Bibi memperhatikan Amira yang masih duduk diam di kursi. Wanita itu ragu untuk pergi ke kamar dan menemui suaminya. Dia benar-benar tidak punya apa pun lagi.
“Mari saya antar ke kamar Anda, Bu.” Bibi mengulurkan tangan pada Amira.
“Terima kasih. Aku bisa sendiri.” Amira beranjak dari tangan. Dia mengenakan tas di atas pundak kiri.
“Ahh.” Amira hampir saja jatuh karena kelelahan dan kakinya lemah.
“Hati-hati, Bu.” Bibi memegang tangan Amira.
“Ada apa ribut-ribut?” Marni menuruni tangga. Wanita paruh baya yang tidak lain adalah mertua Amira.
“Mama,” sapa Amira.“Kenapa kamu pulang ke rumah ini?” tanya Marni mendekati Amira. Wanita itu menatap tajam pada menantunya.
“Karena ini rumah kita,” jawab Amira bingung. Dia memaksa diri tersenyum.
“Ini bukan lagi rumah kamu,” tegas Marni.
“Apa? Kenapa?” tanya Amira gemetar.
“Karena kamu dan Andika akan segera bercerai,” jawab Marni tersenyum sinis.
“Apa? Kenapa kamu bercerai?” tanya Amira dengan mata yang mulai basah.
“Karena kamu sudah membuat cucuku meninggal. Wanita lemah. Melahirkan secara normal saja tidak kuat hingga pingsan.” Marni mendorong tubuh Amira jatuh ke sofa. “Ibu.” Bibi terkejut dengan sikap Marni yang kasar kepada Amira.“Aku juga sedih, Ma. Aku tidak pernah berharap anakku meninggal,” ucap Amira menatap pada Marni.
“Besok, Andika akan mengurus perceraian kalian. Sebaiknya kamu keluar dari rumah ini segera,” tegas Marni.
“Apa? Apa karena anak kami meninggal aku harus diceraikan? Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira.“Kami masih bisa program anak lagi,” lanjut Amira.
“Wanita penyakitan dan lemah seperti kamu hanya akan menghabiskan uang keluarga kami saja. Kami tidak butuh menantu yang merugikan dan tidak memberikan keuntungan apa pun,” ketus Marni tersenyum sinis.
“Apa? Aku rela berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.” Amira benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh mertuanya. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menuruti semua keinginan keluarga suaminya.
“Kamu akan sulit hamil sehingga Andika harus mencari istri baru yang sehat dan kuat,” tegar Marni.
“Ma!” teriak Amira terkejut mendengar ucapan mentuanya.
“Plak! Plak! Pla!” Amira mendapatkan tamparan yang kuat dan berkali-kali dari Mirna. Pipi yang putih itu menjadi merah dan bibirnya pecah.
“Sebaiknya kamu segera keluar dari rumah ini!” bentak Marni.
“Aku mau bicara dengan Andika,” ucap Amira menyentuh bibirnya yang berdarah karena tamparan dari mama mertua.
“Kamu tidak perlu bicara lagi dengan Andika. Dia sudah setuju untuk menikah lagi,” tegas Marni.
“Mama benar. Aku tidak bisa bersama kamu lagi, Mira.” Andika berdiri di samping mamanya.
“Sayang.” Amira melihat pada Andika yang menatapnya tanpa ekspresi.
“Kita sudah selesai. Kamu telah gagal menjadi istri. Uang dan waktu yang aku korbankan agar kita punya anak terbuang sia-sia,” jelas Andika.
“Aku hanya bisa mencari pengganti kamu agar bisa memberikan anak yang sehat tanpa harus program kehamilan dan menghabiskan banyak uang,” lanjut Andika.
“Program kehamilan ini menggunakan uang aku sendiri. Tabunganku selama masih bekerja,” ucap Amira.
“Itu sudah sewajarnya. Uang Tabungan kamu digunakan untuk diri sendiri agar suami bahagia,” tegas Marni.
“Andika. Usir wanita penyakitan dan tidak berguna ini keluar dari rumah. Mama tidak mau melihatnya lagi.” Marni menatap sinis pada Amira.“Sayang.” Amira hanya bisa menangis. Dia berharap Andika akan mempertahankan dirinya.
“Tidurlah di kamar tamu. Besok, aku akan mengatarkan kamu ke tempat baru.” Andika melihat pada Amira.
“Kenapa tidak malam ini saja? Aku tidak mau dia mencuri barang berharga di rumah ini sebelum keluar.” Marni menatap tajam pada Amira.
“Kasian ni Amira untuk malam ini saja, Ma. Aku akan menjaganya.” Andika masih sangat menyayangi istrinya, tetapi dia tidak bisa membantah perintah orang tuanya yang meminta dirinya untuk menceraikan Amira.
“Terserah kamu saja. Ingat untuk segera melayangkan gugatan cerai ke pengadilan.” Marni meninggalkan Amira dan Andika. Bibi hanya bisa menjadi penonton dalam diam tanpa berani berkomentar dan menolong.
“Apa kamu benar-benar akan menceraikan aku?” tanya Amira sesegukan.
“Maafkan aku, Mira. Kita tidak bisa bersama lagi,” jawab Andika menatap Amira. Wanita yang cantik itu terlihat pucat dan berantakan. Pipi merah karena tamparan mama mertua dan bibirnya pecah.
“Bibi, antarkan Amira ke kamar tamu,” ucap Andika.
“Baik, Pak.” Bibi memegang tangan Amira untuk membantu wanita itu beranjak dari sofa.“Apa kamu tidak mau membantuku?” tanya Amira yang sudah berdiri menatap pada Andika. Wanita itu bertopang pada tubuh bibi. Dia benar-benar lemah. Jiwa dan raganya telah hancur.
“Aku akan membereskan barang-barang kamu.” Andika meninggalkan Amira dan bibi. Pria itu menaiki tangga menuju kamar mereka.“Hiks hiks.” Amira hanya bisa menangis. Hati dan jiwanya begitu sakit. Luka dan perih menusuk jantung. Rasanya dia ingin mati saja menyusul putranya.
“Ayo, Bu.” Bibi membawa Amira ke kamar tamu.“Saya akan ambilkan pakaian ganti untuk ibu.” Bibi meninggalkan Amira yang duduk di tepi kasur. Wanita itu hanya bisa menangis dalam diam. Dadanya begitu sesak dan sakit.
Ditinggalkan anak, diusir mertua dan diceraikan sang suami tercinta. Hidup Amira benar-benar hancur. Dia harus menguatkan dirinya untuk bisa bertahan hidup di dunia yang kejam.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” Amira meremas ujung seprai. Air matanya terus mengalir memasahi wajah yang merah. Rasa perih dan pedih telah bercampur dengan luka di dalam jiwa.
“Tuhan telah mengambil anakku sehingga aku diceraikan dan diusir dari rumah ini. Penderitaan apa lagi yang harus aku alami? Lebih baik aku mati saja. Tidak ada gunanya hidup di dunia ini.” Amira menghapus air matanya.
“Apa aku harus mati atau bangkit dan balas dendam?” Amira menatap jendela kamar yang terbuka. Dia beranjak dari kasur dan berjalan menuju jendela. Mendongakkan kepala dan melihat pada langit malam yang mendung. Awan hitam menggantung dan petir pun mulai menyambar.
Air hujan mulai turun bersama dengan kilat dan Guntur. Angin pun bertiup cukup kencang hingga mambasahi tubuh Amira yang lemah. Wanita itu membiarkan air hujan menyatu dengan air matanya yang terus mengalir membasahi wajahnya yang masih sakit.
“Ibu.” Bibi masuk ke kamar dengan membawa koper milik Amira.
Andika benar-benar telah memberekan semua pakaian Amira. Berkas penting milik wanita itu pun dimasukan ke dalam koper yang cukup besar. Pria itu harus melepaskan wanita yang dicintainya agar tetap bisa bersama keluarga dengan harta dan tahta.
“Ibu jangan di situ.” Bibi melepaskan koper. Dia menarik tubuh Amira menjauh dari jendela. Wanita itu menutup kaca jendela dan gorden.
“Nanti, Ibu sakit.” Bibi mengambil handuk dan mengeringkan rambut dan wajah Amira yang sudah basah.
“Lebih baik aku mati saja. Aku tidak tahu harus pergi kemana?” Amira meracau dengan air mata yang terus mengalir.“Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa bertahan. Bukankah Ibu punya pengalaman kerja yang bagus?” Bibi menatap Amira.
“Sekarang, Ibu ganti baju dan tidur agar besok bisa bangun dengan segar.” Bibi menghapus air mata Amira. Wanita itu benar-benar sedih melihat nasib yang menimpa istri Andika.
“Semua berkas penting Ibu ada di koper. Pasti akan bermanfaat. Ibu baru selesai melahirkan, jadi harus banyak istirahat.” Bibi sudah menganggap Amira sebagai anaknya sendiri karena wanita itu sangat baik.“Terima kasih, Bi.” Amira mengangguk.
“Ayo, Bibi bantu ganti baju.” Bibi membuka piyama yang dikenakan Amira.
Amira merebahkan tubuh di atas kasur. Dia memejamkan mata yang terus basah. Tubuhnya benar-benar kedinginan dan mengigil. Bibi memberikan obat hingga wanita itu pun bisa tertidur dengan pulas hingga pagi yang mengerikan datang.
Amira yang lelah dan lemah benar-benar tidur dengan pulas. Dia tidak terbangun meskipun hari sudah terang. Bibi yang sibuk di dapur pun tidak membangunkan wanita yang baru saja selesai melahirkan itu.Semua anggota keluarga sudah berada di ruang makan untuk menikmati sarapan. Tidak ada yang ingat apalagi peduli pada Amira yang memamg sudah diusir dari rumah mereka.“Dika, apa berkas untuk perceraian sudah siap?” tanya Marni.“Sudah, Ma,” jawab Andika.“Apa kita bisa makan dengan tenang dan tidak membahas apa pun?” Handoko menatap tajam pada Marni.“Aku hanya mengingatkan Andika agar dia mempercepat proses perceraian dengan wanita lemah itu. Melahirkan satu bayi saja tidak mampu. Menghabiskan uang selama program,” kesal Marni.“Ah, Ibu pasti masih tidur.” Bibi ragu untuk pergi ke kamar Amira karena dia masih harus menunggu semua orang selesai makan.“Semalam aku mendengar keributan. Apa yang terjadi?” Handoko menyelesaikan sarapannya. Pria itu mengeringkan mulutnya dengan tisu.“Menant
Seorang pria terlihat duduk di depan ruangan operasi. Wijaya Kususma menunggu istrinya Luna Margareta yang sedang melahirkan bayi pertama hasil buah cinta yang sudah lama diharapkan. Seorang model yang awalnya menolak untuk hamil dan melahirkan, tetapi diancam akan dihancurkan kariernya membuat wanita itu tidak bisa menolak permintaan suaminya yang berkuas.“Selamat, Pak. Bayi Anda sudah lahir dengan jenis kelamin laki-laki.” Dokter keluar dari ruangan dan mengucapkan selamat kepada Wijaya Kusuma dengan rasa hormat dan bangga.“Terima kasih. Kapan saya bisa bertemu dengan putra saya?” tanya Wijaya.“Anda bisa menunggu di rungan bayi yang sudah kami siapkan,” jawab dokter.“Suster, tolong antarkan Pak Wijaya ke ruangan,” uca[ dokter pada perawat.“Baik, Dok. Mari, Pak.” Suster tersenyum. Wanita muda itu mencuri pandang untuk bisa melihat wajah tampan dari Wijaya Kusuma.Wijaya mengikuti suster menuju ruang VIP khusus untuk ditempati putra selama berada di rumah sakit. Pria itu melihat
Wijaya Kusuma terkejut melihat Luna yang duduk di sofa. Wanita itu terlihat sehat dengan cepat. Dia merapikan rambut dan bajunya. Berdandan dengan perlengkapan make yang ada di tas. Di sampingnya telah berdiri seorang asisten.“Apa yang kamu lakukan?” Wijaya Kusuma melihat pada ranjang bayinya. Putra kecil yang masih terlelap dalam tidur.“Aku sudah melaksanakan perintah kamu. Hamil dan melahirkan,” jawab Luna.“Kamu masih harus memberi asi untuk putra kita,” tegas Wijaya Kusuma.“Asi aku tidak keluar. Lihatlah dadaku yang hampir kempis ini. Aku benar-benar harus melakukan perawatan segera. Aku juga sudah menghubungi dokter kecantikan langgananku,” jelas Luna.“Hah! Aku benar-benar harus membuat perut ini kembali rata.” Luna berdiri di depan cermin.“Kapan kita pulang?” tanya Luna.“Kamu bisa pulang sekarang,” jawab Wijaya berjalan mendekati putranya.“Benarkah?” Luna melihat pada asisten pribadinya yang siap sedia membantu wanita itu dalam segala hal.“Pulanglah,” tegas Wijaya.“Baik
Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya. “Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis keti
Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.“Kenapa Tuhan begitu ja
Amira sudah selesai membuatkan makanan untuk dirinya sendiri. Wanita yang terbiasa hidup mandiri itu benar-benar bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Dia disiplin sejak kecil agar bisa mencapai kesuksesan di masa depan, tetapi Andika menghancurkan semuanya. Pria itu membuat Amira berhenti bekerja agar bisa hamil dan melahirkan.“Andika, aku harap dia mau menerima panggilan dariku.” Amira yang baru selesai makan mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Andika. Suaminya yang sudah melakukan gugatan cerai ke pengadilan karena mengikuti perintah orang tuanya.“Angkat Andika. Aku hanya mau melihat makan putraku. Aku juga mau bertanya apa kamu menyimpan foto anak kita.” Amira mulai menangis. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan membasahi wajahnya yang cantik.“Ya Tuhan. Tolong gerakkan hati Andika untuk menerima panggilanku. Aku hanya ingin melihat makan anakku.” Amira mulai terisak. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali mengingat nasib buruk yang menimpa
Andika tiba di rumah. Pria itu sudah terlambat untuk makan malam. Dia memarkirkan mobil di garasi dan masuk ke rumah dari pintu belakang. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Marni menghentikan langkah kaki Andika yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor,” jawab Andika berbohong.“Kamu bukan pergi menemui wanita pembawa sial itu kan?” Marni menatap tajam pada Andika.“Aku pergi berziarah ke makam Devano,” ucap Andika.“Aku lelah, Ma dan juga lapar. Aku mau mandi.” Andika menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Pria itu lansung masuk kamar mandi.“Sebenarnya aku sangat rugi jika menceraikan Amira. Mama benar-benar tidak mengerti. Istriku itu rebutan banyak pria. Dia cantik, seksi dan juga cerdas.” Andika berada di bawah shower dengan membiarkan air dingin membasahi tubuhnya.“Ah, tubuh Amira benar-benar seksi dan menggoda. Aroma manis yang selalu aku rindukan. Dia selalu mampu menyiksaku.” Andika menegang. Pria yang sudah pernah ber
Amira memeriksa saldo yang tersisa di rekeningnya. Wanita itu harus berhemat karena dia belum bekerja sehingga belum ada pemasukan.“Ya Tuhan, tolong hamba. Izinkan aku mendapatkan pekerjaan di Perusahaan Wijaya Kusuma. Gaji yang diberikan paling tinggi dari Perusahaan lain.” Amira berdoa kepada Tuhan. Dia dengan mudah bangkit dari keterpurukan. Wanita itu tidak terlahir dari keluarga kaya yang manja, tetapi terbiasa mandiri dan hidup susah.“Sebenarnya fasilitas menjadi asisten pribadi lebih wah karena tinggal bersama bos, tetapi aku tidak mau berada begitu dekat dengan seorang pria.” Amira melihat perbedaan pendapatan dan fasilitas yang didapat dari menjadi asisten pribadi Wijaya dan bekerha di bagian keuangan.“Padahal jadi sekretaris pribadi sekaligus asisten lebih menggiurkan.” Amira merebahkan tubuh di atas kasurnya. Dia menatap kertas di tangannya.“Tidak masalah. Jika diterima di bagian keuangan. Aku tidak akan bertemu dengan banyak orang. Berbeda ketika menjadi asisten pribadi
Andika masuk ke dalam kamar dan melihat Dena yang tampil sangat seksi. Wanita itu hanya mengenakan pakaian dalam saja.“Pak Dika.” Dena pura-pura terkejut. Dia meletakkan tangan di depan dadanya.“Maaf, aku lupa ada kamu di kamar. Aku mau mandi,” ucap Andika.“Tidak apa, Pak. Anda bisa masuk ke kamar mandi.” Dena tersipu.“Ya. Terima kasih. Sekali lagi mohon maaf.” Andika membuka kemeja di depan Dena. Pria itu menampilkan bentuk tubuh sempurna dengan pahatan otot yang seksi. Dia melempar kemeja di keranjang baju kotor.“Ohhh.” Dena menelan ludah. Dia yang masih wanita muda itu benar-benar dengan mudah tergoda dengan tubuh Andika yang memang menjadi dambaan semua wanita. Tampan, tinggi dan seksi dengan usia yang sudah matang serta sangat berpengalaman.“Pak, tubuh Anda sangat bagus,” ucap Dena tanpa malu.“Aku rajin olah raga dengan makanan sesuai dengan pengaturan ahli gizi.” Andika masuk ke dalam kamar mandi.“Ibu Cantika. Suami Anda tampan dan kayar. Tubuhnya seksi menggoda. Aku ben
Cantika memperhatikan dokter muda dan tampan yang mendekat. Pria itu tersenyum ramah pada istri Andika.“Halo, Nyonya Cantika. Apa kabar Anda? Semoga sehat selalu.” Dokter meletakkan perlengkapan medis di atas meja samping tempat tidur. Pria itu membuka kotak dan mengeluarkan jarum suntik serta botol berisi cairan berwarna kuning.“Apa yang mau kamu lakukan?” tanya Cantika khawatir. Dia mulai berpikiran aneh dengan tatapan Andika.“Membuat Anda menjadi lebih tenang dan tidak sakit lagi,” jawab dokter.“Saya tidak sakit,” ucap Cantika mengeliat. Dia sangat ingin lari dan menghindar dari jarum suntik yang akan ditusukan pada lehernya.“Ini memang tidak akan sakit. Anda akan tertidur nyenyak dan bangun dengan kondisi yang sehat,” jelas dokter.“Tidak. Jangan lakukan itu. Kalian mau membunuhku!” teriak Cantika terus berontak.“Diamlah, Cantika!” Andika memegang tubuh Cantika dengan kuat sehingga wanita itu tidak bisa bergerak lagi.“Tidak. Aku mohon, Andika. Jangan sakiti aku lagi. Aku a
Tidak butuh waktu lama. Wijaya mempersiapkan pesta meriah tanpa harus merepotkan dirinya dan istri. Sebuah Gedung mewah telah dihias sedemikian rupa. Pria itu mengundang semua orang dari lingkungan bisnisnya dan juga para wartawan agar bisa siaran langsung.“Permisi, Nyonya. Pakaian Anda sudah datang,” ucap bibi.“Pakaian apa, Bi? Apa Pak Wijaya beli lagi?” tanya Amira.“Pakaian pesta untuk besok,” jawab bibi.“Pesta?” Amira menatap pada bibi. Dia benar-benar lupa dengan pesta yang dijanjikan Wijaya untuknya dan anak-anak.“Iya, Bu. Besok akan ada pesta besar dan meriah. Pak Wijaya mengundang semua orang untuk hadir dan acara disiarkan langsung melalui stasiun televisi serta jaringan internet. Besok adalah hari khusus untuk keluarga Wijaya Kusuma,” jelas bibi tersenyum bahagia.“Apa?” Amira terkejut.“Aku pikir hanya pesta biasa saja.” Tidak ada yang perlu Amira khawatirkan karena dia tidak memiliki keluarga. Wanita itu tumbuh dan besar di panti asuhan dengan kejam sehingga dia harus l
Wijaya terlihat tersenyum. Pria itu benar-benar merasakan kehidupan yang tenang dan normal. Dia memandangi istrinya yang sedang bersiap untuk tidur. “Ada apa?” tanya Amira.“Apa kamu lupa sesuatu?” Wijaya balik bertanya.“Apa? Aku rasa tidak ada apa pun.” Amira membuka ikatan rambutnya.“Bukankah ada perjanjian diantara kita?” Wijaya menarik pinggang Amira hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. “Oh ya. Bagaimana kabar Luna?” tanya Amira memutar tubuh menghadap Wijaya.“Aku harus membayar mahal untuk menebuh Luna. Apa kamu mau melihat laporannya?” Wijaya menatap Amira.“Apa dia sudah berhasil diselamatkan?” Amira melingkarkan tangan di leher Wijaya.“Tentu saja, Sayang. Aku bisa melakukan apa pun dengan mudahnya. Apa kamu tidak percaya?” tanya Wijaya.“Aku percaya. Jadi, apa yang kamu inginkan sebagai ibalannya?” Amira mengecup bibir Wijaya sekilas.“Pesta yang meriah,” ucap Wijaya.“Apa?” Amira bingung.“Pesta apa?” tanya Amira.“Asalkan kamu setuju. Aku akan mengadakan pesta yang s
Andika hanya terdiam. Usahanya mendekati Wijaya gagal. Pria itu benar-benar tidak ada harapan untuk bisa bertemu dengan anak dan mantan istrinya lagi. “Hah!” Andika sangat ingin bertemu dengan Devano. Pria itu tidak tahu lagi rupa dari putranya yang sudah bertambah usia. Bayi sehat yang dibesarkan oleh susu alami langsung dari sumbernya. Hidup di alam yang bebas. “Andika, bagaimana ini? Apa kamu ceraikan Cantika dan segera menikah lagi?” Marni menatap Andika. “Aku tidak tahu lagi, Ma. Itu masih lama sedangkan aku pun tidak pernah jatuh cinta lagi setelah dengan Amira.“Mama yang memaksaku bercerai sehingga aku mendapatkan hukuman ini.” Andika masuk ke dalam mobil dan Marni mengikutinya.“Apa kamu menyalahkan Mama?” tanya Marni duduk di samping Andika.“Ini salah aku sendiri yang mengikuti kemauan Mama,” jawab Andika. “Sekarang Amira menjadi istri Wijaya. Pria paling kaya dan berkuasa di negara ini.” Andika menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kantor Wijaya.Wijaya melihat Andika
Amira melihat ke pintu. Dia tidak juga melihat kedatangan suaminya. Wanita itu heran karena dia tidak bisa menggunakan ponselnnya. Padahal jaringan internet sangat kuat. Kegiatannya seakan dibatasi sehingga hanya bisa mengaskses tertentu saja.“Kenapa dia tidak datang ke kamar anak-anak? Apa tidur di kamar atas?” tanya Amira meletakkan kembali ponsel di atas meja. Dia beranjak dari sofa dan mendekati tempat tidur kedua anaknya. Wanita itu merebahkan diri dan memejamkan matanya.Wijaya bangun lebih awal. Dia mandi dan berpakaian rapi. Pria itu keluar dari kamar dengan tenang dan pergi ke kamar anak-anaknya.“Di mana mereka?” Wijaya melihat kamar yang kosong.“Apa sedang mandi?” tanya Wijaya melepaskan jas di atas sofa. Dia pergi ke kamar mandi yang tertutup. Pria itu bisa mendengarkan canda dan tawa istri serta dua putranya.“Hm. Harusnya aku mandi bersama mereka saja.” Wijaya melepaskan kemeja dan celananya. Dia masuk ke dalam bak mandi.“Sayang.” Amira tersenyum melihat pada Wijaya su
Wijaya berada di ruang kerja yang ada di rumahnya. Pria itu tertidur di sofa hingga Amira pun datang menyusul.“Kenapa belum kembali?” Amira membuka pintu dengan perlahan dan melihat Wijaya rebahan di sofa dengan laptop masih menyala.“Pasti sangat sibuk. Kenapa tidak minta bantuanku?” Amira mengambil laptop Wijaya dan berniat untuk menutupnya.“Apa?” Amira hampir menjatuhkan laptop karena terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tayangan video penyiksaan Luna yang berada di luar negeri.“Tidak.” Amira menggeleng dan terduduk di sofa hingga membangunkan Wijaya. “Sayang, ada apa?” tanya Wijaya melihat computer lipatnya yang berada di pangkuan Amira. Mata wanita itu melotot. “Sayang.” Wijaya segera menarik dan menutup laptop. Meletakakn di atas meja.“Apa itu Luna?” tanya Amira.“Apa kamu melihatnya?” Wijaya balik bertanya. Pria itu segera memeluk Amira.“Kenapa? Kenapa dia begitu? Luna kesakitan.” Amira menangis. Tubuh wanita itu menggigil ketakutan karena Luna digauli dan disiksa oleh ba
Wijaya berada di perusahaannya. Dia sudah tenang karena telah mendapatkan dan menghancurkan dalang di balik kecelakaan malam itu yang membahayakan nyawa dia dan istrinya.“Selama Amira dan anak-anak tetap di rumah. Mereka pasti aman.” Wijaya menatap layar computer yang memperhatikan aktivitas Amira dan anak-anak mereka.“Permisi, Pak.” Dody masuk ke dalam ruangan Wijaya. “Ada apa?” tanya Wijaya tanpa melihat pada Dody.“Di depan ada Pak Andika dan keluarga,” ucap Dody.“Apa?” Wijaya langsung menutup layar computer dan menatap pada Dody. Dia cukup terkejut mendengarkan nama Andika.“Ya. Pak Andika dan kedua orang tuanya,” ucap Dody.“Kenapa mereka datang ke kantorku?” tanya Wijaya. “Mau bertemu Anda. Apa Anda mau menemui mereka?” Dody tersenyum.“Tentu saja. Aku penasaran. Kenapa datang satu keluarga?” Wijaya seakan bisa menebak tujuan Andika dan pria itu ingin melihat wajah putus asa dari manta suami istri.“Aku akan menemui mereka.” Wijaya beranjak dari kursi kerja dan keluar dari r
Luwiq mencoba menghubungi nomor anak buah Wijaya. Dia harus bertemu dengan pria itu untuk berdiskusi dan menemukan Solusi.“Halo. Ada apa, Pak Luwiq?” Jack menerima panggilan Luwiq.“Aku mau berbicara dengan Wijaya,” ucap Luwiq.“Urusan Anda dengan Pak Wijaya sudah selesai. Sekarang hanya perlu mengakhiri permainan yang telah dimulai hingga game over.” Jack tersenyum.“Aku mohon. Katakan apa yang harus dilakukan agar dia melepaskan keluargaku?” tanya Luwiq.“Tidak ada yang perlu Anda lakukan. Selamat menikmati pembalasan Tuan Wijaya. Tunggu giliran Anda yang akan diberikan hadiah di akhir babak.” Jack memutuskan panggilan.“Apa? Halo!” Luwiq melihat layar ponsel yang telah mati.“Aku benar-benar telah terjebak di sini. Siapa yang bisa membantuku? Apa masih ada musuh Wijaya yang lain?” tanya Luwiq pada anak buahnya.“Pak Wijaya punya banyak musuh, tetapi mereka tidak akan berani melawan karena sadar diri tidak mampu bersaing dengan Wijaya Kusuma,” jawab asisten Luwiq.“Apa kamu sedang m