Mana komennyaaaa
Ayana berputar dengan mengenakan gamis pilihan Bas.“Cantik, Pak?” tanyanya.“Hemmm .…” Hanya begitu jawaban Bas, bikin Ayana memonyongkan bibir.“Ah, sepertinya jelek!”“Ayolah, Ayana, kita tak punya banyak waktu!” Bas sekali lagi melirik arlojinya.“Tapi cantik, nggak, Pak?” desak Ayana. “Iya!”“Iya apa?”“Iya, cantik.”“Siapa yang cantik?”Bas mengehela napas. “Kamu cantik, Ayana!” Ia menjawab dengan gemas.“Nah, gitu, dong. Ayo, Pak!” Ayana melingkarkan tangannya ke lengan sang suami yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istri bocilnya.“Kuatkan imanku ya Tuhan …” ujar Bas dalam hati.“Eh, tunggu, Ayana!” Tiba-tiba Bas menghentikan langkah ketika ia hampir sampai ke depan kasir. “Kau mau ke kondangan dengan memakai sandal jepit?”Pertanyaan Bas membuat Ayana melirik ke bawah, melihat ke arah kakinya. “Oh, iya!”“Cari sepatu sekalian. Cepatlah! Kau pilih sendiri ya, aku lelah!”Ayana menurut, dengan sigap ia memilih sepatu yang menurutnya paling bagus lalu mencobany
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du
Ayana tersenyum puas melihat rumahnya yang telah tertata rapi dan terisi perabotan lengkap. Masih ada sisa beberapa pajangan yang belum ia pasang di tembok. Ia berpikir nanti saja setelah suaminya pulang akan meminta bantuan.Saat mendengar deru mesin mobil Bas memasuki pekarangan, Ayana langsung berlari keluar. Gadis itu berdiri di depan rumah hendak menyambut suaminya datang. Hari ini jatah Bas untuk menemaninya, jadi ia pikir, Bas hanya akan sejenak ke rumah Amanda lalu menemuinya. Namun ternyata Ayana sudah menunggu sangat lama, Bas tak jua muncul.“Yudis!” Sedikit berteriak ia memanggil Yudis yang nampak sedang membereskan mobil tuannya. Yudis hanya menoleh lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.“Apaan, sih, nggak asik banget!” gerutu Ayana. Ia bisa merasakan perubahan sikap Yudis, yang dulunya begitu akrab dengannya, sekarang seolah menjaga jarak. Padahal ia berniat meminta bantuan Yuis untuk memasang tanaman gantung di teras rumah. Menunggu suaminya terlalu lama.“Ya su
. .“Ih, Bapak PHP!” teriak Ayana kesal.“PHP apa? Dengar Ayana.” Bas menggenggam tangan mungil Ayana.“Jangan pernah berharap apapun dariku, nanti kau akan sakit hati. Ingat, kan, dengan kesepakatan kita dulu…”“Iya ... iya, Saya boleh minta apapun, kecuali minta Bapak untuk mencintai saya, kan!” Ayana memotong cepat.“Pintar! Sekarang tidur!” Bas tersenyum seraya mengacak lembut rambut Ayana. Ia lalu melangkah menuju kamar.“Pak, apa kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ayana. Ia teringat saat bulan madu di hotel, Bas sempat berniat memesan kamar lagi agar mereka tidak berada dalam satu kamar. Di rumahnya ini memang ada dua kamar, tapi baru satu kamar yang berisi perabotan, kamar satunya masih kosong melompong.“Terserah! Yang jelas aku mau tidur di kasur!” jawab Bas.“Jadi bapak suruh saya tidur di lantai, gitu? Enak aja.”“Siapa yang suruh? Kalau kau tidak mau tidur di lantai, tidurlah di kasur, bersamaku. Jangan berisik!”Lima belas menit lamanya Ayana mencoba tidur namun tak bis
Dengan cepat Bas berbalik, mencengkram bahu Yudis.“Apa-apaan kamu Yudis, mau mengejar istriku? Enak saja!”“Nih!” Bas meletakkan kunci mobil pada telapak tangan Yudis.“Antar dia kembali ke kantor!” perintah Bas sembari menoleh pada perempuan yang bersamanya tadi.Ayana baru akan melangkahkan kakinya menyebrang jalan ketika Bas datang, menggenggam sebelah tangannya lalu menariknya dalam pelukan.“Mau ke mana?” bisiknya di telinga Ayana.Cepat-cepat Ayana melepaskan pelukan Bas. “Bapak! Malu-maluin peluk-peluk di jalan!”Beberapa mata nampak melirik ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik-bisik.“Ayo istriku, kita pulang.” Sengaja Bas mengeraskan suaranya agar orang-orang tak salah paham. Ia menggandeng tangan istrinya lantas melangkah masuk kembali ke dalam resto. Merasa perlu memberikan klarifikasi tentang perempuan yang datang bersamanya tadi.“Dia sekretarisku,” kata Bas setelah mereka duduk di salah satu sudut resto dan memesan minuman.“Sekretaris?” Ayana tidak percaya. Mana
“Wah selamat Pak Bas, Bu Amanda, dua garis merah. Ibu hamil!”Beberapa detik hening terjadi, suasana menjadi tegang dan canggung. Semua orang tahu, Bas dan Amanda sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, akan tetapi kehamilan ini pasti beresiko besar bagi Amanda yang tengah mengidap kanker otak stadium empat.“MasyaAllah… Alhamdulillah… Allahuakbar…” Ucapan syukur Amanda yang bertubi-tubi memecah keheningan itu.“Bas, setelah tujuh tahun akhirnya kita akan punya anak!” Air mata bahagia membasahi pipi Amanda.Bas hanya tersenyum tipis menanggapi istrinya. Antara bahagia dan perasaan takut melebur menjadi satu. Ia juga merutuki kecerobohannya sehingga hal ini bisa terjadi, padahal setiap melakukannya dengan Amanda, ia selalu menggunakan “pengaman”.“Ayana… aku akan menjadi ibu!” Amanda memeluk Ayana yang berdiri di sisinya.“Selamat, Bu ...” ucap Ayana sambil mengusap-usap punggung Amanda.Setelah Bu Bidan pergi, Ayana dan Mbok Nem turut serta meninggalkan kamar, membiarkan Bas dan A
Pagi hari, Ayana sudah berpakaian rapi ketika tiba di rumah Amanda untuk sarapan. Sudah menjadi rutinitas mereka bertiga untuk sarapan bersama sebelum Bas berangkat ke kantor.“Cantik sekali Ayana,” puji Amanda begitu melihat adik madunya datang.Bas yang tengah mengupas apel untuk Amanda melirik, ingin mengatakan hal yang sama namun ia urungkan, cukuplah dalam hati saja.Ayana tersenyum, menarik kursi kosong di samping Amanda lalu duduk.“Biar saya, Pak!” Ia menengadahkan tangan kanannya, meminta apel yang dipegang Bas. “Bapak sarapan saja.”Bas menurut, diserahkannya apel itu pada Ayana tanpa kata, lalu mengambil roti tawar di atas meja dan mengolesnya dengan selai.“Kau sudah belajar semalam?” tanya Amanda. Hari ini Ayana akan berangkat untuk ujian masuk Universitas Negeri.“Sudah, Bu.”“Baguslah, semoga lulus, ya, Ayana. Kau bisa kuliah di tempat yang kau impikan.”“Terimakasih, Bu,” ucap Ayana lalu memberikan sepiring apel yang sudah ia kupas dan potong-potong pada Amanda. Setelah
Tiga puluh menit Bas dan Amanda duduk di meja makan, tapi Ayana tak jua datang untuk sarapan seperti biasa. Bas melirik arlojinya dengan gelisah.Kemana anak itu? Apa ia masih marah karena kejadian kemarin?“Coba kau tengok ke rumahnya, Bas.” Amanda memberi saran. Meski tidak diungkapkan ia tahu, suaminya menunggu Ayana. "Rumahnya? Rumah siapa?" tanya Bas, pura-pura tak paham."Tentu saja rumah Ayana, Bas. Kau menunggu dia, kan?" "Hah? Menunggu? Tidak sama sekali. Biarkan saja, mungkin dia belum lapar." Bas mulai menyuap sarapannya, berusaha terlihat tak peduli. "Bas, ayolah. Apa aku yang harus ke sana?" “Eh, jangan-jangan, Sayang. Biar aku saja kalau kau memaksa." Bas pun beranjak, menuju rumah Ayana.Tanpa mengetuk, Bas membuka pintu rumah lalu menuju kamar Ayana. Ia dapati Ayana masih meringkuk di atas ranjang dengan selimut.“Astaga, kau masih tidur?” Bas berdecak. Ia melangkahkan kaki mendekati ranjang.“Semalam kau pasti begadang gara-gara menonton drama Korea lagi, kan.” Lel
“Hmm… Harum sekali ....” ucap Bas begitu menginjakkan kaki ke ruang makan. Di sana kedua istrinya sudah berkumpul mempersiapkan sarapan. Ayana memasak sementara Amanda menata meja makan sambil duduk di kursi rodanya.“Ayana masak nasi goreng kemangi Bas,” jawab Amanda yang lalu mendapat satu kecupan Bas di keningnya.“Oh, ya?” Bas lalu beralih menuju dapur di mana Ayana sedang berdiri di depan kompor, mengaduk nasi dengan spatula di atas wajan.“Kelihatannya enak.”Ayana menoleh ketika Bas mengecup pipinya. Semenjak kedatangan Bu Ratih, memang sikap Bas sedikit demi sedikit mulai mencair terhadapnya. Pasti Bu Ratih memberi nasihat yang banyak pada anak lelaki semata wayangnya itu, tebak Ayana.Mencium kedua istrinya adalah rutinitas Bas setiap pagi sebelum berangkat kantor dan sore sepulang kerja. Tanpa perlu disuruh Amanda lagi, Bas akan memberikannya juga untuk Ayana. Terkesan tulus, tak lagi terpaksa seperti sebelumnya.Bas juga tak lagi menjadikan kehamilan Amanda sebagai alasan un
“Silakan tehnya Nyonya, Den Bagas…” Mbok Nem meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Satu untuk Bas, satu lagi untuk Bu Ratih ibunda Bas yang baru datang dari kota sebelah untuk mengunjungi anak mantunya. “Terimakasih, Mbok,” sahut Bu Ratih. “Mbok sekarang ke rumah Amanda saja ya, siapa tahu dia butuh sesuatu, saya mau di sini dulu bicara pada Bas.”“Baik, Nyonya.” Mbok Nem paham, ada hal penting dan pribadi yang akan dibicarakan Bu Ratih pada anaknya, maka iapun bergegas pergi.Bu Ratih mengambil cangkir tehnya, minum seteguk, lalu menarik napas panjang. “Bas… Bas…” Ia mengusap-usap penuh sayang kepala sang anak.“Ternyata, jatuh cinta bisa membuat orang sekacau ini, ya," ujarnya. "Meski sudah tua." Ia lalu tertawa kecil.Bu Ratih datang tepat saat Bas melayangkan tinjunya pada Yudis, tapi ia memilih untuk cepat-cepat datang ke rumah Amanda, memastikan bahwa mantunya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan suaminya. “Bukan masalah jatuh cinta, Bu, tapi aku ini suaminya. Di mana ha
Tiga puluh menit Bas dan Amanda duduk di meja makan, tapi Ayana tak jua datang untuk sarapan seperti biasa. Bas melirik arlojinya dengan gelisah.Kemana anak itu? Apa ia masih marah karena kejadian kemarin?“Coba kau tengok ke rumahnya, Bas.” Amanda memberi saran. Meski tidak diungkapkan ia tahu, suaminya menunggu Ayana. "Rumahnya? Rumah siapa?" tanya Bas, pura-pura tak paham."Tentu saja rumah Ayana, Bas. Kau menunggu dia, kan?" "Hah? Menunggu? Tidak sama sekali. Biarkan saja, mungkin dia belum lapar." Bas mulai menyuap sarapannya, berusaha terlihat tak peduli. "Bas, ayolah. Apa aku yang harus ke sana?" “Eh, jangan-jangan, Sayang. Biar aku saja kalau kau memaksa." Bas pun beranjak, menuju rumah Ayana.Tanpa mengetuk, Bas membuka pintu rumah lalu menuju kamar Ayana. Ia dapati Ayana masih meringkuk di atas ranjang dengan selimut.“Astaga, kau masih tidur?” Bas berdecak. Ia melangkahkan kaki mendekati ranjang.“Semalam kau pasti begadang gara-gara menonton drama Korea lagi, kan.” Lel
Pagi hari, Ayana sudah berpakaian rapi ketika tiba di rumah Amanda untuk sarapan. Sudah menjadi rutinitas mereka bertiga untuk sarapan bersama sebelum Bas berangkat ke kantor.“Cantik sekali Ayana,” puji Amanda begitu melihat adik madunya datang.Bas yang tengah mengupas apel untuk Amanda melirik, ingin mengatakan hal yang sama namun ia urungkan, cukuplah dalam hati saja.Ayana tersenyum, menarik kursi kosong di samping Amanda lalu duduk.“Biar saya, Pak!” Ia menengadahkan tangan kanannya, meminta apel yang dipegang Bas. “Bapak sarapan saja.”Bas menurut, diserahkannya apel itu pada Ayana tanpa kata, lalu mengambil roti tawar di atas meja dan mengolesnya dengan selai.“Kau sudah belajar semalam?” tanya Amanda. Hari ini Ayana akan berangkat untuk ujian masuk Universitas Negeri.“Sudah, Bu.”“Baguslah, semoga lulus, ya, Ayana. Kau bisa kuliah di tempat yang kau impikan.”“Terimakasih, Bu,” ucap Ayana lalu memberikan sepiring apel yang sudah ia kupas dan potong-potong pada Amanda. Setelah
“Wah selamat Pak Bas, Bu Amanda, dua garis merah. Ibu hamil!”Beberapa detik hening terjadi, suasana menjadi tegang dan canggung. Semua orang tahu, Bas dan Amanda sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, akan tetapi kehamilan ini pasti beresiko besar bagi Amanda yang tengah mengidap kanker otak stadium empat.“MasyaAllah… Alhamdulillah… Allahuakbar…” Ucapan syukur Amanda yang bertubi-tubi memecah keheningan itu.“Bas, setelah tujuh tahun akhirnya kita akan punya anak!” Air mata bahagia membasahi pipi Amanda.Bas hanya tersenyum tipis menanggapi istrinya. Antara bahagia dan perasaan takut melebur menjadi satu. Ia juga merutuki kecerobohannya sehingga hal ini bisa terjadi, padahal setiap melakukannya dengan Amanda, ia selalu menggunakan “pengaman”.“Ayana… aku akan menjadi ibu!” Amanda memeluk Ayana yang berdiri di sisinya.“Selamat, Bu ...” ucap Ayana sambil mengusap-usap punggung Amanda.Setelah Bu Bidan pergi, Ayana dan Mbok Nem turut serta meninggalkan kamar, membiarkan Bas dan A
Dengan cepat Bas berbalik, mencengkram bahu Yudis.“Apa-apaan kamu Yudis, mau mengejar istriku? Enak saja!”“Nih!” Bas meletakkan kunci mobil pada telapak tangan Yudis.“Antar dia kembali ke kantor!” perintah Bas sembari menoleh pada perempuan yang bersamanya tadi.Ayana baru akan melangkahkan kakinya menyebrang jalan ketika Bas datang, menggenggam sebelah tangannya lalu menariknya dalam pelukan.“Mau ke mana?” bisiknya di telinga Ayana.Cepat-cepat Ayana melepaskan pelukan Bas. “Bapak! Malu-maluin peluk-peluk di jalan!”Beberapa mata nampak melirik ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik-bisik.“Ayo istriku, kita pulang.” Sengaja Bas mengeraskan suaranya agar orang-orang tak salah paham. Ia menggandeng tangan istrinya lantas melangkah masuk kembali ke dalam resto. Merasa perlu memberikan klarifikasi tentang perempuan yang datang bersamanya tadi.“Dia sekretarisku,” kata Bas setelah mereka duduk di salah satu sudut resto dan memesan minuman.“Sekretaris?” Ayana tidak percaya. Mana
. .“Ih, Bapak PHP!” teriak Ayana kesal.“PHP apa? Dengar Ayana.” Bas menggenggam tangan mungil Ayana.“Jangan pernah berharap apapun dariku, nanti kau akan sakit hati. Ingat, kan, dengan kesepakatan kita dulu…”“Iya ... iya, Saya boleh minta apapun, kecuali minta Bapak untuk mencintai saya, kan!” Ayana memotong cepat.“Pintar! Sekarang tidur!” Bas tersenyum seraya mengacak lembut rambut Ayana. Ia lalu melangkah menuju kamar.“Pak, apa kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ayana. Ia teringat saat bulan madu di hotel, Bas sempat berniat memesan kamar lagi agar mereka tidak berada dalam satu kamar. Di rumahnya ini memang ada dua kamar, tapi baru satu kamar yang berisi perabotan, kamar satunya masih kosong melompong.“Terserah! Yang jelas aku mau tidur di kasur!” jawab Bas.“Jadi bapak suruh saya tidur di lantai, gitu? Enak aja.”“Siapa yang suruh? Kalau kau tidak mau tidur di lantai, tidurlah di kasur, bersamaku. Jangan berisik!”Lima belas menit lamanya Ayana mencoba tidur namun tak bis
Ayana tersenyum puas melihat rumahnya yang telah tertata rapi dan terisi perabotan lengkap. Masih ada sisa beberapa pajangan yang belum ia pasang di tembok. Ia berpikir nanti saja setelah suaminya pulang akan meminta bantuan.Saat mendengar deru mesin mobil Bas memasuki pekarangan, Ayana langsung berlari keluar. Gadis itu berdiri di depan rumah hendak menyambut suaminya datang. Hari ini jatah Bas untuk menemaninya, jadi ia pikir, Bas hanya akan sejenak ke rumah Amanda lalu menemuinya. Namun ternyata Ayana sudah menunggu sangat lama, Bas tak jua muncul.“Yudis!” Sedikit berteriak ia memanggil Yudis yang nampak sedang membereskan mobil tuannya. Yudis hanya menoleh lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.“Apaan, sih, nggak asik banget!” gerutu Ayana. Ia bisa merasakan perubahan sikap Yudis, yang dulunya begitu akrab dengannya, sekarang seolah menjaga jarak. Padahal ia berniat meminta bantuan Yuis untuk memasang tanaman gantung di teras rumah. Menunggu suaminya terlalu lama.“Ya su
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du