Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"
Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.
Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.
****
Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan sesosok pria baik, yang selama ini selalu menjaga dan memanjakannya setiap hari. Kemarin adalah hari yang membuat dia down kembali, ketika membaca isi chat WAG bela sungkawa dari teman-temannya. Ada rasa tidak percaya menghinggapinya, Andre begitu cepat meninggalkannya tanpa ada firasat sedikit pun. Membuat tubuh dan pikirannya linglung bagai layangan putus tanpa arah. Namun dia mulai sadar, ketika melihat wajah kusut, mata sembab dari raut muka kelelahan kedua orang tuanya. Sehingga dia bertekad ingin melupakan kenangan itu, dengan menyambut lembaran baru tanpa tunangannya."Pih, Mih, Andini pingin pulang? Aku ingin ziarah ke makam Andre." ucap Andini yang baru saja selesai sarapan. Mata Andini menatap wajah sendu kedua orang tuanya, dia memohon agar mengijinkannya pergi ke makam tunangannya.
"Kalau Papih, boleh saja kamu ke sana, tapi badanmu udah bener-bener fit?" tanya Pak Herman, matanya memasati wajah putrinya dengan seksama.
"Udah, kok. Andini udah sehat. Sekarang aku mau belajar mengikhlaskan kepergiannya, Pih. Kasian sama Papih, Mamih dan Bang Andre kalau aku terus mengenangnya dan menangisinya," jawab Andini menunduk, kelopak matanya terkulai. Lalu ia menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dari mulut mungilnya. Walaupun terlihat tegar tapi dalam hatinya masih terasa sakit, entah sampai kapan dia bisa melupakan peristiwa itu.
"Ya, udah kalau gitu, Papih mau minta ijin pulang ke dr.Delia dulu. Habis itu kita pergi ke makam Andre, ya?" ucap Pak Herman, kemudian tegak hendak pergi ke ruang dokter.
Setelah dapat ijin pulang, mata Pak Herman terlihat berbinar, senyumnya mengembang,"Eh, Mah, cepet beresin bajunya! Terus nanti telpon Dadang suruh jemput kita."
"Iya, Pah!" Bu Sri cepat-cepat membereskan bajunya, terus menelepon sopirnya untuk datang menjemputnya. Selama Andini sakit, Ibu Sri-lah yang menjaganya, sedangkan Pak Herman pulang pergi ke rumahnya yang di Bandung. Rumah itu sekarang ditempati oleh Anton beserta istri dan cucunya, serta kedua anak gadisnya.
Andini sekarang merasa senang karena akan meninggalkan tempat ini, walaupun semua perawat dan dokter baik kepadanya, tetapi dia sudah kangen dengan suasana rumahnya yang lebih asri dan nyaman. Di sana dia bisa bebas keluar masuk, untuk melihat pemandangan kota Bandung. Kedua orang tuanya dan Anton juga senang kalau Andini bisa cepat pulang. Mereka bisa tenang kalau anaknya di rawat di rumah saja, setidaknya walaupun ditinggal mudik orang tuanya ke Subang, masih ada yang menjaganya. Lagian keamanan rumahnya juga terjamin karena ada satpam di kompleksnya. Selain suasananya asri, lingkungannya juga enak, setiap hari Jum'at sering diadakan kegiatan pengajian rutin ibu-ibu kompleks. Setiap Minggu suka diadakan kegiatan olah raga, yang diselenggarakan di lapangan depan rumahnya.Setelah membereskan semua administrasi rumah sakit Andini dan keluarganya pulang, tetapi sebelum ke rumahnya mereka hendak berziarah dulu ke makam Andre. Perjalanannya ke sana tidak memakan waktu lama, paling sejam-an kalau jalanannya tidak macet. Akhirnya mereka sampai juga di TPU Sirnaraga Bandung.
Andini dan kedua orang tuanya tidak sulit mencari makamnya, karena Pak Herman sudah tiga kali berziarah ke pusaranya. Mereka dengan khusyuk berdo'a, kerudung pasmina hitam yang dikenakan gadis cantik berlesung pipit itu, tersibak angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuhnya. Air matanya menetes ke pipi putih merah merona, sesekali dia mengusap dengan ujung hijabnya. Dalam hatinya ingin rasanya berteriak untuk mengeluarkan semua beban hidupnya, tetapi dia takut kedua orang tuanya semakin sedih dan sakit. Ada rasa kehilangan yang menusuk dadanya, cuma dia harus bisa tegar dan menahan semua kesedihannya. Setelah selesai mereka pun pulang ke rumah.
Semenjak Andini mendapat musibah, Derry sangat perhatian dan sering menjenguknya untuk memberikan support, serta membawa makanan kesukaannya. Di sela-sela waktu luang sehabis kerja, dia selalu menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya, walau cuma beberapa menit saja. Dia bertekad untuk mencari pelaku pemerkosaan terhadap gadis pujaannya, selama ini dia sedang menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam kejadian itu.
Lama kelamaan rasa sayang dan cinta Derry kepada Andini mulai tumbuh kembali. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasa rindu itu menjalar dalam tubuhnya setiap menatap foto Andini di ponselnya. Ya, fotonya tersimpan di memori hpnya, dia mengambilnya dari akun App biru berlogo F milik gadis idamannya. Setiap menatap fotonya dia ingin terus bertemu dan bersama setiap saat. Seperti sore ini, dia cepet-cepet pergi ke tempat Andini. Dia tau kalau gebetannya itu pulang hari ini, cepat-cepat dia pergi untuk menemuinya. Sesampainya disana terlihat wanita cantik berhijab abu-abu itu sedang duduk di teras depan rumahnya.
"Assalamualaikum, Andini lagi apa?" Sapa Derry, matanya berbinar-binar, senyum dari bibir tipisnya melengkung.
"Waalaikumsalam, ehh, Kak Derry. Lagi santai, Kak. Ayok masuk!" Jawab Andini sambil tersenyum simpul. Bibirnya yang ranum dan seksi membuat semua lelaki terpikat dan terpesona dengannya. Begitupun dengan Derry, dia sangat bahagia melihat raut wajahnya yang teduh dan anggun itu.
"Iya, terima kasih! Kok, sendirian? Kemana yang lain?" Tanya Derry berpura-pura menanyakan orang tua Andini, padahal dia sudah kangen melihatnya.
"Oh, Papih dan Mamih lagi istirahat, Kak Anton belum pulang kerja," jawab Andini sambil melihat ke taman. Terlihat kalau Andini masih sedikit cuek kepada Derry, atau memang belum bisa move on dari tunangannya, sehingga belum bisa menerima cinta dari lelaki manapun. Membuat Derry harus ekstra semangat untuk bisa mengambil perhatian dan hatinya.
Andini dan Derry sudah cukup lama duduk di depan teras, Anton pun baru saja pulang dari kantornya. Dia sangat senang melihat temannya mendekati adik kesayangannya. Harapannya, Derry bisa menggantikan dan bisa mengisi posisi Andre di hati Andini. Namun, dia tidak bisa memaksakan kehendaknya, semua keputusan di serahkan semuanya kepada adiknya.
"Nah, gitu dong. Ajak ngobrol tamunya," ledek Anton kepada adiknya. Mata Andini pun mendelik, mulutnya mengerut, terus tersenyum. Kemudian Anton mengelus kepalanya.
Derry pun tersenyum melihat kekonyolan kedua adek kakak itu, suasana pun mencair. Mereka tertawa bersama. Ketika sedang asik bersenda gurau, mata Andini langsung terbelalak melihat sesosok bayangan, yang sedang duduk di atas sepeda motor. Namun tubuhnya terhalang pohon di pinggir jalan kompleks, sehingga wajahnya tidak terlihat. Sepertinya orang itu sudah dari dari tadi memperhatikan mereka.
"Heiii! Siapa kau?" Teriak Andini. Terus tegak dan berjalan ke pagar hendak mendekatinya, tetapi orang itu secepat kilat melajukan motornya dengan kencang.
"Ada apa Andini?" Tanya Anton kaget. Terus dia dan Derry menghampirinya.
"Itu, Aa. Ada orang lagi ngawasin kita?" Andini menunjuk motor yang sudah berlari ke arah jalan utama kompleks itu.
"Mana? Udahlah biarkan, paling orang lewat doang," ucap Anton tanpa berpikir panjang. Namun, Derry berpikiran lain, sebagai seorang Intel di kepolisian dia sangat tau gerak gerik orang yang berniat jahat kepada Andini, tetapi dia tidak mau gegabah dengan semua tuduhannya. Harus ada bukti kuat untuk membongkar pelaku pemerkosaan terhadap adik temannya itu.
Andini dilahirkan di Bandung 24 tahun silam, nama lengkapnya Andini Arfaana Adi Atmadja. Masa kecilnya dihabiskan di sana, tetapi setelah lulus SD ayahnya meneruskan usaha kakeknya di daerah Subang, sehingga mereka pun pindah. Sifatnya yang selalu ceria, agak jahil tetapi sangat baik sama semua orang. Namun, dia paling tidak senang kalau ada orang yang menghina atau membully teman-temannya, pasti dia yang akan duluan melawannya. Parasnya sangat cantik seperti wajah blasteran, rambutnya ikal, matanya belok, alisnya tebal seperti wajah ibunya yang mempunyai darah keturunan Pakistan dari kakeknya.Dia anak kedua dari empat bersaudara, ayahnya adalah mantan Lurah daerah Subang kabupaten Bandung bernama Bapak H. Drs Herman Adi Atmadja, dan sekarang menjadi seorang pejabat daerah di sana. Ibunya bernama Hj dr. Sri Arfaana Arham, seorang dokter kecantikan dan mempunyai tempat spa di Subang. Kakaknya bernama Anton Fahmi Adi Atmadja, adeknya yang cewek bernama Anggita Arfaana Ad
Sebelum kejadian naas menimpanya, Andini dan Andre adalah pasangan yang sangat kompak dan serasi. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang, sehingga teman-temannya suka iri melihat keromantisan dan kekompakan keduanya. Sudah sekian lama Andini berpacaran dengan Andre, sebenarnya dia sudah berharap dipersunting secepatnya oleh pujaannya. Namun, dia tidak mau mengganggu konsentrasi pacarnya yang sedang melanjutkan S2-nya. Sehingga gadis cantik nan manja itu lebih memilih bersabar dan mensupport Andre untuk menyelesaikan kuliahnya.Pemikiran Andre justru berbeda dengan Andini, dia ingin secepatnya melamarnya. Karena dia merasa sudah lama berpacaran, dan sudah saatnya untuk mempersunting cewek pujaannya. Kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melamar gadis pilihannya itu, agar terhindar dari godaan setan. Mereka juga ingin cepat-cepat menimang seorang cucu dari anak cowok satu-satunya itu."Dre, sebaiknya k
Setelah acara lamaran selesai, Andini mendapatkan undangan reuni dari teman-temannya. Yang akan di selenggarakan dua pekan lagi, dan akan diadakan di sebuah resort di Subang. Dengan senang hati dia menerima undangan itu, serta akan mengajak tunangannya. Niatnya dia hendak mengenalkan tunangan itu pada semua teman-teman sekolahnya dulu. Sesampainya di sana Andini kaget ternyata banyak teman-temannya yang datang, sehingga pesertanya banyak banget. Wajahnya celingukan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, terlihat dia sedang mencari seseorang. Setelah wajah teman-temannya terlihat, dia langsung mendekati sohib-sohibnya yang sedang duduk, sambil becanda di pojok resto dekat taman."Hai, Dini, Melia, Renti! Apa kabar?" serunya, terus Andini bersalaman, lalu mencium pipi kanan dan kiri teman satu gang'snya, semasa masih sekolah SMA dulu."Hai, Andini! Aduh ... seneng banget aku ketemu kau lagi," seru Dini. Terus dia memperkenalkan keluarga kecilnya, "Kenalkan in
Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej
Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Andini cepat-cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan tangannya begitu cepat menggeser setir mobilnya ke arah kanan dan kiri. Kemudian kakinya menginjak pedal gas setelah bisa menyalip mobil-mobil lain dan ada ruang untuk mempercepat laju kendaraannya. Untung dia sangat mahir mengemudi, sehingga bisa terlepas dari kejaran orang asing yang mengikutinya dan menghilangkan jejak.Sesampai di rumah sakit Andini cepat-cepat masuk untuk menenangkan diri di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, sesekali dada dan mulutnya mengatur napasnya, lalu mengambil air terus meneguknya Sambil berdiri melihat ke arah luar jendela, pikirannya melayang. Lalu beragam, "Siapa mereka? Dari kemarin kok ngikutin aku terus, nanya apa dariku? Perasaan aku tidak mempunyai musuh atau jangan ... jangan ...! Tidak, tidak mungkin mereka suruhan dia."Andini terus menggeleng-gelengkan kepalanya, terus duduk di kursi, lalu memijit-miji
Setelah kejadian kemarin, hati Andini sering merasa was-was. Apalagi ketika dia lagi duduk sendirian. Seperti saat ini, di depan teras dia duduk termenung sambil melamun, dipikirinnya berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dipecahkannya. Tiba-tiba Andre datang dan menyapanya. Tubuhnya langsung gemetaran, wajahnya pucat, terlihat ada rasa takut yang terpancar dari raut mukanya. Padahal setiap pagi Andre datang untuk menjemputnya pergi bekerja."Sayang, kok belum mandi?" Tubuh Andini sontak bergetar, alisnya tersentak bersama-sama. Tangannya langsung memegang dadanya. Terlihat ada rasa kaget ketika Andre datang dan memanggilnya. Matanya langsung menoleh ke arahnya, wajahnya pucat pasi."Kamu kenapa, Sayang? Kok wajahmu pucat kayak gitu?" Wajah Andre terlihat bingung, terus tangannya langsung memegang keningnya, " Kamu sakit? Kok tubuhmu berkeringat kayak gini?" ujarnya kembali."Emm, enggak apa-apa, S
Dor! Sebuah tembakan melesat mengenai ban mobil yang dikendarai Andre bersama Andini hingga laju kendaraannya oleng tak terkendali, pria tampan itu berusaha membanting setir ke semak-semak dan menginjak remnya kuat-kuat hingga mobil itu berhenti dan menumbur sebuah pohon di pinggir jalan. Rencananya malam ini mereka mau pergi ke rumah orang tua Andini yang tinggal di Subang untuk memberikan berkas-berkas surat pernikahannya. Akan tetapi, di tengah jalan nan sepi kendaraannya dihadang segerombolan gang's motor. Braaak! Bamper mobil pun ringsek, kap depannya sedikit menganga, untung kedua pasangan itu memakai sabuk pengaman sehingga hanya sedikit benturan ke kepalanya. "Aduuh!" sontak Andini sambil memegang jidatnya. "Kamu, tidak apa-apa, Sayang?" tanya Andre penuh cemas. Tok ... tok ... tok. "Ayok, Keluar!" perintah seseorang dari luar mobil sambil mengetuk kaca mobil. "Sayang, t
Kedua mata Andini terus memasati wajah orang yang tergelantung dan sudah terbujur kaku di atas dahan. Meskipun tanpa penerangan dan terlihat gelap gulita, tetapi remang-remang ada pantulan sinar rembulan yang membantu penglihatannya sehingga bisa melihat sekilas wajah pria tersebut meski hanya terlihat samar-samar. Gadis berkerudung merah marun itu sangat shock dan kaget setelah mengenali baju dan celana jeans yang dipake pria tersebut, rasanya tidak percaya kalau itu jasad tunangannya. "Abang ... kenapa kamu, Bang!" Andini berteriak histeris dan terduduk lemas. Matanya melebar ketika melihat wajah sang pujaan hatinya sudah tak berdaya di atas pohon. "Bang, ayok turun! Kita pulang!" teriaknya kembali. Namun, masih tidak ada reaksi dari Andre membuat dirinya semakin cemas dan gelisah, terus bermonolog, "Ya Alloh, apa yang telah terjadi dengan tunanganku?!" "Abaaang ... bangun! Ayok turun!" teriaknya kembali. Akan tetapi, tubuh Andre terlihat te