"Sudah, Tante. Yang sabar!" ucap Nisa menenangkan.
"Tante harus tegar biar Andini bisa kuat dan ikhlas menghadapinya," bujuknya sambil menahan tangis.
Di samping mereka Derry hanya bisa berdiri dan diam seribu bahasa, sesekali matanya memandangi wajah Andini yang tertidur pulas sambil mengusap air mata yang menetes keluar sendiri dari sudut matanya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan berpamitan.
" Tante, Nisa, aku mau pamit pulang, nanti kalau butuh bantuanku tinggal telpon aja," ucap Derry sambil bersalaman.
"Iya, makasih ya, Der. Sudah menolong Andini," jawab Nisa sambil tersenyum.
"Nanti kalau polisi minta kesaksian, kamu bersedia membantu kami, kan?" tanyanya kembali.
"Tentu, jangan sungkan. Aku pasti membantunya.
Kalau ada waktu aku pasti menengok Andini lagi," ucapnya, "Tante, yang sabar ya. Semoga pelakunya cepat tertangkap," hiburnya. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
Selang beberapa saat pak Herman keluar dari ruangan dokter diiringi seorang perawat. Tidak lama mereka pun memindahkan Andini ke tempat rawat inap di lantai lima.
Pada akhirnya, keluarga Andre beserta kakak Andini bernama Anton dan adiknya yang bernama Anggita datang, untung pak Herman masih di lantai bawah sedang mengurus berkas-berkas yang harus di tanda tanganinya, sehingga bisa bertemu di sana.
Mereka pun mengobrol sebentar, terus langsung pergi ke ruang forensik sedangkan kedua saudara Andini pergi ke lantai lima tempat dirawatnya.
Kedua orang tua Andre sangat terpukul dengan musibah yang menimpa anak cowok satu-satunya dan calon menantunya itu. Padahal mereka akan mengadakan acara pernikahan anaknya yang sudah lama dinantikannya.
Sesampainya di ruang forensik Tante Lusi ibunya Andre sangat shock melihat keadaan tubuh anaknya yang penuh lebam, kepalanya terkulai, banyak bercak darah di wajahnya. Di pelipis kanan dan bibirnya ada luka robek seperti kena pukulan.Dia terus menangis dan berteriak histeris memanggil anak kesayangannya itu.
"Andre kenapa kamu, Nak? Jangan tinggalin Mamah!"
Kemudian bibirnya mengumpat orang yang sudah tega membunuh anaknya, "Dasar bajingan! Kenapa kalian tega membunuh anakku! Salah dia apa?" teriaknya.
Desi kakaknya Andre terus menenangkan dan mendekap ibunya," Sudah, Mah. Ikhlaskan kepergiannya, kasian Andre," bujuknya dengan berlinang air mata.
"Mamah mana bisa tenang kalau orang yang membunuhnya belum ditangkap," ucapnya. Air matanya terus berderai.
"Sudah, Mah. Sabar!" ucap Pak Darwin. Terus dia menyuruh Desi anaknya membawa ibunya duduk di depan ruangan itu.
Desi langsung memapah Bu Lusi ke kursi yang ada di depan, kemudian memberikan sebotol minuman air mineral.
"Ayok, Mah, minumlah! Biar hati Mamah tenang," ucapnya.
Bu Lusi langsung menyeruput minumannya, sedangkan Pak Darwin ayahnya Andre terlihat sedang berbincang dengan pihak kepolisian.
Setelah selesai di otopsi, jenazah Andre di bawa pulang ke rumahnya di Bandung. Di depan teras tempat duka terlihat sudah ada tenda dan terpasang bendera kuning. Sudah banyak tamu dan sanak saudaranya yang menunggu kedatangan jenazah. Di depan pekarangan pun sudah berjejer karangan bunga dari teman-teman dan rumah sakit tempatnya bekerja untuk mengucapkan bela sungkawa.
Sekitar jam dua siang Ambulans baru datang, Isak tangis memecah gendang telinga, menyambut peti jenazah yang baru saja dikeluarkan dari sebuah mobil jenazah. Beberapa orang tampak berlari menghampiri peti seolah tak sabar ingin melihat sosok yang terbujur kaku di dalam sana. Tangis mereka tak berhenti, diiringi sholawatan ketika petinya di keluarkan dan di gotong ke dalam rumahnya.
Terlihat orang tua dan kakak Andre sangat terpukul, ketika baru saja keluar dari mobil pajero. Ibu Lusi berjalan dipapah oleh Desi dan suaminya Pak Darwin sambil menangis, tubuhnya lemas mungkin jiwanya terguncang mengetahui anaknya sudah terbujur kaku.
Sesampainya di dalam rumah, dia terduduk di depan peti jenazah anaknya sambil memeluk fotonya. Kemudian petinya dibuka karena kakek, paman dan tantenya pingin melihat wajah Andre untuk terakhir kali.
Seisi ruangan menjerit histeris kala peti dibuka. Sosok yang disayanginya sudah terbujur kaku dengan tubuh telah dibalut kain kafan. Kemudian kain kafannya dibuka.
"Astagfirullah Haladzim!" sontak mereka kaget.
Terlihat mukanya bengap-bengap dan lebam, dari hidungnya masih keluar darah segar walaupun sudah ditutup kapas. Ada luka menganga di pelipisnya, di lehernya ada bekas jeratan tali. Kerabatnya pun langsung mengelus dan mencium keningnya. Banyak orang-orang yang mengecam pelaku pembunuhnya.
Tidak lama Ibu Lusi pun pingsan setelah melihat wajah anaknya, suami dan kerabatnya lalu menggotongnya ke kamar. Para kerabat, tetangga dan teman kerjanya terus berdatangan, sebagian ada yang membaca Yasin dan mendo'akannya.
Sesudah pak ustadz datang, jenazah langsung disholatkan berjamaah di rumahnya. Setelah sholat Ashar, jasadnya langsung dibawa ke mesjid untuk di sholatkan kembali oleh warga sekitar, lalu dibawa ke TPU Sirnaraga untuk di makamkan.
Langit terlihat mendung, sepertinya awan ikut bersedih melepaskan kepergian Andre. Mobil dan motor pun beriringan memenuhi jalanan, bunyi sirine pun terdengar pilu. Banyak kerabat, teman dan sanak saudaranya yang mengantar ke tempat petistirahat terakhirnya.
Sesampainya di TPU Sirnaraga sudah ada tenda, satu lubang liang lahat dan beberapa pegawai penggalian kubur yang sudah siap menunggu jasadnya. Peti jenazah pun di gotong diiringi sholawatan, terus di letakkan di pinggir kuburan.
Tangisan pun pecah kembali manakala tubuh almarhum di masukkan ke liang lahat, saudara dan teman-temannya tidak menyangka kalau Andre akan secepat itu meninggalkan mereka.
Pak Darwin mengadzankannya, kemudian ditutuplah sedikit demi sedikit liang lahatnya. Pak ustadz tidak lupa memberikan sedikit petuah dan membacakan do'a. Air mata Bu Lusi dan Desi 'tak terbendung lagi, sambil berjongkok mereka mengelus papan nisan Andre, terus menaburkan bunga.
Setelah selesai satu persatu para pelayat pun mulai meninggalkan kuburan tidak terkecuali kedua orang tua Andre. Mereka dengan berat hati meninggalkan anak kesayangannya itu.
Alhamdulillah acara pemakamannya berjalan lancar sampai selesai. Namun, teka-teki pembunuhnya masih menyisakan misteri, orang-orang terdekatnya merasa heran dan bertanya-tanya.
"Siapa yang telah tega membunuhnya dan motifnya apa?"
Karena menurut pemikiran mereka kalau dihadang begal pasti dompet dan ponselnya hilang, tetapi ini tidak ada barang yang hilang sama sekali, kecuali kaca mobilnya yang hancur dan bannya kempes seperti ada yang menembaknya.
Terus kalau ada yang dendam kepadanya siapa? Selama ini Andre di kenal orang baik dan ramah sama siapa pun, tidak mungkin ada yang memusuhinya.
Di pinggir jalan depan pemakaman terlihat sebuah mobil mewah terparkir di bawah sebatang pohon besar. Di dalamnya terlihat empat pasang mata sedang mengawasi prosesi pemakaman Andre, ada senyum lebar terlihat dari wajah mereka. Sesosok pria berkaca mata hitam yang duduk disebelah supirnya berbicara dengan penuh kedengkian.
"Rasain Kamu, Andre!" Hahahaha ... tawa mereka pun terdengar lepas. Setelah para pelayat pergi, mereka pun ikut pergi dengan perasaan penuh kemenangan.
Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak memanggil Andre tunangannya."Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja."Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya."Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya."Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menj
Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.****Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan s
Andini dilahirkan di Bandung 24 tahun silam, nama lengkapnya Andini Arfaana Adi Atmadja. Masa kecilnya dihabiskan di sana, tetapi setelah lulus SD ayahnya meneruskan usaha kakeknya di daerah Subang, sehingga mereka pun pindah. Sifatnya yang selalu ceria, agak jahil tetapi sangat baik sama semua orang. Namun, dia paling tidak senang kalau ada orang yang menghina atau membully teman-temannya, pasti dia yang akan duluan melawannya. Parasnya sangat cantik seperti wajah blasteran, rambutnya ikal, matanya belok, alisnya tebal seperti wajah ibunya yang mempunyai darah keturunan Pakistan dari kakeknya.Dia anak kedua dari empat bersaudara, ayahnya adalah mantan Lurah daerah Subang kabupaten Bandung bernama Bapak H. Drs Herman Adi Atmadja, dan sekarang menjadi seorang pejabat daerah di sana. Ibunya bernama Hj dr. Sri Arfaana Arham, seorang dokter kecantikan dan mempunyai tempat spa di Subang. Kakaknya bernama Anton Fahmi Adi Atmadja, adeknya yang cewek bernama Anggita Arfaana Ad
Sebelum kejadian naas menimpanya, Andini dan Andre adalah pasangan yang sangat kompak dan serasi. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang, sehingga teman-temannya suka iri melihat keromantisan dan kekompakan keduanya. Sudah sekian lama Andini berpacaran dengan Andre, sebenarnya dia sudah berharap dipersunting secepatnya oleh pujaannya. Namun, dia tidak mau mengganggu konsentrasi pacarnya yang sedang melanjutkan S2-nya. Sehingga gadis cantik nan manja itu lebih memilih bersabar dan mensupport Andre untuk menyelesaikan kuliahnya.Pemikiran Andre justru berbeda dengan Andini, dia ingin secepatnya melamarnya. Karena dia merasa sudah lama berpacaran, dan sudah saatnya untuk mempersunting cewek pujaannya. Kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melamar gadis pilihannya itu, agar terhindar dari godaan setan. Mereka juga ingin cepat-cepat menimang seorang cucu dari anak cowok satu-satunya itu."Dre, sebaiknya k
Setelah acara lamaran selesai, Andini mendapatkan undangan reuni dari teman-temannya. Yang akan di selenggarakan dua pekan lagi, dan akan diadakan di sebuah resort di Subang. Dengan senang hati dia menerima undangan itu, serta akan mengajak tunangannya. Niatnya dia hendak mengenalkan tunangan itu pada semua teman-teman sekolahnya dulu. Sesampainya di sana Andini kaget ternyata banyak teman-temannya yang datang, sehingga pesertanya banyak banget. Wajahnya celingukan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, terlihat dia sedang mencari seseorang. Setelah wajah teman-temannya terlihat, dia langsung mendekati sohib-sohibnya yang sedang duduk, sambil becanda di pojok resto dekat taman."Hai, Dini, Melia, Renti! Apa kabar?" serunya, terus Andini bersalaman, lalu mencium pipi kanan dan kiri teman satu gang'snya, semasa masih sekolah SMA dulu."Hai, Andini! Aduh ... seneng banget aku ketemu kau lagi," seru Dini. Terus dia memperkenalkan keluarga kecilnya, "Kenalkan in
Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej
Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Andini cepat-cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan tangannya begitu cepat menggeser setir mobilnya ke arah kanan dan kiri. Kemudian kakinya menginjak pedal gas setelah bisa menyalip mobil-mobil lain dan ada ruang untuk mempercepat laju kendaraannya. Untung dia sangat mahir mengemudi, sehingga bisa terlepas dari kejaran orang asing yang mengikutinya dan menghilangkan jejak.Sesampai di rumah sakit Andini cepat-cepat masuk untuk menenangkan diri di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, sesekali dada dan mulutnya mengatur napasnya, lalu mengambil air terus meneguknya Sambil berdiri melihat ke arah luar jendela, pikirannya melayang. Lalu beragam, "Siapa mereka? Dari kemarin kok ngikutin aku terus, nanya apa dariku? Perasaan aku tidak mempunyai musuh atau jangan ... jangan ...! Tidak, tidak mungkin mereka suruhan dia."Andini terus menggeleng-gelengkan kepalanya, terus duduk di kursi, lalu memijit-miji
Setelah kejadian kemarin, hati Andini sering merasa was-was. Apalagi ketika dia lagi duduk sendirian. Seperti saat ini, di depan teras dia duduk termenung sambil melamun, dipikirinnya berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dipecahkannya. Tiba-tiba Andre datang dan menyapanya. Tubuhnya langsung gemetaran, wajahnya pucat, terlihat ada rasa takut yang terpancar dari raut mukanya. Padahal setiap pagi Andre datang untuk menjemputnya pergi bekerja."Sayang, kok belum mandi?" Tubuh Andini sontak bergetar, alisnya tersentak bersama-sama. Tangannya langsung memegang dadanya. Terlihat ada rasa kaget ketika Andre datang dan memanggilnya. Matanya langsung menoleh ke arahnya, wajahnya pucat pasi."Kamu kenapa, Sayang? Kok wajahmu pucat kayak gitu?" Wajah Andre terlihat bingung, terus tangannya langsung memegang keningnya, " Kamu sakit? Kok tubuhmu berkeringat kayak gini?" ujarnya kembali."Emm, enggak apa-apa, S