"Ah, Tuan sudah datang." Seorang pemuda dengan sigap membuka pintu mobil bagian belakang begitu melihat bosnya datang.
"Yudis!" Bas menyebut lelaki yang merupakan sopirnya itu. "Mengapa ada orang lain di mobilku?" Bas memicingkan mata melihat seorang gadis duduk di kursi depan mobilnya. Mengapa seperti ... pernah lihat?
"Oh, iya Tuan, maaf. Mohon ijin saya membawanya ke rumah."
"Membawa ke rumah? Untuk?"
"Ayana, keluarlah dulu!" bisik Yudis setelah membuka pintu mobil bagian depan di mana gadis itu duduk. Ia juga heran, tadi gadis itu masih berada di sebelahnya, mengapa sekarang tiba-tiba ada dalam mobil?
Gadis bernama Ayana itu menurut. Ia keluar mobil perlahan sambil menunduk. Dengan gerakan slow motion berbalik menghadap Bas, lalu ...
"Ka ... mu?" Bas tak percaya melihat sosok di depannya. "OB yang tadi, kan?"
Gadis itu mengangguk pelan namun tak berani mengangkat wajah.
"Tuan sudah kenal dengan Ayana?" tanya Yudis takjub.
"Jadi kamu belum pergi juga dari sini? Kau pikir aku akan kasihan dan menerimamu kembali, ha?" Bas tidak mempedulikan ucapan Yudis dan kembali mencecar gadis di hadapannya.
"Yudis, siapa dia hingga kau dengan lancang mengijinkannya masuk ke mobilku? Dia pacarmu?"
"Bu-bukan Tuan, belum. Eh. Begini Tuan, saya baru bertemu Ayana di warung makan tadi. Dia butuh pekerjaan, siapa tahu bisa jadi perawat pribadi Ibu."
Sudah sebulanan ini memang Yudis membantu tuannya mencari orang untuk merawat Amanda. Hampir putus asa. Semua yang ia tawari pekerjaan ini menolak, padahal yang ia tahu mereka sebenarnya butuh pekerjaan.
“Wah aku ndak bisa Yud, kalo merawat Bu Amanda. Ehm kalo merawat Pak Bas sih, mau.” Begitu jawaban salah satu dari mereka. Asem!
"Apakah dia lulusan sekolah perawat?" tanya Bas dingin. Padahal Jakarta panas, tapi rasanya tubuh Ayana mendadak menggigil.
"Ti-tidak Pak, saya hanya lulusan SMA biasa."
"Jadi, kau akan membiarkan sembarangan orang merawat istriku Yudis?" sindir Bas.
"Tapi, Tuan, Ayana sudah berpengalaman merawat orang sakit. Iya kan, Ayana?" Di warung makan tadi, Ayana memang sudah banyak bercerita tentang dirinya pada Yudis, termasuk pengalamannya merawat kakek dan ayahnya yang sakit parah.
"I-iya, Pak." Ayana takut-takut menjawab.
"Bagaimana kalau kita kenalkan dulu pada Ibu?" usul Yudis. "Kalau Ibu cocok, dia bisa bekerja, dan kalau tidak, saya akan memulangkannya, Tuan."
"Terserah kau lah!" Bas merasa sudah lelah terlalu banyak bicara dan berpikir. Ia lantas meninggalkan kedua orang di hadapannya, masuk ke dalam mobil.
Cukup lama hening dalam perjalanan menuju rumah hingga Bas bersuara.
"Kau bilang pernah merawat orang sakit?" Lelaki itu penasaran juga.
"Iya, Pak, betul," jawab Ayana. Lalu tanpa diminta gadis bercerita panjang lebar. “Waktu SMP, mbahkung yang sudah tua dan sakit-sakitan tinggal di rumah. Sepulang sekolah dan mengerjakan PR saya yang menggantikan ibu merawat Mbah Kung. Menuntunnya ke kamar mandi, menyuapinya, bahkan membersihkan kotorannya. Begitupun waktu Ayah sakit keras, saya yang merawatnya Pak, karena hanya saya lah anak satu-satunya."
Sampai di sini Bas cukup terkesima. Meskipun Ayana bukan dari sekolah perawat, tapi sepertinya gadis ini memang punya kesabaran dan ketelatenan mendampingi orang sakit. Itu yang paling Bas butuhkan.
Sebenarnya Amanda sudah menolak dicarikan perawat khusus. Baginya, kehadiran Mbok Nem di rumah sudah cukup untuk menemani. Tapi menurut Bas, harus ada seorang lagi yang benar-benar fokus mengurus Amanda. Lagipula Mbok Nem sudah tua, bagaimana kalau tiba-tiba Amanda terjatuh seperti tempo hari, sementara ia dan Yudis tidak di rumah. Ia juga tidak mau Mbok Nem kelelahan, sudah mengurus pekerjaan rumah masih harus mengurus istrinya lagi. Kalau Mbok Nem sakit, ia malah tambah repot. Jaman sekarang mencari asisten rumah tangga itu susah. Jadi kesejahteraan dan kesehatan ART harus benar-benar diperhatikan.
"Ehm, lalu ... bagaimana keadaan kakek dan ayahmu sekarang?" tanya Bas lagi sekedar ingin tahu.
"Mereka ... sudah meninggal, Pak."
Bas menelan ludah. Su-sudah meninggal? Mendadak penilaiannya terhadap Ayana berubah.
"Yudis, turunkan dia di sini sekarang juga!" titah Bas tiba-tiba.
"Tapi Tuan .."
"Kau dengar tadi, kan, orang yang dirawatnya meninggal. Me-ning-gal!"
"Maaf Tuan, tapi hidup mati manusia adalah takdir yang tidak bisa diubah." Yudis mencoba membela Ayana.
"Berani kau menasihatiku, Yudis?"
"Tidak Tuan, maaf, tapi sudah sebulan kita mencari perawat untuk Ibu dan belum dapat. Apa tidak sebaiknya Ayana kita coba dulu, Tuan?"
Perdebatan cukup panjang terjadi hingga Bas akhirnya mengalah. Entahlah segala hal yang menyangkut istrinya membuatnya lemah. Melihat istrinya sakit saja rasanya sudah membuat hatinya berdarah-darah apalagi membayangkan ditinggal oleh sang istri.
"Hei, dengar! Aku akan membawamu pada istriku. Semua keputusan ada di tangan istriku. Jika dia menolakmu, ingat, kau harus langsung pergi. Jangan jual cerita sedihmu lagi pada kami untuk dikasihani, mengerti?!"
"Mengerti, Pak," jawab Ayana. Setelahnya ia tak berani membuka mulut lagi. Bahkan hanya sekedar mengobrol dengan Yudis pun ia tak punya nyali.
.
.
“Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?” Bas mengecup lembut kening seorang wanita yang duduk di atas kursi roda. Sudah semenjak tadi wanita itu duduk di ujung pintu ruang tamunya, memandang pekarangan rumah yang cukup luas dan ditumbuhi beraneka ragam bunga, sambil menunggu kepulangan suami tercintanya.
Amanda tersenyum. “Baik, hari ini aku sehat sekali,” jawabnya. Tapi sesaat kemudian ia terbatuk-batuk.
“Kau batuk, Sayang? Sudah minum obat? Aku telpon apotik ya atau kita ke dokter saja?” Bas nampak panik, dengan cepat ia mengambil ponsel di saku celananya.
Amanda tertawa. “Kau ini, berlebihan sekali, aku hanya batuk kecil saja.” Sementara Ayana yang mengekor di belakang Bas tak mampu menahan diri untuk tersenyum melihat bosnya bertingkah laku bucin seperti ini. Jauh berbeda dengan karakter Pak Bas yang ia lihat di kantor dan saat di mobil bersamanya tadi. Sama sekali tidak ada manis-manisnya. Hanya bentakan dan kemarahan yang diterima Ayana dari lelaki itu. Pfiuuh.
"Aku terbatuk karena melihat perempuan muda cantik yang kau bawa kemari,” ujar Amanda sambil menatap Ayana dengan senyuman. Sedari tadi suaminya belum memperkenalkan gadis itu.
Bas menoleh pada Ayana. “Oh, Yudis yang membawanya, Sayang. Siapa tahu cocok untuk jadi perawat pribadimu. Meski yah, aku tak yakin."
Amanda mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan kalimat terakhir suaminya. Sementara itu, Ayana mengangguk hormat pada Amanda sambil tersenyum, ia lalu mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan calon majikannya, “Selamat sore Bu, saya Ayana,” katanya memperkenalkan diri.
Amanda tersenyum. "Sepertinya, dia gadis yang baik dan menyenangkan."
"Namanya orang butuh pekerjaan, pastilah akan bersikap manis pada calon atasannya, kau jangan mudah terkecoh." Bas sepertinya masih tak menginginkan Ayana bekerja menjadi perawat istrinya.
"Kenapa kau bicara begitu, Sayang? Tidak biasanya kau seperti ini," tanya Amanda yang merasa janggal dengan sikap suaminya.
"Maaf Bu, Pak Bas marah karena saya tak sengaja menumpahkan teh di kemejanya. Padahal saya sudah janji akan mengganti kemejanya dengan yang baru kalau sudah gajian. Eh, saya malah dipecat di hari pertama jadi OB," cerocos Ayana.
"Dipecat? Hanya gara-gara teh?" Amanda memandang Ayana prihatin. "Kasihan sekali."
"Heh, kau ini bodoh atau bagaimana?" Bas menoleh kasar pada Ayana. "Yang membuatku marah karena kau lancang membuka kancing kemejaku!" Terpancing emosi membuat Bas kelepasan bicara.
"Apa, Sayang? Melepas kemejamu?" tanya Amanda.
Ops.
"Bukan begitu, Sayang, maksudku ..."
"Saya hanya mau mengeringkan baju Pak Bas yang basah Bu, maaf. Saya panik, takut dimarahi, takut Pak Bas masuk angin, jadi ..."Mendengar jawaban Ayana, tak disangka Amanda malah tersenyum. Sepertinya Ayana benar-benar gadis yang polos dan tulus, tak ada maksud yang aneh-aneh pada suamiku. Begitu batin Amanda."Sudah, Sayang, kau masuklah. Mandi, ganti baju. Biar aku ngobrol dulu sama Ayana, ya," ucap Amanda lembut pada suaminya."Sayang, kamu jangan salah sangka, aku ..." Amanda tersenyum sembari menggeleng. "Aku percaya padamu, masuklah."Amanda tahu, jika mau, Bas sudah dari dulu mendua bahkan mentiga darinya. Banyak wanita yang mendekati, dari Bas masih lajang sampai lelaki itu sudah menikahinya. Tak sedikit juga yang terang-terangan menyatakan bersedia menjadi istri kedua. Namun kenyataannya, lelaki itu masih setia, bahkan di saat ia sakit dan tidak bisa melayani suaminya dengan maksimal, Bas masih tetap tak melirik wanita secantik apapun ia.“Baiklah, kalian ngobrol dulu. Ingat
Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar majikannya menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.Ayana membuka pintu. “Assalamualaikum ...”“Waalaikumussalam… Oh kau Ayana.” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.“Besar sekali Al-Qurannya, Bu.”Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil.” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku b
Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO di perusahaan ternama, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon bua
“Ini tehnya, Sayang.” Bas meletakkan secangkir teh di atas meja teras. Tepat di samping meja itu, istrinya duduk di atas kursi roda.“Terimakasih, Bas. Seharusnya aku yang membuatkanmu teh.” Amanda tersenyum namun terlihat rona kesedihan di matanya. Ia ingat, dulu setiap sore ia selalu menyambut kepulangan Bas dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng.Semenjak sakit, tubuhnya semakin lemah, ia jadi mudah capek dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat. Kalaupun ingin memasakkan sesuatu untuk suaminya, hanya sebatas mengarahkan dan mbok Nem-lah yang mengeksekusi. Pernah suatu hari ia ingin membuatkan minuman untuk Bas, kecelakaan kecil terjadi, air panas yang seharusya ia tuang ke cangkir malah membasahi kakinya. Semenjak itu Bas melarang istrinya membuat sesuatu di dapur kalau tidak ada yang mendampingi.“Kenapa harus begitu?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu mengambil posisi duduk di satu sisi meja lainnya lalu meneguk tehnya.“Karena aku istrimu.”“Hmm, kau meremehkanku
Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana. “Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan. "Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu." Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta? Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta. “Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak." "Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit. “Beri saya
Minggu pagi menjelang siang, Ayana datang ke sebuah kafé. Ia sudah janjian dengan Yudis di kafe ini.“Kafénya bagus sekali, pasti harga makanannya mahal.” Ayana membatin, tampak ragu melangkahkan kaki masuk. Ia mengingat-ingat ada berapa uang di dompetnya, lalu memilih mengirim pesan pada Yudis dan menunggunya di dekat pintu masuk. Tak lama Yudis muncul. “Ayana, sudah lama?” “Hmmm 5 menitan mungkin.”“Kenapa tidak langsung masuk? Ayo!”Ayana megikuti langkah Yudis masuk ke dalam kafé.“Pesanlah!” Yudis menyodorkan buku menu setelah mereka menemukan tempat duduk. Ayana meihat-lihat dan nampak kaget dengan harga makanan yang tertera.“Kenapa kita janjian di sini, sih?” Gadis itu berbisik pada Yudis.“Ya, masa aku ajak calon istri bos ke warteg!” canda Yudis.“Hus!” Ayana mengibaskan tangan kirinya. “Aku nggak bawa banyak uang!” bisiknya lagi.“Tenang aja, Ay, hari ini aku yang traktir.”“Wah, gaji kamu banyak, ya?”“Haha, ya nggak juga.”“Hah, jadi Pak Bagas menggaji kamu sedikit?”Y
“Ayana, kamu cantik sekali,” puji Amanda saat melihat Ayana selesai dirias oleh make up artis pilihannya.“Terimakasih, Bu.” Ayana tersenyum canggung. Tak butuh waktu lama setelah ia menyetujui lamaran Bas, seminggu kemudian akad nikah diselenggarakan.“Hal yang baik harus disegerakan,” kata Amanda. “Acara kecil-kecilan saja di rumah. Cukup panggil penghulu, keluarga dekat, beberapa teman kantor Bas, dan perwakilan warga. Yang penting sah. Kau tidak keberatan kan, Ayana?” tanya Amanda saat itu.“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ayana. Ia bahkan berharap lebih baik tidak usah ada yang tahu pernikahan ini. Tapi Amanda menolak.“Pernikahan itu harus disiarkan, kalau tidak, akan menimbulkan fitnah.”Ayana pun menurut.“Oh, ya, mas kawin apa yang kau minta?” tanya Amanda kemudian.“Saya tidak mau apa-apa, Bu, kalau boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin… kuliah,” jawab Ayana ragu, apakah bosnya akan memenuhinya?“Tidak bisa!” Bas menjawab cepat.“Mas kawin itu berupa benda Ayana, mana ada mas ka
Bas terdiam cukup lama di depan kamarnya dan Ayana yang sudah disiapkan Amanda untuk malam pertama. Perasaan canggung, kuatir, ragu, kesal, berkecamuk di hatinya.“Bismillah ...” Ia bergumam pelan, lalu membuka pintu kamar.“Aaak ....” Ayana spontan menjerit, terkejut dengan kedatangan Bas yang tiba-tiba.Cepat-cepat Bas menutup pintu lalu membekap mulut Ayana. “Ayana, diam! Mengapa kau berteriak, orang akan berpikir yang tidak-tidak, jika mendengar!” bentaknya. Beberapa detik kemudian ia baru sadar, posisinya saat ini begitu dekat dengan Ayana, bahkan seperti memeluknya. Satu tangannya melingkar di bahu sementara satu tangannya lagi menutup mulut Ayana."Ehem, ma-maaf." Bas bergeser menjauh. Tapi ujian keimanannya tak hanya sampai di situ. Ia menelan ludah ketika baru menyadari busana yang dikenakan Ayana saat ini.“Ya Tuhaan Ayanaaa, kau pakai baju apaaa?” Bas