Kedua mata Andini terus memasati wajah orang yang tergelantung dan sudah terbujur kaku di atas dahan. Meskipun tanpa penerangan dan terlihat gelap gulita, tetapi remang-remang ada pantulan sinar rembulan yang membantu penglihatannya sehingga bisa melihat sekilas wajah pria tersebut meski hanya terlihat samar-samar.
Gadis berkerudung merah marun itu sangat shock dan kaget setelah mengenali baju dan celana jeans yang dipake pria tersebut, rasanya tidak percaya kalau itu jasad tunangannya.
"Abang ... kenapa kamu, Bang!" Andini berteriak histeris dan terduduk lemas.
Matanya melebar ketika melihat wajah sang pujaan hatinya sudah tak berdaya di atas pohon. "Bang, ayok turun! Kita pulang!" teriaknya kembali. Namun, masih tidak ada reaksi dari Andre membuat dirinya semakin cemas dan gelisah, terus bermonolog, "Ya Alloh, apa yang telah terjadi dengan tunanganku?!"
"Abaaang ... bangun! Ayok turun!" teriaknya kembali.
Akan tetapi, tubuh Andre terlihat terkulai 'tak berdaya dan tak bergerak lagi membuat dirinya semakin shock dan histeris,
"Abaaang ... ayok ngomong, Bang!" jeritnya. Namun, tidak ada suara sedikitpun darinya, hanya suara lolongan anjing dan jangkrik bercampur baur dengan gemersik dedaunan yang tertiup angin yang terdengar di telinganya.
Untuk sesaat tubuhnya terpaku di atas tanah, wajahnya menengadah dalam batinnya bergumam, "Aku harus kuat dan harus meminta pertolongan secepatnya."
Kemudian Andini berjalan terhuyung-huyung ke pinggir jalan untuk menghadang dan meminta pertolongan kepada mobil yang mungkin saja ada yang lewat tanpa mengindahkan rasa sakit yang dirasakannya.
"Tolooong ... Papih, Mamih, tolong aku!" teriaknya sambil menangis histeris.
Dia berusaha meminta pertolongan tetapi keadaan di sana sangat sepi, karena di bahu kanan kiri jalan di keliling hutan belantara dan jauh dari pemukiman warga. Tangannya memegang keningnya, kepalanya terasa berat dan pening mungkin akibat pukulan yang dihantamkan seseorang dari belakang tadi, tenaganya pun sudah terkuras habis membuat tubuhnya lemas dan akhirnya rubuh sampai terduduk.
Sungguhpun amarahnya memuncak, tetapi dia masih bisa bersabar dan beristigfar. Meskipun, dalam benaknya masih menahan amarah dan mengumpat, "Bedebah! Awas kalian, akan kucari sampai kapanpun," gertaknya.
Sorot matanya tajam, raut wajahnya memerah, giginya menggertak, tangannya mengepal lalu menonjok-nonjokkannya ke tanah, sepertinya rasa nyeri di tubuhnya tidak sebegitu pedih dibandingkan kejadian yang sudah menimpanya. Mereka sudah merenggut mahkota yang selama ini dijaganya dan sudah memisahkan dirinya dengan sang pujaan hati yang sangat dicintainya untuk selamanya.
"Awas kalian! aku tidak akan membiarkan kalian bebas dan hidup damaiii ...!" teriaknya sambil terus meraung menangisi nasib kekasih dan dirinya.
Beberapa jam Andini duduk terpaku di pinggir jalan sambil menangis terus menerus, sampai suaranya mulai parau tidak terdengar jelas lagi. Selang beberapa waktu dari kejauhan terlihat sebuah mobil pik-up melintas di jalan nan sepi itu. Ada tiga orang yang menumpangi kendaraan tersebut, mobil mereka pun berhenti setelah melihat dan mendengar teriakan meminta tolong. Mereka bergegas turun, lalu menghampirinya.
"Kamu kenapa, Neng?" Seorang ibu dan bapak turun dari mobil.
"Tolong aku, Bu, Pak! Tolong turunkan calon suamiku!" teriak Andini pilu sambil menunjuk ke arah pohon.
Mereka bergegas menghampiri dan melihat keadaan Andini yang masih menangis dan terus memanggil-manggil Andre tunangannya, "Abang, kenapa kamu, Bang? Banguuun ...!"
Matanya terlihat sayup sambil terus melihat ke arah pohon, sepertinya dia sudah merasa lelah dan tidak sanggup menerima kenyataan ini.
"Ya, Alloh, Gusti nu Agung ada apa ini? Siapa dia, Neng?" Seru Ibu Lastri panik, lalu menyuruh Pak Mamat menyenteri ke atas pohon di pinggir gubuk. Mereka kaget melihat seseorang tergelantung di atas dahan pohon nangka. Pikiran mereka berkecamuk, dalam benaknya bergumam, 'Ada kejadian apa sebenarnya?'
"Derry, sini cepat!" Pak Mamat memanggil anaknya yang masih memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.Derry yang baru saja keluar dari mobilnya bergegas berjalan terus menghampirinya,
"Ada apa, Bi?" lirihnya sambil menghampiri kedua orang tuanya.
"Lihat noh!" sergah Pak Mamat sambil terus menyenteri pria yang tergantung itu.
"Astagfirullah haladzim, siapa itu, Bi?" sergah Derry kaget, lalu dia bergegas berjalan menghampiri ibunya untuk melihat gadis yang sedang menangis di sampingnya, kemudian memasati wajahnya.
"Ka--kamu!"Derry kaget setelah melihat seorang gadis yang dikenalnya tengah menangis histeris dengan keadaan bajunya yang lusuh dan koyak-koyak.
"Ka--kamu Andini, kan?" tanyanya kembali untuk memastikan. Akan tetapi, Andini masih bergeming tidak menghiraukannya.
Terus dia berjongkok di dekatnya, dahinya mengkerut, lalu mengamati wajah gadis cantik berlesung pipit yang masih terduduk lemas dengan tatapannya yang kosong sambil menangis meratapi kepergian kekasihnya itu.
Andini adalah adik kelasnya waktu SMA, sebenarnya dulu dia pernah menaruh hati kepadanya, tetapi tidak berani mengungkapkannya. Karena Derry sadar diri dengan keadaan orang tuanya yang hanya sebagai pedagang dan buruh tani, sedangkan dia anak seorang Lurah di desa tetangganya serta adik sahabatnya bermain bola. Namun, sekarang dirinya merasa shock melihat gadis idamannya dalam keadaan tragis seperti itu.
"Kamu kenal dia, Ry?" tanya Pak Mamat ayahnya Derry dengan penuh tanda tanya di pikirannya.
Derry pun menggangguk dan menjawabnya, "Dia Andini, anak Pak Herman mantan Kades desa sebelah, Bi."
"Ohh, berarti dia anak Sri teman Ibu waktu mengaji dulu ya, Aa? berarti dia adek kelas SMAmu," ucap Bu Lastri.
Sepengetahuan Bu Lastri, dulu dia pernah bertemu dengan Bu Sri dan Andini anak--nya pas mau masuk sekolah di SMAN, tetapi beda tingkat kelas. Anaknya kelas dua, sedangkan anak temannya itu baru kelas satu.
"Iya, Ummi," jawab Derry sambil tegak kembali.
Bu Lastri langsung mendekap Andini erat, dia merasa iba melihat keadaan anak temannya itu. Sedangkan Derry langsung menelepon keluarga Andini, kebetulan nomor telepon rumahnya masih tersimpan di ponselnya.Dulu Derry sering ke rumahnya untuk mengajak main sepak bola bersama kakaknya yang bernama Anton walaupun umurnya lebih tua selisih dua tahun darinya, setelah mengabari keluarganya kemudian menelepon polsek setempat.
Biasanya malam hari Pak Mamat dan Bu Lastri pergi ke pasar induk untuk menjual hasil kebunnya. Kebetulan Derry lagi libur kerja di sebuah kantor polisi daerah Bandung, sehingga dia bisa ikut mengantar kedua orang tuanya, biasanya yang mengantar adalah adiknya yang cowok, yang baru duduk di bangku kuliah. Kadang mereka pergi berdua saja kalau anak-anaknya sibuk kerja atau sekolah.
Selang beberapa lama aparat kepolisian datang, dan tidak lama ayah Andini pun muncul bersama sopir nya.
"Andini, kenapa kamu, Nak?" ucap Pak Herman shock. Dia terus mendekap anaknya dan memeriksa keadaan tubuhnya, di hatinya sedih dan geram setelah melihat keadaan putrinya yang lusuh dan memar-memar di tangan serta kakinya.
"Siapa yang telah berani melakukan ini kepadamu, Nak?" gertak Pak Herman geram. Darahnya mulai mendidih tetapi dia harus bisa meredam semua amarahnya.
Andini hanya menggelengkan kepalanya, terus menangis sesegukan dipelukkan ayahnya. Isak tangisnya terasa memecah gendang telinga, jiwanya sangat terpukul dan tergoncang, dia tidak bisa menerima kejadian tragis yang baru saja menimpanya.
"Papih, kenapa dengan Bang Andre?" tanya Andini sambil terus menatap wajah Pak Herman.
"Ikhlaskan ya, Nak! Kita do'akan saja biar Andre tenang di sana," lirih Pak Herman menahan tangis sambil mengelus kepala anaknya.
"Tidak, Pih. Andre baik-baik aja!" bentak Andini dengan mata menyala, terus dia melangkah terhuyung-huyung ke arah pohon itu, tetapi Pak Herman dengan sigap menahannya. Namun, gadis malang itu terus memberontak, sepertinya dirinya belum bisa menerima kenyataan akan kehilangan tunangan yang sangat dicintainya untuk selamanya.
Di bawah pohon pak polisi menurunkan jasad Andre sambil menunggu mobil ambulans. Andini berjalan setengah berlari, tangisannya kembali pecah dan berteriak histeris."Bang Andre, jangan tinggalin aku, Baaang ...!""Bangun! Bentar lagi kita menikah, Bang," jeritnya sambil berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh kekasihnya yang sudah terbujur kaku di atas tanah.Pak Herman langsung memegang pundaknya dan mengajaknya ke mobil."Ayok, Nak. Kita ke mobil!" paksanya.Akan tetapi, putrinya tidak mau dan bergeming serta terus berteriak histeris, "Tidak, jangan pisahin aku darinya, Pih!"Tangis haru Andini semakin menjadi membuat semua orang yang mendengarnya teriris pilu. Tubuhnya lunglai, tenaganya terkuras membuat keseimbangannya oleng dan hampir tersungkur ke tanah, untung ayahnya dan Derry berada di dekatnya sehingga bisa menahannya.Pak Herman lalu mendekap dan memeluk Andini, akhirnya air matanya tumpah ruah 'tak
"Sudah, Tante. Yang sabar!" ucap Nisa menenangkan. "Tante harus tegar biar Andini bisa kuat dan ikhlas menghadapinya," bujuknya sambil menahan tangis. Di samping mereka Derry hanya bisa berdiri dan diam seribu bahasa, sesekali matanya memandangi wajah Andini yang tertidur pulas sambil mengusap air mata yang menetes keluar sendiri dari sudut matanya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan berpamitan. " Tante, Nisa, aku mau pamit pulang, nanti kalau butuh bantuanku tinggal telpon aja," ucap Derry sambil bersalaman. "Iya, makasih ya, Der. Sudah menolong Andini," jawab Nisa sambil tersenyum. "Nanti kalau polisi minta kesaksian, kamu bersedia membantu kami, kan?" tanyanya kembali. "Tentu, jangan sungkan. Aku pasti membantunya. Kalau ada waktu aku pasti menengok Andini lagi," ucapnya, "Tante, yang sabar ya. Semoga pelakunya cepat tertangkap," hiburnya. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak memanggil Andre tunangannya."Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja."Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya."Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya."Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menj
Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.****Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan s
Andini dilahirkan di Bandung 24 tahun silam, nama lengkapnya Andini Arfaana Adi Atmadja. Masa kecilnya dihabiskan di sana, tetapi setelah lulus SD ayahnya meneruskan usaha kakeknya di daerah Subang, sehingga mereka pun pindah. Sifatnya yang selalu ceria, agak jahil tetapi sangat baik sama semua orang. Namun, dia paling tidak senang kalau ada orang yang menghina atau membully teman-temannya, pasti dia yang akan duluan melawannya. Parasnya sangat cantik seperti wajah blasteran, rambutnya ikal, matanya belok, alisnya tebal seperti wajah ibunya yang mempunyai darah keturunan Pakistan dari kakeknya.Dia anak kedua dari empat bersaudara, ayahnya adalah mantan Lurah daerah Subang kabupaten Bandung bernama Bapak H. Drs Herman Adi Atmadja, dan sekarang menjadi seorang pejabat daerah di sana. Ibunya bernama Hj dr. Sri Arfaana Arham, seorang dokter kecantikan dan mempunyai tempat spa di Subang. Kakaknya bernama Anton Fahmi Adi Atmadja, adeknya yang cewek bernama Anggita Arfaana Ad
Sebelum kejadian naas menimpanya, Andini dan Andre adalah pasangan yang sangat kompak dan serasi. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang, sehingga teman-temannya suka iri melihat keromantisan dan kekompakan keduanya. Sudah sekian lama Andini berpacaran dengan Andre, sebenarnya dia sudah berharap dipersunting secepatnya oleh pujaannya. Namun, dia tidak mau mengganggu konsentrasi pacarnya yang sedang melanjutkan S2-nya. Sehingga gadis cantik nan manja itu lebih memilih bersabar dan mensupport Andre untuk menyelesaikan kuliahnya.Pemikiran Andre justru berbeda dengan Andini, dia ingin secepatnya melamarnya. Karena dia merasa sudah lama berpacaran, dan sudah saatnya untuk mempersunting cewek pujaannya. Kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melamar gadis pilihannya itu, agar terhindar dari godaan setan. Mereka juga ingin cepat-cepat menimang seorang cucu dari anak cowok satu-satunya itu."Dre, sebaiknya k
Setelah acara lamaran selesai, Andini mendapatkan undangan reuni dari teman-temannya. Yang akan di selenggarakan dua pekan lagi, dan akan diadakan di sebuah resort di Subang. Dengan senang hati dia menerima undangan itu, serta akan mengajak tunangannya. Niatnya dia hendak mengenalkan tunangan itu pada semua teman-teman sekolahnya dulu. Sesampainya di sana Andini kaget ternyata banyak teman-temannya yang datang, sehingga pesertanya banyak banget. Wajahnya celingukan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, terlihat dia sedang mencari seseorang. Setelah wajah teman-temannya terlihat, dia langsung mendekati sohib-sohibnya yang sedang duduk, sambil becanda di pojok resto dekat taman."Hai, Dini, Melia, Renti! Apa kabar?" serunya, terus Andini bersalaman, lalu mencium pipi kanan dan kiri teman satu gang'snya, semasa masih sekolah SMA dulu."Hai, Andini! Aduh ... seneng banget aku ketemu kau lagi," seru Dini. Terus dia memperkenalkan keluarga kecilnya, "Kenalkan in
Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej