Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.
Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak memanggil Andre tunangannya.
"Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.
Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja.
"Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya.
"Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya.
"Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.
Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.
Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menjadi, selain sering mengamuk dia sering ngomong sendiri dan duduk termenung di pojok kamarnya.Barang - barang di rumah pun ikut hancur berantakan setelah dilempar semuanya, mungkin meluapkan semua kekesalannya.
Pak Herman akhirnya berinisiatif membawa Andini berobat ke psikiater rumah sakit jiwa di Bandung. Dokter menyarankan Andini untuk dirawat di rumah sakit tersebut, biar ada yang mengawasinya. Orang tuanya terpaksa menyetujuinya, walaupun dengan berat hati.
Mereka ingin memberikan tempat terbaik untuk kesembuhan putrinya. Semakin hari tubuh Andini semakin kurus, dia tidak mau makan, disuapin perawat pun kadang di muntahinnya lagi. Akhirnya tangannya diikat dan diinpus biar tubuhnya fit dan segar kembali.
Setelah sebulan pasca kejadian itu, kepolisian belum bisa mengungkap pelaku pembunuhan Andre dan pemerkosaan Andini. Karena kesehatan psikis saksi kunci dan korbannya masih terganggu, jadi sulit untuk mengorek semua kejadian di malam naas itu.
Setelah sekian lama tidak ada kabar beritanya, Derry akhirnya datang menjenguk Andini setelah mencari tahu kondisi dan keberadaannya dari Nisa. Siang itu, kebetulan dia sedang tidak bertugas, sehingga bisa meluangkan waktu untuk mampir ke rumah sakit tersebut. Dia datang dengan membawa sebuket bunga mawar, sekantong plastik roti dan sebuah parsel buah-buahan untuknya.
Sesampainya di depan kamar, Derry melihat kedua orang tua Andini sedang mengajaknya berbicara. Mereka terlihat sedang bercengkrama dan tersenyum gembira, membuat hati Derry bahagia melihatnya.
Dia lama terpaku di depan kamar sambil memandangnya dari jendela. Sekarang terlihat kesehatan gadis cantik nan jelita itu mulai membaik. Lamunannya buyar setelah bahunya ada yang menepuk dari belakang. Derry pun menoleh dan ternyata Anton sudah berdiri tegap di belakangnya sambil tersenyum.
"Hai, Bro! Apa kabar?" Seru Anton sambil berjabat tangan sahabatnya waktu masih sekolah dulu.
"Kenapa dak langsung masuk aja?" tanyanya kembali.
Derry pun sedikit kaget terus langsung menyambut salamnya dan memeluknya.
"Haiii, Ton! Alhamdulillah baik, gimana kabarmu? Baik juga, kan!? Lama kita dak bertemu," seru Derry.
Terlihat di matanya ada rasa bahagia bercampur sedih setelah mereka berpisah untuk sekian lama dan baru bisa bertemu lagi.
"Baik, Bro! Aku denger sekarang kamu tinggal di Bandung, ya? Kok dak pernah main ke rumahku?" jawab Anton sambil tersenyum.
"Iya, Aku sekarang tinggal di daerah Buah batu Bandung, kerjaku ditugaskan di sana," seru Derry.
"Ohh, di daerah situ. Aku tinggal di kompleks perumahan Batununggal, berarti dekat dong? Kapan-kapan mampir ya ke rumah!" sergah Anton kembali.
Lalu dia mengajaknya masuk untuk menemui kedua orang tua dan Andini yang sudah mengetahui kedatangan mereka.
Setelah pintu kamarnya dibuka, Andini langsung berdiri, terus berlari dan memeluk kakaknya dengan erat sambil menangis. Dia memang paling dekat dengan Anton, walaupun sudah besar tetapi kelakuannya masih manja.
"Sudah, Dek. Jangan nangis lagi! Aa akan selalu menjagamu, cepat sehat, ya! Biar kita bisa jalan-jalan bersama lagi," ucap Anton sambil mengelus rambut adeknya dengan penuh kasih sayang.
Derry yang sejak tadi termangu melihatnya ikut terharu, dia terus bersalaman dengan kedua orang tua Andini, lalu memberikan bunga dan bawaannya ke Ibunya Andini. Ibu Sri langsung mengucapkan terima kasih dan Pak Herman langsung menyapa nya.
"Derry, apa kabar? Lama dak berjumpa, ya!"
"Baik, Om. Derry sibuk jadi baru bisa datang sekarang. Maafkan aku ya, Om, Tante!" jawab Derry kembali.
"Tidak apa-apa, Nak. Ayok duduk!" Sergah Ibu Sri sambil mempersilahkan duduk di sofa yang ada di pojok kamar itu.
Ruangannya lumayan luas dan fasilitasnya lengkap ada tv, kulkas dan wc di dalam, orang tuanya sengaja menempatkan putrinya biar lebih nyaman dan betah.
Andini yang sedari tadi duduk di kasur cuma bisa memandangi mereka yang sedang asik mengobrol di sofa.
Selang beberapa saat, Andini berteriak, "Bang Andre!" Dia berlari keluar, terus celingak-celinguk seperti mencari sosok tunangannya.
"Ada siapa, Dek? Di luar gak ada siapa-siapa kok!" Tanya Anton sambil menghampirinya, terus dia menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan bahwa di luar tidak ada orang lain. Kemudian mengajaknya masuk kembali.
"Tadi ada Bang Andre, Aa, Mih, Pih!" sergah Andini meyakinkan mereka.
"Mana ada, Dek. Itu hanya halusinasimu doang. Makanya cepat sembuh biar bisa menemuinya!" ucap Anton sambil mengelus rambutnya.
Dalam hatinya dia sedih sekali, ingin rasanya mengatakan keadaan Andre semuanya kepada adeknya tapi takut psikisnya terguncang kembali.
Kemudian Anton mengajak ayahnya dan Derry keluar, mereka mengobrol di taman depan kamar. Ibu Sri pun langsung mendekap Andini, matanya sudah mulai mengembun tetapi dia harus bisa menahan tangisnya biar anaknya tidak ikut bersedih.
"Mih, aku kangen sama Bang Andre! Kenapa dia dak pernah datang, ya?" tanya Andini sambil memegang tangan ibunya.
"Mungkin dia masih sibuk, Nak. Yang sabar, ya! Nanti dia datang, kok," seru Ibu Sri agak sedikit berbohong, air matanya menetes tidak bisa dibendungnya lagi.
"Kenapa Mamih nangis? Aku kan, jadi sedih," ujar Andini sambil mengelus pipi sang ibu. "Mamih dak nangis kok, Teh. Tadi cuma kelilipan," ucap Bu Sri sambil pura-pura mengucek matanya.
"Mamih, boong!" Jawab Andini, terus dia mencari ponselnya yang diumpetin ibunya.
"Mih, ponsel teteh mana, ya? Kok, dak ada di laci meja?" ucapnya lagi.
"Oh, itu eeem--, ada kok di tas Mamih! " Jawab Bu Sri ragu.
Andini langsung menyambar tas yang ada di sofa, terus mengambil ponselnya. Ibu Sri tidak bisa mencegahnya, dia cuma duduk di sebelahnya sambil melihat anaknya. Gadis cantik itu langsung membuka layar aplikasi hijau berlogo telpon. Sepertinya dia mau ngechat tunangannya itu.
Notip dari WAGnya sudah banyak yang masuk, lalu di bukanya satu-persatu, kemudian membacanya. Ucapan bela sungkawa terhadap Andre dan untuknya dari teman-teman kerjanya begitu banyak.
Namun, setelah membaca ponselnya langsung terjatuh, lalu menangis dan berteriak histeris, "Tidak ... ! Tidak mungkin!"
Tubuhnya langsung rubuh ke lantai, Ibu Sri yang sedari tadi duduk di sampingnya kaget, kemudian dia langsung berjongkok dan memeluk anaknya, "Andini, bangun, Nak!" Tangannya terus menepuk-nepuk pipi putrinya, "Pah ... sini! Andini kenapa ini?" teriaknya.
Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.****Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan s
Andini dilahirkan di Bandung 24 tahun silam, nama lengkapnya Andini Arfaana Adi Atmadja. Masa kecilnya dihabiskan di sana, tetapi setelah lulus SD ayahnya meneruskan usaha kakeknya di daerah Subang, sehingga mereka pun pindah. Sifatnya yang selalu ceria, agak jahil tetapi sangat baik sama semua orang. Namun, dia paling tidak senang kalau ada orang yang menghina atau membully teman-temannya, pasti dia yang akan duluan melawannya. Parasnya sangat cantik seperti wajah blasteran, rambutnya ikal, matanya belok, alisnya tebal seperti wajah ibunya yang mempunyai darah keturunan Pakistan dari kakeknya.Dia anak kedua dari empat bersaudara, ayahnya adalah mantan Lurah daerah Subang kabupaten Bandung bernama Bapak H. Drs Herman Adi Atmadja, dan sekarang menjadi seorang pejabat daerah di sana. Ibunya bernama Hj dr. Sri Arfaana Arham, seorang dokter kecantikan dan mempunyai tempat spa di Subang. Kakaknya bernama Anton Fahmi Adi Atmadja, adeknya yang cewek bernama Anggita Arfaana Ad
Sebelum kejadian naas menimpanya, Andini dan Andre adalah pasangan yang sangat kompak dan serasi. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang, sehingga teman-temannya suka iri melihat keromantisan dan kekompakan keduanya. Sudah sekian lama Andini berpacaran dengan Andre, sebenarnya dia sudah berharap dipersunting secepatnya oleh pujaannya. Namun, dia tidak mau mengganggu konsentrasi pacarnya yang sedang melanjutkan S2-nya. Sehingga gadis cantik nan manja itu lebih memilih bersabar dan mensupport Andre untuk menyelesaikan kuliahnya.Pemikiran Andre justru berbeda dengan Andini, dia ingin secepatnya melamarnya. Karena dia merasa sudah lama berpacaran, dan sudah saatnya untuk mempersunting cewek pujaannya. Kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melamar gadis pilihannya itu, agar terhindar dari godaan setan. Mereka juga ingin cepat-cepat menimang seorang cucu dari anak cowok satu-satunya itu."Dre, sebaiknya k
Setelah acara lamaran selesai, Andini mendapatkan undangan reuni dari teman-temannya. Yang akan di selenggarakan dua pekan lagi, dan akan diadakan di sebuah resort di Subang. Dengan senang hati dia menerima undangan itu, serta akan mengajak tunangannya. Niatnya dia hendak mengenalkan tunangan itu pada semua teman-teman sekolahnya dulu. Sesampainya di sana Andini kaget ternyata banyak teman-temannya yang datang, sehingga pesertanya banyak banget. Wajahnya celingukan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, terlihat dia sedang mencari seseorang. Setelah wajah teman-temannya terlihat, dia langsung mendekati sohib-sohibnya yang sedang duduk, sambil becanda di pojok resto dekat taman."Hai, Dini, Melia, Renti! Apa kabar?" serunya, terus Andini bersalaman, lalu mencium pipi kanan dan kiri teman satu gang'snya, semasa masih sekolah SMA dulu."Hai, Andini! Aduh ... seneng banget aku ketemu kau lagi," seru Dini. Terus dia memperkenalkan keluarga kecilnya, "Kenalkan in
Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej
Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Andini cepat-cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan tangannya begitu cepat menggeser setir mobilnya ke arah kanan dan kiri. Kemudian kakinya menginjak pedal gas setelah bisa menyalip mobil-mobil lain dan ada ruang untuk mempercepat laju kendaraannya. Untung dia sangat mahir mengemudi, sehingga bisa terlepas dari kejaran orang asing yang mengikutinya dan menghilangkan jejak.Sesampai di rumah sakit Andini cepat-cepat masuk untuk menenangkan diri di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, sesekali dada dan mulutnya mengatur napasnya, lalu mengambil air terus meneguknya Sambil berdiri melihat ke arah luar jendela, pikirannya melayang. Lalu beragam, "Siapa mereka? Dari kemarin kok ngikutin aku terus, nanya apa dariku? Perasaan aku tidak mempunyai musuh atau jangan ... jangan ...! Tidak, tidak mungkin mereka suruhan dia."Andini terus menggeleng-gelengkan kepalanya, terus duduk di kursi, lalu memijit-miji
Setelah kejadian kemarin, hati Andini sering merasa was-was. Apalagi ketika dia lagi duduk sendirian. Seperti saat ini, di depan teras dia duduk termenung sambil melamun, dipikirinnya berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dipecahkannya. Tiba-tiba Andre datang dan menyapanya. Tubuhnya langsung gemetaran, wajahnya pucat, terlihat ada rasa takut yang terpancar dari raut mukanya. Padahal setiap pagi Andre datang untuk menjemputnya pergi bekerja."Sayang, kok belum mandi?" Tubuh Andini sontak bergetar, alisnya tersentak bersama-sama. Tangannya langsung memegang dadanya. Terlihat ada rasa kaget ketika Andre datang dan memanggilnya. Matanya langsung menoleh ke arahnya, wajahnya pucat pasi."Kamu kenapa, Sayang? Kok wajahmu pucat kayak gitu?" Wajah Andre terlihat bingung, terus tangannya langsung memegang keningnya, " Kamu sakit? Kok tubuhmu berkeringat kayak gini?" ujarnya kembali."Emm, enggak apa-apa, S
Dor! Sebuah tembakan melesat mengenai ban mobil yang dikendarai Andre bersama Andini hingga laju kendaraannya oleng tak terkendali, pria tampan itu berusaha membanting setir ke semak-semak dan menginjak remnya kuat-kuat hingga mobil itu berhenti dan menumbur sebuah pohon di pinggir jalan. Rencananya malam ini mereka mau pergi ke rumah orang tua Andini yang tinggal di Subang untuk memberikan berkas-berkas surat pernikahannya. Akan tetapi, di tengah jalan nan sepi kendaraannya dihadang segerombolan gang's motor. Braaak! Bamper mobil pun ringsek, kap depannya sedikit menganga, untung kedua pasangan itu memakai sabuk pengaman sehingga hanya sedikit benturan ke kepalanya. "Aduuh!" sontak Andini sambil memegang jidatnya. "Kamu, tidak apa-apa, Sayang?" tanya Andre penuh cemas. Tok ... tok ... tok. "Ayok, Keluar!" perintah seseorang dari luar mobil sambil mengetuk kaca mobil. "Sayang, t