Di bawah pohon pak polisi menurunkan jasad Andre sambil menunggu mobil ambulans. Andini berjalan setengah berlari, tangisannya kembali pecah dan berteriak histeris.
"Bang Andre, jangan tinggalin aku, Baaang ...!"
"Bangun! Bentar lagi kita menikah, Bang," jeritnya sambil berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh kekasihnya yang sudah terbujur kaku di atas tanah.
Pak Herman langsung memegang pundaknya dan mengajaknya ke mobil.
"Ayok, Nak. Kita ke mobil!" paksanya.
Akan tetapi, putrinya tidak mau dan bergeming serta terus berteriak histeris, "Tidak, jangan pisahin aku darinya, Pih!"
Tangis haru Andini semakin menjadi membuat semua orang yang mendengarnya teriris pilu. Tubuhnya lunglai, tenaganya terkuras membuat keseimbangannya oleng dan hampir tersungkur ke tanah, untung ayahnya dan Derry berada di dekatnya sehingga bisa menahannya.
Pak Herman lalu mendekap dan memeluk Andini, akhirnya air matanya tumpah ruah 'tak terbendung lagi. Hatinya berkecamuk, sedih dan marah berbaur menjadi satu, rasanya dia tidak percaya kalau anak dan menantunya menjadi korban begal ... setelah tenang dan amarahnya mereda. Ayah Andini langsung menelepon keluarga Andre yang rumahnya berdomisili di Bandung.
Derry yang sedari tadi berdiri dekat mereka terus memandang Andini dengan sedih, air matanya tak terasa jatuh di pipinya.
Dalam benaknya bergumam, "Siapa yang sudah tega memperkosa dan membunuh tunangan gadis idamannya itu?"
"Sudah, Pak, yang sabar. Kita bawa Andini ke mobil saja, biar bisa istirahat ... kasian dia!" saran Derry kepada Pak Herman.
"Oh, iya, Nak," ucap Pak Herman, terus memapah anaknya ke mobil dibantu Derry.
Sesampainya di mobil, badan Andini langsung terkulai. Sepertinya dia tak sadarkan diri mungkin karena kecapean terus-terusan menangis serta jiwanya tergoncang dan trauma dengan kejadian yang menimpanya.
Setelah olah TKP, polisi langsung memasukkan jasad Andre ke mobil jenazah dan membawanya ke rumah sakit. Kemudian Derry meminta orang tuanya untuk melanjutkan perjalanannya ke pasar, sedangkan dia mau ikut mengantar Andini dan pak Herman ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya dan melakukan visum.
Setelah ambulans datang, jasad Andre dimasukkan ke mobil tersebut didampingi Derry.
Beberapa kilo meter dari TKP, di depan sebuah warung kopi menuju RSUD terlihat sebuah sebuah motor yang sedang terparkir dengan dua orang pengendaranya mengawasi mobil ambulans yang baru saja melewatinya, sepertinya mereka sengaja diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.
Dengan senyum menyeringai salah satu darinya menelepon bosnya untuk memberi kabar, "Hallo, Bos. Mereka sudah dibawa polisi."
"Ok, awasi terus!" perintahnya.
"Siap, Bos!" Kemudian mereka langsung pergi.
Ambulans pun berjalan menelusuri jalanan nan sepi, suara sirine terdengar pilu menyayat kalbu, seperti sedang menggambarkan suasana hati Andini yang remuk redam.
Di dalam mobil Pak Herman, terlihat putrinya yang cantik jelita tak sadarkan diri semenjak naik mobil tadi. Setelah sampai di RSUD Subang, jasad Andre langsung dimasukkan ke ruang forensik untuk dilakukan otopsi. Sedangkan Derry membantu pak Herman mengantarkan Andini untuk di visum.
Andini di bopong oleh Pak Dadang sopir ayahnya bersama Derry yang semenjak naik mobil pingsan, mungkin rasa lelah yang menghimpit pikiran dan hatinya membuat kondisi tubuhnya melemah. Mereka pun cepat-cepat menaikkannya ke blankar yang baru saja dibawa oleh dua orang perawat dari dalam, dengan sigap mereka langsung mendorongnya ke IGD rumah sakit tersebut untuk pemeriksaan lebih lanjut diiringi pak Herman.
Pak Herman dan Derry hanya bisa menunggu di luar, di benak mereka berkecamuk dengan pikirannya masing-masing.
Ayahnya Andini terlihat gusar dan cemas, dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasib putrinya kedepannya. Ada rasa takut yang menghinggapi hati dan pikirannya, dalam benaknya berkata, "Gimana nasib putriku kedepannya. Pasti dia mengalami trauma berkepanjangan. Alangkah malangnya nasibmu, Nak!" gumam Pak Herman sambil mengusap dada.
Dari tadi ayah tiga anak itu mondar- mandir di depan ruang IGD, kadang sesekali duduk terus tegak lagi. Sedangkan di wajah Derry terlihat ada rasa iba dan khawatir, walaupun dia masih bisa duduk dengan tenang sambil sesekali melihat layar hpnya.
Ketika mereka duduk sambil termangu di kursi tunggu, dua orang polisi datang menghampirinya.
"Selamat pagi, maaf, Pak. Keluarga saudara Andre apakah sudah datang?" tanya Polisi membuyarkan lamunan mereka.
Derry dan Pak Herman serempak menoleh ke arah Pak Polisi tersebut, "Ohh, belum kayaknya, Pak!" Jawab ayahnya Andini agak gugup.
"Oh, belum, ya! Baiklah, kalau begitu Saya tunggu di depan kamar forensik aja, kalau mereka sudah datang tolong kabarin kami, Pak," jawab Polisi itu dengan sopan.
"Baik-- baik Pak, nanti kami langsung antar ke sana," ucap Pak Herman kembali.
"Ok, kalau begitu, Saya permisi dulu," jawab Pak Polisi, terus mereka pergi ke ruangan forensik yang letaknya di sebelah gedung rumah sakit tersebut.
Tidak lama dari luar terlihat dua wanita bergegas masuk, yang satu terlihat masih muda dan yang satunya sudah cukup berumur. Mereka terus menghampiri pak Herman.
"Pah, gimana keadaan putri kita? Dia baik-baik aja, kan?" Bu Sri yang baru saja datang beserta keponakannya langsung membrodong suaminya dengan beberapa pertanyaan.
Raut wajahnya terlihat cemas, matanya pun sembab, sepertinya dari tadi terus menangis setelah mendapatkan kabar duka dari suaminya.
"Sabar, Mah. Dokter sedang memeriksanya," jawab Pak Herman dengan suara pelan, lalu mendekap dan mengelus pundak istrinya.
Tangis Bu Sri pun pecah, air matanya tumpah tak terbendung lagi, hatinya gundah dan shock serta khawatir dengan keadaan putrinya, Nisa keponakannya ikut menenangkannya.
"Sudah Tante, jangan nangis terus! Kita berdo'a saja biar Andini tidak kenapa-kenapa, ya," Nisa melap air mata tantenya dengan tisu, lalu mengajaknya duduk.
Kemudian, tidak sengaja Nisa menoleh ke kursi sebelahnya, dia pun kaget dan seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Der--ry!" Dia menyapa Derry teman sekelasnya waktu masih duduk di bangku SMA dulu.
Derry yang dari tadi sedang menunduk sambil melihat ponselnya langsung menoleh ke arahnya.
"Ni--sa, kau di sini?!" jawab Derry heran, terus tersenyum dan bersalaman.
"Iya, aku lagi nganter tanteku! Kau lagi ngapain di sini?" tanya Nisa keheranan.
"Hmmm, i--ni, tadi aku nganter Om Herman dan Andini. Tadi kami ketemu di jalan, jadi sekalian nganter ke mari, takutnya polisi butuh saksi untuk hal ini," jawab Derry lugas, terus dia menceritakan semua yang terjadi ketika menemukan sepupu Nisa itu di TKP.
Nisa pun manggut-manggut, terus berkata, "Oh, terima kasih ya, Der. Kamu emang tidak berubah, selalu baik terhadap keluarga kami," lirih Nisa, "Tante, Om, masih kenal dak sama Derry? Dia dulu sering ke rumah untuk mengajak Anton main sepak bola!" Seru Nisa menerangkan.
"Oh, Kamu Derry, ya? Maaf, Om tadi tidak mengenalimu!" Sergah Pak Herman, "Terima kasih ya, Kamu sudah menolong Andini dan memberitahu kami," ucap Pak Herman, sambil menepuk bahunya.
Memang kedua orang tua Andini kurang mengenal sosok Derry karena sibuk sehingga jarang ketemu.
"Sama-sama, tidak apa, Om. Derry memakluminya, kok! Lagian tadi kebetulan kami lewat dan menemukan Andini," lirih Derry sambil tersenyum.
Mereka pun terus mengobrol ngalor-ngidul, sampai akhirnya seorang dokter keluar dan memberitahukan kondisi Andini kepada mereka. Dan Pak Herman diajak pak dokter masuk ke ruangannya sepertinya ada hal yang mau di sampaikannya. Ibu Sri, Nisa dan Derry di perbolehkan masuk untuk menjenguk Andini yang masih terbaring dan tertidur pulas. Ibunya terlihat sangat terpukul setelah melihat kondisi putrinya, dia terus menangisinya.
"Andini, kamu kenapa bisa begini? Siapa yg tega menyakitimu, Nak" Isak tangisnya pecah, Bu Sri tidak bisa menahan rasa sedihnya, "Sungguh malang nasibmu, Nak!" lirihnya terus memeluk anaknya sambil mengecup kening dan pipinya.
"Sudah, Tante. Yang sabar!" ucap Nisa menenangkan. "Tante harus tegar biar Andini bisa kuat dan ikhlas menghadapinya," bujuknya sambil menahan tangis. Di samping mereka Derry hanya bisa berdiri dan diam seribu bahasa, sesekali matanya memandangi wajah Andini yang tertidur pulas sambil mengusap air mata yang menetes keluar sendiri dari sudut matanya. Beberapa saat kemudian dia keluar dan berpamitan. " Tante, Nisa, aku mau pamit pulang, nanti kalau butuh bantuanku tinggal telpon aja," ucap Derry sambil bersalaman. "Iya, makasih ya, Der. Sudah menolong Andini," jawab Nisa sambil tersenyum. "Nanti kalau polisi minta kesaksian, kamu bersedia membantu kami, kan?" tanyanya kembali. "Tentu, jangan sungkan. Aku pasti membantunya. Kalau ada waktu aku pasti menengok Andini lagi," ucapnya, "Tante, yang sabar ya. Semoga pelakunya cepat tertangkap," hiburnya. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
Di rumah sakit keadaan Andini belum membaik selain tubuhnya lebam-lebam, kesehatan psikisnya terganggu. Dia sering teriak-teriak dan menangis kencang, sehingga para dokter dan perawat memberikan suntikan penenang tiap dia mulai mengamuk.Setiap ada orang masuk, dia selalu ketakutan dan melempar barang yang ada di dekatnya, terus berteriak memanggil Andre tunangannya."Pergi! Jangan dekatin aku!" teriaknya.Bantal pun di lempar kearahnya, padahal perawat itu hendak menaroh obatnya di atas meja."Andini, dia perawat, Nak. Jangan begitu!" seru ibunya."Pokoknya dia harus keluaaar!" teriaknya."Iya, baik-baik," ucap perawat itu dan langsung pergi keluar.Melihat keadaannya begitu membuat para perawat kewalahan dan pihak rumah sakit angkat tangan menanganinya, akhirnya Andini dibawa pulang ke rumah oleh kedua orang tuanya.Di rumahnya, kesehatan psikis Andini bukan semakin membaik kelakuannya malah menj
Pak Herman yang mendengar teriakan istrinya, langsung berlari menuju kamar, "Ada apa, Mah? Kenapa dia?"Anton dan Derry pun ikut masuk, lalu menghampiri Ibu Sri yang sedang memeluk Andini. Kemudian Anton mengangkat tubuhnya, lalu menidurkannya di atas kasur. Ayahnya langsung memanggil perawat yang berada di ruangan sebelah.Perawat langsung memanggil dokter, tidak lama dr. Delia datang untuk memeriksanya. Setelah selesai, dokter pun berbincang dengan Pak Herman. Menurut dokter, Andini tidak apa-apa cuma agak sedikit shock setelah mengetahui keadaan Andre sebenarnya, dan dia menyuruh perawat untuk memberikan obat yang ada di kertas resepnya. Kemudian Derry pun ijin pulang karena hari sudah malam.****Pagi ini sinar mentari begitu cerah, tidak terasa Andini sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit ini. Kondisi kesehatannya mulai membaik, walaupun di hatinya belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia masih tidak bisa kehilangan s
Andini dilahirkan di Bandung 24 tahun silam, nama lengkapnya Andini Arfaana Adi Atmadja. Masa kecilnya dihabiskan di sana, tetapi setelah lulus SD ayahnya meneruskan usaha kakeknya di daerah Subang, sehingga mereka pun pindah. Sifatnya yang selalu ceria, agak jahil tetapi sangat baik sama semua orang. Namun, dia paling tidak senang kalau ada orang yang menghina atau membully teman-temannya, pasti dia yang akan duluan melawannya. Parasnya sangat cantik seperti wajah blasteran, rambutnya ikal, matanya belok, alisnya tebal seperti wajah ibunya yang mempunyai darah keturunan Pakistan dari kakeknya.Dia anak kedua dari empat bersaudara, ayahnya adalah mantan Lurah daerah Subang kabupaten Bandung bernama Bapak H. Drs Herman Adi Atmadja, dan sekarang menjadi seorang pejabat daerah di sana. Ibunya bernama Hj dr. Sri Arfaana Arham, seorang dokter kecantikan dan mempunyai tempat spa di Subang. Kakaknya bernama Anton Fahmi Adi Atmadja, adeknya yang cewek bernama Anggita Arfaana Ad
Sebelum kejadian naas menimpanya, Andini dan Andre adalah pasangan yang sangat kompak dan serasi. Mereka selalu bersama dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang, sehingga teman-temannya suka iri melihat keromantisan dan kekompakan keduanya. Sudah sekian lama Andini berpacaran dengan Andre, sebenarnya dia sudah berharap dipersunting secepatnya oleh pujaannya. Namun, dia tidak mau mengganggu konsentrasi pacarnya yang sedang melanjutkan S2-nya. Sehingga gadis cantik nan manja itu lebih memilih bersabar dan mensupport Andre untuk menyelesaikan kuliahnya.Pemikiran Andre justru berbeda dengan Andini, dia ingin secepatnya melamarnya. Karena dia merasa sudah lama berpacaran, dan sudah saatnya untuk mempersunting cewek pujaannya. Kedua orang tuanya menyuruh dia untuk melamar gadis pilihannya itu, agar terhindar dari godaan setan. Mereka juga ingin cepat-cepat menimang seorang cucu dari anak cowok satu-satunya itu."Dre, sebaiknya k
Setelah acara lamaran selesai, Andini mendapatkan undangan reuni dari teman-temannya. Yang akan di selenggarakan dua pekan lagi, dan akan diadakan di sebuah resort di Subang. Dengan senang hati dia menerima undangan itu, serta akan mengajak tunangannya. Niatnya dia hendak mengenalkan tunangan itu pada semua teman-teman sekolahnya dulu. Sesampainya di sana Andini kaget ternyata banyak teman-temannya yang datang, sehingga pesertanya banyak banget. Wajahnya celingukan ke kanan, ke kiri, dan ke depan, terlihat dia sedang mencari seseorang. Setelah wajah teman-temannya terlihat, dia langsung mendekati sohib-sohibnya yang sedang duduk, sambil becanda di pojok resto dekat taman."Hai, Dini, Melia, Renti! Apa kabar?" serunya, terus Andini bersalaman, lalu mencium pipi kanan dan kiri teman satu gang'snya, semasa masih sekolah SMA dulu."Hai, Andini! Aduh ... seneng banget aku ketemu kau lagi," seru Dini. Terus dia memperkenalkan keluarga kecilnya, "Kenalkan in
Sebenarnya Alex tidak langsung pergi ke Bandung, dia malah nginep di rumah nenek dari ayahnya, yang kediamannya tidak jauh dari resort dan resto orang tua Andini. Dia masih penasaran dan menyangka, gadis idolanya itu masih menginap di rumah kedua orang tuanya. Padahal Andini dan Andre langsung pulang ke Bandung setelah pamit kepada Bu Sri dan Pak Herman--ayah dan ibunya.Andini sengaja langsung pulang ke Bandung selain takut ketemu Alex lagi, dia dan tunangannya harus bekerja esok harinya. Dalam perjalanan dia seperti sedang memikirkan kejadian tadi ketika didamprat Leli sohib semasa SMA dan teman semasa kecilnya itu. Dia tidak menyangka kalau temannya itu masih membencinya, padahal dulu mereka sangat akrab sekali. Sebenarnya dalam batinnya dia sangat kangen dan ingin memeluk Leli, tetapi melihat raut wajahnya yang memerah dan langsung memakainya, hatinya jadi sedih dan kecewa. Namun dia tidak mau menangis di depan mereka, takut teman-teman dan tunangannya tau kej
Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Andini cepat-cepat melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gerakan tangannya begitu cepat menggeser setir mobilnya ke arah kanan dan kiri. Kemudian kakinya menginjak pedal gas setelah bisa menyalip mobil-mobil lain dan ada ruang untuk mempercepat laju kendaraannya. Untung dia sangat mahir mengemudi, sehingga bisa terlepas dari kejaran orang asing yang mengikutinya dan menghilangkan jejak.Sesampai di rumah sakit Andini cepat-cepat masuk untuk menenangkan diri di ruangannya. Wajahnya terlihat pucat, sesekali dada dan mulutnya mengatur napasnya, lalu mengambil air terus meneguknya Sambil berdiri melihat ke arah luar jendela, pikirannya melayang. Lalu beragam, "Siapa mereka? Dari kemarin kok ngikutin aku terus, nanya apa dariku? Perasaan aku tidak mempunyai musuh atau jangan ... jangan ...! Tidak, tidak mungkin mereka suruhan dia."Andini terus menggeleng-gelengkan kepalanya, terus duduk di kursi, lalu memijit-miji