“Ayana, lihatlah!” Amanda menyodorkan gawainya pada Ayana. Sudah sekitar setengah jam ia sibuk menggeser-geser layar ponsel.
“Menurutmu ini bagus?” Amanda menunjukkan foto sebuah kamar hotel bintang lima. Kamarnya luas dan mewah. Di slide setelahnya ada foto kamar mandi hotel lengkap dengan bath up. Lalu ada juga foto kolam renang dan pemandangan hotel yang asri nan indah.
“Waaah, bagus sekali, Bu." Ayana takjub.
“Tapi kalau saya sih nggak akan nyaman tidur di tempat sebagus itu,” sambungnya.
“Kenapa?” Amanda menatap heran pada Ayana, katanya bagus sekali mengapa tak nyaman?
“Sepanjang malam saya pasti nggak bisa tidur mikirin besok makan apa,” jawab Ayana polos.
Tawa amanda pecah mendengarnya. “Mengapa memikirkan besok makan apa? Tentu saja makan enak di hotel."
“Terus setelahnya saya puasa sebulan, dong, Bu. Harga kamarnya saja senilai biaya makan sebulan.
"Woee pengantin baru!" Al menepuk-nepuk pundak Bas. Ia merupakan bawahan yang juga teman baik Bas. Di kantor ini, lelaki bernama lengkap Alfano itu menjabat sebagai manager divisi social media.Bas hanya menanggapi Al dengan decakan lalu kembali fokus ada pekerjaannya, mengecek dokumen yang harus ditandatangani."Gimana rasanya punya istri masih muda belia, Bro? Malam pertama, aman, kan? Kalo mau, aku punya video edukasi tentang pst pst ..."Kalimat terakhir yang dibisikkan Al di dekat telinga Bas membuat lelaki itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. "Nggak perlu!""Weitts, udah bisa ngajarin sendiri, ya, Bro. Ya namanya juga udah pengalaman yee." Al menaik turunkan alis lantas tertawa. Tapi bagi Bas itu tidak lucu."Kuberi tahu ya, kalau kau berniat punya istri lebih dari satu, kusarankan, JA-NGAN!"Dahi lelaki yang masih lajang di usianya yang ke 34 tahun ini mengernyit. Padahal, beberapa temannya banyak yang ingin nambah istri meski itu hanya kelakar belaka. "Kenapa, Bro?""Ca
Pukul empat sore, Ayana dan Bas tiba di hotel yang telah dipesan oleh Amanda beberapa hari lalu. Benar kata Amanda, Bas pasti mau. Ya meski terpaksa, Bas tidak akan menolak apapun yang Amanda pinta. Ia terlalu mencintai wanita itu.“Saya mau check in, Mbak.” Bas menunjukkan bukti pembayaran kamar pada salah seorang resepsionis.“Oh, baik, Pak, tunggu sebentar.”“Apa masih tersedia kamar? saya mau membooking satu kamar lagi,” ucap Bas saat resepsionis tengah mengetikkan sesuatu pada komputernya.“Baik, sebentar, Pak, saya cek dulu.”“Bapak pesan kamar lagi? Buat siapa Pak?” Ayana bertanya lirih.“Tentu saja untuk kita. Kau dan aku, kita akan menempati kamar sendiri-sendiri,” bisik Bas dengan suara tegas.Ayana menghembuskan napas. Kecewa. Lantas untuk apa bulan madu ini?“Maaf, Pak, ternyata semua kamar full booked,” ucap mbak
Ayana mempercepat langkah, tak sedikitpun menoleh pada sekumpulan pemuda itu.Tapi samar-samar ia mendengar ada suara langkah kaki di belakangnya. Seseorang seperti sedang mengikutinya. Keringat dingin menetes deras di wajahnya juga membasahi telapak tangannya. Suara derap langkah kakipun semakin dekat terdengar.Tiba-tiba seseorang menggenggam dengan kuat sebelah tangannya….“Aaaaak …!" Spontan Ayana berteriak.“Ayana, diamlah, ini aku!”Ayana membuka mata.“Bapak!” Ia memeluk Bas saking takut sekaligus leganya. Ulu hati Bas dapat merasakan jantung Ayana yang bedetak sangat cepat.“Ayana, lepaskan aku. Orang-orang bisa berpikir kita sedang berbuat mesum jika berpelukan seperti ini!”Ayana sadar, segera melepaskan pelukannya.“Sudah kubilang, kan, tunggu aku. Mengapa kau pergi duluan, hah?” Bas mengguncang pelan kedua pundak Ayana.“Bapak lama!”“Aku harus menelepon istriku memastikan ia baik-baik saja.”“Tapi saya juga istri Bapak, kan?”Sebuah motor besar dengan suara knalpot yang be
“Hanya sampai lutut saja, ingat!” Bas akhirnya bersedia dipijat oleh Ayana dengan syarat ketentuan berlaku. “Iya ... iya ... takut amat, sih, Pak!” sahut Ayana kesal. Tiba-tiba terbersit pikiran menjahili Bas. Tangan Ayana meraih ujung baju kaos yang dikenakan Bas, lalu menyingkapnya. “Hei Ayana kau mau apa?” Bas panik. Ayana diam-diam tersenyum, geli melihat ekspresi Bas. “Perut Bapak bunyi tuh dari tadi, mau saya kasih minyak kayu putih. Boleh, nggak?” “Kemarikan, biar aku sendiri!” sentak Bas. Dengan cemberut Ayana meletakkan botol minyak kayu putih di atas telapak tangan Bas yang terulur ke arahnya. Ia kembali fokus memijat kaki Bas. Mengurut dengan tekanan yang pas. Tidak terlalu keras tidak juga terlalu pelan. Bas sebenarnya merasa nyaman tapi tak mau mengakuinya. Beberapa saat kemudian, Ayana melihat Bas sudah memejamkan mata. Sudah tidurkah ia? “Pak ... Pak!” Ayana mengguncang pelan kaki Bas. Ia ingin meyakinkan suaminya itu sudah tidur atau belum. “Pak Bagas, sudah t
“Kau tau pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino? Aku yakin itu akan terjadi pada Bas. Perlahan-lahan dia pasti akan mencintaimu juga Ayana. Mencintai, karena terbiasa bersamamu. Itu pasti. Percaya padaku.”**********“Kau can ... ehm ... rapi sekali. Mau kemama?” Bas yang sedang sarapan melirik sekilas pada Ayana yang baru datang ke meja makan. Hampir saja ia kelepasan mengatakan cantik. Padahal kelepasan pun nggak apa lho, Pak Bas. Memuji istri sendiri berpahala.Ah, tapi, Bas bukan tidak tahu akan hal itu. Ia hanya ingin bertahan dengan komitmennya pada Amanda, tak akan mencintai wanita lain selainnya. Sekalipun pernikahan keduanya ini, Amandalah yang menghendaki, ia tetap merasa tak boleh membagi hati.Wanita mungkin saja mengatakan ikhlas di depan, tapi dalam hatinya merasa cemburu, siapa yang tahu? Dan Bas tidak ingin Amanda merasakan itu. Sudah cukup Amanda merasakan sakit pada fisiknya, jangan sampai hatinya juga ikut tersakiti.“Oh, iya, Bas, aku lupa bilang padamu, Ay
“Pos!” Ayana keluar menerima sepucuk surat dari Pak Pos. Sebuah undangan pernikahan rupanya. Untuk Bas. “Apa itu, Ayana?” Amanda keluar kamar dengan mendorong kursi rodanya. “Undangan, Bu, untuk Bapak,” jawab Ayana seraya menyerahkan undangan tersebut pada Amanda. Beberapa detik Amanda memperhatikan undangan itu. Ternyata salah seorang kolega Bas yang menikahkan anak pertamanya. “Kau temani Bas datang ke acara ini, ya!” katanya pada Ayana. “Saya, Bu?” jari telunjuk Ayana menunjuk pada dirinya sendiri, merasa tak yakin. “Iya, siapa lagi? Selama ini Bas hanya ditemani Yudis ke kondangan. Aku tidak bisa pergi ke acara seperti itu, Ayana. Terlalu ramai, membuatku pusing dan mual. Jadi, kau saja yang pergi. Supaya teman-teman Bas mengenalimu juga sebagai istrinya.” Terkadang Ayana heran dengan sikap Amanda. Tak seperti kebanyakan istri tua di sinetron-sinetron, yang nampak membenci madunya, Amanda justru bersikap sangat bersahabat dan selalu berusaha mendekatkan Ayana pada suaminya.
Ayana berputar dengan mengenakan gamis pilihan Bas.“Cantik, Pak?” tanyanya.“Hemmm .…” Hanya begitu jawaban Bas, bikin Ayana memonyongkan bibir.“Ah, sepertinya jelek!”“Ayolah, Ayana, kita tak punya banyak waktu!” Bas sekali lagi melirik arlojinya.“Tapi cantik, nggak, Pak?” desak Ayana. “Iya!”“Iya apa?”“Iya, cantik.”“Siapa yang cantik?”Bas mengehela napas. “Kamu cantik, Ayana!” Ia menjawab dengan gemas.“Nah, gitu, dong. Ayo, Pak!” Ayana melingkarkan tangannya ke lengan sang suami yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istri bocilnya.“Kuatkan imanku ya Tuhan …” ujar Bas dalam hati.“Eh, tunggu, Ayana!” Tiba-tiba Bas menghentikan langkah ketika ia hampir sampai ke depan kasir. “Kau mau ke kondangan dengan memakai sandal jepit?”Pertanyaan Bas membuat Ayana melirik ke bawah, melihat ke arah kakinya. “Oh, iya!”“Cari sepatu sekalian. Cepatlah! Kau pilih sendiri ya, aku lelah!”Ayana menurut, dengan sigap ia memilih sepatu yang menurutnya paling bagus lalu mencobany
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du