Share

7. Sandal Jepit Cinta

Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana. 

“Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan. 

"Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu." 

Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta?  Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta. 

“Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."

Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak." 

"Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit. 

“Beri saya waktu untuk berpikir mau minta apa. Minta dibangunin rumah, dibelikan mobil mewah, perhiasan, boleh, kan, Pak?" Tanpa menunggu jawaban, ia lantas melenggang masuk ke dalam rumah, meninggalkan bosnya yang seketika menganga.

"Dasar, Ayana. Astaga bagaimana mungkin aku menikah dengan bocah ingusan seperti itu? " 

***************

“Buk, nikah itu enak nggak sih?” tanya Ayana ketika ia dan ibunya sama-sama menonton sinetron yang sedang dijeda iklan. Hari ini hari Sabtu, Ayana libur kerja. Tapi tidak setiap Sabtu ia bisa libur. Jika kebetulan Bas ada urusan pekerjaan, Ayana tetap harus masuk menemani Amanda.

“Ya, tergantung nikahnya sama siapa,” jawab Bu Widya-ibunya, sambil memencet tombol remote, mengganti channel, barangkali saja di saluran lain ada sinetron yang sedang tidak iklan.

“Kalo nikahnya sama orang kaya, tampan, dan baik hati?” tanya Ayana lagi. 

“Ya ... semua juga mau dapat suami kaya gitu, Ay,” jawab Ibu yang masih terus fokus dengan televisi di depannya.

“Hmm, tapi ... jadi istri kedua ...” kata Ayana lagi.

Bu Widya menoleh kaget.

“Apa kamu bilang? Kamu mau jadi istri kedua?” Wanita itu lantas menghujani Ayana dengan cubitan.

Ayana melompat dari tempat duduknya menghindar. 

“Nggak, Bu, kan cuma misal.”

“Nggak mungkin! Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan? Kenapa? kamu suka sama laki-laki beristri ha?” Ibunya murka.

“Nggak, Bu, nggak.”

“Ayo, jawab jujur!” Sang ibu memukul lengannya cukup keras hingga Ayana berlari menjauh.

"Nggak, Bu, sumpah, nggak!”

“Jangan bohong Ayana! Kita memang miskin tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Sini kamu sini!” panggil Bu Widya yang kini sudah berdiri di ujung pintu ruang tamu.

“Sini, nggak?” Kali ini tangan ibunya mengangkat sandal di tangan, siap melemparkan ke arah sang anak.

Ayana berteriak kecil sambil berlari keluar. Sementara ibunya yang geram melemparkan sandal ke arahnya.

“Plak!”

Sandal di tangan ibunya melayang dan mendarat tepat di wajah ... Pak Bas!

“Per-mi-si.” Bas menyelesaikan salamnya dengan terbata.

“Bapak?!” Ayana kaget mengapa bosnya tiba-tiba muncul di rumahnya.

“Aduh, Pak, kita ke dokter ya, mau saya telponin ambulans?” tanyanya panik. Tangannya reflek hendak menyentuh kening Bas yang terkena lemparan sandal, tapi Bas dengan sigap menghindar.

“Istri macam apa yang kau pilihkan untukku Amanda?” bisiknya pada sang istri yang berdiri di sebelahnya.

Amanda hanya tertawa. “Dia lucu sekali, kan?”

“Ya ampun, ada tamu. Maaf-maaf, aduh ..., saya nggak sengaja. " Bu Widya tergopoh-gopoh mendatangi Bas.

“Oh, tidak apa-apa, Bu,” jawab Amanda sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa gimana?” Bas menggumam pelan." Bisa-bisanya suami dilempar sandal, kamu bilang tidak apa-apa?"

"Ssst." Amanda memberi isyarat agar Bas tidak meneruskan ucapannya. Ia merasa tak enak kalau ibunda Ayana ikut mendengar 

“Masuk-masuk. " Dengan ramah, Bu Widya mempersilakan tamunya. 

“Saya Amanda, Bu. Ini suami saya, Bas. Ayana bekerja di rumah kami. ” Amanda memperkenalkan diri setelah mereka semua duduk di ruang tamu.

“Oh, iya, iya, maafkan saya Pak, Bu. Aduh ... Ayana kok tidak bilang kalau Bapak Ibu mau kemari, kami jadi tidak menyiapkan apa-apa.”

“Kami memang belum bilang sama Ayana kok, Bu. Tiba-tiba saja saya kepikiran ingin ke sini.”

“Ayana, buatkan teh!” perintah ibunya setengah berbisik. Ayana menurut, ia berjalan ke dapur.

“Ayana sering cerita tentang Ibu dan Bapak,” ucap Bu Widya berbasa-basi.

“Katanya, Bu Amanda baik, cantik ... dan ... Pak Bas ...” Ia terdiam sesaat. Ayana selalu bilang kalau bos laki-lakinya ketus, pemarah, menyebalkan. Tapi, mana mungkin hal itu ia ucapkan saat ini.

“Ah, Pak Bas katanya perhatian sekali sama istri." Akhirnya ia menemukan kalimat pujian yang pas untuk Bas.

Amanda tertawa kecil, lalu balas memuji Ayana, “Anak ibu juga bekerja sangat baik. Dia sangat sabar merawat orang sakit dan selalu ceria. Saya suka.”

“Alhamdulillah saya senang mendengarnya, Bu.”

“Oh, iya, Bu. Jadi begini, maksud kedatangan kami ke sini … kami… mau melamar Ayana, Bu.”

Klontang, klontang.

Terdengar suara berisik di dapur. Ayana yang bisa mendengar percakapan di ruang tamu, tak sengaja menjatuhkan sendok dan piring. Kaget, ternyata itu maksud kedatangan kedua bosnya.

“Masya Allah … untuk siapa, Bu? Adik, ponakan, anak tetangga?” Terlihat rona bahagia di raut wajah Bu Widya, tentu saja ia senang kalau anaknya dipersunting orang kaya.

“Untuk ... suami saya.”

Ibu Widya menelan ludah, memandang Bas dan Amanda bergantian.

“Ma-maksud Ibu?”

“Saya ingin Ayana menikah dengan suami saya.”

Saat hening masih menguasai keadaan di ruang tamu, Ayana keluar dengan membawa dua gelas teh di nampan.

“Silakan, Bu, Pak." Sedikit gemetar ia meletakkannya di atas meja.

“Terimakasih Ayana, kau duduklah di sini bersama kami,” ujar Amanda yang lalu bercerita pada Bu Widya tentang penyakitnya, kegundahan hatinya, sampai keyakinannya bahwa Ayana adalah perempuan yang cocok untuk mendampingi suaminya. Sementara Bas hanya diam, sambil menggenggam tangan istrinya erat. 

“Saya harap Ayana mau menerima pinangan suami saya dan Ibu juga mau memberikan restu.”

Ayana menarik napas dan menghembuskan perlahan. Pinangan Pak Bas? Bahkan Bapak tak mengucapkan sepatah katapun, batin Ayana. Pak Bas tidak menginginkannya. Lelaki itu melakukan ini karena mencintai istrinya, bukan mencintai dirinya.

Selepas menghabiskan teh yang disuguhkan Ayana, Amanda pamit pulang. Ia memang belum mendapat jawaban, tapi setidaknya merasa lega sudah mengabarkan ini pada ibunda Ayana. Semoga ibunya bisa meyakinkan Ayana untuk menjadi istri kedua Bas, begitu harapannya.

“Terima saja pinangan bosmu, Ay,” saran Bu Widya selepas mobil Bas hilang dari pandangan. 

“Kata Ibu, Ayana nggak boleh jadi istri kedua? Gimana,  sih?” Ayana cemberut, ibunya plinplan, begitu hatinya berkata.

“Sekarang Ibu tanya, apakah Bu Amanda orang baik?”

Ayana mengangguk. “Baik. Baik banget malah.”

“Kalau begitu, balas kebaikannya. Menikahlah dengan suaminya,” ucap sang ibu seraya membelai kepala putri semata wayangnya.

“Tauk, ah, Bu! Ayana pusing!” Ayana meninggalkan ibunya, masuk ke dalam kamar. Sambil berbaring dan menatap langit-langit kamar, ia kembali mengingat permintaan Amanda. Menimbang-nimbang. Sebaiknya ia tolak atau terima.

Ia lalu teringat akan seseorang. Yudis. Mungkin Yudis bisa dimintai pendapat mengenai hal ini.

Segera ia meraih ponsel. Menekan tuts bertuliskan angka-angka.

“Ayana?” sapa Yudis di sambungan telepon.

“Dis, ada yang mau aku tanyakan,” kata Ayana.

“Tentang Pak Bagas?” tebak Yudis.

“Kamu sudah tahu?”

“Hem ... Ayana, mari bertemu.”

Rahmi Aziza

Yang suka cerita ini kasih vote nya yaaa dan komen yang rameee

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status