"Ah, Tuan sudah datang." Seorang pemuda dengan sigap membuka pintu mobil bagian belakang begitu melihat bosnya datang.
"Yudis!" Bas menyebut lelaki yang merupakan sopirnya itu. "Mengapa ada orang lain di mobilku?" Bas memicingkan mata melihat seorang gadis duduk di kursi depan mobilnya. Mengapa seperti ... pernah lihat?
"Oh, iya Tuan, maaf. Mohon ijin saya membawanya ke rumah."
"Membawa ke rumah? Untuk?"
"Ayana, keluarlah dulu!" bisik Yudis setelah membuka pintu mobil bagian depan di mana gadis itu duduk. Ia juga heran, tadi gadis itu masih berada di sebelahnya, mengapa sekarang tiba-tiba ada dalam mobil?
Gadis bernama Ayana itu menurut. Ia keluar mobil perlahan sambil menunduk. Dengan gerakan slow motion berbalik menghadap Bas, lalu ...
"Ka ... mu?" Bas tak percaya melihat sosok di depannya. "OB yang tadi, kan?"
Gadis itu mengangguk pelan namun tak berani mengangkat wajah.
"Tuan sudah kenal dengan Ayana?" tanya Yudis takjub.
"Jadi kamu belum pergi juga dari sini? Kau pikir aku akan kasihan dan menerimamu kembali, ha?" Bas tidak mempedulikan ucapan Yudis dan kembali mencecar gadis di hadapannya.
"Yudis, siapa dia hingga kau dengan lancang mengijinkannya masuk ke mobilku? Dia pacarmu?"
"Bu-bukan Tuan, belum. Eh. Begini Tuan, saya baru bertemu Ayana di warung makan tadi. Dia butuh pekerjaan, siapa tahu bisa jadi perawat pribadi Ibu."
Sudah sebulanan ini memang Yudis membantu tuannya mencari orang untuk merawat Amanda. Hampir putus asa. Semua yang ia tawari pekerjaan ini menolak, padahal yang ia tahu mereka sebenarnya butuh pekerjaan.
“Wah aku ndak bisa Yud, kalo merawat Bu Amanda. Ehm kalo merawat Pak Bas sih, mau.” Begitu jawaban salah satu dari mereka. Asem!
"Apakah dia lulusan sekolah perawat?" tanya Bas dingin. Padahal Jakarta panas, tapi rasanya tubuh Ayana mendadak menggigil.
"Ti-tidak Pak, saya hanya lulusan SMA biasa."
"Jadi, kau akan membiarkan sembarangan orang merawat istriku Yudis?" sindir Bas.
"Tapi, Tuan, Ayana sudah berpengalaman merawat orang sakit. Iya kan, Ayana?" Di warung makan tadi, Ayana memang sudah banyak bercerita tentang dirinya pada Yudis, termasuk pengalamannya merawat kakek dan ayahnya yang sakit parah.
"I-iya, Pak." Ayana takut-takut menjawab.
"Bagaimana kalau kita kenalkan dulu pada Ibu?" usul Yudis. "Kalau Ibu cocok, dia bisa bekerja, dan kalau tidak, saya akan memulangkannya, Tuan."
"Terserah kau lah!" Bas merasa sudah lelah terlalu banyak bicara dan berpikir. Ia lantas meninggalkan kedua orang di hadapannya, masuk ke dalam mobil.
Cukup lama hening dalam perjalanan menuju rumah hingga Bas bersuara.
"Kau bilang pernah merawat orang sakit?" Lelaki itu penasaran juga.
"Iya, Pak, betul," jawab Ayana. Lalu tanpa diminta gadis bercerita panjang lebar. “Waktu SMP, mbahkung yang sudah tua dan sakit-sakitan tinggal di rumah. Sepulang sekolah dan mengerjakan PR saya yang menggantikan ibu merawat Mbah Kung. Menuntunnya ke kamar mandi, menyuapinya, bahkan membersihkan kotorannya. Begitupun waktu Ayah sakit keras, saya yang merawatnya Pak, karena hanya saya lah anak satu-satunya."
Sampai di sini Bas cukup terkesima. Meskipun Ayana bukan dari sekolah perawat, tapi sepertinya gadis ini memang punya kesabaran dan ketelatenan mendampingi orang sakit. Itu yang paling Bas butuhkan.
Sebenarnya Amanda sudah menolak dicarikan perawat khusus. Baginya, kehadiran Mbok Nem di rumah sudah cukup untuk menemani. Tapi menurut Bas, harus ada seorang lagi yang benar-benar fokus mengurus Amanda. Lagipula Mbok Nem sudah tua, bagaimana kalau tiba-tiba Amanda terjatuh seperti tempo hari, sementara ia dan Yudis tidak di rumah. Ia juga tidak mau Mbok Nem kelelahan, sudah mengurus pekerjaan rumah masih harus mengurus istrinya lagi. Kalau Mbok Nem sakit, ia malah tambah repot. Jaman sekarang mencari asisten rumah tangga itu susah. Jadi kesejahteraan dan kesehatan ART harus benar-benar diperhatikan.
"Ehm, lalu ... bagaimana keadaan kakek dan ayahmu sekarang?" tanya Bas lagi sekedar ingin tahu.
"Mereka ... sudah meninggal, Pak."
Bas menelan ludah. Su-sudah meninggal? Mendadak penilaiannya terhadap Ayana berubah.
"Yudis, turunkan dia di sini sekarang juga!" titah Bas tiba-tiba.
"Tapi Tuan .."
"Kau dengar tadi, kan, orang yang dirawatnya meninggal. Me-ning-gal!"
"Maaf Tuan, tapi hidup mati manusia adalah takdir yang tidak bisa diubah." Yudis mencoba membela Ayana.
"Berani kau menasihatiku, Yudis?"
"Tidak Tuan, maaf, tapi sudah sebulan kita mencari perawat untuk Ibu dan belum dapat. Apa tidak sebaiknya Ayana kita coba dulu, Tuan?"
Perdebatan cukup panjang terjadi hingga Bas akhirnya mengalah. Entahlah segala hal yang menyangkut istrinya membuatnya lemah. Melihat istrinya sakit saja rasanya sudah membuat hatinya berdarah-darah apalagi membayangkan ditinggal oleh sang istri.
"Hei, dengar! Aku akan membawamu pada istriku. Semua keputusan ada di tangan istriku. Jika dia menolakmu, ingat, kau harus langsung pergi. Jangan jual cerita sedihmu lagi pada kami untuk dikasihani, mengerti?!"
"Mengerti, Pak," jawab Ayana. Setelahnya ia tak berani membuka mulut lagi. Bahkan hanya sekedar mengobrol dengan Yudis pun ia tak punya nyali.
.
.
“Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?” Bas mengecup lembut kening seorang wanita yang duduk di atas kursi roda. Sudah semenjak tadi wanita itu duduk di ujung pintu ruang tamunya, memandang pekarangan rumah yang cukup luas dan ditumbuhi beraneka ragam bunga, sambil menunggu kepulangan suami tercintanya.
Amanda tersenyum. “Baik, hari ini aku sehat sekali,” jawabnya. Tapi sesaat kemudian ia terbatuk-batuk.
“Kau batuk, Sayang? Sudah minum obat? Aku telpon apotik ya atau kita ke dokter saja?” Bas nampak panik, dengan cepat ia mengambil ponsel di saku celananya.
Amanda tertawa. “Kau ini, berlebihan sekali, aku hanya batuk kecil saja.” Sementara Ayana yang mengekor di belakang Bas tak mampu menahan diri untuk tersenyum melihat bosnya bertingkah laku bucin seperti ini. Jauh berbeda dengan karakter Pak Bas yang ia lihat di kantor dan saat di mobil bersamanya tadi. Sama sekali tidak ada manis-manisnya. Hanya bentakan dan kemarahan yang diterima Ayana dari lelaki itu. Pfiuuh.
"Aku terbatuk karena melihat perempuan muda cantik yang kau bawa kemari,” ujar Amanda sambil menatap Ayana dengan senyuman. Sedari tadi suaminya belum memperkenalkan gadis itu.
Bas menoleh pada Ayana. “Oh, Yudis yang membawanya, Sayang. Siapa tahu cocok untuk jadi perawat pribadimu. Meski yah, aku tak yakin."
Amanda mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan kalimat terakhir suaminya. Sementara itu, Ayana mengangguk hormat pada Amanda sambil tersenyum, ia lalu mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan calon majikannya, “Selamat sore Bu, saya Ayana,” katanya memperkenalkan diri.
Amanda tersenyum. "Sepertinya, dia gadis yang baik dan menyenangkan."
"Namanya orang butuh pekerjaan, pastilah akan bersikap manis pada calon atasannya, kau jangan mudah terkecoh." Bas sepertinya masih tak menginginkan Ayana bekerja menjadi perawat istrinya.
"Kenapa kau bicara begitu, Sayang? Tidak biasanya kau seperti ini," tanya Amanda yang merasa janggal dengan sikap suaminya.
"Maaf Bu, Pak Bas marah karena saya tak sengaja menumpahkan teh di kemejanya. Padahal saya sudah janji akan mengganti kemejanya dengan yang baru kalau sudah gajian. Eh, saya malah dipecat di hari pertama jadi OB," cerocos Ayana.
"Dipecat? Hanya gara-gara teh?" Amanda memandang Ayana prihatin. "Kasihan sekali."
"Heh, kau ini bodoh atau bagaimana?" Bas menoleh kasar pada Ayana. "Yang membuatku marah karena kau lancang membuka kancing kemejaku!" Terpancing emosi membuat Bas kelepasan bicara.
"Apa, Sayang? Melepas kemejamu?" tanya Amanda.
Ops.
"Bukan begitu, Sayang, maksudku ..."
"Saya hanya mau mengeringkan baju Pak Bas yang basah Bu, maaf. Saya panik, takut dimarahi, takut Pak Bas masuk angin, jadi ..."Mendengar jawaban Ayana, tak disangka Amanda malah tersenyum. Sepertinya Ayana benar-benar gadis yang polos dan tulus, tak ada maksud yang aneh-aneh pada suamiku. Begitu batin Amanda."Sudah, Sayang, kau masuklah. Mandi, ganti baju. Biar aku ngobrol dulu sama Ayana, ya," ucap Amanda lembut pada suaminya."Sayang, kamu jangan salah sangka, aku ..." Amanda tersenyum sembari menggeleng. "Aku percaya padamu, masuklah."Amanda tahu, jika mau, Bas sudah dari dulu mendua bahkan mentiga darinya. Banyak wanita yang mendekati, dari Bas masih lajang sampai lelaki itu sudah menikahinya. Tak sedikit juga yang terang-terangan menyatakan bersedia menjadi istri kedua. Namun kenyataannya, lelaki itu masih setia, bahkan di saat ia sakit dan tidak bisa melayani suaminya dengan maksimal, Bas masih tetap tak melirik wanita secantik apapun ia.“Baiklah, kalian ngobrol dulu. Ingat
Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar majikannya menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.Ayana membuka pintu. “Assalamualaikum ...”“Waalaikumussalam… Oh kau Ayana.” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.“Besar sekali Al-Qurannya, Bu.”Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil.” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku b
Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO di perusahaan ternama, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon bua
“Ini tehnya, Sayang.” Bas meletakkan secangkir teh di atas meja teras. Tepat di samping meja itu, istrinya duduk di atas kursi roda.“Terimakasih, Bas. Seharusnya aku yang membuatkanmu teh.” Amanda tersenyum namun terlihat rona kesedihan di matanya. Ia ingat, dulu setiap sore ia selalu menyambut kepulangan Bas dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng.Semenjak sakit, tubuhnya semakin lemah, ia jadi mudah capek dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat. Kalaupun ingin memasakkan sesuatu untuk suaminya, hanya sebatas mengarahkan dan mbok Nem-lah yang mengeksekusi. Pernah suatu hari ia ingin membuatkan minuman untuk Bas, kecelakaan kecil terjadi, air panas yang seharusya ia tuang ke cangkir malah membasahi kakinya. Semenjak itu Bas melarang istrinya membuat sesuatu di dapur kalau tidak ada yang mendampingi.“Kenapa harus begitu?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu mengambil posisi duduk di satu sisi meja lainnya lalu meneguk tehnya.“Karena aku istrimu.”“Hmm, kau meremehkanku
Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana. “Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan. "Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu." Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta? Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta. “Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak." "Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit. “Beri saya
Minggu pagi menjelang siang, Ayana datang ke sebuah kafé. Ia sudah janjian dengan Yudis di kafe ini.“Kafénya bagus sekali, pasti harga makanannya mahal.” Ayana membatin, tampak ragu melangkahkan kaki masuk. Ia mengingat-ingat ada berapa uang di dompetnya, lalu memilih mengirim pesan pada Yudis dan menunggunya di dekat pintu masuk. Tak lama Yudis muncul. “Ayana, sudah lama?” “Hmmm 5 menitan mungkin.”“Kenapa tidak langsung masuk? Ayo!”Ayana megikuti langkah Yudis masuk ke dalam kafé.“Pesanlah!” Yudis menyodorkan buku menu setelah mereka menemukan tempat duduk. Ayana meihat-lihat dan nampak kaget dengan harga makanan yang tertera.“Kenapa kita janjian di sini, sih?” Gadis itu berbisik pada Yudis.“Ya, masa aku ajak calon istri bos ke warteg!” canda Yudis.“Hus!” Ayana mengibaskan tangan kirinya. “Aku nggak bawa banyak uang!” bisiknya lagi.“Tenang aja, Ay, hari ini aku yang traktir.”“Wah, gaji kamu banyak, ya?”“Haha, ya nggak juga.”“Hah, jadi Pak Bagas menggaji kamu sedikit?”Y
“Ayana, kamu cantik sekali,” puji Amanda saat melihat Ayana selesai dirias oleh make up artis pilihannya.“Terimakasih, Bu.” Ayana tersenyum canggung. Tak butuh waktu lama setelah ia menyetujui lamaran Bas, seminggu kemudian akad nikah diselenggarakan.“Hal yang baik harus disegerakan,” kata Amanda. “Acara kecil-kecilan saja di rumah. Cukup panggil penghulu, keluarga dekat, beberapa teman kantor Bas, dan perwakilan warga. Yang penting sah. Kau tidak keberatan kan, Ayana?” tanya Amanda saat itu.“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ayana. Ia bahkan berharap lebih baik tidak usah ada yang tahu pernikahan ini. Tapi Amanda menolak.“Pernikahan itu harus disiarkan, kalau tidak, akan menimbulkan fitnah.”Ayana pun menurut.“Oh, ya, mas kawin apa yang kau minta?” tanya Amanda kemudian.“Saya tidak mau apa-apa, Bu, kalau boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin… kuliah,” jawab Ayana ragu, apakah bosnya akan memenuhinya?“Tidak bisa!” Bas menjawab cepat.“Mas kawin itu berupa benda Ayana, mana ada mas ka
Bas terdiam cukup lama di depan kamarnya dan Ayana yang sudah disiapkan Amanda untuk malam pertama. Perasaan canggung, kuatir, ragu, kesal, berkecamuk di hatinya.“Bismillah ...” Ia bergumam pelan, lalu membuka pintu kamar.“Aaak ....” Ayana spontan menjerit, terkejut dengan kedatangan Bas yang tiba-tiba.Cepat-cepat Bas menutup pintu lalu membekap mulut Ayana. “Ayana, diam! Mengapa kau berteriak, orang akan berpikir yang tidak-tidak, jika mendengar!” bentaknya. Beberapa detik kemudian ia baru sadar, posisinya saat ini begitu dekat dengan Ayana, bahkan seperti memeluknya. Satu tangannya melingkar di bahu sementara satu tangannya lagi menutup mulut Ayana."Ehem, ma-maaf." Bas bergeser menjauh. Tapi ujian keimanannya tak hanya sampai di situ. Ia menelan ludah ketika baru menyadari busana yang dikenakan Ayana saat ini.“Ya Tuhaan Ayanaaa, kau pakai baju apaaa?” Bas
“Hmm… Harum sekali ....” ucap Bas begitu menginjakkan kaki ke ruang makan. Di sana kedua istrinya sudah berkumpul mempersiapkan sarapan. Ayana memasak sementara Amanda menata meja makan sambil duduk di kursi rodanya.“Ayana masak nasi goreng kemangi Bas,” jawab Amanda yang lalu mendapat satu kecupan Bas di keningnya.“Oh, ya?” Bas lalu beralih menuju dapur di mana Ayana sedang berdiri di depan kompor, mengaduk nasi dengan spatula di atas wajan.“Kelihatannya enak.”Ayana menoleh ketika Bas mengecup pipinya. Semenjak kedatangan Bu Ratih, memang sikap Bas sedikit demi sedikit mulai mencair terhadapnya. Pasti Bu Ratih memberi nasihat yang banyak pada anak lelaki semata wayangnya itu, tebak Ayana.Mencium kedua istrinya adalah rutinitas Bas setiap pagi sebelum berangkat kantor dan sore sepulang kerja. Tanpa perlu disuruh Amanda lagi, Bas akan memberikannya juga untuk Ayana. Terkesan tulus, tak lagi terpaksa seperti sebelumnya.Bas juga tak lagi menjadikan kehamilan Amanda sebagai alasan un
“Silakan tehnya Nyonya, Den Bagas…” Mbok Nem meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Satu untuk Bas, satu lagi untuk Bu Ratih ibunda Bas yang baru datang dari kota sebelah untuk mengunjungi anak mantunya. “Terimakasih, Mbok,” sahut Bu Ratih. “Mbok sekarang ke rumah Amanda saja ya, siapa tahu dia butuh sesuatu, saya mau di sini dulu bicara pada Bas.”“Baik, Nyonya.” Mbok Nem paham, ada hal penting dan pribadi yang akan dibicarakan Bu Ratih pada anaknya, maka iapun bergegas pergi.Bu Ratih mengambil cangkir tehnya, minum seteguk, lalu menarik napas panjang. “Bas… Bas…” Ia mengusap-usap penuh sayang kepala sang anak.“Ternyata, jatuh cinta bisa membuat orang sekacau ini, ya," ujarnya. "Meski sudah tua." Ia lalu tertawa kecil.Bu Ratih datang tepat saat Bas melayangkan tinjunya pada Yudis, tapi ia memilih untuk cepat-cepat datang ke rumah Amanda, memastikan bahwa mantunya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan suaminya. “Bukan masalah jatuh cinta, Bu, tapi aku ini suaminya. Di mana ha
Tiga puluh menit Bas dan Amanda duduk di meja makan, tapi Ayana tak jua datang untuk sarapan seperti biasa. Bas melirik arlojinya dengan gelisah.Kemana anak itu? Apa ia masih marah karena kejadian kemarin?“Coba kau tengok ke rumahnya, Bas.” Amanda memberi saran. Meski tidak diungkapkan ia tahu, suaminya menunggu Ayana. "Rumahnya? Rumah siapa?" tanya Bas, pura-pura tak paham."Tentu saja rumah Ayana, Bas. Kau menunggu dia, kan?" "Hah? Menunggu? Tidak sama sekali. Biarkan saja, mungkin dia belum lapar." Bas mulai menyuap sarapannya, berusaha terlihat tak peduli. "Bas, ayolah. Apa aku yang harus ke sana?" “Eh, jangan-jangan, Sayang. Biar aku saja kalau kau memaksa." Bas pun beranjak, menuju rumah Ayana.Tanpa mengetuk, Bas membuka pintu rumah lalu menuju kamar Ayana. Ia dapati Ayana masih meringkuk di atas ranjang dengan selimut.“Astaga, kau masih tidur?” Bas berdecak. Ia melangkahkan kaki mendekati ranjang.“Semalam kau pasti begadang gara-gara menonton drama Korea lagi, kan.” Lel
Pagi hari, Ayana sudah berpakaian rapi ketika tiba di rumah Amanda untuk sarapan. Sudah menjadi rutinitas mereka bertiga untuk sarapan bersama sebelum Bas berangkat ke kantor.“Cantik sekali Ayana,” puji Amanda begitu melihat adik madunya datang.Bas yang tengah mengupas apel untuk Amanda melirik, ingin mengatakan hal yang sama namun ia urungkan, cukuplah dalam hati saja.Ayana tersenyum, menarik kursi kosong di samping Amanda lalu duduk.“Biar saya, Pak!” Ia menengadahkan tangan kanannya, meminta apel yang dipegang Bas. “Bapak sarapan saja.”Bas menurut, diserahkannya apel itu pada Ayana tanpa kata, lalu mengambil roti tawar di atas meja dan mengolesnya dengan selai.“Kau sudah belajar semalam?” tanya Amanda. Hari ini Ayana akan berangkat untuk ujian masuk Universitas Negeri.“Sudah, Bu.”“Baguslah, semoga lulus, ya, Ayana. Kau bisa kuliah di tempat yang kau impikan.”“Terimakasih, Bu,” ucap Ayana lalu memberikan sepiring apel yang sudah ia kupas dan potong-potong pada Amanda. Setelah
“Wah selamat Pak Bas, Bu Amanda, dua garis merah. Ibu hamil!”Beberapa detik hening terjadi, suasana menjadi tegang dan canggung. Semua orang tahu, Bas dan Amanda sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, akan tetapi kehamilan ini pasti beresiko besar bagi Amanda yang tengah mengidap kanker otak stadium empat.“MasyaAllah… Alhamdulillah… Allahuakbar…” Ucapan syukur Amanda yang bertubi-tubi memecah keheningan itu.“Bas, setelah tujuh tahun akhirnya kita akan punya anak!” Air mata bahagia membasahi pipi Amanda.Bas hanya tersenyum tipis menanggapi istrinya. Antara bahagia dan perasaan takut melebur menjadi satu. Ia juga merutuki kecerobohannya sehingga hal ini bisa terjadi, padahal setiap melakukannya dengan Amanda, ia selalu menggunakan “pengaman”.“Ayana… aku akan menjadi ibu!” Amanda memeluk Ayana yang berdiri di sisinya.“Selamat, Bu ...” ucap Ayana sambil mengusap-usap punggung Amanda.Setelah Bu Bidan pergi, Ayana dan Mbok Nem turut serta meninggalkan kamar, membiarkan Bas dan A
Dengan cepat Bas berbalik, mencengkram bahu Yudis.“Apa-apaan kamu Yudis, mau mengejar istriku? Enak saja!”“Nih!” Bas meletakkan kunci mobil pada telapak tangan Yudis.“Antar dia kembali ke kantor!” perintah Bas sembari menoleh pada perempuan yang bersamanya tadi.Ayana baru akan melangkahkan kakinya menyebrang jalan ketika Bas datang, menggenggam sebelah tangannya lalu menariknya dalam pelukan.“Mau ke mana?” bisiknya di telinga Ayana.Cepat-cepat Ayana melepaskan pelukan Bas. “Bapak! Malu-maluin peluk-peluk di jalan!”Beberapa mata nampak melirik ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik-bisik.“Ayo istriku, kita pulang.” Sengaja Bas mengeraskan suaranya agar orang-orang tak salah paham. Ia menggandeng tangan istrinya lantas melangkah masuk kembali ke dalam resto. Merasa perlu memberikan klarifikasi tentang perempuan yang datang bersamanya tadi.“Dia sekretarisku,” kata Bas setelah mereka duduk di salah satu sudut resto dan memesan minuman.“Sekretaris?” Ayana tidak percaya. Mana
. .“Ih, Bapak PHP!” teriak Ayana kesal.“PHP apa? Dengar Ayana.” Bas menggenggam tangan mungil Ayana.“Jangan pernah berharap apapun dariku, nanti kau akan sakit hati. Ingat, kan, dengan kesepakatan kita dulu…”“Iya ... iya, Saya boleh minta apapun, kecuali minta Bapak untuk mencintai saya, kan!” Ayana memotong cepat.“Pintar! Sekarang tidur!” Bas tersenyum seraya mengacak lembut rambut Ayana. Ia lalu melangkah menuju kamar.“Pak, apa kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ayana. Ia teringat saat bulan madu di hotel, Bas sempat berniat memesan kamar lagi agar mereka tidak berada dalam satu kamar. Di rumahnya ini memang ada dua kamar, tapi baru satu kamar yang berisi perabotan, kamar satunya masih kosong melompong.“Terserah! Yang jelas aku mau tidur di kasur!” jawab Bas.“Jadi bapak suruh saya tidur di lantai, gitu? Enak aja.”“Siapa yang suruh? Kalau kau tidak mau tidur di lantai, tidurlah di kasur, bersamaku. Jangan berisik!”Lima belas menit lamanya Ayana mencoba tidur namun tak bis
Ayana tersenyum puas melihat rumahnya yang telah tertata rapi dan terisi perabotan lengkap. Masih ada sisa beberapa pajangan yang belum ia pasang di tembok. Ia berpikir nanti saja setelah suaminya pulang akan meminta bantuan.Saat mendengar deru mesin mobil Bas memasuki pekarangan, Ayana langsung berlari keluar. Gadis itu berdiri di depan rumah hendak menyambut suaminya datang. Hari ini jatah Bas untuk menemaninya, jadi ia pikir, Bas hanya akan sejenak ke rumah Amanda lalu menemuinya. Namun ternyata Ayana sudah menunggu sangat lama, Bas tak jua muncul.“Yudis!” Sedikit berteriak ia memanggil Yudis yang nampak sedang membereskan mobil tuannya. Yudis hanya menoleh lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.“Apaan, sih, nggak asik banget!” gerutu Ayana. Ia bisa merasakan perubahan sikap Yudis, yang dulunya begitu akrab dengannya, sekarang seolah menjaga jarak. Padahal ia berniat meminta bantuan Yuis untuk memasang tanaman gantung di teras rumah. Menunggu suaminya terlalu lama.“Ya su
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du