Terima kasih. Semoga suka dengan karya Akak ni.
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Andika duduk di dalam kamar. Pria itu memikirkam cara untuk bertemu dengan Amira yang tidak juga menerima panggilan darinya. “Apa maksud kamu, Amira? Apa kamu benar-benar memutuskan hubungan dengan ku?” Andika melihat foto mesra dirinya dengan Amira yang masih tersimpan di layar ponsenya.“Tidak. Amira. Aku tidak mengizinkan kamu pergi begitu saja. Kamu tetap menjadi milikku.” Andika tersenyum. Pria itu berencana untuk memabuat Amira terikat padanya.Sebuah mobil berhenti di depan rumah Andika. Ibra dan Wijaya Kusuma turun dari kendaraan mewah itu. Mereka benar-benar datang untuk bertemu dengan Amira.“Permisi.” Dokter Ibra dan Wijaya Kusuma disambut oleh bibi Nani. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya bibi Nani pada Ibra.“Apa benar ini rumah Ibu Amira?” Dokter Ibra balik bertanya.“Siapa yang mencari Amira?” Marni keluar dari ruang tengah.“Dokter Ibra. Silakan masuk.” Marni hanya mengenali dokter Ibra, tetapi tidak dengan Wijaya Kusuma. Pengusaha paling kaya di Indonesia.“Terima k
Andika yang mendapatkan laporan dari penjaga makan bahwa Amira berada di sana. Pria itu segera keluar rumah dan mengendarai mobilnya. Dia masih punya banyak waktu sebelum makan malam bersama keluarga Raditya.“Kita harus bertemu Amira. Kamu pasti masih mencintaiku. Dari sekian banyak pria yang menginginkan kamu. Akulah yang terpilih.” Andika mengendarai mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Pria itu terlihat ugal-ugalan di jalan.“Hey, bukankah itu mobil Andika. Dia mau kemana?” tanya Ibra yang mengendarai mobil dengan santai karena dua pria itu menikmati pemandangan sore dengan bercakap-cakap. Dua orang teman yang jarang memiliki waktu bersama.“Apa dia menyusul Amira?” Wijaya Kusuma melihat pada dokter Ibra.“Bisa jadi. Apa kita juga harus ke sana?” tanya dokter Ibra.“Mungkin pria itu akan menyakiti Amira karena kita mencarinya. Ibu Marni terlihat jelas membanci Amira karena telah gagal melahirnya cucu untuknya,” jelas dokter Ibra.“Kita ikuti saja dia,” ucap Wijaya Kusuma mengambil
Marni terlihat sudah rapi dengan pakaian yang elegan. Dia menunggu di depan pintu untuk menyambut tamu Istimewa yang datang ke rumah yaitu keluarga Raditya.“Kamu cantik sekali, Sayang.” Handoko memeluk pinggang istrinya yang ramping.“Aku tahu itu. Di mana Andika? Apa dia belum turun dari kamar?” tanya Marni.“Dia akan segera turun. Belum juga pukul delapan,” jawab Handoko.“Anak itu tidak terlihat sama sekali sejak sore tadi,” ucap Marni kesal.Mobil putih dan mewah berhenti tepat di depan pintu ruang tamu rumah Marni. Sudah dipastikan itu adalah keluarga Raditya. Mereka turun dari mobil.“Selamat datang di rumah kami yang sedv erhana ini.” Marni menyambut kedatangan keluarga Raditya. Dia memeluk Cantika dan Ranika.“Apa ini putri yang cantik sesuai namanya?” Marni tersenyum dan memeluk Cantika.“Ya, Tante.” Cantika tersenyum. Dia memang sudah lama suka pada Andika. Dia juga sangat membenci Amira yang telah merebut cinta pertamanya di usia muda.“Mari masuk.” Marni benar-benar senang
Amira beranjak dari kursi. Dia harus pergi ke kamar mandi dan memeras asi yang sudah terisi penuh.“Ibu Amira,” sapa karyawati yang baru saja keluar dari ruang wawancara.“Ya.” Amira tersenyum. Dia menahan sakit pada dadanya yang membengkak.“Silakan masuk.” Wanita itu membuka pintu untuk Amira.“Terima kasih.” Amira masuk ke dalam ruangan dan dia hanya melihat seorang pria yang duduk diantar dua kursi kosong.“Silakan duduk,” ucap Wijaya Kusuma.Pria itu melihat Amira benar-benar sangat cantik dengan pakaian yang rapi. Wanita itu berbeda dari terakhir kali bertemu karena tidak ada polesan make up yang membuatnya terlihat lebih segar. Tidak ada lagi mata bengkak dan wajah sembab.“Terima kasih.” Amira merasa tidak asing dengan suara pria itu. “Anda….” Amira sangat mengenal Wijaya Kusuma ketika dia memperhatikan dengan jelas dari jarak yang cukup dekat wajah pria di depannya.“Mari kita mulai wawancaranya.” Wijaya Kusuma menatap Amira. Tidak bisa dipungkiri pria itu mengakui bahwa Amir
Wijaya Kusuma pulang ke rumah lebih awal. Dia membersihkan diri dan berganti pakaian. Menemani putranya bermain di taman sambil menunggu malam. Bayi laki-laki yang seakan tidak terawat. Walaupun bersih dan putih, tetapi tampak kurus seperti pertama kali dilahirkan. Keano seakan tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan.“Kenapa putraku terlihat kurus sekali?” Wijaya Kusuma menyentuh tangan dan jari-jari yang kecil serta lemah.“Tuan muda hanya minum sedikit susu untuk menahan lapar, tetapi tidak sampai kenyang, Pak. Dia juga sering menangis dan kurang tidur,” jelas bibi.“Para baby sister sudah melakukan segalanya untuk merawat tuan muda Keano,” lanjut bibi.“Saya rasa berat badan Tuan Muda pun tidak naik.” Bibi benar-benar khawatir.“Apa Bibi sudah menghubungi Luna?” tanya Wijaya Kusuma melihat pada bibi.“Nyonya meminta Anda menghubunginya. Dia menunggu di hotel dekat bandara. Ini nomor kamar.” Bibi memberikan secarik kertas kepada Wijaya Kusuma.“Untuk apa aku menemuinya? Di band
Wijaya yang duduk di sudut ruangan mendengarkan tangis bayi yang cukup kuat. Pria yang tampak gugup itu tersenyum tipis. Dia melihat sepasang tangan dan kaki yang telanjang bergerak-gerak.“Kenapa situasi ini sangat menyakitkan? Aku harus bahagia, tetapi juga sedih. Rasanya dadaku sakit sekali. Ini tidak sama ketika Luna melahirkan Keano.” Wijaya meremas dadanya. Dia tidak berani mendekat. Tubuh pria itu terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Dia ingin hanya bisa melihat Amira yang diam dan membeku.“Wijaya, selamat. Kamu punya sepasang bayi kembar yang sehat.” Dokter Ibra mendekati Wijaya.“Apa?” Wijaya tersenyum. Dia melihat bayi yang digendong Ibra dan perawat.“Ya.” Wijaya mengangguk.“Kami akan membersihkannya,” ucap perawat.“Bagaimana dengan Amira?” tanya Wijaya.“Dok, jantung pasien tidak stabil. Dia mengalami pendarahan hebat,” ucap dokter yang sedang menutup perut Amira.Tempat tidur dan sepray telah dibasahi oleh darah Amira yang terus keluar dengan derasnya. Tubuhnya ber
Mobil melaju dengan kecepatan standar. Amira terus berada dalam pelukan Wijaya. Wanita itu benar-benar gugup. Rasa khawatir dan takut telah mengurung dirinya dalam trauma kelahiran Devano dan juga keguguran yang pernah dialaminya. “Sayang, tolong kuatkan dan tenangkan diri kamu. Kamu sudah sangat kuat selama ini.” Wijaya memegang pipi Amira.“Mm.” Amira mengangguk dan memeluk Wijaya.“Tidak apa-apa, Sayang. Kita akan segera bertemu dengan anak-anak kita.” Wijaya berusaha tersenyum untuk memberikan kekuatan kepada Amira.“Kita sampai, Pak.” Leon segera membuka pintu mobil. “Kenapa bisa seperti ini?” Ibra sudah menunggu di depan pintu bersama tim dokter dan perawat.“Ayo, Sayang.” Wijaya membantu Amira naik ke tempat tidur. Pria itu pun kesulitan untuk menggendong istrinya yang sedang hamil besar anak kembar mereka. “Sayang, aku takut.” Amira memegang kuat tangan Wijaya.“Tidak ada yang perlu ditakutkan, Sayang. Aku akan terus berada di sisi kamu.” Wijaya mengikuti tempat tidur yang t
Wijaya selalu menyempatkan diri untuk bermain bersama anak dan istrinya di sela-sela kesibukannya. Pria itu sudah tidak pernah lagi pergi ke penjara. Dia hampir tidak mengurus kehidupan Luna lagi. Lelaki yang hanya fokus untuk keluarga.“Pak, besok Anda sudah harus membawa Nyonya ke rumah sakit,” ucap Leon.“Benar. Amira akan melahirkan.” Wijaya tersenyum.“Besok siang kamu siapkan semuanya dan pastikan aman. Aku dan Amira akan pergi ke rumah sakit. anak-anak juga akan ikut,” jelas Wijaya. “Baik, Pak. Saya sudah mempersiapkan semuanya jauh hari,” ucap Leon.“Bagus.” Wijaya melihat panggilan masuk dari dokter Ibra. “Halo, Ibra. Ada apa?” tanya Wijaya. “Aku harap kamu tidak lupa,” jawab dokter Ibra. “Tentu saja. Besok siang aku akan membawa Amira,” tegas Wijaya. “Ya. Kami sudah mempersiapkan semuanya. Rumah khusus untuk kamu dan keluarga.” Dokter Ibra tersenyum. Wijaya telah memesan satu Gedung untuk dia dan keluarganya layak rumah sendiri.“Aku tahu itu. Terima kasih,” ucap Wijaya.
Andika berusaha mencari Cantika dan keluarga. Pria itu benar-benar akan menjadi gila karena secara tiba-tiba kehilangan segalanya. “Andika, apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak pergi ke kantor?” tanya Marni kepada Andika yang mondar mandir di ruang tengah dengan gelisah.“Ma, aku sudah hancur, Ma. Cantika masih hidup dan sekarang mengambil semua milikku.” Andika memegang tangan Marni.“Apa?” Marni terkejut.“Apa maksud kamu?” tanya Marni menatap Andika.“Cantika sudah sembuh, Ma. Dia memiliki bukti kejahatan diriku sehingga para pemegang saham menarik aset mereka,” jelas Andika mengacak rambutnya. Pria itu tampak kacau. “Apa? Bagaimana bisa?” Marni pun ikut panik.“Ma, mungkin sekarang Cantika belum melaporkan aku ke kantor polisi, tetapi tidak tahu ke depannya. Kita harus mencari bantuan,” ucap Andika.“Kamu harus tenang. Sekarang hubungi papa kamu. Kita harus menemukan Solusi yang tepat.” Marni mengeluarkan ponsel dan menghubungi suaminya. “Kenapa tidak diangkat?” Marni mencoba men
Cantika pergi meninggalkan Andika yang terduduk diam di lantai bersama Siska. Para pemenang saham pun keluar begitu juga dengan kedua orang tua wanita itu.“Pa, Ma. Aku akan pergi ke Perusahaan Pak Wijaya. Kalian pulang dulu.” Cantika masuk ke mobilnya.“Baiklah. Kamu memang harus menyerahkan semuanya kepada Wijaya,” ucap Ranika melihat Cantika yang tampak bersemangat.“Aku akan bertemu dengan Wijaya Kusuma.” Cantika mengendarai mobil menuju Perusahaan Wijaya. Wanita itu benar-benar sangat senang dan berharap bisa bertemu dengan suami dari Amira.“Ini adalah Perusahaan utama. Pasti dia terus berada di sini.” Cantika menghentikan mobil di tempat parkir. Dia segera turun dan menemui respesionis. “Apa ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang wanita menyambut kedatangan Cantika.“Apa Pak Wijaya ada di tempat?” Cantika balik bertanya.“Apa Anda ada janji?” Karyawati pun masih memberikan pertanyaan.“Tidak ada, tetapi aku akan membicarakan hal penting tentang Perusahaan yang akan diserahkan
Tubuh Siska membeku. Suara Cantika tidak berubah sama sekali. Wanita itu tidak bisa menolak kenyatakan bahwa perempuan yang berdiri di depannya adalah istri sah dari Andika dan pemilik Perusahaan itu.“Pergilah ke ruang rapat dan siapkan semuanya.” Cantika mengambil ponsel dari tangan Siska.“Aku akan masuk sebentar lagi. Jadi, pastikan kursiku sudah bersih.” Cantika menepuk pundak Siska dan mendorong tubuh wanita itu keluar dari ruang kerja.“Ayo Pa, Ma. Kita masuk ruang rapat,” ajak Cantika.Siska merasakan langkah kakinya sangat berat. Wanita itu tidak bisa lagi berpikir jernih. Posisinya benar-benar dalam bahaya. Dia hanya bisa ikut masuk ke ruang rapat.“Siapa wanita ini?” tanya para pemegang saham yang tidak mengenali Cantika.“Kenapa dia bisa berada di ruangan ini?” Semua mata tertuju pada Cantika yang berjalan Anggun dan duduk di kursi Andika.“Selamat pagi semuanya.” Cantika tersenyum cantika. Siska berdiri di sampingnya dengan tangan dan tubuh yang gemetar. Wanita itu hanya m
Andika benar-benar menikmati tarian dengan Cantika. Dia tidak mengenali istrinya sama sekali hingga wanita itu pun pergi begitu saja meninggalkan sang suami. “Andika, aku benar-benar sudah jijik melihat kamu yang berpura-pura baik kepada semua wanita dan memanfaatkan mereka.” Cantika duduk di dalam mobil. “Besok kamu akan mendapatkan kejutan.” Cantika tersenyum. Dia meninggalkan tempat pesta.“Di mana Cantika?” tanya Andika pada Siska.“Ibu Cantika sudah pulang,” jawab Siska. “Apa Anda menyukai wanita tadi?” tanya Siska. “Tidak. Aku hanya mau mengajaknya bekerja sama karena dia juga seorang pengusaha.” Andika tersenyum.“Kamu tahu kan, Siska. Perusahaan kita sedang berkembang pesat.” Andika terlihat sangat bangga pada dirinya yang dikenal banyak orang yang menganggap sudah selevel dengan Wijaya. “Ya, Pak.” Siska tersenyum.“Malam sudah larut. Tamu undangan pun sudah pulang. Maaf tidak bisa mengantar kamu karena ada papa dan mamaku,” ucap Andika.“Tidak apa, Pak. Aku membawa mobil
Andika mengadakan pesta perayaan untuk kesuksesan yang telah dicapai. Dia mengundang semua orang yang merupakan kolega kerja dan rekan bisnis yang merupakan para pemegang saham. Pria itu benar-benar melupakan Cantika yang telah memberikan saham kepadanya.“Terima kasih kepada semua rekan dan teman-teman yang telah datang untuk ikut merayakan keberhasilan bisnis ini sehingga kita memiliki cabang hingga ke luar negeri,” ucap Andika dengan bangga. “Selamat, Pak Andika. Kami ikut senang.” Para rekan bisnis memberikan ucapan selamat kepada Andika.“Anda luar biasa. Nyonya Cantika tidak salah menyerahkan Perusahaan dan sahamnya kepada Pak Andika.” Seorang wanita mendekati Andika.“Benar. Apalagi Pak Andika masih setia kepada Ibu Cantika dengan tidak menikah lagi. Padahal sang istri sudah meninggal dunia,” ucap seorang pria.“Ya. Pesta ini juga sebagai ungkapan terima kasih kepada istriku. Dia meminta untuk pesta mewah ketika aku berhasil membawa Perusahaan ini pada puncak kesuksesan,” jela
Wijaya bekerja di rumah. Pria itu hanya pergi ke kantor ketika benar-benar terdesak dan penting. Lelaki yang sudah menjadi bos besar sejak lama itu tidak mau berpisah dengan sang istri yang hamil besar. Dia ingin terus memantau Amira selama dua puluh empat jam. Memastikan bahwa orang-orang yang dicintai dan dikasihinya aman. “Pak, ada pesan dari keluarga Radit.” Jack berdiri di depan Wijaya.“Apa yang dia inginkan?” tanya Wijaya melihat pada Jack.“Cantika dan keluarga mau bertemu Anda untuk mengucapkan terima kasih,” jawab Jack.“Apa mereka sudah di Indonesia?” Wijaya memicingkan matanya.“Sudah, Bos. Semalam mereka tiba di Indonesia dan hari ini mengirim pesan,” jelas Jack.“Aku tidak butuh ucapan terima kasih. Mereka hanya perlu menghancurkan Perusahaan Andika dan memberikan kepadaku,” tegas Wijaya.“Baik, Pak. Akan saya sampaikan.” Jack segera membalas pesan Radit.“Aku beri waktu dua minggu paling lambat. Sebelum Amira melahirkan. Jika terlambat, aku sendiri yang akan bergerak da