Komen yang rame doong jan lupa bagi gem nyaa
“Hanya sampai lutut saja, ingat!” Bas akhirnya bersedia dipijat oleh Ayana dengan syarat ketentuan berlaku. “Iya ... iya ... takut amat, sih, Pak!” sahut Ayana kesal. Tiba-tiba terbersit pikiran menjahili Bas. Tangan Ayana meraih ujung baju kaos yang dikenakan Bas, lalu menyingkapnya. “Hei Ayana kau mau apa?” Bas panik. Ayana diam-diam tersenyum, geli melihat ekspresi Bas. “Perut Bapak bunyi tuh dari tadi, mau saya kasih minyak kayu putih. Boleh, nggak?” “Kemarikan, biar aku sendiri!” sentak Bas. Dengan cemberut Ayana meletakkan botol minyak kayu putih di atas telapak tangan Bas yang terulur ke arahnya. Ia kembali fokus memijat kaki Bas. Mengurut dengan tekanan yang pas. Tidak terlalu keras tidak juga terlalu pelan. Bas sebenarnya merasa nyaman tapi tak mau mengakuinya. Beberapa saat kemudian, Ayana melihat Bas sudah memejamkan mata. Sudah tidurkah ia? “Pak ... Pak!” Ayana mengguncang pelan kaki Bas. Ia ingin meyakinkan suaminya itu sudah tidur atau belum. “Pak Bagas, sudah t
“Kau tau pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino? Aku yakin itu akan terjadi pada Bas. Perlahan-lahan dia pasti akan mencintaimu juga Ayana. Mencintai, karena terbiasa bersamamu. Itu pasti. Percaya padaku.”**********“Kau can ... ehm ... rapi sekali. Mau kemama?” Bas yang sedang sarapan melirik sekilas pada Ayana yang baru datang ke meja makan. Hampir saja ia kelepasan mengatakan cantik. Padahal kelepasan pun nggak apa lho, Pak Bas. Memuji istri sendiri berpahala.Ah, tapi, Bas bukan tidak tahu akan hal itu. Ia hanya ingin bertahan dengan komitmennya pada Amanda, tak akan mencintai wanita lain selainnya. Sekalipun pernikahan keduanya ini, Amandalah yang menghendaki, ia tetap merasa tak boleh membagi hati.Wanita mungkin saja mengatakan ikhlas di depan, tapi dalam hatinya merasa cemburu, siapa yang tahu? Dan Bas tidak ingin Amanda merasakan itu. Sudah cukup Amanda merasakan sakit pada fisiknya, jangan sampai hatinya juga ikut tersakiti.“Oh, iya, Bas, aku lupa bilang padamu, Ay
“Pos!” Ayana keluar menerima sepucuk surat dari Pak Pos. Sebuah undangan pernikahan rupanya. Untuk Bas. “Apa itu, Ayana?” Amanda keluar kamar dengan mendorong kursi rodanya. “Undangan, Bu, untuk Bapak,” jawab Ayana seraya menyerahkan undangan tersebut pada Amanda. Beberapa detik Amanda memperhatikan undangan itu. Ternyata salah seorang kolega Bas yang menikahkan anak pertamanya. “Kau temani Bas datang ke acara ini, ya!” katanya pada Ayana. “Saya, Bu?” jari telunjuk Ayana menunjuk pada dirinya sendiri, merasa tak yakin. “Iya, siapa lagi? Selama ini Bas hanya ditemani Yudis ke kondangan. Aku tidak bisa pergi ke acara seperti itu, Ayana. Terlalu ramai, membuatku pusing dan mual. Jadi, kau saja yang pergi. Supaya teman-teman Bas mengenalimu juga sebagai istrinya.” Terkadang Ayana heran dengan sikap Amanda. Tak seperti kebanyakan istri tua di sinetron-sinetron, yang nampak membenci madunya, Amanda justru bersikap sangat bersahabat dan selalu berusaha mendekatkan Ayana pada suaminya.
Ayana berputar dengan mengenakan gamis pilihan Bas.“Cantik, Pak?” tanyanya.“Hemmm .…” Hanya begitu jawaban Bas, bikin Ayana memonyongkan bibir.“Ah, sepertinya jelek!”“Ayolah, Ayana, kita tak punya banyak waktu!” Bas sekali lagi melirik arlojinya.“Tapi cantik, nggak, Pak?” desak Ayana. “Iya!”“Iya apa?”“Iya, cantik.”“Siapa yang cantik?”Bas mengehela napas. “Kamu cantik, Ayana!” Ia menjawab dengan gemas.“Nah, gitu, dong. Ayo, Pak!” Ayana melingkarkan tangannya ke lengan sang suami yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istri bocilnya.“Kuatkan imanku ya Tuhan …” ujar Bas dalam hati.“Eh, tunggu, Ayana!” Tiba-tiba Bas menghentikan langkah ketika ia hampir sampai ke depan kasir. “Kau mau ke kondangan dengan memakai sandal jepit?”Pertanyaan Bas membuat Ayana melirik ke bawah, melihat ke arah kakinya. “Oh, iya!”“Cari sepatu sekalian. Cepatlah! Kau pilih sendiri ya, aku lelah!”Ayana menurut, dengan sigap ia memilih sepatu yang menurutnya paling bagus lalu mencobany
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du
Ayana tersenyum puas melihat rumahnya yang telah tertata rapi dan terisi perabotan lengkap. Masih ada sisa beberapa pajangan yang belum ia pasang di tembok. Ia berpikir nanti saja setelah suaminya pulang akan meminta bantuan.Saat mendengar deru mesin mobil Bas memasuki pekarangan, Ayana langsung berlari keluar. Gadis itu berdiri di depan rumah hendak menyambut suaminya datang. Hari ini jatah Bas untuk menemaninya, jadi ia pikir, Bas hanya akan sejenak ke rumah Amanda lalu menemuinya. Namun ternyata Ayana sudah menunggu sangat lama, Bas tak jua muncul.“Yudis!” Sedikit berteriak ia memanggil Yudis yang nampak sedang membereskan mobil tuannya. Yudis hanya menoleh lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.“Apaan, sih, nggak asik banget!” gerutu Ayana. Ia bisa merasakan perubahan sikap Yudis, yang dulunya begitu akrab dengannya, sekarang seolah menjaga jarak. Padahal ia berniat meminta bantuan Yuis untuk memasang tanaman gantung di teras rumah. Menunggu suaminya terlalu lama.“Ya su
. .“Ih, Bapak PHP!” teriak Ayana kesal.“PHP apa? Dengar Ayana.” Bas menggenggam tangan mungil Ayana.“Jangan pernah berharap apapun dariku, nanti kau akan sakit hati. Ingat, kan, dengan kesepakatan kita dulu…”“Iya ... iya, Saya boleh minta apapun, kecuali minta Bapak untuk mencintai saya, kan!” Ayana memotong cepat.“Pintar! Sekarang tidur!” Bas tersenyum seraya mengacak lembut rambut Ayana. Ia lalu melangkah menuju kamar.“Pak, apa kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ayana. Ia teringat saat bulan madu di hotel, Bas sempat berniat memesan kamar lagi agar mereka tidak berada dalam satu kamar. Di rumahnya ini memang ada dua kamar, tapi baru satu kamar yang berisi perabotan, kamar satunya masih kosong melompong.“Terserah! Yang jelas aku mau tidur di kasur!” jawab Bas.“Jadi bapak suruh saya tidur di lantai, gitu? Enak aja.”“Siapa yang suruh? Kalau kau tidak mau tidur di lantai, tidurlah di kasur, bersamaku. Jangan berisik!”Lima belas menit lamanya Ayana mencoba tidur namun tak bis
Dengan cepat Bas berbalik, mencengkram bahu Yudis.“Apa-apaan kamu Yudis, mau mengejar istriku? Enak saja!”“Nih!” Bas meletakkan kunci mobil pada telapak tangan Yudis.“Antar dia kembali ke kantor!” perintah Bas sembari menoleh pada perempuan yang bersamanya tadi.Ayana baru akan melangkahkan kakinya menyebrang jalan ketika Bas datang, menggenggam sebelah tangannya lalu menariknya dalam pelukan.“Mau ke mana?” bisiknya di telinga Ayana.Cepat-cepat Ayana melepaskan pelukan Bas. “Bapak! Malu-maluin peluk-peluk di jalan!”Beberapa mata nampak melirik ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik-bisik.“Ayo istriku, kita pulang.” Sengaja Bas mengeraskan suaranya agar orang-orang tak salah paham. Ia menggandeng tangan istrinya lantas melangkah masuk kembali ke dalam resto. Merasa perlu memberikan klarifikasi tentang perempuan yang datang bersamanya tadi.“Dia sekretarisku,” kata Bas setelah mereka duduk di salah satu sudut resto dan memesan minuman.“Sekretaris?” Ayana tidak percaya. Man