Share

Bab 5. Kondisi Andini

Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.

Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak  memanggil Andre tunangannya. 

"Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.

Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja. 

"Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya. 

"Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya. 

"Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.

Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.

Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menjadi, selain sering mengamuk dia sering ngomong sendiri dan duduk termenung di pojok kamarnya.Barang - barang di rumah pun ikut hancur berantakan setelah dilempar semuanya, mungkin meluapkan semua kekesalannya.

Pak Herman akhirnya berinisiatif membawa Andini berobat ke psikiater rumah sakit jiwa di Bandung. Dokter menyarankan Andini untuk dirawat di rumah sakit tersebut, biar ada yang mengawasinya. Orang tuanya terpaksa menyetujuinya, walaupun dengan berat hati.

Mereka ingin memberikan tempat terbaik untuk kesembuhan putrinya. Semakin hari tubuh Andini semakin kurus, dia tidak mau makan, disuapin perawat pun kadang di muntahinnya lagi. Akhirnya tangannya diikat dan diinpus biar tubuhnya fit dan segar kembali. 

Setelah sebulan pasca kejadian itu, kepolisian belum bisa mengungkap pelaku pembunuhan Andre dan pemerkosaan Andini. Karena kesehatan psikis saksi kunci dan korbannya masih terganggu, jadi sulit untuk mengorek semua kejadian di malam naas itu.

Setelah sekian lama tidak ada kabar beritanya, Derry akhirnya datang menjenguk Andini setelah mencari tahu kondisi dan keberadaannya dari Nisa. Siang itu, kebetulan dia sedang tidak bertugas, sehingga bisa meluangkan waktu untuk mampir ke rumah sakit tersebut. Dia datang dengan membawa sebuket bunga mawar, sekantong plastik roti dan sebuah parsel buah-buahan untuknya.

Sesampainya di depan kamar, Derry melihat kedua orang tua Andini sedang mengajaknya berbicara. Mereka terlihat sedang bercengkrama dan tersenyum gembira, membuat hati Derry bahagia melihatnya.

Dia lama terpaku di depan kamar sambil memandangnya dari jendela. Sekarang terlihat kesehatan gadis cantik nan jelita itu mulai membaik. Lamunannya buyar setelah bahunya ada yang menepuk dari belakang. Derry pun menoleh dan ternyata Anton sudah berdiri tegap di belakangnya sambil tersenyum. 

"Hai, Bro! Apa kabar?" Seru Anton sambil berjabat tangan sahabatnya waktu masih sekolah dulu. 

"Kenapa dak langsung masuk aja?" tanyanya kembali. 

Derry pun sedikit kaget terus langsung menyambut salamnya dan memeluknya.

"Haiii, Ton! Alhamdulillah baik, gimana kabarmu? Baik juga, kan!? Lama kita dak bertemu," seru Derry.

Terlihat di matanya ada rasa bahagia bercampur sedih setelah mereka berpisah untuk sekian lama dan baru bisa bertemu lagi. 

"Baik, Bro! Aku denger sekarang kamu tinggal di Bandung, ya? Kok dak pernah main ke rumahku?" jawab Anton sambil tersenyum. 

"Iya, Aku sekarang tinggal di daerah Buah batu Bandung, kerjaku ditugaskan di sana," seru Derry.

"Ohh, di daerah situ. Aku tinggal di kompleks perumahan Batununggal, berarti dekat dong? Kapan-kapan mampir ya ke rumah!" sergah Anton kembali.

Lalu dia mengajaknya masuk untuk menemui kedua orang tua dan Andini yang sudah mengetahui kedatangan mereka. 

Setelah pintu kamarnya dibuka, Andini langsung berdiri, terus berlari dan memeluk kakaknya dengan erat sambil menangis. Dia memang paling dekat dengan Anton, walaupun sudah besar tetapi kelakuannya masih manja. 

"Sudah, Dek. Jangan nangis lagi! Aa akan selalu menjagamu, cepat sehat, ya! Biar kita bisa jalan-jalan bersama lagi," ucap Anton sambil mengelus rambut adeknya dengan penuh kasih sayang. 

Derry yang sejak tadi termangu melihatnya ikut terharu, dia terus bersalaman dengan kedua orang tua Andini, lalu memberikan bunga dan bawaannya ke Ibunya Andini. Ibu Sri langsung mengucapkan terima kasih dan Pak Herman langsung menyapa nya.

"Derry, apa kabar? Lama dak berjumpa, ya!"

"Baik, Om. Derry sibuk jadi baru bisa datang sekarang. Maafkan aku ya, Om, Tante!" jawab Derry kembali. 

"Tidak apa-apa, Nak. Ayok duduk!" Sergah Ibu Sri sambil mempersilahkan duduk di sofa yang ada di pojok kamar itu.

Ruangannya lumayan luas dan fasilitasnya lengkap ada tv, kulkas dan wc di dalam, orang tuanya sengaja menempatkan putrinya biar lebih nyaman dan betah. 

Andini yang sedari tadi duduk di kasur cuma bisa memandangi mereka yang sedang asik mengobrol di sofa.

Selang beberapa saat, Andini berteriak, "Bang Andre!" Dia berlari keluar, terus celingak-celinguk seperti mencari sosok tunangannya. 

"Ada siapa, Dek? Di luar gak ada siapa-siapa kok!" Tanya Anton sambil menghampirinya, terus dia menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan bahwa di luar tidak ada orang lain. Kemudian mengajaknya masuk kembali. 

"Tadi ada Bang Andre, Aa, Mih, Pih!" sergah Andini meyakinkan mereka. 

"Mana ada, Dek. Itu hanya halusinasimu doang. Makanya cepat sembuh biar bisa menemuinya!" ucap Anton sambil mengelus rambutnya.

Dalam hatinya dia sedih sekali, ingin rasanya mengatakan keadaan Andre semuanya kepada adeknya tapi takut psikisnya terguncang kembali.

Kemudian Anton mengajak ayahnya dan Derry keluar, mereka mengobrol di taman depan kamar. Ibu Sri pun langsung mendekap Andini, matanya sudah mulai mengembun tetapi dia harus bisa menahan tangisnya biar anaknya tidak ikut bersedih.

"Mih, aku kangen sama Bang Andre! Kenapa dia dak pernah datang, ya?" tanya Andini sambil memegang tangan ibunya.

"Mungkin dia masih sibuk, Nak. Yang sabar, ya! Nanti dia datang, kok," seru Ibu Sri agak sedikit berbohong, air matanya menetes tidak bisa dibendungnya lagi.

"Kenapa Mamih nangis? Aku kan, jadi sedih," ujar Andini sambil mengelus pipi sang ibu. "Mamih dak nangis kok, Teh. Tadi cuma kelilipan," ucap Bu Sri sambil pura-pura mengucek matanya.

"Mamih, boong!" Jawab Andini, terus dia mencari ponselnya yang diumpetin ibunya.

"Mih, ponsel teteh mana, ya? Kok, dak ada di laci meja?" ucapnya lagi.

"Oh, itu eeem--, ada kok di tas Mamih! " Jawab Bu Sri ragu.

Andini langsung menyambar tas yang ada di sofa, terus mengambil ponselnya. Ibu Sri tidak bisa mencegahnya, dia cuma duduk di sebelahnya sambil melihat anaknya. Gadis cantik itu langsung membuka layar aplikasi hijau berlogo telpon. Sepertinya dia mau ngechat tunangannya itu.

Notip dari WAGnya sudah banyak yang masuk, lalu di bukanya satu-persatu, kemudian membacanya. Ucapan bela sungkawa terhadap Andre dan untuknya dari teman-teman kerjanya begitu banyak.

Namun, setelah membaca ponselnya langsung terjatuh, lalu menangis dan berteriak histeris, "Tidak ... ! Tidak mungkin!" 

Tubuhnya langsung rubuh ke lantai, Ibu Sri yang sedari tadi duduk di sampingnya kaget, kemudian dia langsung berjongkok dan memeluk anaknya, "Andini, bangun, Nak!" Tangannya terus menepuk-nepuk pipi putrinya, "Pah ... sini! Andini kenapa ini?" teriaknya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status