Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.
“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.
“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.
“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.
“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.
“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira.
“Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.
“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.
“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.
“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.
“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.
“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah.
“Karena kamu sudah membuat cucuku meninggal. Wanita lemah. Melahirkan secara normal saja tidak kuat hingga pingsan.” Marni mendorong tubuh Amira jatuh ke sofa. “Ibu.” Bibi terkejut dengan sikap Marni yang kasar kepada Amira.“Aku juga sedih, Ma. Aku tidak pernah berharap anakku meninggal,” ucap Amira menatap pada Marni.
“Besok, Andika akan mengurus perceraian kalian. Sebaiknya kamu keluar dari rumah ini segera,” tegas Marni.
“Apa? Apa karena anak kami meninggal aku harus diceraikan? Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira.“Kami masih bisa program anak lagi,” lanjut Amira.
“Wanita penyakitan dan lemah seperti kamu hanya akan menghabiskan uang keluarga kami saja. Kami tidak butuh menantu yang merugikan dan tidak memberikan keuntungan apa pun,” ketus Marni tersenyum sinis.
“Apa? Aku rela berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.” Amira benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh mertuanya. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menuruti semua keinginan keluarga suaminya.
“Kamu akan sulit hamil sehingga Andika harus mencari istri baru yang sehat dan kuat,” tegar Marni.
“Ma!” teriak Amira terkejut mendengar ucapan mentuanya.
“Plak! Plak! Pla!” Amira mendapatkan tamparan yang kuat dan berkali-kali dari Mirna. Pipi yang putih itu menjadi merah dan bibirnya pecah.
“Sebaiknya kamu segera keluar dari rumah ini!” bentak Marni.
“Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira menyentuh bibirnya yang berdarah karena tamparan dari mama mertua.
“Kamu tidak perlu bicara lagi dengan Andika. Dia sudah setuju untuk menikah lagi,” tegas Marni.
“Mama benar. Aku tidak bisa bersama kamu lagi, Mira.” Andika berdiri di samping mamanya.
“Sayang.” Amira melihat pada Andika yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Kita sudah selesai. Kamu telah gagal menjadi istri. Uang dan waktu yang aku korbankan agar kita punya anak terbuang sia-sia,” jelas Andika.
“Aku hanya bisa mencari pengganti kamu agar bisa memberikan anak yang sehat tanpa harus program kehamilan dan menghabiskan banyak uang,” lanjut Andika.
“Program kehamilan ini menggunakan uang aku sendiri. Tabunganku selama masih bekerja,” ucap Amira.
“Itu sudah sewajarnya. Uang Tabungan kamu digunakan untuk diri sendiri agar suami bahagia,” tegas Marni.
“Andika. Usir wanita penyakitan dan tidak berguna ini keluar dari rumah. Mama tidak mau melihatnya lagi.” Marni menatap sinis pada Amira.“Sayang.” Amira hanya bisa menangis. Dia berharap Andika akan mempertahankan dirinya.
“Tidurlah di kamar tamu. Besok, aku akan mengatarkan kamu ke tempat baru.” Andika melihat pada Amira.
“Kenapa tidak malam ini saja? Aku tidak mau dia mencuri barang berharga di rumah ini sebelum keluar.” Marni menatap tajam pada Amira.
“Kasian ni Amira untuk malam ini saja, Ma. Aku akan menjaganya.” Andika masih sangat menyayangi istrinya, tetapi dia tidak bisa membantah perintah orang tuanya yang meminta dirinya untuk menceraikan Amira.
“Terserah kamu saja. Ingat untuk segera melayangkan gugatan cerai ke pengadilan.” Marni meninggalkan Amira dan Andika. Bibi hanya bisa menjadi penonton dalam diam tanpa berani berkomentar dan menolong.
“Apa kamu benar-benar akan menceraikan aku?” tanya Amira sesegukan.
“Maafkan aku, Mira. Kita tidak bisa bersama lagi,” jawab Andika menatap Amira. Wanita yang cantik itu terlihat pucat dan berantakan. Pipi merah karena tamparan mama mertua dan bibirnya pecah.
“Bibi, antarkan Amira ke kamar tamu,” ucap Andika.
“Baik, Pak.” Bibi memegang tangan Amira untuk membantu wanita itu beranjak dari sofa.“Apa kamu tidak mau membantuku?” tanya Amira yang sudah berdiri menatap pada Andika. Wanita itu bertopang pada tubuh bibi. Dia benar-benar lemah. Jiwa dan raganya telah hancur.
“Aku akan membereskan barang-barang kamu.” Andika meninggalkan Amira dan bibi. Pria itu menaiki tangga menuju kamar mereka.“Hiks hiks.” Amira hanya bisa menangis. Hati dan jiwanya begitu sakit. Luka dan perih menusuk jantung. Rasanya dia ingin mati saja menyusul putranya.
“Ayo, Bu.” Bibi membawa Amira ke kamar tamu.“Saya akan ambilkan pakaian ganti untuk ibu.” Bibi meninggalkan Amira yang duduk di tepi kasur. Wanita itu hanya bisa menangis dalam diam. Dadanya begitu sesak dan sakit.
Ditinggalkan anak, diusir mertua dan diceraikan sang suami tercinta. Hidup Amira benar-benar hancur. Dia harus menguatkan dirinya untuk bisa bertahan hidup di dunia yang kejam.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” Amira meremas ujung seprai. Air matanya terus mengalir memasahi wajah yang merah. Rasa perih dan pedih telah bercampur dengan luka di dalam jiwa.
“Tuhan telah mengambil anakku sehingga aku diceraikan dan diusir dari rumah ini. Penderitaan apa lagi yang harus aku alami? Lebih baik aku mati saja. Tidak ada gunanya hidup di dunia ini.” Amira menghapus air matanya.
“Apa aku harus mati atau bangkit dan balas dendam?” Amira menatap jendela kamar yang terbuka. Dia beranjak dari kasur dan berjalan menuju jendela. Mendongakkan kepala dan melihat pada langit malam yang mendung. Awan hitam menggantung dan petir pun mulai menyambar.
Air hujan mulai turun bersama dengan kilat dan Guntur. Angin pun bertiup cukup kencang hingga mambasahi tubuh Amira yang lemah. Wanita itu membiarkan air hujan menyatu dengan air matanya yang terus mengalir membasahi wajahnya yang masih sakit.
“Ibu.” Bibi masuk ke kamar dengan membawa koper milik Amira.
Andika benar-benar telah memberekan semua pakaian Amira. Berkas penting milik wanita itu pun dimasukan ke dalam koper yang cukup besar. Pria itu harus melepaskan wanita yang dicintainya agar tetap bisa bersama keluarga dengan harta dan tahta.
“Ibu jangan di situ.” Bibi melepaskan koper. Dia menarik tubuh Amira menjauh dari jendela. Wanita itu menutup kaca jendela dan gorden.
“Nanti, Ibu sakit.” Bibi mengambil handuk dan mengeringkan rambut dan wajah Amira yang sudah basah.
“Lebih baik aku mati saja. Aku tidak tahu harus pergi kemana?” Amira meracau dengan air mata yang terus mengalir.“Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa bertahan. Bukankah Ibu punya pengalaman kerja yang bagus?” Bibi menatap Amira.
“Sekarang, Ibu ganti baju dan tidur agar besok bisa bangun dengan segar.” Bibi menghapus air mata Amira. Wanita itu benar-benar sedih melihat nasib yang menimpa istri Andika.
“Semua berkas penting Ibu ada di koper. Pasti akan bermanfaat. Ibu baru selesai melahirkan, jadi harus banyak istirahat.” Bibi sudah menganggap Amira sebagai anaknya sendiri karena wanita itu sangat baik.“Terima kasih, Bi.” Amira mengangguk.
“Ayo, Bibi bantu ganti baju.” Bibi membuka piyama yang dikenakan Amira.
Amira merebahkan tubuh di atas kasur. Dia memejamkan mata yang terus basah. Tubuhnya benar-benar kedinginan dan mengigil. Bibi memberikan obat hingga wanita itu pun bisa tertidur dengan pulas hingga pagi yang mengerikan datang.
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Acara penyambutan telah dimulai. Beberapa siswa menampilkan kemampuan mereka sehingga bisa masuk ke sekolah unggulan. Walaupun swasta, tetapi merupakan sekolah internasional yang mengutamakan mutu dan tidak semua orang bisa masuk. Ada seleksi ketat yang harus dilewati.“Devano dan Keano akan menampilkan apa?” tanya Amira dengan lembut.“Tidak ada,” jawab dua bersaudara itu kompak.“Oh.” Amira terkejut dengan jawaban cepat dari dua putranya.“Nama mereka paling atas, tetapi tidak akan menampilkan apa pun. Padahal keduanya menguasai semua elemen.” Amira tersenyum. Dia berbisik di telinga Wijaya.“Sayang, mungkin anak-anak tidak mau terlalu menonjol di awal tahun ajaran baru ini.” Wijaya mengusap pipi Amira dengan lembut.“Kita mau fokus belajar, Ma. Keahlian lain bisa diasah di rumah saja,” jelas Devano tersenyum.“Iya, Sayang.” Amira mencium dahi Devano dan Keano. Wanita itu harus bersikap adil. Sentuhan dan ciuman serta pujian harus diberikan kepada kedua putranya. Tidak boleh hanya sa
Devano dan Keano sudah bersiap masuk sekolah. Dua remaja itu memilih sekolah swasta. Wijaya rela membayar mahal untuk Pendidikan anak-anaknya.“Selamat pagi.” Amira masuk ke kamar dua putranya.“Mama.” Keano dan Devano menoleh kepada Amira.“Apa sudah siap berangkat sekolah?” tanya Amira mendekati Keano dan Devano yang bersiap keluar kamar.“Ya, Ma.” Keano dan Devano memeluk Amira.“Anak-anak Mama benar-benar tampan dan menawan.” Amira menciu pipi Keano dan Devano yang harum.“Baiklah. Kita sarapan dulu ya.” Amira menggandengan kedua anaknya dari kamar dan pergi ke ruang makan.“Apa Mama akan mengantarkan kami ke sekolah di hari pertama?” tanya Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama kana menemani kalian ke sekolah.” Amira menarik kursi untuk kedua anaknya.“Terima kasih, Ma. Aku bisa,” ucap Devano yang sudah lebih dulu menarik kursi untuk dirinya sendiri. Wijaya memperhatikan dua putrnaya.“Sayang, mereka sudah besar. Bisa melakukan semuanya sendiri. Apalagi hanya menarik kursi,” ucap Wija
WARNING 21++++Amira dan Wijaya telah berada di dalam kamar mereka. Anak-anak pun telah tidur, tetapi Keano dan Devano masih sibuk dengan alat baru yang diberikan oleh papa mereka.“Sayang, anak-anak sudah tidur dan ada baby sister juga. Apa kita bisa mulai?” Wijaya memeluk Amira dari belakang. Wanita itu baru saja melepaskan pakaian dan akan diganti dengan dress malam yang cantik.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Amira tersenyum dan memutar tubuh menghadap Wijaya. Dia menggantungkan tangan di leher suaminya.“Apa kamu meremehkan aku, Sayang? Aku bahkan mampu main sampai pagi. Membuang berkali-kali.” Wijaya segera melahap bibir Amira. Wanita itu bahkan belum sempat mengenakan baju tidurnya. Dia mengangkat sang istri ke dalam gendongannya.“Mmm.” Mahira melingkarkan kedua kaki di pinggang sang suami. Menikmati ciuman hangat dari Wijaya Kusuma.“Aaahhh!” Wijaya berpindah ke leher jenjang Amira. Pria itu benar-benar sangat bergairah. Satu minggu tidak menyentuh istrinya membuatnya ha
Wijaya tidak heran lagi dengan banyaknya makanan dan minuman karena sudah mendapatkan laporan dari orang-orangnya.“Sayang, apa kamu tidak lelah?” tanya Wijaya duduk bersama sang istri dan anak-anaknya di ruang keluarga.“Tidak lelah. Tidak ada yang aku lakukan selain bermain bersama anak-anak.” Amira tersenyum.“Mama sangat merindukan Papa,” ucap Devano.“Papa tahu itu, Sayang.” Wijaya mengusap kepala Devano.“Karena senang kamu pulang. Jadi, aku masak banyak.” Amira telah menyajikan kue keju kesukaan Wijaya dan anak-anak di atas meja ruang keluarga.“Padahal, papa di rumah saja. Mama tetap rajin membuat kue kesukaan kami,” tegas Keano.“Tentu saja, Sayang. Itu karena Mama sayang dan cinta kalian semua.” Amira memeluk putranya.“Papa, oleh-oleh mana?” tanya Wiliam dan Wilona yang berlari mendekati Wijaya.“Oh, oleh-oleh sudah berada di ruang bermain,” jawab Wijaya mencium pipi Wiliam dan Wilona.“Hore.” Dua anak kembar berlari ke kamar bermain mereka.“Apa kalian tidak minta oleh-oleh
Amira membuatkan banyak makanan untuk menyambut kedatangan sang suami. Dia dan anak-anak hanya menunggu di rumah karena sangat sulit untuk bisa pergi ke bandara. Ada banyak wartawan dan juga para penjahat yang mungkin merupakan musuh dari masa lalu Wijaya.“Mama, kenapa sibuk?” tanya Devano.“Hari ini papa pulang,” jawab Amira bersemangat.“Mama sangat bahagia,” ucap Devano.“Tentu saja, Sayang. Mama sangat merindukan papa kalian.” Amira mencubit pipi Devano.“Di mana Keano?” tanya Amira.“Dia sedang marah,” jawab Devano.“Marah kenapa?” Amira menyajikan makanan dengan dibantu para pelayan dan mendekati Devano.“Mama tahu benar. Keano sangat pemarah.” Devano tersenyum.“Baiklah. Mama akan melihat Keano.” Amira mencium dahi Devano dan pergi ke kamar putranya.“Dia selalu mau dibujuk mama.” Devano hanya melihat Amira dengan senyuman. Anak itu benar-benar bertindak sebagai seorang kakak. Dia juga lebih tenang seperti ibunya.“Keano, Sayang.” Amira mendekati Keano yang tampak fokus pada la
Mereka pulang ke rumah dengan aman. Leon mengambil jalan lain. Pria itu juga menggantikan mobil serta menambahkan anak buahnya untuk melindungi majikannya.“Benar-benar sulit membawa Nyonya dan anak-anak keluar dari rumah. Ada banyak musuh yang mencari kesempatan untuk menyakiti mereka.” Leon menghela napas dengan berat. Dia melirik Keano yang tampak tenang. Pria itu bisa melihat Wijaya di dalam diri tuan mudanya.“Ah!” Amira menghempas tubuh di sofa.“Ada apa, Ma?” tanya Devano lembut.“Hari ini cukup melelahkan.” Amira tersenyum.“Maafkan aku dan Keano.” Devano memijut pundak Amira.“Minta maaf untuk apa? Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun.” Amira menarik Devano ke dalam pelukannya.“Mama saja yang belum terbiasa menemani kalian di luar.” Amira tersenyum. Dia mencium dahi Keano dan Devano.“Kami tidak akan ikut pertandingan di lapangan terbuka lagi,” tegas Keano.“Kenapa, Sayang? Tidak masalah. Mama akan berusaha untuk selalu berada di sisi kalian.” Amira mencubit hidung mancun
Keano benar-benar tidak suka dengan desakan dari para penonton. Anak lelaki itu makin tidak suka dengan keramaian.“Setelah ini, jangan pernah ikut lomba di luar lagi. Ini sangat berbahaya,” tegas Keano.“Benar. Mama pasti kesulitan menemani kita. Mama tidak pernah meninggalkan rumah, tetapi keluar demi bisa hadir di pertandingan ini.” Devano pun tampak menyesal karena memaksa Keano untuk bertanding dalam tim.“Kita sudah tahu pasti menang, jadi tidak usah ikut apa pun lagi. Apalagi banyak penonotn seperti ni. Aku benar-benar tidak suka.” Keano menatap tajam pada Devano. “Maafkan aku,” ucap Devano pelan.“Silakan masuk, Tuan Muda.” Para pengawal berhasil mengantarkan Devano dan Keano masuk ke dalam ruangan peserta. Dua anak lelaki itu duduk dengan tidak tenang.“Di mana Mama?” tanya Keano.“Nyonya sedang dalam perjalanan kemari. Mereka cukup kesulitan untuk melewati para penonton,” jawab pengawal.“Minta Om Leon gendong mama saja, biar cepat,” ucap Devano mengejutkan para pengawal. Su
Para penonton bersorak melihat anak remaja yang sudah berada di atas kuda mereka masing-masing. Keano dan Devano selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada. Orang tua yang memang popular dan anak-anak yang juga selalu menjadi kebanggaan.“Dua anak itu benar-benar terlalu terang sehingga saingan mereka tidak terlihat.” Pujian terdengar dari mulut para penonton. Mata mereka hanya fokus pada adik beradik yang tampak kompak dengan kuda dan anak panah yang ditembakkan.“Tidak akan ada peserta yang mampu mengalkan kecepatan dan kecerdasan putra Wijaya Kusuma.” Para penonton bersorang. Dua bersaudara itu meninggakan saingan mereka dengan sangat jauh.“Tidak sulit menentukan pemenang. Jarak mereka terlalu jauh dan skor yang di miliki kedua bersaudara itusangat sempurna.” Para juri pun hanya tersenyum karena dari awal mereka sudah bisa menebak bahwa anak dari Amira dan Wijaya Kusuma sudah dapat dipastikan jadi pemenang. Mereka memiliki tempat Latihan pribadi. “Wah hebat.” Amira
Amira duduk di depan cermin. Dia memandangi wajah cantik diri yang awet muda. Wanita itu bersiap untuk menemani anak-anaknya untuk mengikuti perlombaan berkuda dan memanah. Keano dan Devano bergerak dalam satu tim.“Kenapa masih ada penjahat yang mengintaiku? Apa mereka hanya perampok biasa? Rasanya tidak mungkin.” Amira menggerai rambut hitamnya melewati pundak.“Tetapi siapa musuhku? Siapa orang yang membenciku selain Luna dan Cantika? Apa Andika?” Amira berbicara pada bayangannya yang dipantulkan oleh cermin.“Padahal sudah beberapa tahun ini kehidupanku sangat tenang. Tidak ada gangguan dari siapa pun, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka datang lagi? Apa masih ada dendam?” Amira cukup gelisah dan khawatir. Dia takut kejadian yang cukup berbahaya itu akan terulang kembali. Apalagi ketika perlombaab, area pacuan kuda akan jauh lebih ramai oleh para pengunjung dan penonton.“Mama,” sapa Keano dan Devano di depan pintu kamar Amira yang terbuka.“Iya, Sayang.” Amira segera beranjak