Share

4. Hari Pertama

Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar majikannya menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.

“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.

Ayana membuka pintu. “Assalamualaikum ...”

“Waalaikumussalam… Oh kau Ayana.” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.

“Besar sekali Al-Qurannya, Bu.”

Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.

“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil.” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.

“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.

“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku biasa saja, asal benar tajwid dan makhroj, semua orang pun bisa jika hanya seperti ini,” ucap Amanda sambil melipat mukena yang dikenakannya untuk sholat Dhuha dan mengaji barusan.

“Tapi saya nggak bisa, Bu,” ujar Ayana.

“Kau tidak bisa mengaji?” tanya Amanda

Ayana mengangguk. “Emm… Iya Bu. Pernah belajar waktu kecil, tapi karena suka bolos TPQ, jadi lupa, deh. Bagaimana kalau saya belajar mengaji pada Bu Amanda? Apakah boleh?” tanya Ayana ragu-ragu. Ia takut kalau dianggap lancang oleh bosnya. Baru kerja saja sudah minta ini itu. Namun rupanya Amanda malah nampak antusias mendengarnya.

“Benarkah kau mau belajar Ayana?” Permintaan Ayana tadi, seperti menumbuhkan semangat baru pada diri Amanda. Semenjak sakit ia lebih banyak dilayani karena keterbatasannya. Kadang kala ia merasa sedih menyadari bahwa hidupnya sekarang lebih banyak merepotkan, tidak lagi bisa memberikan manfaat untuk orang lain.

“Benar, Bu. Saya kesel diledekkin muluk sama anak tetangga yang masih kelas satu SD gara-gara nggak bisa ngaji. Anak tetangga saya itu udah hampir khatam Qur’an, Bu!”

“Hahaha jadi kamu belajar ngaji biar nggak diledekkin? Ayana.. Ayana.. ada-ada saja.”

Ayana nyengir sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Ya nggak sih Bu, biar dapat pahala juga.”

“Kau tahu Ayana, aku gembira mendengar ini. Aku rindu sekali mengajar.” Amanda memang pernah menjadi dosen di salah satu kampus ternama di ibu kota. Namun semenjak sakit, ia menuruti permintaan Bas untuk resign. Bas sesungguhnya tahu betapa cintanya Amanda pada dunia kampus, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia tak mau kejadian Amanda pingsan di kampus terulang lagi. Amanda pun tahu diri. Bukan kondisi kesehatannya yang semata-mata ia kuatirkan, tapi ia tak mau membuat orang lain menjadi kerepotan karenanya.

“Tolong ambilkan ponselku, Ayana!” Amanda menunjuk ponselnya di atas meja. Segera Ayana mengambilkannya.

“Assalamualaikum, Bas!” sapanya pada sang suami melalui sambungan telepon. Sepasang suami istri ini memang biasa saling memanggil nama. Tanpa embel-embel mas, bang, dek, atau apapun yang biasanya berlaku dalam rumah tangga orang lain. Mereka berdua adalah teman semenjak kecil, teman semasa sekolah dasar yang bertemu lagi di bangku kuliah lalu saling jatuh cinta.

“Sepulang kantor nanti, tolong belikan buku iqro ya, di toko buku dekat kantormu itu. Ayana mau belajar mengaji.”

"Belajar mengaji?" Bas mengulang ucapan Amanda. "Sayang, dia di rumah kita untuk merawatmu, bukan merepotkanmu!"

"Aku tidak repot, Sayang. Aku ingin melakukan hal bermanfaat, mengumpulkan pahala jariyah, siapa tahu usiaku ..."

"Stop, sudah Amanda." Bas tahu ke mana arah pembicaraan istrinya. "Nanti akan kubelikan buku yang kau minta itu."

---

"Bapak sudah pulang, Bu!" seru Ayana ketika mendengar suara mobil masuk teras rumah. "Saya permisi ya, Bu." 

"Kenapa buru-buru Ayana. Tunggulah sebentar. Tadi aku pesan martabak coklat keju pada suamiku dua kotak, satunya untuk kamu bawa pulang."

"Jangan Bu, kasih Yudis saja," tolak Ayana.

"Kenapa? Kau tidak suka martabak?"

"Suka Bu, tapi saya takut sama Bapak. Saya mau kabur sebelum Bapak turun dari mobil."

Amanda tergelak. "Ayana, suamiku bukan monster yang harus kau takuti."

"Bagi Ibu dia bukan monster. Kalau sama Ibu, Bapak baik bener deh. Begitu lihat saya Bapak pasti murka."

"Oh, ya?" Amanda tahu suaminya memang sedikit kaku dan dingin terutama pada wanita tapi tak menyangka akan semenyeramkan itu.

"Iya, Bu. Teman-teman saya di kantor juga bilang, Pak Bas itu irit bicara, sekalinya bicara nakutin." Ayana spontan mengedikkan bahunya.

"Siapa yang menakutkan?" Sebuah suara berat tiba-tiba terdengar dari arah belakang.

"I-itu, Pak, anjing tetangga," jawab Ayana asal, membuat Amanda tertawa.

"Bagaimana kabarmu, Sayang? Apa saja kegiatanmu hari ini?" Suara Bas mendadak melunak ketika bertanya pada sang istri. Ia juga memeluk lalu mencium Amanda di depan Ayana. Ish, bikin jiwa jomblo meronta-ronta aja si Bapak, batin Ayana.

"Kabarku baik, Sayang. Aku tadi dibawa Ayana jalan-jalan di halaman, merawat tanaman, belanja sayuran di depan rumah, ngobrol dengan tetangga, dan membaca buku."

"Mata kamu ...." Bas memperhatikan netra sang istri. "Kok sembab? Kenapa Sayang? Kamu tadi menangis?" tanyanya khawatir. Namun Amanda malah tertawa.

"Oh, tadi, aku menonton drama Korea yang dibawa Ayana. Ceritanya sedih, aku jadi terbawa suasana."

Bas menghela napas, lalu menoleh pada perawat istrinya.

"Ayana, dengar, kamu di sini bekerja! Malah seenaknya nonton drama Korea!"

"Tidak apa-apa, Sayang," bela Amanda. "Ceritanya bagus, aku ikut terhibur menontonnya."

"Tidak, aku tidak suka melihat istriku menangis. Pokoknya, sampai kamu bawa yang aneh-aneh lagi, aku pecat!" ancam Bas.

"Iya, Pak, maaf. Saya permisi pulang kalau begitu."

"Terimakasih, ya, Ayana, sudah menemaniku hari ini." Amanda mengangsurkan bungkusan berisi martabak pada Ayana.

"Saya yang makasih, Bu. Sudah diterima bekerja di sini. Diajarin ngaji, diijinkan nonton." Setelah menerima pemberian Amanda, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.

Ia hendak melakukan hal yang sama saat melewati Bas. Namun lelaki itu cepat menarik tangannya. "Bukan mahram!" ucapnya dingin.

.

Sampai di halaman rumah, Ayana bertemu dengan Yudis yang baru saja membersihkan mobil tuannya.

"Hai, Yudis, aku pulang dulu, ya!" pamit Ayana.

"Kamu mau pulang?" tanya pemuda dua puluh satu tahun itu. "Aku juga sudah selesai. Kuantar, yuk!"

"Nggak usah Yudis," tolak Ayana. "Aku nggak mau merepotkan."

"Siapa bilang repot? Biar aku sekalian jalan-jalan. Bosen nganterin Pak Bagas terus, sekali-kali mau juga nganterin cewek cantik."

Ayana tergelak. "Kamu nggak cocok gombalin perempuan, auramu terlalu green flag!"

"Oh, ya? Kalau begini .." Yudis mengacak-acak rambutnya. "Udah kelihatan aura-aura badboynya belum?"

Lagi-lagi Ayana tertawa. "Kenapa harus bad boy sih? Jangan jadi bad boy, apalagi jadi angker kaya Pak Bas, hiyy."

"Ehem! Siapa yang angker Ayana?"

Ayana menelan ludah mendengar suara menyeramkan dari arah belakang lalu dengan gerakan slow motion menoleh. "Eh, Ba-Bapak, kok di sini?"

"Emang kenapa? Ini rumah saya, yang saya heran kenapa kamu sudah pamit pulang dari tadi, tapi masih di sini?"

Ayana hanya mampu tersenyum kecut tanpa menjawab apapun. Begitupun Yudis.

"Kalian ..." Bas menatap Ayana dan Yudis bergantian. "Akrab sekali. Pacaran?" tanya Bas yang membuat Ayana dan Yudis saling melirik.

"Dengar, ya, saya tidak suka ada pegawai saya yang pacaran. Nanti jadi tidak profesional!"

"Tapi, Tuan ..." sela Yudis ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi.

"Nggak ada tapi tapi. Tinggal pilih, putus hubungan atau putus kontrak kerja!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status