"Saya hanya mau mengeringkan baju Pak Bas yang basah Bu, maaf. Saya panik, takut dimarahi, takut Pak Bas masuk angin, jadi ..."
Mendengar jawaban Ayana, tak disangka Amanda malah tersenyum. Sepertinya Ayana benar-benar gadis yang polos dan tulus, tak ada maksud yang aneh-aneh pada suamiku. Begitu batin Amanda.
"Sudah, Sayang, kau masuklah. Mandi, ganti baju. Biar aku ngobrol dulu sama Ayana, ya," ucap Amanda lembut pada suaminya. "Sayang, kamu jangan salah sangka, aku ..." Amanda tersenyum sembari menggeleng. "Aku percaya padamu, masuklah."Amanda tahu, jika mau, Bas sudah dari dulu mendua bahkan mentiga darinya. Banyak wanita yang mendekati, dari Bas masih lajang sampai lelaki itu sudah menikahinya. Tak sedikit juga yang terang-terangan menyatakan bersedia menjadi istri kedua. Namun kenyataannya, lelaki itu masih setia, bahkan di saat ia sakit dan tidak bisa melayani suaminya dengan maksimal, Bas masih tetap tak melirik wanita secantik apapun ia.
“Baiklah, kalian ngobrol dulu. Ingat, jangan sungkan menolaknya, kalau kau merasa tidak cocok!" tegas Bas yang kemudian masuk ke dalam rumah.
"Ya, Sayang, tentu."
“Berapa umurmu Ayana?” tanya Amanda setelah mereka berdua sama-sama duduk di ruang tamu.
“19 tahun, Bu.”
“Muda sekali, kenapa kau malah mau bekerja merawat orang sakit?”
“Saya sebenarnya ingin kuliah, Bu. Tapi saya tidak punya uang. Makanya saya mau kerja apapun yang penting halal.” Ayana menjawab jujur. Ibunya yang hanya bekerja asisten rumah tangga paruh waktu di rumah orang, tak mampu membiayai kuliah. Mau cari beasiswa, Ayana sadar, ia juga bukan orang yang pintar-pintar amat.
“Memangnya apa cita-citamu, Ayana?” tanya Amanda lagi.
“Cita-cita? Emm, Apa ya, Bu?” Sejenak Ayana berpikir. Sewaktu kecil ia pernah bercita-cita ingn jadi guru, dokter, bahkan polisi. Tapi sekarang ia malah bingung ketika ditanya tentang cita-cita.
“Saya hanya ingin mengangkat derajat keluarga saja sih, bu. Nggak mau terus-terusan miskin. Teman-teman saya pada kuliah, jadi saya pikir, mungkin kalau saya kuliah, nanti bisa jadi orang kaya. Kalau nggak dapat pekerjaan dengan gaji yang besar, minimal bisa dapat jodoh orang kaya lah, Bu."
Amanda tertawa mendengar jawaban polos Ayana.
"Bener, kan, Bu. Kuliah itu kan tempatnya orang-orang kaya. Seperti itu tuh. Sanchai dia anak orang miskin, karena kuliah bisa dapat Tomingse yang tajir melintir. Tapi kira-kira, jurusan apa yang banyak orang kayanya ya, Bu?
Pertanyaan Ayana kembali membuat Amanda tergelak. Anak ini lucu juga, batin Amanda.
“Ah, saya kan kuliahnya masih lama Bu, nunggu ada dananya. Bisa tahun depan, dua tahun lagi, atau ... entahlah, tak usah dipikirkan dulu soal jurusan itu,” sambungnya.
“Hmmm, baiklah. Kalau begitu, sambil menunggu, kau bisa menemaniku di sini," putus Amanda. Di hari pertamanya bertemu dengan Ayana entah mengapa ia langsung merasa cocok. Semoga anak ini benar-benar bisa sabar dan tabah merawatku yang nanti pasti akan merepotkannya, batin Amanda.
“Eh, maksud Ibu?” tanya Ayana. Ia takut salah tangkap dengan ucapan calon majikannya itu.
“Kau kuterima bekerja di sini."
“Wah beneran, Bu?” Mata Ayana berbinar setelah melihat Amanda mengangguk sembari tersenyum.
“Semoga kau betah menemaniku ya, Ayana."
Saking gembiranya, Ayana spontan memeluk majikan barunya. “Aaaak… Terimakasih Bu.”
"Sudah, sudah, lepaskan aku.” Amanda tertawa. Melihat kebahagiaan Ayana, entah mengapa rasanya ia ikut berbahagia juga.
“Oh maaf Bu, saya lupa kalau belum mandi.” Segera Ayana melepaskan pelukannya.
“Bukan itu, kau memelukku terlalu erat, bisa-bisa aku mati bukan karena penyakitku, tapi karena sesak napas." Amanda berseloroh, lalu mereka berdua tertawa bersama.
Esok harinya, Ayana berlari-lari kecil menuju rumah Bas. Di halaman ia bertemu dengan Yudis yang sedang mencuci mobil tuannya.
“Hai,” sapanya.
“Yudis! Terimakasih, ya, berkat kamu aku dapat pekerjaan ini."
"Aku yang berterimakasih Ayana. Dengan adanya kamu, paling tidak aku merasa tenang, karena ada yang menjaga Ibu di rumah."
“Hmmm, apakah kamu beneran sopir, Yudis?” Ayana melihat Yudis dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Penampilan kamu keren, tidak seperti sopir.”
Hari ini Yudis mengenakan kemeja lengan pendek berwarna krem pas badan, celana mirip jins berwarna gelap dan sepatu kets.
“Kau memuji atau mengejek?” Yudis tertawa. “Memang penampilan sopir seperti apa?” tanyanya lagi.
“Supir bos yang kulihat di drakor itu, biasanya memakai, emmm..” Ayana nampak berpikir, mengingat-ingat penampilan sopir di drama Korea yang sering ditontonnya. “Ah ya, seragam safari berwarna gelap.”
“Kalau kamu… penampilanmu lebih mirip seperti… mahasiswa..” ujarnya.
“Sedikit benar, tapi kurang tepat,” jawab Yudis.
“Aku memang supir Pak Bagas, tapi aku juga diberi kesempatan oleh Pak Bagas untuk tetap bersekolah.” Ia menjelaskan.
“Jadi bener kamu anak kuliahan?” Ayana takjub, sungguh beruntung jadi supir di keluarga Pak Bagas, batinnya. Apakah sebagai perawat nyonya di rumah ini ia juga akan bernasib seberuntung Yudis?
Ah, Ayana segera menepis angan-angannya. Jika ingat bagaimana perlakuan Bas pada Ayana kemarin, rasanya mustahil.
“Bukan anak kuliahan," jawab Yudis. "Tapi aku mengambil kursus bahasa asing. Bahasa Jepang.”
“Waah hebat. Ohayo gozaimas…” Ayana mengucap kalimat Jepang yang paling dihapalnya, sambil menundukkan kepala, mengikuti gestur khas orang Jepang jika mengucap salam.
“Hahaha apa artinya itu?” tanya Yudis.
“Mana kutahu. Aku hanya sering mendengarnya di film kartun.” Ayana terkekeh.
“Ohya, kenapa kau tidak belajar bahasa Korea saja?” tanya Ayana yang memang gemar menonton drama Korea.
“Bahasa Korea? Kenapa harus bahasa Korea?” Yudis malah balik bertanya.
“Supaya aku tidak harus menunggu lama drama Korea bersubtitel Indonesia, kan ada kamu yang bisa terjemahin.”
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
Ayana ada-ada saja. Ah, gadis ini, sungguh mempunyai pribadi yang menyenangkan, batin Yudis. Baru kenal tapi sudah bisa membuatnya tertawa.
“Kamu sendiri, kenapa mau jadi perawat orang sakit?” tanya Yudis ketika tawa mereka mulai mereda.
Belum juga Ayana menjawab pertanyaan Yudis, tiba-tiba terdengar suara deheman dari belakang.
Bak adegan di film horror, secara slow motion, mereka berdua menoleh ke arah pemilik suara.
“Ngapain kamu masih di sini? Cepat temui istriku,” hardik Bas pada Ayana.
“Oh baik, Pak. Bapak sudah mau berangkat, ya?”
“Menurutmu? Saya jadi terlambat ke kantor karena menunggu perawat istriku datang.”
“Maaf, Pak.” Ayana membungkukkan badan di depan bosnya.
“Kalau begitu saya masuk dulu, Pak.” Ia lalu meraih tangan Bas, dan mencium puggung tangannya.
“Hei apa-apan kamu!” Cepat-cepat Bas menarik tangannya.
“Oh, ma-maaf Pak, kebiasaan sih cium tangan orang tua kalo berangkat kerja. Tadi saja saya cium tangannya sopir angkot, masa Pak. Untung supir angkotnya ganteng seperti Bapak, eh seperti Jo Jung Suk maksudnya. Bapak tau, kan? Aktor Korea yang main di drama Oh My Ghost."
“Bodo amat, mau aktor Korea, aktor korengan. Masuk sana! Banyak bicara kamu!”
Bas murka sementara Yudis setengah mati menahan tawa melihat kelakuan absurd Ayana.
Sebelum berlari masuk, diam-diam Ayana melambaikan tangan pada Yudis, lalu tanpa suara ia berucap. “Sampai jumpa nanti."
Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar majikannya menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.Ayana membuka pintu. “Assalamualaikum ...”“Waalaikumussalam… Oh kau Ayana.” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.“Besar sekali Al-Qurannya, Bu.”Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil.” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku b
Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO di perusahaan ternama, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon bua
“Ini tehnya, Sayang.” Bas meletakkan secangkir teh di atas meja teras. Tepat di samping meja itu, istrinya duduk di atas kursi roda.“Terimakasih, Bas. Seharusnya aku yang membuatkanmu teh.” Amanda tersenyum namun terlihat rona kesedihan di matanya. Ia ingat, dulu setiap sore ia selalu menyambut kepulangan Bas dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng.Semenjak sakit, tubuhnya semakin lemah, ia jadi mudah capek dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat. Kalaupun ingin memasakkan sesuatu untuk suaminya, hanya sebatas mengarahkan dan mbok Nem-lah yang mengeksekusi. Pernah suatu hari ia ingin membuatkan minuman untuk Bas, kecelakaan kecil terjadi, air panas yang seharusya ia tuang ke cangkir malah membasahi kakinya. Semenjak itu Bas melarang istrinya membuat sesuatu di dapur kalau tidak ada yang mendampingi.“Kenapa harus begitu?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu mengambil posisi duduk di satu sisi meja lainnya lalu meneguk tehnya.“Karena aku istrimu.”“Hmm, kau meremehkanku
Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana. “Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan. "Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu." Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta? Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta. “Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak." "Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit. “Beri saya
Minggu pagi menjelang siang, Ayana datang ke sebuah kafé. Ia sudah janjian dengan Yudis di kafe ini.“Kafénya bagus sekali, pasti harga makanannya mahal.” Ayana membatin, tampak ragu melangkahkan kaki masuk. Ia mengingat-ingat ada berapa uang di dompetnya, lalu memilih mengirim pesan pada Yudis dan menunggunya di dekat pintu masuk. Tak lama Yudis muncul. “Ayana, sudah lama?” “Hmmm 5 menitan mungkin.”“Kenapa tidak langsung masuk? Ayo!”Ayana megikuti langkah Yudis masuk ke dalam kafé.“Pesanlah!” Yudis menyodorkan buku menu setelah mereka menemukan tempat duduk. Ayana meihat-lihat dan nampak kaget dengan harga makanan yang tertera.“Kenapa kita janjian di sini, sih?” Gadis itu berbisik pada Yudis.“Ya, masa aku ajak calon istri bos ke warteg!” canda Yudis.“Hus!” Ayana mengibaskan tangan kirinya. “Aku nggak bawa banyak uang!” bisiknya lagi.“Tenang aja, Ay, hari ini aku yang traktir.”“Wah, gaji kamu banyak, ya?”“Haha, ya nggak juga.”“Hah, jadi Pak Bagas menggaji kamu sedikit?”Y
“Ayana, kamu cantik sekali,” puji Amanda saat melihat Ayana selesai dirias oleh make up artis pilihannya.“Terimakasih, Bu.” Ayana tersenyum canggung. Tak butuh waktu lama setelah ia menyetujui lamaran Bas, seminggu kemudian akad nikah diselenggarakan.“Hal yang baik harus disegerakan,” kata Amanda. “Acara kecil-kecilan saja di rumah. Cukup panggil penghulu, keluarga dekat, beberapa teman kantor Bas, dan perwakilan warga. Yang penting sah. Kau tidak keberatan kan, Ayana?” tanya Amanda saat itu.“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ayana. Ia bahkan berharap lebih baik tidak usah ada yang tahu pernikahan ini. Tapi Amanda menolak.“Pernikahan itu harus disiarkan, kalau tidak, akan menimbulkan fitnah.”Ayana pun menurut.“Oh, ya, mas kawin apa yang kau minta?” tanya Amanda kemudian.“Saya tidak mau apa-apa, Bu, kalau boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin… kuliah,” jawab Ayana ragu, apakah bosnya akan memenuhinya?“Tidak bisa!” Bas menjawab cepat.“Mas kawin itu berupa benda Ayana, mana ada mas ka
Bas terdiam cukup lama di depan kamarnya dan Ayana yang sudah disiapkan Amanda untuk malam pertama. Perasaan canggung, kuatir, ragu, kesal, berkecamuk di hatinya.“Bismillah ...” Ia bergumam pelan, lalu membuka pintu kamar.“Aaak ....” Ayana spontan menjerit, terkejut dengan kedatangan Bas yang tiba-tiba.Cepat-cepat Bas menutup pintu lalu membekap mulut Ayana. “Ayana, diam! Mengapa kau berteriak, orang akan berpikir yang tidak-tidak, jika mendengar!” bentaknya. Beberapa detik kemudian ia baru sadar, posisinya saat ini begitu dekat dengan Ayana, bahkan seperti memeluknya. Satu tangannya melingkar di bahu sementara satu tangannya lagi menutup mulut Ayana."Ehem, ma-maaf." Bas bergeser menjauh. Tapi ujian keimanannya tak hanya sampai di situ. Ia menelan ludah ketika baru menyadari busana yang dikenakan Ayana saat ini.“Ya Tuhaan Ayanaaa, kau pakai baju apaaa?” Bas
Terdengar suara berisik di dapur ketika Bas bangun. Ia menyingkap selimut yang membalut dirinya di atas sofa.“Sayang … kau lagi apa? Kau memasak?” Dengan mata masih setengah mengantuk bergegas Bas menuju dapur. Hari ini Mbok Nem tidak masuk, ia kuatir jika membiarkan Amanda sendirian di dapur.“Sayang, kau tidak perlu …” Kalimatnya terhenti ketika melihat bukan Amanda yang berada di ruangan itu.“Oh, kau, Ayana.”“Iya, Pak,” jawab Ayana sedikit kecewa, ia sempat berpikir panggilan sayang itu untuknya.“Bapak mau mandi air hangat?” Gadis itu menawarkan. Pemanas air otomatis sedang rusak sehingga ia harus memanaskan air secara manual jikalau suaminya ingin mandi air hangat. Terlalu banyak hal yang diurus menjelang pernikahan, hingga pemanas air yang rusak luput dari perhatian seisi rumah. “Ya, boleh.”“Bapak mau sarapan apa? Nasi goreng atau roti?” Ia bertanya lagi.“Roti saja," jawab Bas lantas membalikkan badan.“Beritahu aku jika airnya sudah siap.” Bas berlalu dari dapur, meningga