Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.
“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.
“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.
“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.
“Kapan kita pulang?” tanya Luna.
“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.
“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.
“Pulanglah,” tegas Wijaya.
“Baiklah.” Luna benar-benar tidak menyentuh putranya sama sekali. Wanita itu bersiap untuk pulang ke rumah.
“Ayo kita pulang, Dira,” ajak Luna pada asisten pribadinya.
“Baik, Bu.” Dira segera membereskan barang-barang milik Luna. “Apa kamu tidak merasa sakit?” tanya Wijaya pada Luna.“Tentu saja aku sakit, tetapi aku tidak mau berada di rumah sakit ini. Aku mau dirawat di rumah,” jawab Luna.
“Baiklah. Aku akan mengurus semuanya. Kamu pulanglah dulu.” Wijaya menatap tajam pada Luna. Dia tidak menyangka wanita itu akan pulang tanpa membawa anak mereka.
“Kamu siapkan juga baby sister untuk anak kita karena aku tidak akan bisa merawatnya sendiri. Aku pulang dulu, Sayang.” Luna tersenyum. Dia mencium pipi Wijaya Kusuma dan tersenyum. Wanita itu percaya suaminya akan menuruti semua keinginannya setelah melahirkan seorang putra untuk pria itu.
“Hm.” Wijaya hanya mengepalkan tangannya. Dia tidak bisa marah kepada Luna karena sesuai perjanjian wanita itu hanya akan melahirkan saja dan tidak akan merawat langsung putra mereka.“Kamu sudah janji, Sayang.” Luna tersenyum penuh kebahagiaan karena Wijaya berjanji akan mengizinkan istrinya untuk kembali berkarier di dunia hiburan. Pria itu juga akan mendukung sepenuhnya bahkan dengan uangnya agar sang istri kembali popular.
“Aku harap dia mau merawat Keano.” Wijaya Kusuma menyentuh pipi putranya yang merah.“Kamu tampan seperti Papa.” Wijaya Kusuma tersenyum.
“Jaya.” Dokter Ibra masuk ke ruangan bayi.
“Ya.” Wijaya menoleh pada sumber suara yang tidak lain adalah temannya sendiri.
“Perawat mengatakan bahwa Luna sudah pulang,” ucap Ibra.
“Ya. Dia adalah wanita yang kuat dan sangat sehat. Perawatan yang baik benar-benar bisa menjaga kondisi tubunya menjadi sangat bertenaga dan pulih dengan cepat,” jelas Wijaya Kusuma yang lebih banyak bicara dengan teman dekatnya.
“Kamu benar. Perawatan memang sangat dibutuhkan oleh seorang wanita. Kalian sangat beruntung. Saling mencintai dan saling mendukung satu sala lain.” Dokter Ibra mendekati Wijaya yang terus memperhatikan putrnya.
“Anak kamu benar-benar pendiam. Dia juga tidak cengeng,” ucap dokter Ibra.
“Apa dia tidak lapar?” tanya Wijaya Kusuma.
“Dia sudah mendapatkan susu, tetapi hanya sedikit. Sepertinya anak kamu tidak terlalu suka dengan susu formula. Cobalah untuk meminta Luna memberikan asi. Itu akan membuat tarikan untuk menghasilkan asi dari Luna,” jelas Ibra.
“Ya.” Wijaya Kusuma mengangguk.
“Luna belum boleh beraktivitas berat seteleh melahirkan. Dia tetap harus merawat dirinya dan anak kalian di rumah,” jelas Ibra.
“Ingat masa nifas itu empat puluh hari. Apa kamu mengerti?” Dokter Ibra memukul lengan kekar Wijaya Kusuma.
“Mm.” Wijaya Kusuma tersenyum tipis. Pria itu sangat jarang berhubungan badan dengan istrinya. Apalagi selama hamil. Wanita itu juga sangat sibuk bekerja dan sering melakukan perjalanan ke luar untuk syuting dan pemotretan
Luna adalah wanita yang sangat popular. Jadi, wajar saja dia bisa menikah dengan seorang Wijaya Kusuma yang juga menjadi idola semua wanita. Pertemuan bisnis membuat keduanya sering bertemu hingga jatuh cinta dan menikah. Mereka selalu dijodohkan dari awal oleh public karena ketampanan dan kecantikan serta kekayaan yang dimiliki keduanya.
Wijaya Kusuma pulang ke rumah bersama putrnya. Dia benar-benar pandai menggendong bayi kecil yang baru lahir itu. Para pelayan sudah menunggu di depan pintu untuk menyambut kedatangan pewaris keluarga Kusuma.
“Selamat datang.” Para pelayan memberikan senyuma hangat kepada Wijaya Kusuma dan Keano.“Kamar sudah disiapkan, Tuan.” Kepala pelayan mengantarkan Wijaya ke kamar khusus bayi yang dibuat tepat di samping ruangan pribadi pria itu.
“Mm.” Wijaya Kusuma membaringkan Keano di atas kasur bayi dengan ranjang terbuat dari kayu terbaik.
“Di maan Luna?” tanya Wijaya pada kepala pelayan.
“Nyonya berada di dalam kamar, Tuan,” jawab kepala pelayan.
“Bagaimana dengan baby sister?” Wijawa Kusuma menatap tajam pada kepala pelayan yang tidak muda lagi itu. Wanita yang telah mengurus majikannya dari kecil.
“Semua sudah siap dan berkumpul di ruang tengah samping taman,” jawab kepala pelayan.
“Aku percaya kepada Bibi,” ucap Wijaya Kusuma.
“Terima kasih, Tuan.” Bibi menunduk.
“Aku akan tinggalkan Keano. Pastikan mereka bekerja dengan baik dan tidak ada kesalahan,” tegas Wijaya.
“Apa Anda tidak mau menemui para baby sister?” tanya bibi.
“Aku akan melihat mereka sekarang,” ucap Wijaya.
“Baik.” Bibi memanggil asistennya untuk menjaga Keano sebelum para baby sister mendapatkan persetujuan dari Wijaya untuk mulai mengurus bayi.
Wijaya berjalan menuju ruang tengah samping taman. Pria itu melihat para wanita muda, cantik, rapi dan bersih sudah berbaris menunnggu perintah dari pemilik rumah.
“Ya Tuhan. Tuan Wijaya Kusuma benar-benar tampan.” Dua orang wanita mencuri pandang untuk melihat wajah tampan Wijaya Kusuma.
“Mereka dipilih dari agensi terbaik, Tuan. Semua data dan latar belakang sudah diperiksa. Keluarga dan tempat tinggal jelas,” ucap bibi meletakkan berkas di atas meja.
“Mm.” Wijaya Kusuma memperhatikan wanita itu satu persatu dari atas hingga bawah.
“Mereka bisa mulai bekerja. Bibi jelaskan saja tugas masing-masing.” Wijaya Kusuma pergi begitu saja. Dia harus segera bekerja karena sudah dua hari berada di rumah sakit untuk menemani Luna melahirnya.
“Baik, Tuan.” Bibi membungkung.
“Saya akan mengulangi tugas dan kewajibab kalian,” ucap bibi.
“Tuan Wijaya tidak akan memaafkan kesalahan sekecil apa pun. Kalian bertanggung jawab atas bayi dan semuanya. Jangan ikut campur dengan urusan Tuan besar. Tidak perlu bicara atau bertanya langsung kepada Tuan Wijaya karena itu tidak penting,” tegas bibi.
“Jika kalian melakukan kesalahan. Bukan hanya dipecat, tetapi nama kalian akan masuk daftar hitam sehingga sulit untuk melanjutkan kehidupan di luar sana,” jelas bibi.
“Jadi berhati-hatilah dan teliti. Jangan sampai melakukan kesalahan sekecil apa pun,” lanjut bibi.
“Apa kalian mengerti?” tanya bibi dengan tegas dan elegan.
“Mengerti,” jawab dua orang wanita.
“Kalian harus saling bekerja sama dan bukan saling iri dalam bekerja,” tegas bibi.
“Baik, Bu.” Dua wanita itu saling pandang.
“Jangan pernah berpikir untuk menjadi penggoda di rumah ini karena tidak akan berhasil.” Bibi menatap tajam pada dua wanita itu.
“Kalian bisa masuk kamar tuan muda Keano. Pastikan tidak bertemu dengan Tuan besar Wijaya,” tegas bibi.
“Berusaha untuk menjauh dan menghindar ketika Tuan besar masuk ke kamar bayi,” lanjut bibi.
“Baik, Bu,” ucap dua wanita itu kompak.
“Ini jadwal yang harus kalian ikuti. Tuan sudah membuatnya agar tidak terjadi kesalahan.” Bibi memberikan masing-masing satu kertas kepada dua wanita itu.
“Terima kasih,” ucap mereka berdua.
“Kalian punya waktu satu jam untuk belajar dan memahami perkerjaan yang berharga ini. Silakan kembali ke kamar kalian.” Bibi terus memperhatikan dua orang itu.
“Baik, Bu.” Dua wanita itu pergi ke kamar mereka yang berada di belakang taman yang memang dijadikan tempat tinggal para pekerja.
“Wah, kamar kita nyaman sekali,” ucap Lili membuka pintu kamarnya lengkap dengan kamar mandi dan ruang tamu.
“Benar.” Lena pun masuk ke kamarnya yang bersebelahan dengan Lili.
“Ada taman dan di sana ruang makan khusus asisten rumah tangga.” Lena menunjukan gazebo khusus mereka.
“Luar biasa. Kita tidak boleh berkeliaran di depan Tuan besar dan Nyonya,” jelas Lili.
“Benar. Aku tidak mau membuat masalah. Pekerjaan ini sangat penting untukku. Apalagi gajinya besar,” ucap Lena.
“Ya. Ayo kita masuk kamar masing-masing.” Lili masuk kamar dan menutup pintu. Dia membaca aturan ketika berada di rumah Wijaya Kusuma dan jadwal kerjanya dalam mengurus bayi serta membersihkan ruangan anak dari Luna dan suaminya.
Wijaya Kusuma mengirimkan pesan pada asisten pribadinya untuk menanyakan persiapan penerimaan karyawan baru di beberapa bagian cabang Perusahaan mereka yang baru dibuka. Perumahan dan juga supermarket terbesar di kota. Pria itu sudah mempersiapkan banyak warisan untuk putranya Keano.Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Wijaya Kusuma duduk di balik meja kerja. Pria itu masih memeriksa beberapa kandidat calon sekretarisnya. Matanya kembali tertuju pada Amira Salsabila. Wanita yang dijumpainya tanpa sengaja.“Dia adalah kandidat terkuat, tetapi kenapa lebih memilih bagian keuangan?” tanya Wijaya Kusuma pada dirinya sendiri, tetapi terdengar oleh Dodi.“Gaji sekretaris jauh lebih besar dan fasilitas banyak. Jadi, lebih menguntungkan,” ucap Wijaya.“Sekretaris pribadi jauh lebih sibuk. Dia wanita cerdas, tentu saja akan memilih di bidang keuangan karena masih memiliki waktu luang.” Dodi tersenyum.“Benar dan aku butuh wanita cerdas.” Wijaya Kusuma tersenyum.“Dia satu-satunya yang berkompeten di bidang keuangan,” ucap Dodi dan Wijaya Kusuma terdiam.“Anda bisa melihatnya kan.” Dodi mengetuk layar computer di depan Wijaya.“Aku sendiri yang akan mewawancarinya,” tegas Wijaya Kusuma.“Hanya Amira atau semua?” tanya Dodi.“Amira saja,” jawab Wijaya Kusuma.“Baik. Dia berada di nomor urut terakhir,” ucap Dodi
Andika duduk di dalam kamar. Pria itu memikirkam cara untuk bertemu dengan Amira yang tidak juga menerima panggilan darinya. “Apa maksud kamu, Amira? Apa kamu benar-benar memutuskan hubungan dengan ku?” Andika melihat foto mesra dirinya dengan Amira yang masih tersimpan di layar ponsenya.“Tidak. Amira. Aku tidak mengizinkan kamu pergi begitu saja. Kamu tetap menjadi milikku.” Andika tersenyum. Pria itu berencana untuk memabuat Amira terikat padanya.Sebuah mobil berhenti di depan rumah Andika. Ibra dan Wijaya Kusuma turun dari kendaraan mewah itu. Mereka benar-benar datang untuk bertemu dengan Amira.“Permisi.” Dokter Ibra dan Wijaya Kusuma disambut oleh bibi Nani. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya bibi Nani pada Ibra.“Apa benar ini rumah Ibu Amira?” Dokter Ibra balik bertanya.“Siapa yang mencari Amira?” Marni keluar dari ruang tengah.“Dokter Ibra. Silakan masuk.” Marni hanya mengenali dokter Ibra, tetapi tidak dengan Wijaya Kusuma. Pengusaha paling kaya di Indonesia.“Terima k
Andika yang mendapatkan laporan dari penjaga makan bahwa Amira berada di sana. Pria itu segera keluar rumah dan mengendarai mobilnya. Dia masih punya banyak waktu sebelum makan malam bersama keluarga Raditya.“Kita harus bertemu Amira. Kamu pasti masih mencintaiku. Dari sekian banyak pria yang menginginkan kamu. Akulah yang terpilih.” Andika mengendarai mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Pria itu terlihat ugal-ugalan di jalan.“Hey, bukankah itu mobil Andika. Dia mau kemana?” tanya Ibra yang mengendarai mobil dengan santai karena dua pria itu menikmati pemandangan sore dengan bercakap-cakap. Dua orang teman yang jarang memiliki waktu bersama.“Apa dia menyusul Amira?” Wijaya Kusuma melihat pada dokter Ibra.“Bisa jadi. Apa kita juga harus ke sana?” tanya dokter Ibra.“Mungkin pria itu akan menyakiti Amira karena kita mencarinya. Ibu Marni terlihat jelas membanci Amira karena telah gagal melahirnya cucu untuknya,” jelas dokter Ibra.“Kita ikuti saja dia,” ucap Wijaya Kusuma mengambil
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak