Share

5. Permintaan Amanda

Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO di perusahaan ternama, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.

Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.

Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon buah juga tumbuh subur di di sana.

Ayana biasanya akan menuntun Amanda berjalan kaki berkeliling. Setelah 10-15 menit, atau saat Amanda sudah merasa lelah berjalan, ia mengembalikan Amanda ke kursi rodanya.

Sembari berjalan-jalan, Ayana suka mengajak Amanda bercerita tentang apapun, ia seperti tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Entah itu tentang dirinya sendiri, tentang tetangganya atau drama Korea yang baru saja ditontonnya.

Karena merasa nyaman, Amanda pun jadi suka cerita banyak hal pada perawatnya itu,

“Kau tahu Ayana, mengapa aku suka sekali menanam?” tanya Amanda sembari menghirup aroma bunga melati di hadapannya dalam-dalam. Harum sekali.

“Karena ibu suka melihat bunga-bunga yang cantik?” tebak Ayana.

“Bukan hanya itu, aku ingin sepeninggalku nanti, cintaku tetap tumbuh bermekaran di rumah ini.”

Amanda lalu menarik napas panjang. Pandangannya menerawang jauh seperti memikirkan sesuatu yang berat untuk diungkapkan. Ia lantas menggenggam tangan Ayana erat.

Amanda merasa, mungkin usianya tak akan lama. Dokter memang tidak memberi tahu tentang sisa usia yang kemungkinan dijalaninya seperti yang ada di sinetron-sinetron. Begitupun suaminya tentu saja. Bas bahkan selalu menceritakan hal-hal yang positif, seperti tentang pasien kanker yang bisa sembuh total dari sakitnya. Ia begitu berusaha agar istrinya tetap ceria dan semangat untuk sembuh.

“Berjanjilah Ayana, jika aku sudah tidak ada nanti, kau akan tetap merawat bunga-bunga ini, jangan biarkan ia mati, karena cintaku tumbuh bersama mereka.”

Ayana tersenyum. Antara terharu dan merasa lucu dengan ucapan Amanda.

“Ibu, apa ibu lupa, saya itu perawat ibu. Jika ibu sudah tidak ada, tentu saja saya juga tidak akan ada lagi di sini,” ujarnya.

Amanda tertawa,  ia memang semakin banyak tertawa semenjak ada Ayana. “Hahaha, ya ampun aku sampai lupa. Aku selalu menganggapmu bagian dari keluarga ini. Akan selalu tinggal di rumah ini. Maafkan aku Ayana.”

Ayana tersenyum, ia merasa bahagia dianggap sebagai keluarga. Setiap hari ia selalu berdoa agar Amanda sehat dan panjang umur, bukan semata-mata demi mempertahankan gaji dan pekerjaannya, tapi rasa sayang terhadap Amanda telah tumbuh di hatinya.

Lalu sejenak hening terjadi diantara mereka.

“Ayana, belakangan ini aku selalu memikirkan suamiku. Menurutmu, kalau aku sudah tidak ada apakah ia akan menikah lagi?"

"Mungkin ... nggak Bu. Bapak itu kan cinta banget sama Ibu. Kayaknya nggak ada perempuan lain yang bakal bisa membuat Bapak jatuh hati selain Ibu."

Ayana pikir, jawaban itu bisa menyenangkan hati Amanda, tapi kenyataannya justru sebaliknya.

"Itulah yang aku takutkan. Aku tak mau suamiku kesepian setelah aku tiada nantinya. Kalau dia tidak menikah, siapa yang akan menemaninya, lalu bagaimana ia meneruskan keturunnya." Amanda mengehela napas berat.

"Tapi ... bisa jadi beberapa tahun kemudian, Bapak menikah lagi meskipun wanita itu tak lebih dicintainya dari Ibu." Kembali Ayana mencoba menghibur majikannya.

"Aku juga takut Ayana, ia salah memilih pendamping hidup. Bagaimana kalau istrinya nanti tidak merawatnya dengan baik atau .. hanya menginginkan hartanya?"

Sampai di sini Ayana bingung harus menjawab apa. Hingga dia hanya diam dan tersenyum saja.

"Ayana, apa suamiku itu tampan menurutmu?" tanya Amanda lagi. 

“Yah, meskipun Bapak itu galak, harus saya akui kalau Bapak memang tampan, Bu. Nggak cuma saya, semua orang juga pasti akan menilai seperti itu. 

“Oh, ya?” Amanda tersenyum mendengar pujian Ayana.

“Apakah ada yang menyukainya di kantor, Ayana?”

Ayana memandang majikan wanitanya, tak biasanya Amanda bertanya seperti ini. Apakah ia tengah mencurigai Bas bermain wanita di belakangnya?

“Wah, bukannya ada lagi bu. Hampir semua wanita berlomba-lomba mencari perhatian Bapak. Tapi satupun tak ada yang berhasil mendapatkannya. Bapak itu dingin, hanya sama Ibu aja yang bucin.”

Meski baru sehari kerja di kantor Bas, ia banyak mendengar cerita tentang bosnya itu dari teman-temannya.

Ia ingat bagaimana Anita, temannya sesama OB dandan maksimal, demi bisa dilirik Pak CEO katanya. Ia juga mendengar nama Bas disebut-sebut karyawan saat beberapa diantara mereka sarapan sambil ngobrol di pantry.

“Bagaimana denganmu Ayana? Apakah kamu juga ... menyukai suamiku?

“Astaghfirullah." Spontan Ayana beristighfar. "Nggak, lah, Bu, saya tahu diri. Amit-amit suka sama suami orang." Ayana mengetuk-ngetuk kepala dengan kepalan tangan kanannya. "Saya nggak mau disebut pelakor, Bu!"

Amanda tertawa. "Ayana, Ayana, menjadi istri kedua, tidak lantas disebut pelakor. Dalam Islam lelaki diperbolehkan memiliki empat istri."

"Emangnya Ibu bersedia kalau Pak Bas menikah lagi? Nggak sakit hati, Bu?"

Amanda menghela napas lalu tersenyum. "Dulunya aku juga merasa, poligami itu tidak adil untuk perempuan, tapi setelah kupikir-pikir, poligami mungkin bisa jadi solusi."

“Tapi kalau saya Bu, ngapain juga suka sama pria beristri, masih banyak lelaki baik-baik yang lajang, kok. Mending Ibu jodohin aja saya sama sopir ibu yang ganteng itu," sambung Ayana setengah bercanda, setengahnya lagi serius. Yudis memang tampan, juga menyenangkan. Ayana suka, tapi ia juga masih belum tahu rasa suka seperti apa yang bersemayam di hatinya untuk pemuda itu.

“Yudis maksudmu?” tanya Amanda mempertegas. “Ah, tidak tidak.”

Ayana menatap heran pada Amanda, mengapa wanita itu tak mau menjodohkannya dengan Yudis? Toh mereka berdua sama-sama asisten di rumah ini. Kalau menurut Ayana, sudah sekufu, lah.

"Kenapa tidak, Bu? Apa Yudis sudah punya calon istri?"

"Oh, bukan, bukan itu. Karena ... ada seseorang yang kurasa lebih cocok untukmu."

Ayana mengernyitkan dahi sambil menerka-nerka siapa lelaki itu? Apakah kerabat dari Bu Amanda? Orang kayakah dia? Hmm pasti tampan.

“Ayana, aku punya satu permintaan. Mungkin aku akan lebih tenang di sisa hidupku jika kau mau memenuhi permitaanku ini.”

“Apa itu, Bu?” Amanda sudah memiliki segalanya dalam hidup. Kekayaan berlimpah, suami yang sangat mencintainya, dan para pembantu yang setia. Apalagi yang diinginkannya? Selain kesembuhan tentu saja. 

“Aku ingin…” Amanda terdiam, tampak ragu mengatakannya.

“Aku ingin … kau menikah dengan suamiku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status