Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana.
“Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan.
"Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu."
Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta? Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta.
“Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."
Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak."
"Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit.
“Beri saya waktu untuk berpikir mau minta apa. Minta dibangunin rumah, dibelikan mobil mewah, perhiasan, boleh, kan, Pak?" Tanpa menunggu jawaban, ia lantas melenggang masuk ke dalam rumah, meninggalkan bosnya yang seketika menganga.
"Dasar, Ayana. Astaga bagaimana mungkin aku menikah dengan bocah ingusan seperti itu? "
***************
“Buk, nikah itu enak nggak sih?” tanya Ayana ketika ia dan ibunya sama-sama menonton sinetron yang sedang dijeda iklan. Hari ini hari Sabtu, Ayana libur kerja. Tapi tidak setiap Sabtu ia bisa libur. Jika kebetulan Bas ada urusan pekerjaan, Ayana tetap harus masuk menemani Amanda.
“Ya, tergantung nikahnya sama siapa,” jawab Bu Widya-ibunya, sambil memencet tombol remote, mengganti channel, barangkali saja di saluran lain ada sinetron yang sedang tidak iklan.
“Kalo nikahnya sama orang kaya, tampan, dan baik hati?” tanya Ayana lagi.
“Ya ... semua juga mau dapat suami kaya gitu, Ay,” jawab Ibu yang masih terus fokus dengan televisi di depannya.
“Hmm, tapi ... jadi istri kedua ...” kata Ayana lagi.
Bu Widya menoleh kaget.
“Apa kamu bilang? Kamu mau jadi istri kedua?” Wanita itu lantas menghujani Ayana dengan cubitan.
Ayana melompat dari tempat duduknya menghindar.
“Nggak, Bu, kan cuma misal.”
“Nggak mungkin! Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan? Kenapa? kamu suka sama laki-laki beristri ha?” Ibunya murka.
“Nggak, Bu, nggak.”
“Ayo, jawab jujur!” Sang ibu memukul lengannya cukup keras hingga Ayana berlari menjauh.
"Nggak, Bu, sumpah, nggak!”
“Jangan bohong Ayana! Kita memang miskin tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Sini kamu sini!” panggil Bu Widya yang kini sudah berdiri di ujung pintu ruang tamu. “Sini, nggak?” Kali ini tangan ibunya mengangkat sandal di tangan, siap melemparkan ke arah sang anak. Ayana berteriak kecil sambil berlari keluar. Sementara ibunya yang geram melemparkan sandal ke arahnya.“Plak!”
Sandal di tangan ibunya melayang dan mendarat tepat di wajah ... Pak Bas!
“Per-mi-si.” Bas menyelesaikan salamnya dengan terbata. “Bapak?!” Ayana kaget mengapa bosnya tiba-tiba muncul di rumahnya.“Aduh, Pak, kita ke dokter ya, mau saya telponin ambulans?” tanyanya panik. Tangannya reflek hendak menyentuh kening Bas yang terkena lemparan sandal, tapi Bas dengan sigap menghindar.
“Istri macam apa yang kau pilihkan untukku Amanda?” bisiknya pada sang istri yang berdiri di sebelahnya.
Amanda hanya tertawa. “Dia lucu sekali, kan?”
“Ya ampun, ada tamu. Maaf-maaf, aduh ..., saya nggak sengaja. " Bu Widya tergopoh-gopoh mendatangi Bas.
“Oh, tidak apa-apa, Bu,” jawab Amanda sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa gimana?” Bas menggumam pelan." Bisa-bisanya suami dilempar sandal, kamu bilang tidak apa-apa?"
"Ssst." Amanda memberi isyarat agar Bas tidak meneruskan ucapannya. Ia merasa tak enak kalau ibunda Ayana ikut mendengar
“Masuk-masuk. " Dengan ramah, Bu Widya mempersilakan tamunya.
“Saya Amanda, Bu. Ini suami saya, Bas. Ayana bekerja di rumah kami. ” Amanda memperkenalkan diri setelah mereka semua duduk di ruang tamu.
“Oh, iya, iya, maafkan saya Pak, Bu. Aduh ... Ayana kok tidak bilang kalau Bapak Ibu mau kemari, kami jadi tidak menyiapkan apa-apa.”
“Kami memang belum bilang sama Ayana kok, Bu. Tiba-tiba saja saya kepikiran ingin ke sini.”
“Ayana, buatkan teh!” perintah ibunya setengah berbisik. Ayana menurut, ia berjalan ke dapur.
“Ayana sering cerita tentang Ibu dan Bapak,” ucap Bu Widya berbasa-basi.
“Katanya, Bu Amanda baik, cantik ... dan ... Pak Bas ...” Ia terdiam sesaat. Ayana selalu bilang kalau bos laki-lakinya ketus, pemarah, menyebalkan. Tapi, mana mungkin hal itu ia ucapkan saat ini.“Ah, Pak Bas katanya perhatian sekali sama istri." Akhirnya ia menemukan kalimat pujian yang pas untuk Bas.
Amanda tertawa kecil, lalu balas memuji Ayana, “Anak ibu juga bekerja sangat baik. Dia sangat sabar merawat orang sakit dan selalu ceria. Saya suka.”
“Alhamdulillah saya senang mendengarnya, Bu.”
“Oh, iya, Bu. Jadi begini, maksud kedatangan kami ke sini … kami… mau melamar Ayana, Bu.”
Klontang, klontang.
Terdengar suara berisik di dapur. Ayana yang bisa mendengar percakapan di ruang tamu, tak sengaja menjatuhkan sendok dan piring. Kaget, ternyata itu maksud kedatangan kedua bosnya.
“Masya Allah … untuk siapa, Bu? Adik, ponakan, anak tetangga?” Terlihat rona bahagia di raut wajah Bu Widya, tentu saja ia senang kalau anaknya dipersunting orang kaya.
“Untuk ... suami saya.”
Ibu Widya menelan ludah, memandang Bas dan Amanda bergantian.
“Ma-maksud Ibu?”
“Saya ingin Ayana menikah dengan suami saya.”
Saat hening masih menguasai keadaan di ruang tamu, Ayana keluar dengan membawa dua gelas teh di nampan.
“Silakan, Bu, Pak." Sedikit gemetar ia meletakkannya di atas meja.
“Terimakasih Ayana, kau duduklah di sini bersama kami,” ujar Amanda yang lalu bercerita pada Bu Widya tentang penyakitnya, kegundahan hatinya, sampai keyakinannya bahwa Ayana adalah perempuan yang cocok untuk mendampingi suaminya. Sementara Bas hanya diam, sambil menggenggam tangan istrinya erat.
“Saya harap Ayana mau menerima pinangan suami saya dan Ibu juga mau memberikan restu.”
Ayana menarik napas dan menghembuskan perlahan. Pinangan Pak Bas? Bahkan Bapak tak mengucapkan sepatah katapun, batin Ayana. Pak Bas tidak menginginkannya. Lelaki itu melakukan ini karena mencintai istrinya, bukan mencintai dirinya.
Selepas menghabiskan teh yang disuguhkan Ayana, Amanda pamit pulang. Ia memang belum mendapat jawaban, tapi setidaknya merasa lega sudah mengabarkan ini pada ibunda Ayana. Semoga ibunya bisa meyakinkan Ayana untuk menjadi istri kedua Bas, begitu harapannya.
“Terima saja pinangan bosmu, Ay,” saran Bu Widya selepas mobil Bas hilang dari pandangan.
“Kata Ibu, Ayana nggak boleh jadi istri kedua? Gimana, sih?” Ayana cemberut, ibunya plinplan, begitu hatinya berkata.
“Sekarang Ibu tanya, apakah Bu Amanda orang baik?”
Ayana mengangguk. “Baik. Baik banget malah.”
“Kalau begitu, balas kebaikannya. Menikahlah dengan suaminya,” ucap sang ibu seraya membelai kepala putri semata wayangnya.
“Tauk, ah, Bu! Ayana pusing!” Ayana meninggalkan ibunya, masuk ke dalam kamar. Sambil berbaring dan menatap langit-langit kamar, ia kembali mengingat permintaan Amanda. Menimbang-nimbang. Sebaiknya ia tolak atau terima.
Ia lalu teringat akan seseorang. Yudis. Mungkin Yudis bisa dimintai pendapat mengenai hal ini.
Segera ia meraih ponsel. Menekan tuts bertuliskan angka-angka.
“Ayana?” sapa Yudis di sambungan telepon.
“Dis, ada yang mau aku tanyakan,” kata Ayana.
“Tentang Pak Bagas?” tebak Yudis.
“Kamu sudah tahu?”
“Hem ... Ayana, mari bertemu.”
Yang suka cerita ini kasih vote nya yaaa dan komen yang rameee
Minggu pagi menjelang siang, Ayana datang ke sebuah kafé. Ia sudah janjian dengan Yudis di kafe ini.“Kafénya bagus sekali, pasti harga makanannya mahal.” Ayana membatin, tampak ragu melangkahkan kaki masuk. Ia mengingat-ingat ada berapa uang di dompetnya, lalu memilih mengirim pesan pada Yudis dan menunggunya di dekat pintu masuk. Tak lama Yudis muncul. “Ayana, sudah lama?” “Hmmm 5 menitan mungkin.”“Kenapa tidak langsung masuk? Ayo!”Ayana megikuti langkah Yudis masuk ke dalam kafé.“Pesanlah!” Yudis menyodorkan buku menu setelah mereka menemukan tempat duduk. Ayana meihat-lihat dan nampak kaget dengan harga makanan yang tertera.“Kenapa kita janjian di sini, sih?” Gadis itu berbisik pada Yudis.“Ya, masa aku ajak calon istri bos ke warteg!” canda Yudis.“Hus!” Ayana mengibaskan tangan kirinya. “Aku nggak bawa banyak uang!” bisiknya lagi.“Tenang aja, Ay, hari ini aku yang traktir.”“Wah, gaji kamu banyak, ya?”“Haha, ya nggak juga.”“Hah, jadi Pak Bagas menggaji kamu sedikit?”Y
“Ayana, kamu cantik sekali,” puji Amanda saat melihat Ayana selesai dirias oleh make up artis pilihannya.“Terimakasih, Bu.” Ayana tersenyum canggung. Tak butuh waktu lama setelah ia menyetujui lamaran Bas, seminggu kemudian akad nikah diselenggarakan.“Hal yang baik harus disegerakan,” kata Amanda. “Acara kecil-kecilan saja di rumah. Cukup panggil penghulu, keluarga dekat, beberapa teman kantor Bas, dan perwakilan warga. Yang penting sah. Kau tidak keberatan kan, Ayana?” tanya Amanda saat itu.“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ayana. Ia bahkan berharap lebih baik tidak usah ada yang tahu pernikahan ini. Tapi Amanda menolak.“Pernikahan itu harus disiarkan, kalau tidak, akan menimbulkan fitnah.”Ayana pun menurut.“Oh, ya, mas kawin apa yang kau minta?” tanya Amanda kemudian.“Saya tidak mau apa-apa, Bu, kalau boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin… kuliah,” jawab Ayana ragu, apakah bosnya akan memenuhinya?“Tidak bisa!” Bas menjawab cepat.“Mas kawin itu berupa benda Ayana, mana ada mas ka
Bas terdiam cukup lama di depan kamarnya dan Ayana yang sudah disiapkan Amanda untuk malam pertama. Perasaan canggung, kuatir, ragu, kesal, berkecamuk di hatinya.“Bismillah ...” Ia bergumam pelan, lalu membuka pintu kamar.“Aaak ....” Ayana spontan menjerit, terkejut dengan kedatangan Bas yang tiba-tiba.Cepat-cepat Bas menutup pintu lalu membekap mulut Ayana. “Ayana, diam! Mengapa kau berteriak, orang akan berpikir yang tidak-tidak, jika mendengar!” bentaknya. Beberapa detik kemudian ia baru sadar, posisinya saat ini begitu dekat dengan Ayana, bahkan seperti memeluknya. Satu tangannya melingkar di bahu sementara satu tangannya lagi menutup mulut Ayana."Ehem, ma-maaf." Bas bergeser menjauh. Tapi ujian keimanannya tak hanya sampai di situ. Ia menelan ludah ketika baru menyadari busana yang dikenakan Ayana saat ini.“Ya Tuhaan Ayanaaa, kau pakai baju apaaa?” Bas
Terdengar suara berisik di dapur ketika Bas bangun. Ia menyingkap selimut yang membalut dirinya di atas sofa.“Sayang … kau lagi apa? Kau memasak?” Dengan mata masih setengah mengantuk bergegas Bas menuju dapur. Hari ini Mbok Nem tidak masuk, ia kuatir jika membiarkan Amanda sendirian di dapur.“Sayang, kau tidak perlu …” Kalimatnya terhenti ketika melihat bukan Amanda yang berada di ruangan itu.“Oh, kau, Ayana.”“Iya, Pak,” jawab Ayana sedikit kecewa, ia sempat berpikir panggilan sayang itu untuknya.“Bapak mau mandi air hangat?” Gadis itu menawarkan. Pemanas air otomatis sedang rusak sehingga ia harus memanaskan air secara manual jikalau suaminya ingin mandi air hangat. Terlalu banyak hal yang diurus menjelang pernikahan, hingga pemanas air yang rusak luput dari perhatian seisi rumah. “Ya, boleh.”“Bapak mau sarapan apa? Nasi goreng atau roti?” Ia bertanya lagi.“Roti saja," jawab Bas lantas membalikkan badan.“Beritahu aku jika airnya sudah siap.” Bas berlalu dari dapur, meningga
“Ayana, lihatlah!” Amanda menyodorkan gawainya pada Ayana. Sudah sekitar setengah jam ia sibuk menggeser-geser layar ponsel.“Menurutmu ini bagus?” Amanda menunjukkan foto sebuah kamar hotel bintang lima. Kamarnya luas dan mewah. Di slide setelahnya ada foto kamar mandi hotel lengkap dengan bath up. Lalu ada juga foto kolam renang dan pemandangan hotel yang asri nan indah.“Waaah, bagus sekali, Bu." Ayana takjub.“Tapi kalau saya sih nggak akan nyaman tidur di tempat sebagus itu,” sambungnya.“Kenapa?” Amanda menatap heran pada Ayana, katanya bagus sekali mengapa tak nyaman?“Sepanjang malam saya pasti nggak bisa tidur mikirin besok makan apa,” jawab Ayana polos.Tawa amanda pecah mendengarnya. “Mengapa memikirkan besok makan apa? Tentu saja makan enak di hotel."“Terus setelahnya saya puasa sebulan, dong, Bu. Harga kamarnya saja senilai biaya makan sebulan.
"Woee pengantin baru!" Al menepuk-nepuk pundak Bas. Ia merupakan bawahan yang juga teman baik Bas. Di kantor ini, lelaki bernama lengkap Alfano itu menjabat sebagai manager divisi social media.Bas hanya menanggapi Al dengan decakan lalu kembali fokus ada pekerjaannya, mengecek dokumen yang harus ditandatangani."Gimana rasanya punya istri masih muda belia, Bro? Malam pertama, aman, kan? Kalo mau, aku punya video edukasi tentang pst pst ..."Kalimat terakhir yang dibisikkan Al di dekat telinga Bas membuat lelaki itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. "Nggak perlu!""Weitts, udah bisa ngajarin sendiri, ya, Bro. Ya namanya juga udah pengalaman yee." Al menaik turunkan alis lantas tertawa. Tapi bagi Bas itu tidak lucu."Kuberi tahu ya, kalau kau berniat punya istri lebih dari satu, kusarankan, JA-NGAN!"Dahi lelaki yang masih lajang di usianya yang ke 34 tahun ini mengernyit. Padahal, beberapa temannya banyak yang ingin nambah istri meski itu hanya kelakar belaka. "Kenapa, Bro?""Ca
Pukul empat sore, Ayana dan Bas tiba di hotel yang telah dipesan oleh Amanda beberapa hari lalu. Benar kata Amanda, Bas pasti mau. Ya meski terpaksa, Bas tidak akan menolak apapun yang Amanda pinta. Ia terlalu mencintai wanita itu.“Saya mau check in, Mbak.” Bas menunjukkan bukti pembayaran kamar pada salah seorang resepsionis.“Oh, baik, Pak, tunggu sebentar.”“Apa masih tersedia kamar? saya mau membooking satu kamar lagi,” ucap Bas saat resepsionis tengah mengetikkan sesuatu pada komputernya.“Baik, sebentar, Pak, saya cek dulu.”“Bapak pesan kamar lagi? Buat siapa Pak?” Ayana bertanya lirih.“Tentu saja untuk kita. Kau dan aku, kita akan menempati kamar sendiri-sendiri,” bisik Bas dengan suara tegas.Ayana menghembuskan napas. Kecewa. Lantas untuk apa bulan madu ini?“Maaf, Pak, ternyata semua kamar full booked,” ucap mbak
Ayana mempercepat langkah, tak sedikitpun menoleh pada sekumpulan pemuda itu.Tapi samar-samar ia mendengar ada suara langkah kaki di belakangnya. Seseorang seperti sedang mengikutinya. Keringat dingin menetes deras di wajahnya juga membasahi telapak tangannya. Suara derap langkah kakipun semakin dekat terdengar.Tiba-tiba seseorang menggenggam dengan kuat sebelah tangannya….“Aaaaak …!" Spontan Ayana berteriak.“Ayana, diamlah, ini aku!”Ayana membuka mata.“Bapak!” Ia memeluk Bas saking takut sekaligus leganya. Ulu hati Bas dapat merasakan jantung Ayana yang bedetak sangat cepat.“Ayana, lepaskan aku. Orang-orang bisa berpikir kita sedang berbuat mesum jika berpelukan seperti ini!”Ayana sadar, segera melepaskan pelukannya.“Sudah kubilang, kan, tunggu aku. Mengapa kau pergi duluan, hah?” Bas mengguncang pelan kedua pundak Ayana.“Bapak lama!”“Aku harus menelepon istriku memastikan ia baik-baik saja.”“Tapi saya juga istri Bapak, kan?”Sebuah motor besar dengan suara knalpot yang be
“Hmm… Harum sekali ....” ucap Bas begitu menginjakkan kaki ke ruang makan. Di sana kedua istrinya sudah berkumpul mempersiapkan sarapan. Ayana memasak sementara Amanda menata meja makan sambil duduk di kursi rodanya.“Ayana masak nasi goreng kemangi Bas,” jawab Amanda yang lalu mendapat satu kecupan Bas di keningnya.“Oh, ya?” Bas lalu beralih menuju dapur di mana Ayana sedang berdiri di depan kompor, mengaduk nasi dengan spatula di atas wajan.“Kelihatannya enak.”Ayana menoleh ketika Bas mengecup pipinya. Semenjak kedatangan Bu Ratih, memang sikap Bas sedikit demi sedikit mulai mencair terhadapnya. Pasti Bu Ratih memberi nasihat yang banyak pada anak lelaki semata wayangnya itu, tebak Ayana.Mencium kedua istrinya adalah rutinitas Bas setiap pagi sebelum berangkat kantor dan sore sepulang kerja. Tanpa perlu disuruh Amanda lagi, Bas akan memberikannya juga untuk Ayana. Terkesan tulus, tak lagi terpaksa seperti sebelumnya.Bas juga tak lagi menjadikan kehamilan Amanda sebagai alasan un
“Silakan tehnya Nyonya, Den Bagas…” Mbok Nem meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Satu untuk Bas, satu lagi untuk Bu Ratih ibunda Bas yang baru datang dari kota sebelah untuk mengunjungi anak mantunya. “Terimakasih, Mbok,” sahut Bu Ratih. “Mbok sekarang ke rumah Amanda saja ya, siapa tahu dia butuh sesuatu, saya mau di sini dulu bicara pada Bas.”“Baik, Nyonya.” Mbok Nem paham, ada hal penting dan pribadi yang akan dibicarakan Bu Ratih pada anaknya, maka iapun bergegas pergi.Bu Ratih mengambil cangkir tehnya, minum seteguk, lalu menarik napas panjang. “Bas… Bas…” Ia mengusap-usap penuh sayang kepala sang anak.“Ternyata, jatuh cinta bisa membuat orang sekacau ini, ya," ujarnya. "Meski sudah tua." Ia lalu tertawa kecil.Bu Ratih datang tepat saat Bas melayangkan tinjunya pada Yudis, tapi ia memilih untuk cepat-cepat datang ke rumah Amanda, memastikan bahwa mantunya tidak mengetahui apa yang terjadi dengan suaminya. “Bukan masalah jatuh cinta, Bu, tapi aku ini suaminya. Di mana ha
Tiga puluh menit Bas dan Amanda duduk di meja makan, tapi Ayana tak jua datang untuk sarapan seperti biasa. Bas melirik arlojinya dengan gelisah.Kemana anak itu? Apa ia masih marah karena kejadian kemarin?“Coba kau tengok ke rumahnya, Bas.” Amanda memberi saran. Meski tidak diungkapkan ia tahu, suaminya menunggu Ayana. "Rumahnya? Rumah siapa?" tanya Bas, pura-pura tak paham."Tentu saja rumah Ayana, Bas. Kau menunggu dia, kan?" "Hah? Menunggu? Tidak sama sekali. Biarkan saja, mungkin dia belum lapar." Bas mulai menyuap sarapannya, berusaha terlihat tak peduli. "Bas, ayolah. Apa aku yang harus ke sana?" “Eh, jangan-jangan, Sayang. Biar aku saja kalau kau memaksa." Bas pun beranjak, menuju rumah Ayana.Tanpa mengetuk, Bas membuka pintu rumah lalu menuju kamar Ayana. Ia dapati Ayana masih meringkuk di atas ranjang dengan selimut.“Astaga, kau masih tidur?” Bas berdecak. Ia melangkahkan kaki mendekati ranjang.“Semalam kau pasti begadang gara-gara menonton drama Korea lagi, kan.” Lel
Pagi hari, Ayana sudah berpakaian rapi ketika tiba di rumah Amanda untuk sarapan. Sudah menjadi rutinitas mereka bertiga untuk sarapan bersama sebelum Bas berangkat ke kantor.“Cantik sekali Ayana,” puji Amanda begitu melihat adik madunya datang.Bas yang tengah mengupas apel untuk Amanda melirik, ingin mengatakan hal yang sama namun ia urungkan, cukuplah dalam hati saja.Ayana tersenyum, menarik kursi kosong di samping Amanda lalu duduk.“Biar saya, Pak!” Ia menengadahkan tangan kanannya, meminta apel yang dipegang Bas. “Bapak sarapan saja.”Bas menurut, diserahkannya apel itu pada Ayana tanpa kata, lalu mengambil roti tawar di atas meja dan mengolesnya dengan selai.“Kau sudah belajar semalam?” tanya Amanda. Hari ini Ayana akan berangkat untuk ujian masuk Universitas Negeri.“Sudah, Bu.”“Baguslah, semoga lulus, ya, Ayana. Kau bisa kuliah di tempat yang kau impikan.”“Terimakasih, Bu,” ucap Ayana lalu memberikan sepiring apel yang sudah ia kupas dan potong-potong pada Amanda. Setelah
“Wah selamat Pak Bas, Bu Amanda, dua garis merah. Ibu hamil!”Beberapa detik hening terjadi, suasana menjadi tegang dan canggung. Semua orang tahu, Bas dan Amanda sudah lama mengharapkan kehadiran buah hati, akan tetapi kehamilan ini pasti beresiko besar bagi Amanda yang tengah mengidap kanker otak stadium empat.“MasyaAllah… Alhamdulillah… Allahuakbar…” Ucapan syukur Amanda yang bertubi-tubi memecah keheningan itu.“Bas, setelah tujuh tahun akhirnya kita akan punya anak!” Air mata bahagia membasahi pipi Amanda.Bas hanya tersenyum tipis menanggapi istrinya. Antara bahagia dan perasaan takut melebur menjadi satu. Ia juga merutuki kecerobohannya sehingga hal ini bisa terjadi, padahal setiap melakukannya dengan Amanda, ia selalu menggunakan “pengaman”.“Ayana… aku akan menjadi ibu!” Amanda memeluk Ayana yang berdiri di sisinya.“Selamat, Bu ...” ucap Ayana sambil mengusap-usap punggung Amanda.Setelah Bu Bidan pergi, Ayana dan Mbok Nem turut serta meninggalkan kamar, membiarkan Bas dan A
Dengan cepat Bas berbalik, mencengkram bahu Yudis.“Apa-apaan kamu Yudis, mau mengejar istriku? Enak saja!”“Nih!” Bas meletakkan kunci mobil pada telapak tangan Yudis.“Antar dia kembali ke kantor!” perintah Bas sembari menoleh pada perempuan yang bersamanya tadi.Ayana baru akan melangkahkan kakinya menyebrang jalan ketika Bas datang, menggenggam sebelah tangannya lalu menariknya dalam pelukan.“Mau ke mana?” bisiknya di telinga Ayana.Cepat-cepat Ayana melepaskan pelukan Bas. “Bapak! Malu-maluin peluk-peluk di jalan!”Beberapa mata nampak melirik ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik-bisik.“Ayo istriku, kita pulang.” Sengaja Bas mengeraskan suaranya agar orang-orang tak salah paham. Ia menggandeng tangan istrinya lantas melangkah masuk kembali ke dalam resto. Merasa perlu memberikan klarifikasi tentang perempuan yang datang bersamanya tadi.“Dia sekretarisku,” kata Bas setelah mereka duduk di salah satu sudut resto dan memesan minuman.“Sekretaris?” Ayana tidak percaya. Mana
. .“Ih, Bapak PHP!” teriak Ayana kesal.“PHP apa? Dengar Ayana.” Bas menggenggam tangan mungil Ayana.“Jangan pernah berharap apapun dariku, nanti kau akan sakit hati. Ingat, kan, dengan kesepakatan kita dulu…”“Iya ... iya, Saya boleh minta apapun, kecuali minta Bapak untuk mencintai saya, kan!” Ayana memotong cepat.“Pintar! Sekarang tidur!” Bas tersenyum seraya mengacak lembut rambut Ayana. Ia lalu melangkah menuju kamar.“Pak, apa kita tidur di kamar terpisah?” tanya Ayana. Ia teringat saat bulan madu di hotel, Bas sempat berniat memesan kamar lagi agar mereka tidak berada dalam satu kamar. Di rumahnya ini memang ada dua kamar, tapi baru satu kamar yang berisi perabotan, kamar satunya masih kosong melompong.“Terserah! Yang jelas aku mau tidur di kasur!” jawab Bas.“Jadi bapak suruh saya tidur di lantai, gitu? Enak aja.”“Siapa yang suruh? Kalau kau tidak mau tidur di lantai, tidurlah di kasur, bersamaku. Jangan berisik!”Lima belas menit lamanya Ayana mencoba tidur namun tak bis
Ayana tersenyum puas melihat rumahnya yang telah tertata rapi dan terisi perabotan lengkap. Masih ada sisa beberapa pajangan yang belum ia pasang di tembok. Ia berpikir nanti saja setelah suaminya pulang akan meminta bantuan.Saat mendengar deru mesin mobil Bas memasuki pekarangan, Ayana langsung berlari keluar. Gadis itu berdiri di depan rumah hendak menyambut suaminya datang. Hari ini jatah Bas untuk menemaninya, jadi ia pikir, Bas hanya akan sejenak ke rumah Amanda lalu menemuinya. Namun ternyata Ayana sudah menunggu sangat lama, Bas tak jua muncul.“Yudis!” Sedikit berteriak ia memanggil Yudis yang nampak sedang membereskan mobil tuannya. Yudis hanya menoleh lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.“Apaan, sih, nggak asik banget!” gerutu Ayana. Ia bisa merasakan perubahan sikap Yudis, yang dulunya begitu akrab dengannya, sekarang seolah menjaga jarak. Padahal ia berniat meminta bantuan Yuis untuk memasang tanaman gantung di teras rumah. Menunggu suaminya terlalu lama.“Ya su
Jangan lupa subscribe buku dan follow author ya.."Ayana, lihat! Rumahmu dan Bas sudah hampir selesai, tinggal mengecat saja." Amanda tersenyum puas melihat hasil kerja anak buah Pak Wahyu. Dari awal ia sudah berpesan pada Pak Wahyu, rumah ini harus jadi secepat mungkin dengan kualitas yang tetap baik. Walhasil belum sampai sebulan, sudah sekitar sembilan puluh persen rumah ini jadi, mungkin dua hari ke depan sudah bisa ditempati."Iya, Bu. Terimakasih." Ayana melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Amanda, sungguh ia sangat berterimakasih pada kakak madunya itu. Dulu ia selalu membayangkan bisa tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, bersama suami tercinta. Impian itu sekarang tercapai meski tidak persis seperti yang ia bayangkan. Ya, tentu saja, saat itu ia tidak membayangkan yang akan jadi suaminya adalah bapak-bapak beristri yang berjarak usia 16 tahun dengannya."Sama-sama, Ayana. Ini sudah hakmu." Amanda tersenyum membalas pelukan Ayana."Sayang, aku berangkat du