Astagaaa wanita gila mana yang menyuruh suaminya tidur dengan perempuan lain? Meskipun, yaah, perempuan itu memang sudah sah menjadi istri kedua dari suaminya. Madunya.
Ya, Amanda sendiri memang yang meminta suaminya menikah dengan Ayana, gadis muda yang merawatnya selama sekitar sebulan ini. Ia tahu hidupnya mungkin takkan lama lagi, setelah dokter memvonisnya terkena kanker otak stadium empat. Dan ia ingin memastikan suaminya, Bagaskara yang biasa ia panggil Bas, mendapat pendamping yang tepat.
Banyak yang naksir Bas. Tentu saja, ia masih muda, tampan, dan kaya raya. Perempuan mana yang tak tergila-gila padanya. Minimal naksir, lah. Bas juga setia. Bahkan saat istrinya mengijinkannya menikah lagi, Bas tak berminat sama sekali. Hanya Amanda satu-satunya wanita yang dicintainya dan ia tak mau membagi cinta itu pada perempuan lain. Apalagi Amanda sedang sakit, Bas merasa jahat kalau sampai ia berpaling.
"Ma-malam pertama?" Bas malah merinding mendengar istrinya mengatakan ini.
Amanda mengangguk dengan tenangnya. “Ya, malam pertamamu. Kau baru saja melangsungkan akad nikah, jangan pura-pura amnesia begitu. Ayo, Bas, pindah!” Ia menarik tangan suaminya.
“Amanda, tolong mengertilah.” Bas menggenggam tangan sang istri dengan wajah memelas. “Aku tidak mungkin bisa melakukan itu dengan Ayana. Dengar Amanda, aku pasti akan menafkahinya, mencukupi hidupnya sama seperti aku menafkahimu. Secara adil, seperti yang kau bilang, tapi untuk yang ini ... Tolong, aku tidak bisa.”
“Bas, yang dibutuhkan seorang istri bukan hanya nafkah materi, tapi juga nafkah batin,” ucap Amanda seraya mengusap punggung tangan suaminya. “Aku sudah mempersiapkan segala kebutuhan kalian di kamar itu. Termasuk beberapa pakaianmu sudah kupindahkan ke sana.”
Bas bergeming, masih tetap terduduk di atas kasur, enggan beranjak.
“Bas, tunggu apa lagi?” ujar Amanda tak sabar. “Ayana sudah menunggumu. Setelah tiga hari, kau boleh kembali ke kamar ini.”
“Apa? Tiga hari?” pekik Bas.
“Ya, tiga hari. Kau ingat malam pertama kita dulu? Kita baru berhasil melakukannya setelah seminggu. Apa … tiga hari teralu singkat menurutmu? Kupikir karena kau telah berpengalaman, jadi tidak butuh waktu lama untuk ....”
“Sudah cukup, Manda, jangan diteruskan." Bas memotong cepat. Ia beranjak dari kasurnya. Keluar kamar dengan perasaan kesal.
“Bas ...”
Lagkahnya terhenti ketika mendengar panggilan istrinya.
“Jangan marah.” Amanda memeluk laki-laki 35 tahun yang dicintainya itu dari belakang. “Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, maka aku melakukan ini,” ucapnya setengah berbisik.
Lelaki itu membalikkan badan, memeluk kembali istrinya lalu mengecup lembut keningnya. “Aku juga mencintaimu. Apa kau benar tidak apa-apa, aku bersama Ayana malam ini?”
“Tentu saja, Bas. Aku ikhlas,” jawab Amanda seraya melonggarkan pelukan.
Bas menarik napas panjang dan menatap istrinya dalam-dalam. “Baiklah Amanda, semua ini kulakukan demi kamu. Jangan sebut aku pengkhianat atau berpaling cinta darimu, ya."
Amanda tersenyum. “Iya, Sayang. Ini permintaanku. Kau tahu, aku ingin rumah kita diramaikan dengan suara tangis bayi."
“Maksudmu?” Air muka Bas kembali menjadi tegang.
“Ya aku berdoa semoga Ayana lekas hamil.”
“Astaga!” Bas menepuk keningnya. “Sudah tak usah diteruskan, aku akan ke kamar sekarang." Cepat-cepat Bas beranjak, tak ingin ia mendengar hal aneh lagi terlontar dari mulut sang istri yang tak bisa dipungkiri sedikit banyak membuat sesuatu dalam diri Bas menjadi bergejolak juga.
Bas seketika merasa menyesal mengapa harus Ayana yang dibawanya ke rumah ini? Gadis itu tak ada menarik-menariknya menurut Bas. Usianya saja baru 19 tahun, hampir seumuran dengan keponakannya dari kakak perempuan yang paling tua.
Di samping itu, Ayana juga ceroboh dan... lancang!
Bas jadi ingat lagi pertemuan pertamanya dengan Ayana di kantor. Saat itu hatinya sedang kalut. Dokter baru saja memvonis penyakit tumor yang pernah diderita Amanda naik level menjadi kanker, dan sudah stadium empat.
Ayana datang ke ruangannya membawa segelas teh hangat. Ia belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.
"OB baru?" tanya Bas saat Ayana sudah berdiri di depan mejanya.
"I-iya, Pak," jawab Ayana gugup. Selain karena ini hari pertamanya bekerja, ia juga terkesima dengan ketampanan sang Bos. Ternyata betul yang teman-temannya bilang, Pak Bas seperti ahjussi-ahjussi yang ada di drama Korea. Ahjussi rasa oppa, karena meski sudah berusia matang tapi tetap terlihat muda.
'Sayangnya ahjussi yang ini sudah menikah. Aku tak mau jadi seperti Yeo Da-kyung dalam drama korea The World of Married yang merusak rumah tangga orang.' Ayana membatin.
Hey, mikir apa kamu Ayana. Ayana kemudian sadar pikirannya sudah kejauhan. Lagi pula kalaupun Pak Bos belum menikah, memangnya mau sama kamu. Sadar diri, dia bos di kantor ini dan kamu hanya office girl. Hidup tak seindah drama Korea, Nona!
Bas berdehem melihat Ayana yang hanya berdiri terpaku di hadapannya. "Taruh saja di atas meja tehnya. Dan kau boleh pergi sekarang."
"Oh, i-iya Pak, maaf." Sungguh Ayana merasa malu karena sudah ketahuan melamun. Dengan tangan sedikit bergetar ia meletakkan teh hangat itu di atas meja Bas, tapi ...
"Astaghfirullah, Pak, Maaf!" Ayana tak sengaja menumpahkan isi gelas dan mengenai kemeja Bas. Cepat ia mengambil sapu tangan dari kantong celana lalu mencoba mengeringkan kemeja sang atasan.
"Hey, hey kau mau apa?" Bas terkejut saat Ayana mulai melepaskan kancing kemejanya.
"Bapak bisa masuk angin. Biar saya keringkan dulu baju Bapak dengan hairdryer nanti saya kembalikan."
"Tidak perlu!" Bas mundur. Sementara tangan Ayana nekat mengikuti, masih melekat pada kemeja Bas dan berusaha melepasnya.
"Pak, ibu saya bilang, baju yang basah itu bisa ..." Belum menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang masuk.
"Permisi, Pak."
Sekretaris Bas yang membawa setumpuk dokumen untuk diitandatangi bosnya hanya mampu berdiri terpaku di ujung pintu saat melihat adegan Ayana yang tengah membuka kancing kemeja Bas di depan mata.
"Ma-maaf Pak saya tidak tahu kalau Bapak sedang ... anu ... maksud saya ... ehm saya ... saya permisi dulu."
"Mika!" Bas berteriak memanggil sekretarisnya yang buru-buru keluar lalu menutup pintu.
"Si4l!" Sekretarisnya pasti berpikiran yang tidak-tidak akan dirinya.
"Gara-gara kamu!" Bas menunjuk Ayana yang beringsut mundur.
"Saya tidak mau melihatmu lagi di sini. Kamu di-pe-cat!"
"Sa-saya dipecat, Pak?" Ayana mengulang ucapan bosnya dengan terbata.
"Masih kurang jelas ucapan saya barusan? Saya akan menelepon bagian personalia untuk membawamu sekarang juga."
"Ma-maf Pak, Bapak marah karena saya menumpahkan teh di kemeja Bapak? Nanti saya ganti baru kalau sudah gajian."
Astagaaa... arghh, gadis ini, sudah salah, tak tau pulak apa kesalahannya! Bas mengerang.
"Saya mohon, Pak." Ayana berlutut di depan Bas. "Jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini."
"Saya tidak akan luluh dengan cerita sedih kamu!" Bas berjalan menuju pintu. Kalau gadis ini tak mau pergi, biar ia yang pergi, pikirnya. Nanti satpam yang akan menyeretnya keluar.
"Pakkk!" jerit Ayana lalu cepat-cepat menyusul Bas yang sudah membuka pintu. "Saya mohon!"
Semua yang ada di depan ruangan Bas menoleh. Melihat dengan prihatin seorang gadis yang tengah memeluk kaki tuannya.
Gara-gara ketahuan sel1ngkuh Pak Bas mengusir perempuan sel1ngkuhannya ini? Begitu kira-kira yang ada di pikiran mereka, dan Bas bisa menerka itu. Ya, Mika pasti sudah menceritakan yang tidak-tidak setelah keluar dari ruanganku tadi!
"Apa-apaan kamu ini?" Bas berusaha melepaskan pelukan Ayana pada kakinya.
"Kalian, dengar, ya." Lelaki itu lantas menatap satu persatu pegawainya. "Apa yang kalian lihat, tidak seperti yang kalian pikirkan!"
Bas berjalan keluar kantor dengan pikiran yang berkelana. Seharian ini, ia tak bisa sepenuhnya konsentrasi pada pekerjaan karena memikirkan istrinya di rumah yang sedang sakit. Sudah lama sebenarnya, Amanda - sang istri mengidap penyakit tumor otak. Dua tahun lalu penyakitnya itu sudah dinyatakan sembuh setelah dilakukan operasi. Lalu beberapa waktu kemarin, saat Amanda ke klinik karena mengeluhkan sakit kepala berat, betapa terkejutnya, ketika dokter mengatakan, tumor otak Amanda muncul kembali bahkan sekarang sudah bersifat ganas."Ah, Tuan sudah datang." Seorang pemuda dengan sigap membuka pintu mobil bagian belakang begitu melihat bosnya datang."Yudis!" Bas menyebut lelaki yang merupakan sopirnya itu. "Mengapa ada orang lain di mobilku?" Bas memicingkan mata melihat seorang gadis duduk di kursi depan mobilnya. Mengapa seperti ... pernah lihat?"Oh, iya Tuan, maaf. Mohon ijin saya membawanya ke rumah.""Membawa ke rumah? Untuk?""Ayana, keluarlah dulu!" bisik Yudis setelah membuka
"Saya hanya mau mengeringkan baju Pak Bas yang basah Bu, maaf. Saya panik, takut dimarahi, takut Pak Bas masuk angin, jadi ..."Mendengar jawaban Ayana, tak disangka Amanda malah tersenyum. Sepertinya Ayana benar-benar gadis yang polos dan tulus, tak ada maksud yang aneh-aneh pada suamiku. Begitu batin Amanda."Sudah, Sayang, kau masuklah. Mandi, ganti baju. Biar aku ngobrol dulu sama Ayana, ya," ucap Amanda lembut pada suaminya."Sayang, kamu jangan salah sangka, aku ..." Amanda tersenyum sembari menggeleng. "Aku percaya padamu, masuklah."Amanda tahu, jika mau, Bas sudah dari dulu mendua bahkan mentiga darinya. Banyak wanita yang mendekati, dari Bas masih lajang sampai lelaki itu sudah menikahinya. Tak sedikit juga yang terang-terangan menyatakan bersedia menjadi istri kedua. Namun kenyataannya, lelaki itu masih setia, bahkan di saat ia sakit dan tidak bisa melayani suaminya dengan maksimal, Bas masih tetap tak melirik wanita secantik apapun ia.“Baiklah, kalian ngobrol dulu. Ingat
Amanda sedang mengaji ketika Ayana sampai di depan pintu kamarnya. Setelah mendengar majikannya menyelesaikan bacaan Qur’annya, barulah Ayana mengetuk pintu.“Masuk,” jawab Amanda dari dalam.Ayana membuka pintu. “Assalamualaikum ...”“Waalaikumussalam… Oh kau Ayana.” Amanda tersenyum. Ia menutup Al-Qurannya. Saat hendak meletakkan ke meja kecil di samping tempat tidurnya, ia nampak kepayahan. Sel-sel ototnya melemah semenjak sakit, sehingga kesulitan saat mengangkat benda berat. Segera Ayana membantunya.“Besar sekali Al-Qurannya, Bu.”Setelah meletakkan Al-Qur’an ke atas meja, Ayana meraih tangan Amanda dan mencium punggung tangannya.“Belakangan ini pengelihatanku mengabur karena penyakit kankerku Ayana. Aku tidak bisa membaca Al-Quran yang terlalu kecil.” Amanda tersenyum namun nampak rona kesedihan di wajahnya. Ayana ikut merasa sedih, segera ia mengganti topik pembicaraan.“Suara mengaji ibu bagus sekali,” puji Ayana.“Benarkah Ayana? Kau hanya ingin menghiburku kan? Mengajiku b
Hari ini tepat sebulan Ayana bekerja menjadi perawat Amanda. Kegiatan rutin pagi mereka setelah belajar mengaji adalah berjalan-jalan di taman depan rumah. Olahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menghangatkan. Pekarangan yang luas dengan rumah mungil sederhana di tengahnya adalah rumah impian Amanda semenjak dahulu. Untuk ukuran seorang CEO di perusahaan ternama, rumah Amanda dan Bas terlihat biasa saja. Tidak terlalu mentereng seperti rumah orang kaya kebanyakan.Rumah mereka tak bertingkat, hanya ada tiga kamar. Dua kamar dengan kamar mandi dalam, satunya ditempati Bas dan Amanda dan satunya lagi adalah kamar tamu. Satu kamar tersisa merupakan kamar Mbok Nem yang sudah bekerja semenjak awal pernikahan mereka. Sementara Yudis tidak tinggal di sana. Ia menyewa kamar kos tak jauh dari rumah tuannya.Pekarangan rumah mereka luasnya sekitar dua kali lipat dari bangunan rumah. Amanda memang suka sekali berkebun. Selain bunga-bunga yang cantik, beberapa pohon bua
“Ini tehnya, Sayang.” Bas meletakkan secangkir teh di atas meja teras. Tepat di samping meja itu, istrinya duduk di atas kursi roda.“Terimakasih, Bas. Seharusnya aku yang membuatkanmu teh.” Amanda tersenyum namun terlihat rona kesedihan di matanya. Ia ingat, dulu setiap sore ia selalu menyambut kepulangan Bas dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng.Semenjak sakit, tubuhnya semakin lemah, ia jadi mudah capek dan lebih banyak menghabiskan waktu beristirahat. Kalaupun ingin memasakkan sesuatu untuk suaminya, hanya sebatas mengarahkan dan mbok Nem-lah yang mengeksekusi. Pernah suatu hari ia ingin membuatkan minuman untuk Bas, kecelakaan kecil terjadi, air panas yang seharusya ia tuang ke cangkir malah membasahi kakinya. Semenjak itu Bas melarang istrinya membuat sesuatu di dapur kalau tidak ada yang mendampingi.“Kenapa harus begitu?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu mengambil posisi duduk di satu sisi meja lainnya lalu meneguk tehnya.“Karena aku istrimu.”“Hmm, kau meremehkanku
Ayana menatap bosnya tak percaya. Pak Bas melamarku? Akan memberikan apapun yang kuminta? Pak Bas nggak lagi ngelindur, kan? Atau salah minum obat? Bukannya selama ini ia selalu kesal dengan apapun yang kulakukan, lalu mengapa mau begitu saja menerima permintaan Bu Amanda untuk menikahiku? Semua pertanyaan itu berputar di kepala Ayana. “Boleh minta apapun, Pak?" Ia mengulangi apa yang diucapkan bosnya barusan. "Ya, apapun," jawab Bas. "Kecuali satu hal, jangan minta aku untuk mencintaimu." Astagaaa, bunga-bunga yang sempat bermekaran di hati Ayana seketika berguguran. Menjadi istri orang kaya memang salah satu cita-citanya. Tapi apa artinya kalau tidak dicinta? Apakah ia bisa bahagia hanya dengan harta. “Bagaimana Ayana? Apakah kamu... bersedia? Aku hanya ingin membuat hati istriku menjadi tenang kalau kita menikah."Ayana menghela napas. "Beri saya waktu, Pak." "Baiklah." Bas mengangguk paham. Sama seperti dirinya, ia yakin, Ayana juga berada pada pilihan yang sulit. “Beri saya
Minggu pagi menjelang siang, Ayana datang ke sebuah kafé. Ia sudah janjian dengan Yudis di kafe ini.“Kafénya bagus sekali, pasti harga makanannya mahal.” Ayana membatin, tampak ragu melangkahkan kaki masuk. Ia mengingat-ingat ada berapa uang di dompetnya, lalu memilih mengirim pesan pada Yudis dan menunggunya di dekat pintu masuk. Tak lama Yudis muncul. “Ayana, sudah lama?” “Hmmm 5 menitan mungkin.”“Kenapa tidak langsung masuk? Ayo!”Ayana megikuti langkah Yudis masuk ke dalam kafé.“Pesanlah!” Yudis menyodorkan buku menu setelah mereka menemukan tempat duduk. Ayana meihat-lihat dan nampak kaget dengan harga makanan yang tertera.“Kenapa kita janjian di sini, sih?” Gadis itu berbisik pada Yudis.“Ya, masa aku ajak calon istri bos ke warteg!” canda Yudis.“Hus!” Ayana mengibaskan tangan kirinya. “Aku nggak bawa banyak uang!” bisiknya lagi.“Tenang aja, Ay, hari ini aku yang traktir.”“Wah, gaji kamu banyak, ya?”“Haha, ya nggak juga.”“Hah, jadi Pak Bagas menggaji kamu sedikit?”Y
“Ayana, kamu cantik sekali,” puji Amanda saat melihat Ayana selesai dirias oleh make up artis pilihannya.“Terimakasih, Bu.” Ayana tersenyum canggung. Tak butuh waktu lama setelah ia menyetujui lamaran Bas, seminggu kemudian akad nikah diselenggarakan.“Hal yang baik harus disegerakan,” kata Amanda. “Acara kecil-kecilan saja di rumah. Cukup panggil penghulu, keluarga dekat, beberapa teman kantor Bas, dan perwakilan warga. Yang penting sah. Kau tidak keberatan kan, Ayana?” tanya Amanda saat itu.“Tidak apa-apa, Bu,” jawab Ayana. Ia bahkan berharap lebih baik tidak usah ada yang tahu pernikahan ini. Tapi Amanda menolak.“Pernikahan itu harus disiarkan, kalau tidak, akan menimbulkan fitnah.”Ayana pun menurut.“Oh, ya, mas kawin apa yang kau minta?” tanya Amanda kemudian.“Saya tidak mau apa-apa, Bu, kalau boleh meminta sesuatu, saya hanya ingin… kuliah,” jawab Ayana ragu, apakah bosnya akan memenuhinya?“Tidak bisa!” Bas menjawab cepat.“Mas kawin itu berupa benda Ayana, mana ada mas ka