Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.
Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej
Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Andini cepat-cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan tangannya begitu cepat menggeser setir mobilnya ke arah kanan dan kiri. Kemudian kakinya menginjak pedal gas setelah bisa menyalip mobil-mobil lain dan ada ruang untuk mempercepat laju kendaraannya. Untung dia sangat mahir mengemudi, sehingga bisa terlepas dari kejaran orang asing yang mengikutinya dan menghilangkan jejak.Sesampai di rumah sakit Andini cepat-cepat masuk untuk menenangkan diri di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, sesekali dada dan mulutnya mengatur napasnya, lalu mengambil air terus meneguknya Sambil berdiri melihat ke arah luar jendela, pikirannya melayang. Lalu beragam, "Siapa mereka? Dari kemarin kok ngikutin aku terus, nanya apa dariku? Perasaan aku tidak mempunyai musuh atau jangan ... jangan ...! Tidak, tidak mungkin mereka suruhan dia."Andini terus menggeleng-gelengkan kepalanya, terus duduk di kursi, lalu memijit-miji
Setelah kejadian kemarin, hati Andini sering merasa was-was. Apalagi ketika dia lagi duduk sendirian. Seperti saat ini, di depan teras dia duduk termenung sambil melamun, dipikirinnya berkecamuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dipecahkannya. Tiba-tiba Andre datang dan menyapanya. Tubuhnya langsung gemetaran, wajahnya pucat, terlihat ada rasa takut yang terpancar dari raut mukanya. Padahal setiap pagi Andre datang untuk menjemputnya pergi bekerja."Sayang, kok belum mandi?" Tubuh Andini sontak bergetar, alisnya tersentak bersama-sama. Tangannya langsung memegang dadanya. Terlihat ada rasa kaget ketika Andre datang dan memanggilnya. Matanya langsung menoleh ke arahnya, wajahnya pucat pasi."Kamu kenapa, Sayang? Kok wajahmu pucat kayak gitu?" Wajah Andre terlihat bingung, terus tangannya langsung memegang keningnya, " Kamu sakit? Kok tubuhmu berkeringat kayak gini?" ujarnya kembali."Emm, enggak apa-apa, S
Dor! Sebuah tembakan melesat mengenai ban mobil yang dikendarai Andre bersama Andini hingga laju kendaraannya oleng tak terkendali, pria tampan itu berusaha membanting setir ke semak-semak dan menginjak remnya kuat-kuat hingga mobil itu berhenti dan menumbur sebuah pohon di pinggir jalan. Rencananya malam ini mereka mau pergi ke rumah orang tua Andini yang tinggal di Subang untuk memberikan berkas-berkas surat pernikahannya. Akan tetapi, di tengah jalan nan sepi kendaraannya dihadang segerombolan gang's motor. Braaak! Bamper mobil pun ringsek, kap depannya sedikit menganga, untung kedua pasangan itu memakai sabuk pengaman sehingga hanya sedikit benturan ke kepalanya. "Aduuh!" sontak Andini sambil memegang jidatnya. "Kamu, tidak apa-apa, Sayang?" tanya Andre penuh cemas. Tok ... tok ... tok. "Ayok, Keluar!" perintah seseorang dari luar mobil sambil mengetuk kaca mobil. "Sayang, t
Kedua mata Andini terus memasati wajah orang yang tergelantung dan sudah terbujur kaku di atas dahan. Meskipun tanpa penerangan dan terlihat gelap gulita, tetapi remang-remang ada pantulan sinar rembulan yang membantu penglihatannya sehingga bisa melihat sekilas wajah pria tersebut meski hanya terlihat samar-samar. Gadis berkerudung merah marun itu sangat shock dan kaget setelah mengenali baju dan celana jeans yang dipake pria tersebut, rasanya tidak percaya kalau itu jasad tunangannya. "Abang ... kenapa kamu, Bang!" Andini berteriak histeris dan terduduk lemas. Matanya melebar ketika melihat wajah sang pujaan hatinya sudah tak berdaya di atas pohon. "Bang, ayok turun! Kita pulang!" teriaknya kembali. Namun, masih tidak ada reaksi dari Andre membuat dirinya semakin cemas dan gelisah, terus bermonolog, "Ya Alloh, apa yang telah terjadi dengan tunanganku?!" "Abaaang ... bangun! Ayok turun!" teriaknya kembali. Akan tetapi, tubuh Andre terlihat te
Di bawah pohon pak polisi menurunkan jasad Andre sambil menunggu mobil ambulans. Andini berjalan setengah berlari, tangisannya kembali pecah dan berteriak histeris."Bang Andre, jangan tinggalin aku, Baaang ...!""Bangun! Bentar lagi kita menikah, Bang," jeritnya sambil berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh kekasihnya yang sudah terbujur kaku di atas tanah.Pak Herman langsung memegang pundaknya dan mengajaknya ke mobil."Ayok, Nak. Kita ke mobil!" paksanya.Akan tetapi, putrinya tidak mau dan bergeming serta terus berteriak histeris, "Tidak, jangan pisahin aku darinya, Pih!"Tangis haru Andini semakin menjadi membuat semua orang yang mendengarnya teriris pilu. Tubuhnya lunglai, tenaganya terkuras membuat keseimbangannya oleng dan hampir tersungkur ke tanah, untung ayahnya dan Derry berada di dekatnya sehingga bisa menahannya.Pak Herman lalu mendekap dan memeluk Andini, akhirnya air matanya tumpah ruah 'tak
"Sudah, Tante. Yang sabar!" ucap Nisa menenangkan. "Tante harus tegar biar Andini bisa kuat dan ikhlas menghadapinya," bujuknya sambil menahan tangis. Di samping mereka Derry hanya bisa berdiri dan diam seribu bahasa, sesekali matanya memandangi wajah Andini yang tertidur pulas sambil mengusap air mata yang menetes keluar sendiri dari sudut matanya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan berpamitan. " Tante, Nisa, aku mau pamit pulang, nanti kalau butuh bantuanku tinggal telpon aja," ucap Derry sambil bersalaman. "Iya, makasih ya, Der. Sudah menolong Andini," jawab Nisa sambil tersenyum. "Nanti kalau polisi minta kesaksian, kamu bersedia membantu kami, kan?" tanyanya kembali. "Tentu, jangan sungkan. Aku pasti membantunya. Kalau ada waktu aku pasti menengok Andini lagi," ucapnya, "Tante, yang sabar ya. Semoga pelakunya cepat tertangkap," hiburnya. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak memanggil Andre tunangannya."Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja."Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya."Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya."Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menj
Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.****Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan s