Aku lebih nyaman melakukan semuanya sendiri,” jawab Amira. “Aku hanya perlu stok makanan cukup. Itu saja,” ucap Amira. “Itu lebih baik sehingga kamu bisa menjaga privasi diri.” Wijaya berbicara di dalam hati. Mobil terus melaju hingga tiba di kantor. Amira dan Dodi masih bekerja sama sebelum pria itu benar-benar berhenti. Memastikan sekretaris baru memahami pekerjaannya. Andika duduk di balik meja kerjanya. Dia menatap akta cerai dirinya dengan Amira. Pria itu merasa tidak rela untuk memberitahu kepada sang mantan istri bahwa mereka sudah sah bercerai. “Kenapa ponselnya tidak aktif lagi? Apa Amira ganti nomor?” Andika menghela napas dengan berat. Pria itu sudah sangat merindukan istrinya. “Aku akan
Andika masih menunggu Amira keluar dari kamar mandi. Pria itu sangat penasaran karena mantan istrinya telah menjadi sekretaris pribadi Wijaya. “Aku tahu dia mampu dan pantas menjadi sekretaris Wijaya karena Amira memang memiliki kemampuan. Dia menguasai banyak Bahasa.” Andika menyenderkan tubuh di dinding kamar mandi wanita.“Kenapa dia lama sekali?” Andikan berjalan masuk ke lorong kamar mandi dan melihat Amira yang masih berdiri di depan cermin. Wanita itu merapikan diri. “Dika, apa yang kamu lakukan di sini?” Amira terkejut melihat Andika yang sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu segera memutar tubuh. “Sayang, kamu semakin cantik dan seksi.” Andika mendekat.“Menjauh dariku!” Amira mundur dan terhimpit pada dinding. Dia benar-benar takut pada Andika yang telah dianggap asing olehnya. Apalagi pria itu hampir melecehkannya.“Aku merindukan kamu, Sayang.” Andika memperhatikan Amira.“Keluar!” teriak Amira. Wanita itu ingin berlari, tetapi tubuhnya ditahan Anidika.“Lepaskan!” Am
Wijaya melihat Amira yang berlari dari kaca jendela. Pria itu tersenyum. Amira seakan punya dua kepribadian. Kadang terlihat ceria dan tiba-tiba menjadi pendiam.“Padahal aku mau melihat Keano.” Amira berbicara di dalam hati. Dia hanya menoleh pada jendela kamar Keano yang tertutup rapat. Wanita itu rindu pada putra Wijaya. “Hm, berapa usia Amira?” tanya Wijaya Kusuma yang lupa melihat tahun lahir Amira di data pribadi wanita itu.Wijaya langsung menuju kamarnya dan membersihkan diri. Dia berganti pakaian dan pergi ke kamar Keano. Bayi tampan yang tidak lagi nangis kelaparan karena ada stok asi dari Amira.“Bagaimana kabar Keano?” tanya Wijaya pada bibi.“Tuan muda benar-benar sehat dan bersemangat. Hari ini hanya menangis ketika lapar saja,” jawab bibi tersenyum bahagia.“Mm.” Wijaya melihat anaknya sedang tidur di dalam ayunan.“Ah ya, Pak. Apa Nona Amira tidak kemari?” Bibi memperhatikan Wijaya yang mencium Keano.“Tidak. Dia pasti lelah dan butuh istirahat,” ucap Wijaya. “Stok as
Amira menyelesaikan makan malam. Dia beranjak dari kursi dan mengambil piring kotor. Wanita itu mau mencucinya.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Wijaya menatap tajam pada Amira yang memegang piring pria itu.“Aku akan mencuci piring,” jawab Amira.“Aku tidak membawa mahal untuk mencuci piring. Tugas kamu adalah menjadi sekrestaris dan asisten pribadi serta ibu susu untuk Keano,” tegas Wijaya.“Tidak apa, Pak. Aku biasa melakukan ini.” Amira tersenyum.“Pergilah ke kamar kamu,” usir Wijaya mengejutkan Amira.“Apa?” Amira melepaskan piring dari tangannya.“Aku tidak suka melihat tangan yang menggendong putraku menjadi kotor dan lecet.” Wijaya beranjak dari kursi.“Baiklah.” Amira segera berjalan menuju wastapel. Dia mencuci bersih dan mengeringkan tangannya. Wijaya memperhatikan secara diam-diam.“Pak.” Amira menyusul Wijaya.“Saya izin melihat Keano sebentar sebelum pulang,” ucap Amira.“Pergilah.” Wijaya tidak menoleh sama sekali pada Amira.“Terima kasih, Pak.” Amira berlari menaiki tan
Pagi-pagi Amira tidak pergi ke rumah Wijaya. Dia membuat sarapan sendiri dan menikmatinya dengan tenang tanpa tekanan dari bosnya. Tangan dan tubuh yang lincah serta kemampuan memasak yang tidak diragukan lagi.“Em, masakan hari ini benar-benar mewah. Sejak memberi asi kepada Keano, aku semakin kuat makan dan mudah lapar.” Amira sudah menyajika makanan di atas meja. Dia duduk dan membaca doa. “Anak Mama, Keano adalah Devano.” Amira tersenyum. Menikmati sarapan seorang diri.Wijaya menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan. Dia tidak melihat Amira. Pria itu duduk di kursi.“Maaf, Pak. Nyonya meminta Anda untuk menghubunginya,” ucap bibi.“Ya.” Wijaya mengeluarkan ponsel dari saku jas.“Kenapa Amira tidak sarapan di sini?” tanya Wijaya pada bibi.“Nona Amira memasak sendiri, Pak. Dia punya banyak waktu di pagi hari. Itu yang dikatakan kepada saya,” jawab bibi.“Baik.” Wijaya menghubungi nomor ponsel Luna dan tidak ada jawaban karena wanita itu masih terlelap di dalam tidur.“Tidak
Luna benar-benar tidur dengan nyenyak hingga bangun kesiangan. Wanita itu lelah bekerja sampai tengah malam.“Ah, pukul berapa sekarang? Perutku lapar.” Luna membuka mata. Kamar yang tertutup rapat itu tepat gelap. Walaupun hari sudah siang.“Apa kamu sudah bangun?” Manager Luna duduk di sofa.“Ah lelah sekali,” ucap Luna malas mengangkat tubuhnya. “Sekarang bukan lagi waktu sarapan, tetapi sudah jam makan siang.” Sang manager tersenyum.“Kita pulang perawat jam berapa?” tanya Luna duduk di tepi kasur.“Pukul satu,” jawab Bella.“Aku mandi dulu.” Luna beranjak dari tempat tidur dan berjalan masuk ke kamar mandi.“Pernikahan seperti apa yang kalian jalani? Tidak ada komunikasi sama sekali? Apa Luna dan Wijaya ini benar-benar saling mencintai atau hanya pernikahan bisnis yang biasa dilakukan oleh Kalangan atas? Wijaya yang butuh istri untuk mendapatkan anak dan Luna menginginkan nama di dunia entertaimen.” Bella melihat ponsel pribadi Luna yang benar-benar sepi.“Aku tidak pernah meliha
Amira keluar dari kamar dengan menggendong Keano. Mereka berdua benar-benar harum. Wajah yang segar dengan senyuman penuh kebahagian. Keduanya saling melengkapi. Amira yang kehilangan putra dan Keano yang ditinggalkan sang ibu untuk berkarier. “Kenapa lama sekali?” Wijaya mengambil Keano dari tangan Amira. Pria itu bisa mencium aroma manis dari tubuh asistennya. Menyegarkan hidung dan membangkitkan gairahnya. Dia benar-benar harus terus menahan diri dari godaan ibu susu putranya. “Maaf. Kami bermain air. Keano sangat suka,” ucap Amira tersenyum. “Ayo jalan-jalan.” Wijaya meletakakn Keano di dalam tempat tidur roda.“Apa Bibi tidak ikut?” tanya Amira melihat bibi yang masih duduk diam.“Bibi akan memastikan menu makan malam untuk kita,” jawab bibi.“Oh. Baiklah.” Amira mengangguk. Dia berjalan berdampingan dengan Wijaya. Mereka benar-benar seperti pasangan suami istri yang sedang mengasuh bayi.“Apa kamu akan menikah lagi?” tanya Wijaya mengejutkan Amira karena wanita itu pikir bosny
Cantika terlihat melamun. Wanita itu benar-benar telah banyak berkorban untuk Andika dan sang suami menjadikan dirinya pemuas nafsu sebagai pengganti Amira.“Apa aku harus membunuh Devano?” tanya Cantika pada dirinya yang duduk di depan cermin meja rias.“Tetapi, jika aku tidak bisa hamil artinya kami tidak akan pernah punya anak sedangkan Devano adalah putra kandung Andikan. Darah daging suamiku.” Cantika benar-benar gelisah.“Aku akan membawa Devano pulang. Mengatakan kepada Andika bahwa itu anak saudara jauh yang ditinggal orang tuanya. Aku akan meminat izin untuk mengadopsinya dengan alasan sebagai pemancing agar bisa hamil dan kasian.” Cantika tersenyum dengan rencananya. Dia mengambil ponsel dan menghubungi penjaga Devano.“Halo, bawa Devano pulang. Aku menginginkan dia. Pulau itu ambil saja untuk kalian,” ucap Cantika.“Baik, Bos.” Pria di seberang panggilan sangat senang. Mereka memiliki pulau pribadi dengan laut yang kaya.“Aku akan membesarkan anak Andika dan Amira. Itu tida
Luna melakukan penerbangan ke Amerika bersama Robert dan Bella. Wanita itu akan memulai karier sebagai aktris dan melanjutkan status modelling. Mereka sudah berada di apartemen milik Perusahaan.“Hah! Akhirnya aku bisa tinggal di tempat yang mewah lagi.” Luna menghempas tubuhnya di kasur.“Apartemen ini benar-benar mewah,” ucap Bella memperhatikan sekeliling. Kamar itu sangat luas dan lengkap. Ada dapur, ruang tamu dan bahkan balkon untuk bersantai. Kolam renang di atas Gedung.“Iya. Amerika memang gila dalam dunia entertaimen. Apalagi perfilm.” Luna beranjak dari kasur dan berjalan ke balkon.“Pemandangan yang indah. Aku suka tempat ini. Mahal.” Luna membentangkan tangan menghidup udara pagi.“Belum kontrak kerja, tetapi kita sudah dapat kemewahan.” Bella mendekati Luna yang berada di balkon.“Wijaya pasti punya saingan di Amerika ini. Aku ingin membuat pria itu menderita dengan kehilangan Amira. Aku akan balas dendam.” Luna mengepalkan tangannya.“Dia mencintai Amira dan membuang dir
Amira berada di halaman belakang. Wanita itu bermain bersama bayi tampan dan cerdasnya. Wanita itu benar-benar telah mengiklaskan Devano dengan adanya Keano.“Non, hari sudah mulai gelap. Sebaiknya Anda dan Keano masuk ke dalam rumah,” ucap bibi.“Bibi bawa Keano ke kamar.” Amira memberikan Keano kepada bibi.“Anda mau kemana?” tanya bibi.“Aku mau menunggu hujan turun.” Amira tersenyum.“Non, nanti Bapak marah,” ucap bibi khawatir.“Tidak akan. Aku suka hujan. Sudah lama tidak bermain air hujan. Bibi masuklah. Aku akan selesai sebelum Pak Wijaya pulang. Hari ini dia lembur.” Amira mendorong tubuh bibi masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dan duduk di tengah halaman.“Semoga hanya hujan dan tidak ada kilat, Guntur serta petir.” Amira mendongak dan tetesan pertama jatuh tepat di wajahnya.“Aah!” Amira tersenyum. Dia benar-benar menyukai hujan. Aroma dan suara air yang jatuh ke bumi memberikan ketenangan untuknya.“Ahhhhh!” Amira berdiri dan berputar di atas rumput yang basah. Dia men
Wijaya benar-benar serius untuk menjemput Devano. Dia tidak ingin Cantika lebih dulu mengambil bayi dari Amira. Pria it uterus memantau laporan dari anak buahnya yang menjaga di pesisir pantai dekat dari pulau tempat tinggal Devano.“Kita akan berperang jika tidak bisa mengambil Devano baik-baik,” ucap Wijaya. Pria itu berada di rumah sakit.“Apa tidak ada kesempatan?” tanya Leon.“Aku tidak ingin menambahkan korban lagi. Kita akan mengganti para penjaga mereka pelan-pelan. Ambil Devano di mana Cantika akan bergerak,” tegas Wijaya yang duduk di sofa bersama dengan Jack.“Maafkan aku, Bos,” ucap Leon.“Kamu minta maaf untuk apa?” tanya Wijaya menoleh pada Leon yang masih berbaring di tempat tidur.“Saya tidak bisa menyelesaikan tugas,” jawab Leon.“Tugas kamu sudah selesai,” tegas Wijaya.“Ini pertama kalinya orang kepercayaanku terluka. Padahal hanya pergi mencari anak Amira. Berperang melawan musuh dunia bisnis tidak membuatku mengorbankan banyak orang.” Wijaya menatap layar computer
Cantika menunggu Andika di dalam kamar. Suaminya benar-benar sering lembur.“Sayang.” Cantika menyambut kedatangan Andika. Wanita itu mengambil jas dan tas dari tangan suaminya. “Kamu mandi dulu,” ucap Cantika tersenyum pada Andika.“Ya.” Andika masuk kamar mandi. Membersihkan diri yang lelah dan gerah. Pria itu keluar dengan hanya mengenakan handuk putih yang melingkar di pinggang.“Sayang.” Cantika memeluk Andika. Dia menggantungkan kedua tangan di leher suaminya.“Ada apa?” tanya Andika mencium bibir Cantika.“Kemarilah! Ada yang mau aku bicarakan.” Cantika menarik Andika ke tempat tidur.“Kamu mau berbicara atau bercinta?” Andika berada di atas kasur dan Cantika duduk di perut ratanya. Jari-jari wanita itu merada dada bidang suaminya.“Sayang, aku belum juga hamil. Apa kita perlu program dengan dokter?” tanya Cantika.“Apa?” Andika terkejut. “Siapa yang tidak sehat?” tanya Andika menatap Cantika.“Aku sudah periksa dan sehat,” jawab Cantika.“Apa itu artinya aku yang tidak sehat?
Bella pergi ke penginapan Luna dengan mengendarai mobil pribadinya. Dia harus menjemput sahabatnya pindah ke apartemen.“Lelah sekali. Wijaya benar-benar membuang Luna.” Bella harus mengendarai mobil cukup lama. Dua jam perjalanan baru bisa sampai di penginapan yang berada di ujung kota.Bella memarkirkan mobil di tempat parkir. Dia tiba hampir tengah malam. Wanita itu disambut oleh karyawati bagian resepsionis.“Selamat datang. Apa Anda mau menginap?” tanya karyawati.“Aku ada janji dengan tamu bernama Luna,” jawab Bella.“Mungkin Anda bisa menghubunginya agar bisa keluar dari kamar,” ucap karyawanti.“Baiklah.” Bella menghungi Luna dan tidak ada jawaban.“Apa aku bisa menunggu di sini?” tanya Bella yang gagal menghubungi Luna.“Tentu saja,” jawab karyawati.“Terima kasih.” Bella duduk di sofa. Dia terus berusaha menghubungi Luna yang tidak juga menjawab panggilannya.“Kemana Luna? Apa dia tidur? Padahal aku sudah memintanya untuk menunggu.” Bella sangat lelah dan mengantuk. Dia butuh
Amira membuka mata. Dia benar-benar tidak bisa lagi tidur tanpa Wijaya. Jari-jarinya meraba kasur yang kosong. Kehangatan dari pelukan suaminya sudah menjadi kebiasaan.“Sayang,” sapa Amira lembut. Dia melihat pintu kamar mandi yang tertutup rapat.“Kemana dia?” Amira duduk di tepi kasur. Dia kesulitan melihat karena pencahayaan yang sedikit di dalam kamar.“Sayang.” Amira beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju sakelar lampu dan menyalakannya. Wanita itu mengetuk kamar mandi dan tidak ada jawaban.“Apa dia pergi?” Amira melihat jam yang telah menujukkan pukul sepuluh malam.“Sepertinya aku tertidur di mobil. Aku lihat Keano dulu.” Amira tersenyum. Dia melihat pakaian yang telah diganti dengan piyama tidur. Wanita itu segera pergi ke kamar putranya.“Sudah tidur. Apa dia asi dari botol?” Amira mencium Keano yang terlelap. Wanita itu menuruni tangga dan memastikan bahwa Wijaya ada di ruang kerja. Dia baru saja akan mengetuk dan pintu sudah terbuka. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya yan
Amira dan Wijaya masih berada di puncak bukit. Mereka berdua menikmati matahari terbenam. Sang istri duduk di pangkuan suami. Pelukan kuat dari belakang oleh Wijaya Kusuma. Kedua tangan pria itu mengunci pinggang Amira. “Sayang, apa kita menginap di sini saja?” tanya Wijaya mencium punggung leher Amira.“Tidak bisa. Aku kangen Keano. Dia belum asi,” jawab Amira.“Hmm. Keano nomor satu di hati kamu,” ucap Wijaya menggigit pundak Amira.“Aaah. Sakit.” Amira mencubit paha Wijaya.“Kamu membuat aku cemburu. Padahal hari ini aku mau memiliki kamu untuk diriku sendiri. Tidak memikirkan Keano yang berada di rumah.” Wijaya memutar tubuh Amira menghadap dirinya.“Apa sih. Kiano itu anak kita,” ucap Amira.“Ya. Keano adalah anak kita, Sayang.” Wijaya tersenyum. Dia menyentuh bibir Amira dengan jarinya.“Kamu tidak boleh begitu. Bersaing dengan Keano yang anak sendiri.” Amira merapikan diri agar tubuhnya benar-benar berhadapan dengan Wijaya.“Aku tahu, Sayang. Aku terlalu mencintai dan takut keh
Cantika kembali lagi ke klinik Dokter Doan. Wanita melakukan pemeriksaan setelah konsultasi.“Harusnya kamu datang dengan suami,” ucap dokter Doan tersenyum pada Cantika yang telah melepas pakaiannya.“Aku mau tahu kondisi tubuhku terlebih dahulu. Jika sudah dipastikan aku sehat dan subur. Barulah aku mengajak Andika,” jelas Cantika.“Kenapa?” tanya dokter Doan.“Karena dia sudah punya anak dengan istri pertamanya,” jawab Cantika.“Oh. Kamu khawatir dengan diri sendiri.” Dokter Doan dibantu asisten mulai melakukan pemeriksaan dan tes pada tubuh Cantika. Mereka fokus pada bagian alat reproduksi.“Bagimana, Dok?” tanya Cantika duduk di kursi ruang tunggu setelah pemeriksaan.“Apa kamu sering minum obat kimia?” Dokter Doan memperhatikan hasil pemeriksaan Cantika.“Iya. Apa itu berpengaruh pada kandung telurku? Apa aku tidak bisa hamil?” Cantika tampak khawatir. Dia benar-benar takut mandul dan tidak bisa melahirkan anak untuk Andika.“Obat apa yang kamu minum? Ini sudah berlebih sehingga